Oleh :
Hawasyalna Anasyifa Sundjana
1620221165
Pembimbing :
Dr. dr. Aziza Ghanie Icksan, Sp.Rad (K)
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan berkah dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik
bagian ilmu radiologi Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta di RSUP
Persahabatan Jakarta periode 21 Mei – 30 Juni 2018. Penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada Dr. dr. Aziza Ghanie Icksan, Sp.Rad (K) selaku pembimbing
makalah ini, dan kepada seluruh dokter yang telah membimbing selama
kepaniteraan. Tidak lupa ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Terimakasih atas perhatiannya, semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pihak yang terkait dan kepada seluruh pembaca.
Penulis
ii
LEMBAR PENGESAHAN
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………ii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………..iii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..iv
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang…………………………………………………………………1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi Paru-Paru……………………………………………………………2
II.2 Fisiologi Paru…………………………………………………………………5
II.3 Epidemiologi Pneumonia……………………………………………………..6
II.4 Etiologi Pneumonia…………………………………………………………...7
II.5 Klasifikasi Pneumonia……………………………………………………….10
II.6 Patofisologi Pneumonia……………………………………………………...12
II.7 Diagnosis Pneumonia………………………………………………………..15
II.8 Prognosis Pneumonia………………………………………………………..22
BAB III GAMBARAN RADIOLOGIS PNEUMONIA
III.1 Gambaran Radiologi Anatomi Toraks……………………………………...23
III.2 Pneumonia dan Klasifikasinya Sesuai Radiologis………………………….24
III.3 Pneumonia Lobaris………………………………………………………….27
III.4 Bronkopneumonia…………………………………………………………..29
III.5 Pneumonia Intertisial……………………………………………………….32
III.6 Pneumonia Cystis Cranii……………………………………………………34
III.7 Pneumonia Aspirasi………………………………………………………...35
III.8 Diagnosis Banding………………………………………………………….35
BAB IV KESIMPULAN………………………………………………………..38
BAB V DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..39
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1|Page
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2|Page
Gambar 2.2 Segmens of Pulmonis
Sumber : Google.com
Radix Pulmonis
Radix pulmonis dibentuk oleh alat-alat yang masuk dan keluar paru. Alat-alat
tersebut adalah bronchus, arteria dan vena pulmonalis, pembuluh limfe, arteria dan
vena bronchialis, dan saraf. Radixpulmonis dikelilingi oleh selubung pleura, yang
menghubungkan pleura parietalis pars mediastinalis dengan pleura visceralis yang
3
membungkus paru.
Persarafan Paru
Pada radix setiap paru terdapat plexus pulmonalis. Plexus dibentuk dari
cabang-cabang truncus sympathicus dan serabut-serabut parasimpatik nervus
4|Page
vagus. Serabut-serabut eferen simpatik mengakibatkan bronchodilatasi dan
3
vasokonstriksi.
Serabut-serabut eferen parasimpatik mengakibatkan bronchokonstriksi,
vasodilatasi, dan peningkatan sekresi kelenjar. Impuls aferen yang berasal dari
membrana mucosa bronchus dan dari reseptor regang dinding alveoli berjalan ke
3
sistem saraf pusat di dalam saraf simpatik dan parasimpatik.
5|Page
Udara inspirasi selain sebagai sumber oksigen (O2) bagi tubuh
juga memasukkan sejumlah partikel, gas beracun, dan mikroorganisme ke
dalam saluran napas. Saluran napas atas dan bawah memproteksi paru
melalui pertahanan anatomis. Hal ini berhubungan dengan reflek batuk
dan penggunaan perangkat mukosilier beserta enzim dan imunoglobulin A
4
(IgA) yang disekresikan.
Sejumlah sel berfungsi memelihara sterilitas dan melindungi
saluran napas, yaitu epitel saluran napas, epitel alveolar, makrofag, sel
dendritik, dan sel polimorfonuklear (PMN). Sel-sel ini terutama dilengkapi
dengan pattern recognition receptors (PRRs) dan secara anatomis
dikondisikan untuk mengatasi mikroba yang masuk ke rongga udara.
