Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN PNEUMONIA-COVID 19

Sisca Yunita Eka F. (1806270141)


Mahasiswa Profesi Ekstensi Ilmu Keperawatan
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*Email: siscayef@gmail.com

1. Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Menurut Sherwood (2016) sistem respirasi mencakup saluran napas yang menuju
paru, paru itu sendiri, dan struktur,struktur thoraks (dada) yang berperan menyebabkan
aliran udara masuk dan keluar paru melalui saluran napas. Saluran napas adalah tabung
atau pipa yang mengangkut udara antara atmosfer dan kantung udara (alveolus),
alveolus merupakan satu-satunya tempat pertukaran gas antara udara dan darah. Saluran
napas berawal dari saluran nasal (hidung). Saluran hidung membuka ke dalam faring
(tenggorokan), yang berfungsi sebagai saluran bersama untuk sistem pernapasan dan
pencernaan. Terdapat dua saluran yang berasal dari faring, yaitu: trakea, yang dilalui
oleh udara untuk menuju paru, dan esofagus, yang dilalui oleh makanan untuk menuju
lambung.

Menurut Martini, Nath, & Bartholomew (2012)


trakea yang terbagi menjadi 2 pada batas
superior dari thoracic vertebra ke 5. Bronkus
berfungsi sebagai saluran udara yang
menyalurkan udara yang terinspirasi ke paru
paru. Bronki primer dan cabangnya membentuk
pohon bronkial. Lokasi bronki primer kiri dan
kanan berada di luar paru-paru, keduanya
disebut bronkus ekstrapulmoner. Sebagai
bronki utama memasuki paru-paru, mereka
membagi untuk membentuk jalur yang lebih
kecil. Cabang-cabang di dalam paru-paru
secara kolektif disebut bronki intrapulmoner.
Setiap bronkus primer membelah untuk
membentuk bronkus sekunder, juga dikenal
sebagai bronki lobar. Di setiap paru-paru, satu bronkus sekunder masuk ke setiap lobus,
paru-paru kanan memiliki tiga bronkus sekunder, dan paru-paru kiri memiliki dua. Di
setiap paru-paru, cabang bronki sekunder membentuk bronkus tersier, atau bronki
segmental. Pola percabangan berbeda antara dua paru-paru, namun masing-masing
bronkus tersier pada akhirnya memasok udara ke satu segmen bronkopulmoner tunggal,
wilayah spesifik satu paru. Paru kanan memiliki 10 segmen bronkopulmoner. Selama
perkembangannya, paru-paru kiri juga memiliki 10 segmen, karena posisinya yang
saling berdekatan brokus tersier menjadi menyatu, sehingga jumlahnya menjadi delapan
atau sembilan.

Dinding bronkus primer, sekunder, dan tersier mengandung tulang rawan yang
secara progresif kurang. Pada bronki sekunder dan tersier, kartilago membentuk pelat
yang disusun di sekitar lumen. Kartilago ini melayani tujuan struktural yang sama
seperti cincin tulang rawan di trakea dan bronkus primer. Seiring jumlah tulang rawan
menurun, jumlah otot polos meningkat. Dengan dukungan kurang kartilagin, jumlah
ketegangan pada otot polos memiliki efek yang lebih besar pada diameter bronkial dan
ketahanan terhadap aliran udara. Sekitar 6500 terminal bronkiolus timbul dari masing-
masing bronkus tersier. Lumen masing-masing bronchiole terminal memiliki diameter
0,3 0,5 mm. Dinding bronchioles kekurangan tulang rawan namun didominasi oleh
jaringan otot polos.