Lapisan basal mukosa respiratorik di hidung dan saluran napas konduksi
mengandung sel dendritik yang tersusun rapat, akan mengenali dan
menangkap setiap invasi mikroorganisme serta membawanya ke dalam
drainaise limfatik untuk membangkitkan sistem imun adaptif. Partikel
berukuran kurang dari 2 µm yang mencapai unit respiratorik di luar
bronkiolus respiratorik akan ditangkap makrofag alveolar dalam mileu
yang kaya elemen pertahanan seperti IgG, komplemen, surfaktan, dan
4
fibronektin.
6|Page
Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, tetapi di negara
berkembang juga berkaitan dengan malnutrisi dan kurangnya akses perawatan.
Dari data mortalitas tahun 1990, pneumonia merupakan seperempat penyebab
kematian pada anak dibawah 5 tahun dan 80% terjadi di negara berkembang.
Pneumonia yang disebabkan oleh infeksi RSV didapatkan sebanyak 40%. Di
negara dengan 4 musim, banyak terdapat pada musim dingin sampai awal musim
5
semi, dinegara tropis pada musim hujan.
7|Page
Lahir - 20 hari Bakteria Bakteria
Escherichia colli Group D streptococci
Group B streptococci Haemophillus influenzae
Listeria Streptococcus pneumoniae
monocytogenes Ureaplasma urealyticum
Virus
Cytomegalovirus
Herpes simplex virus
8|Page
4 bulan – 5 tahun Bakteria Bakteria
Streptococcus Haemophillus influenza type
pneumoniae B
Clamydia pneumoniae Moxarella catarrhalis
Mycoplasma Neisseria meningitis
pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus Virus
Respiratory syncytial Varicella zoster virus
virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Adenovirus
Measles
9|Page
Tabel 2. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi. 5
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumonia
Haemophilus influenzae
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Legionella pneumophila
Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp.
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumonia
Chlamydia spp. (C. pneumoniae, C. psittaci, C. trachomatis)
Coxiella burnetii (Q fever)
Viruses: respiratory syncytial virus, parainfluenza virus (children); influenza A
and B (adults); adenovirus
(military recruits); SARS virus
Hospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods, Enterobacteriaceae (Klebsiella spp., Serratia marcescens,
Escherichia coli) and
Pseudomonas spp.
Staphylococcus aureus (usually penicillin resistant)
Pneumonia kronis
Nocardia
Actinomyces
Granulomatous: Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria,
Histoplasma capsulatum,
Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis
10 | P a g e
juga Virus penyebab infeksi pernapasan (Influenza, Parainfluenza, RSV).
Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (atipikal) yaitu
6
mykoplasma, chlamydia, dan legionella.
b. Pneumonia sekunder, yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi,
selain penderita penyakit paru lainnnya seperti COPD, terutama juga
bagi mereka yang mempunyai penyakit menahun seperti diabetes
6
mellitus, HIV, kanker, dll.
Berdasarkan kuman penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa
bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya
Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita
6
pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan
6
Chlamydia.
6
c. Pneumonia virus, disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus.
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutamapadapenderitadengandayatahanlemah
6
(immunocompromised).
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a. Pneumonia komuniti (Community acquired pneumonia/CAP) pneumonia
yang terjadi di lingkungan rumah atau masyarakat, juga termasuk
pneumonia yang terjadi di rumah sakit dengan masa inap kurang dari 48
6
jam.
b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia/HAP) merupakan
pneumonia yang terjadi di “rumah sakit”, infeksi terjadi setelah 48 jam
berada di rumah sakit. Kuman penyebab sangat beragam, yang sering di
temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bakteri dengan Gram negatif
lainnya seperti E.coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeroginosa,
Proteus, dll. Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri
6
penyebab HAP.
c. Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
11 | P a g e
a. Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru. Bronkus
besar umumnya tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran
airbronchogram. Konsolidasi yang timbul merupakan hasil dari cairan
edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn. Penyebab terbanyak
pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae. Jarang pada bayi
dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen.