Perubahan diameter bronkiolus mengendalikan ketahanan terhadap aliran udara


dan distribusi udara di paru-paru. Sistem saraf otonom mengontrol diameter bronkiolus.
Hal itu dilakukan dengan mengatur aktivitas di lapisan otot polos. Aktivasi simpatik
menyebabkan bronkodilatasi, pembesaran diameter jalan nafas. Stimulasi parasimpatik
menyebabkan bronkokonstriksi, pengurangan diameter jalan nafas. Bronkokonstriksi
juga terjadi selama reaksi alergi seperti anafilaksis, sebagai respons terhadap histamin
yang dilepaskan oleh sel mast yang diaktivasi dan basophil

Pulmo terletak pada rongga dada dan tepatnya di atas diafragma yang
merupakan sekat yang membatasi rongga dada dan rongga perut. Pulmo mempunyai
selaput elastis yang menyelubunginya yang disebut dengan pleura. Paru – paru
mempunyai dua terdiri dari dua bagian yaitu kanan dan kiri. Paru-paru kiri ini lebih
rentan terserang penyakit karena hanya memiliki dua gelambir saja, sedangkan paru-
paru kanan terdiri dari tiga gelambir. Pulmo merupakan tempat terdapatnya bronkus dan
bronkiolus. Bronkiolus terhubung ke alveoli individu dan beberapa alveoli di sepanjang
daerah yang disebut saluran alveolar. Saluran alveolar berakhir pada kantung alveolar,
umumnya setiap yang terhubung dengan alveoli individu. Setiap paru mengandung
sekitar 150 juta alveoli.

Alveoli merupakan jaringan epitel alveolar terutama terdiri dari epitel skuamosa
sederhana. Sel epitel skuamosa, yang disebut pneumosit tipe I, sangat tipis dan
merupakan lokasi difusi gas. Alveolar akrofag melakukan fagositosis terhadap partikel
yang lolos dari pertahanan lain. Pneumocytes tipe II yang besar, juga disebut sel
septum, tersebar di antara sel skuamosa. Pneumocytes type II yang menghasilkan
surfaktan berupa sekresi berminyak yang mengandung fosfolipid dan protein. Mereka
mensekresikan surfaktan ke permukaan alveolar, di mana ia membentuk lapisan
superfisial di atas lapisan tipis air. Surfaktan memainkan peran kunci dalam menjaga
alveoli terbuka. Ini mengurangi tegangan permukaan pada lapisan cairan permukaan
alveolar. Pada membran pernafasan, jarak yang sangat pendek memisahkan udara
alveolar dari darah. Jarak total bisa sesedikit 0,1 m, tapi rata-rata sekitar 0,5 m. Difusi
berlangsung dengan sangat cepat melintasi membran respirasi karena jaraknya pendek
dan oksigen dan karbon dioksida kecil, molekul larut dalam lemak. Selaput plasma sel
epitel dan endotel tidak mencegah oksigen dan karbon dioksida berpindah antara darah
dan udara alveolar.
2. Definisi dan Etiologi Pneumonia Covid 19

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan bagian bawah pada jaringan paru
tepatnya parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme [ CITATION Bla09 \l 1057 ].
Pneumonia adalah kondisi yang disebabkan oleh proses patologis yang kompleks yang
menyebabkan edema cairan di paru-paru dan proliferasi sel-sel inflamatori di alveolus
sebagai respon adanya mikroorganisme di parenkim paru yang steril [ CITATION Ala16 \l
1057 ]. Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm. Virus ini
utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah kelelawar dan unta.

Sebelum terjadinya wabah COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat


menginfeksi manusia, yaitu alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus NL63,
betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1, Severe Acute Respiratory Illness
Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus
(MERS-CoV) (Riedel, et al, 2019). Atas dasar ini, International Committee on
Taxonomy of Viruses mengajukan nama SARS-CoV-2. Hasil analisis filogenetik
menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus
yang menyebabkan wabah Severe Acute Respiratory Illness (SARS) pada 2002-2004
silam, yaitu Sarbecovirus (Zu, et al, 2020).

3. Tanda dan Gejala Penyakit COVID-19

Transmisi SARS-CoV-2 dari pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang


keluar saat batuk atau bersin. Selain itu, telah diteliti bahwa SARS-CoV-2 dapat viabel
pada aerosol (dihasilkan melalui nebulizer) selama setidaknya 3 jam. Gejala Covid-19
sangat bervariasi diantara individu, mulai dari infeksi tanpa gejala hingga gagal napas
yang berat (Pascarella, et al., 2020). Gejala yang biasa ditemukan pada covid 19 adalah
demam, batuk, kelelahan, sesak ringan, sakit tenggorokan, sakit kepala, konjungtivitis.
Oleh karena itu, sulit membedakan gejala infeksi Covid 19 dari penyakit pernapasan
lainnya. Sejumlah kasus lainnya melaporkan adanya keterlibatan gangguan sistem
pencernaan seperti diare, mual, dan muntah (Pascarella, et al., 2020).
4. Patofisiologi