Kemungkinan sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus
6
seperti aspirasi benda asing, atau adanya proses keganasan.
b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis.
Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen
membentuk bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan.
Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal pada
lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Sering pada
6
bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.
c. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan
peribronkil. Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan
mycoplasma. Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan
interstisial prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus
6
masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak merata.
12 | P a g e
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru
banyak disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu.
Selain itu, toksin-toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis
dapat secara langsung merusak sel-sel system pernapasan bawah. Ada beberapa
6
cara mikroorganisme mencapai permukaan:
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria
atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 – 2,0 nm melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug
6
abuse).
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum
6
terbentuknya antibodi.
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang
paling mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru,
ataupun seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di
paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi terisi cairan. Dari jaringan
paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah. Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai penyebab
6
pneumonia.
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas:
1. Stadium Kongesti (4 – 12 jam pertama)
13 | P a g e
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler
dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida
maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
6
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin
yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi
merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli
tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak.
6
Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang
terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit
di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
6
mengalami kongesti.
4. Stadium Akhir (Resolusi)
14 | P a g e
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna
secara enzimatis yang diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk.
Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan cairan dan basah sampai
6
pulih mencapai keadaan normal.
15 | P a g e
serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati.
Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut
5, 6
dapat terjadi asidosis respiratorik.
16 | P a g e
dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biarkan
5,6
yaitu bila ditemukan sel PMN > 25/lpk dan sel epitel < 10/lpk.
II.8 Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme
5,6
dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa.
Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris.
Secara umum pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat
5,6
dilihat sebagai berikut :
II.8.1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
Golongan Penisilin
TMP-SMZ
Makrolid
Aminoglikosid
Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
Tikarsilin, Piperasilin
Karbapenem : Meropenem, Imipenem
Siprofloksasin, Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
Vankomisin
17 | P a g e
Teikoplanin
Linezolid
Hemophilus influenzae
TMP-SMZ
Azitromisin
Sefalosporin gen. 2 atau 3
Fluorokuinolon respirasi
Legionella
Makrolid
Fluorokuinolon
Rifampisin
Doksisiklin
Makrolid
Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
Doksisikin
Makrolid
Fluorokuinolon
18 | P a g e
Kategori II -Usia -S.pneumonia -Sepalospporin -Makrolid
penderita > H.influenzae generasi 2 -Levofloksasin
65 tahun Batang gram(-) -Trimetroprim -Gatifloksasin
- Peny. Aerob +Kotrimoksazol -Moxyfloksasin
Penyerta (+) S.aures -Betalaktam
-Dapat M.catarrhalis
berobat jalan Legionalle sp
19 | P a g e
2) Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat
disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat
5,6
bronkospasme.
3) Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan
napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan
ekspirasi dan pengeluarn CO2. Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan
5,6
pernapasan.
4) Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia,
dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat
pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik,
termasuk pada keadaan gangguan sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk
5,6
maksud mengencerkan dahak tidak diperkenankan.
5) Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi ini
5,6
tidak bermanfaat pada keadaan renjatan septik.
6) Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan
bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal.
7) Ventilasi mekanis, indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada
5,6
pneumonia adalah:
a) Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100% dengan
menggunakaan masker. Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan
penurunan pulmonary compliance hingga tekanan inflasi meninggi.
Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk memperbaiki oksigenisasi
dan menurunkan FiO2 menjadi 50% atau lebih rendah.9
b) Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress, dengan
atau didapat asidosis respiratorik.
c) Respiratory arrest.
d) Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.
5,6
8) Drainase empiema bila ada.
9) Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang
didapatkan terutama dari lemak (>50%), hingga dapat dihindari pembentukan
5,6
CO2 yang berlebihan.
20 | P a g e
III.8.3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan
obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi
biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan ini dapat diberikan
secara sequential (obat sama, potensi sama), switch over (obat berbeda, potensi
sama) dan step down (obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah). Pasien
beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis, dapat menelan obat-obatan, dan memiliki
6
saluran pencernaan berfungsi normal.
6
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah:
1) Temp ≤ 37,8 C, Kesadaran baik
2) Denyut jantung ≤ 100 denyut / menit,
3) Respirasi rate≤ 24 napas / menit
4) Tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg
5) Saturasi O2 arteri ≥ 90% atau pO2 ≥ 60 mmHg pada ruang udara,
6) Kemampuan untuk mengambil asupan oral.
21 | P a g e
5. Pneumonia kronik yang dapat terjadi bila pneumonia berlangsung lebih dari
4-6 minggu akibat kuman anaerob S. aureus, dan kuman Gram (-) seperti
6
Pseudomonas aeruginosa.
6. Bronkiektasis.
Biasanya terjadi karena pneunomia pada masa anak-anak tetapi dapat juga
oleh infeksi berulang di lokasi bronkus distal pada cystic fibrosis atau
6
hipogamaglobulinemia, tuberkulosis, atau pneumonia nekrotikans.
22 | P a g e
BAB III
RADIOLOGI PNEUMONIA
23 | P a g e
Gambar 3.3 Radiografi CT Toraks Normal
Sumber : Parker, MS., et al. 2011
24 | P a g e
Salah satu gambaran khas pneumonia adanya air bronkogram, yakni
terperangkapnya udara dalan bronkus karena tiadanya pertukaran udara pada
8
alveolus. Namun, gambaran ini tidak muncul di semua pneumonia.
25 | P a g e
c. Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil.
Tidak tampak deviasi trachea/septum/fissure/seperti pada atelektasis.
d. Air bronchogram sign adalah bayangan udara yang terdapat di dalam
percabangan bronkus yang dikelilingi oleh bayangan opaq rongga udara
yang akan tampak jelas jika udara tersebut tergantikan oleh cairan/eksudat
akibat proses inflamasi. Pada saat kondisi seperti itulah, maka dikatakan
air bronchogram sign positif (+)
Sumber : Google.com
e. Sillhoute sign adalah suatu tanda adanya dua bayangan benda (objek) yang
berada dalam satu bidang seakan tumpang tindih. Tanda ini bermanfaat
untuk menentukan letak lesi paru; jika batas lesi dengan jantung hilang,
berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius
kanan. Maka akan disebut sebagai sillhoute sign (+).
Sumber : Google.com
26 | P a g e
Berdasarkan letak anatomis dibagi menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris,
pneumonia lobularis (bronchopneumonia) dan pneumonia interstitialis
8,9
(bronkiolitis).
27 | P a g e
Pada posisi PA dan lateral tersebut tampak perselubungan homogen pada
lobus paru kanan tengah dengan tepi yang tegas. Lapangan paru lainnya masih
tampak normal. Cor, sinus,diafragma tidak tampak kelainan. Pnemonia lobaris ini
9
paling sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia.
28 | P a g e
dipastikan pneumonia. Akan tetapi, CT-scan merupakan pilihan yang
direkomendasikan untuk menilai adanya kelainan non spesifik yang tidak di
9
temukan pada foto konvensional.
29 | P a g e
dan akan berkembang menjadi lobular, subsegmental, atau segmental (B).
Selanjutnya proses konsolidasi tersebut bisa terjadi multifocal, tepi tidak rata,
corakan bronkovaskular kasar akibat dinding cabang bronkus menjadi lebih tebal,
namun perselubungan yang terjadi biasanya tidak melebihi batas segmen (C) . A.
Gambaran Foto Thorax Bronkopneumonia
30 | P a g e
Sumber : google.com
Sumber : google.com
31 | P a g e
III.5 Pneumonia Interstisial
Umumnya jenis pneumonia intersisial ini disebabkan oleh virus. Infeksi
dari virus berawal dari permukaan dengan terjadinya kerusakan silia sel goblet dan
kelenjar mukus bronkioli, sehingga dinding bronkioli menjadi edematous. Juga
terjadi edema di jaringan interstisial peribronkial. Kadang-kadang alveolus terisi
cairan edema. Pneumonia interstisial dapat juga dikatakan sebagai pneumonia
fokal/difus, di mana terjadi infiltrasi edema dan sel-sel radang terhadap jaringan
interstisial paru. Septum alveolus berisi infiltrat limfosit, histiosit, sel plasma dan
9
neutrofil. Dapat timbul pleuritis apabila peradangan mengenai pleura viseral.