Pada manusia, SARS-CoV-2 terutama menginfeksi sel-sel pada saluran napas


yang melapisi alveoli. SARS-CoV-2 akan berikatan dengan reseptor-reseptor dan
membuat jalan masuk ke dalam sel. Glikoprotein yang terdapat pada envelope spike
virus akan berikatan dengan reseptor selular berupa ACE2 pada SARS-CoV-2. Di
dalam sel, SARS-CoV-2 melakukan duplikasi materi genetik dan mensintesis protein-
protein yang dibutuhkan, kemudian membentuk virion baru yang muncul di permukaan
sel pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus masuk ke dalam sel, genom RNA virus akan
dikeluarkan ke sitoplasma sel dan ditranslasikan menjadi dua poliprotein dan protein
struktural. Selanjutnya, genom virus akan mulai untuk bereplikasi. Glikoprotein pada
selubung virus yang baru terbentuk masuk ke dalam membran retikulum endoplasma
atau Golgi sel. Terjadi pembentukan nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA dan
protein nukleokapsid. Partikel virus akan tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan
Golgi sel. Pada tahap akhir, vesikel yang mengandung partikel virus akan bergabung
dengan membran plasma untuk melepaskan komponen virus yang baru. Respons imun
yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 juga belum sepenuhnya dapat dipahami, namun
dapat dipelajari dari mekanisme yang ditemukan pada SARS-CoV dan MERS-CoV.
Ketika virus masuk ke dalam sel, antigen virus akan dipresentasikan ke antigen
presentation cells (APC). Presentasi antigen virus terutama bergantung pada molekul
major histocompatibility complex (MHC) kelas I. Namun, MHC kelas II juga turut
berkontribusi. Presentasi antigen selanjutnya menstimulasi respons imunitas humoral
dan selular tubuh yang dimediasi oleh sel T dan sel B yang spesifik terhadap virus. Pada
respons imun humoral terbentuk IgM dan IgG terhadap SARS-CoV. IgM terhadap
SAR-CoV hilang pada akhir minggu ke-12 dan IgG dapat bertahan jangka panjang.
Hasil penelitian terhadap pasien yang telah sembuh dari SARS menujukkan setelah 4
tahun dapat ditemukan sel T CD4+ dan CD8+ memori yang spesifik terhadap SARS-
CoV, tetapi jumlahnya menurun secara bertahap tanpa adanya antigen. Virus memiliki
mekanisme untuk menghindari respons imun pejamu. SARS-CoV dapat menginduksi
produksi vesikel membran ganda yang tidak memiliki pattern recognition receptors
(PRRs) dan bereplikasi dalam vesikel tersebut sehingga tidak dapat dikenali oleh
pejamu.

Respons Imun pada Pejamu pada COVID-19 dengan Klinis Ringan

Respons imun yang terjadi pada pasien dengan manifestasi COVID-19 yang
tidak berat tergambar dari sebuah laporan kasus di Australia. Pada pasien tersebut
didapatkan peningkatan sel T CD38+HLA-DR+ (sel T teraktivasi), terutama sel T CD8
pada hari ke 7-9. Selain itu didapatkan peningkatan antibody secreting cells (ASCs) dan
sel T helper folikuler di darah pada hari ke-7, tiga hari sebelum resolusi gejala.
Peningkatan IgM/IgG SARS-CoV-2 secara progresif juga ditemukan dari hari ke-7
hingga hari ke-20.

Perubahan imunologi tersebut bertahan hingga 7 hari setelah gejala beresolusi.


Ditemukan pula penurunan monosit CD16+CD14+ dibandingkan kontrol sehat. Sel
natural killer (NK) HLA-DR+CD3-CD56+ yang teraktivasi dan monocyte
chemoattractant protein-1 (MCP-1; CCL2) juga ditemukan menurun, namun kadarnya
sama dengan kontrol sehat. Pada pasien dengan manifestasi COVID-19 yang tidak berat
ini tidak ditemukan peningkatan kemokin dan sitokin proinflamasi, meskipun pada saat
bergejala (Thevarajan, et al, 2020).