Pada fase akut tampak gambaran bronchial cuffing, yaitu penebalan dan
edema dinding bronkiolus. Corakan bronkovaskular meningkat, hiperaerasi,
bercak-bercak inifiltrat dan efusi pleura juga dapat ditemukan.
32 | P a g e
Sumber : Lippincott William & Wilkin, 2007
33 | P a g e
konsolidasi yang irreguler tersebut berkembang menjadi bronkiektasis atau
9
bronkiolektasis (tanda panah).
34 | P a g e
Bayangan ground-glass opak yang bilateral simetris terkadang tidak rata
dan menyebar.
35 | P a g e
Sumber : google.com
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto
thorax proyeksi PA.
2. Atelektasis
Atelektasis adalah istilah yang berarti
pengembangan paru yang tidak sempurna
dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada
bagian paru yang terserang tidak
mengandung udara dan kolaps. Memberikan
gambaran yang mirip dengan pneumonia
tanpa air bronchogram. Namun terdapat
penarikan jantung, trakea, dan mediastinum
ke arah yang sakit karena adanya
pengurangan volume interkostal space menjadi lebih sempit dan
pengecilan dari seluruh atau sebagian paru-paru yang sakit. Sehingga akan
6
tampak thorax asimetris.
36 | P a g e
3. Efusi Pleura
37 | P a g e
BAB IV
KESIMPULAN
Pneumonia adalah salah satu penyakit akibat infeksi parenkim paru yang
dapat menyerang segala usia. Pneumonia paling banyak disebabkan oleh infeksi
bakteri Streptococcus pneumonia dengan gejala yang muncul seperti demam,
batuk berdahak, sesak napas, dan terkadang disertai nyeri dada.
Pemeriksaan radiologi, dalam hal ini foto thorax konvensional dan CT
Scan menjadi pemeriksaan yang sangat penting pada pneumonia. Gambaran khas
pada pneumonia adalah adanya konsolidasi dengan adanya gambaran air
bronchogram. Namun tidak semua pneumonia memberikan gambaran khas
tersebut. Untuk menentukan etiologi pneumonia tidak dapat hanya semata-mata
menggunakan foto thorax, melainkan harus dilihat dari riwayat penyakit, dan juga
pemeriksaan laboratorium.
Penatalaksanaan medis pada pneumonia adalah pemberian antibiotik yang
sesuai dengan kuman penyebab pneumonia disamping terapi supportif lainnya.
Prognosis pneumonia secara umum baik jika mendapat terapi antibiotik yang
adekuat, faktor predisposisi pasien dan ada tidaknya komplikasi yang menyertai.
38 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
1. UNICEF, 2018. Pneumonia claims the lives of the world’s most vulnerable
children . https://data.unicef.org/topic/child-health/pneumonia/
2. IDAI, 2016. Memperingati Hari Pneumonia Dunia.
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/memperingati-hari-
pneumonia-dunia
3. Drake, Vogl, and Mitchell, 2014. GRAY Dasar-Dasar Anatomi. Elsevier:
US
4. Guyton, C A, Hall, John E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed. 12.
EGC: Jakarta.
5. Said, M., 2010. Pneumonia, Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi I Cetakan
2. IDAI: Jakarta.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2014 Pneumonia Komuniti. PDPI:
Jakarta.
7. Parker, MS., et al., 2011. Teaching Atlas of Chest Imaging. Thieme:
Virginia.
8. Bossart, P., 2012. Pneumonia in The ED. University of Michigan: US.
9. Muller, NL., Franquet, T, Lee, KS., 2007. Imaging of Pulmonary Infection.
Lippincott William & Wilkin: Philadelphia.
39 | P a g e