Respons Imun pada Pejamu pada COVID-19 dengan Klinis Berat

Perbedaan profil imunologi antara kasus COVID-19 ringan dengan berat bisa
dilihat dari suatu penelitian di China. Penelitian tersebut mendapatkan hitung limfosit
yang lebih rendah, leukosit dan rasio neutrofil-limfosit yang lebih tinggi, serta
persentase monosit, eosinofil, dan basofil yang lebih rendah pada kasus COVID-19
yang berat. Sitokin proinflamasi yaitu TNF-α, IL-1 dan IL-6 serta IL-8 dan penanda
infeksi seperti prokalsitonin, ferritin dan C-reactive protein juga didapatkan lebih tinggi
pada kasus dengan klinis berat. Sel T helper, T supresor, dan T regulator ditemukan
menurun pada pasien COVID-19 dengan kadar T helper dan T regulator yang lebih
rendah pada kasus berat (Xu Z, et al, 2020).

Laporan kasus lain pada pasien COVID-19 dengan ARDS juga menunjukkan
penurunan limfosit T CD4 dan CD8. Limfosit CD4 dan CD8 tersebut berada dalam
status hiperaktivasi yang ditandai dengan tingginya proporsi fraksi HLA-DR+CD38+.
Limfosit T CD8 didapatkan mengandung granula sitotoksik dalam konsentrasi tinggi
(31,6% positif perforin, 64,2% positif granulisin, dan 30,5% positif granulisin dan
perforin). Selain itu ditemukan pula peningkatan konsentrasi Th17 CCR6+ yang
proinflamasi. ARDS merupakan penyebab utama kematian pada pasien COVID-19.
Penyebab terjadinya ARDS pada infeksi SARS-CoV-2 adalah badai sitokin, yaitu
respons inflamasi sistemik yang tidak terkontrol akibat pelepasan sitokin proinflamasi
dalam jumlah besar (Xu Z, et al, 2020).
5. Komplikasi

Menurut Kang, & Xu (2020) infeksi virus SARS-Cov-2 dapat menyebabkan


berbagai kegagalan organ-organ tubuh. Gambar berikut dapat menjelaskan kondisi yang
mungkin terjadi pada penderita Covid 19.

Gambar 3. Komplikasi Covid 19


Sumber: Kang, Y., & Xu, S. (2020). Comprehensive overview of COVID‐19
based on current evidence. Dermatologic Therapy. doi:10.1111/dth.13525

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lain seperti hematologi rutin, hitung jenis, fungsi
ginjal, elektrolit, analisis gas darah, hemostasis, laktat, dan prokalsitonin (Zu, et
al, 2020).
b. Pencitraan
Modalitas pencitraan utama yang menjadi pilihan adalah foto toraks dan
Computed Tomography Scan (CTscan) toraks. Pada foto toraks dapat ditemukan
gambaran seperti opasifikasi ground-glass, infiltrat, penebalan peribronkial,
konsolidasi fokal, efusi pleura, dan atelectasis (Zu, et al, 2020).

c. Pemeriksaan Diagnostik SARS-CoV-2


 Pemeriksaan Antigen-Antibodi
 Pemeriksaan Virologi
 Pengambilan specimen
7. Tatalaksana Covid 19
Saat ini belum tersedia rekomendasi tata laksana khusus pasien COVID-
19, termasuk antivirus atau vaksin. Tata laksana yang dapat dilakukan adalah
terapi simtomatik dan oksigen. Pada pasien gagal napas dapat dilakukan
ventilasi mekanik (Cascella, et al, 2020). National Health Commission (NHC)
China telah meneliti beberapa obat yang berpotensi mengatasi infeksi SARS-
CoV-2, antara lain interferon alfa (IFN-α), lopinavir/ritonavir (LPV/r), ribavirin
(RBV), klorokuin fosfat (CLQ/CQ), remdesvir dan umifenovir (arbidol).
a. Manajemen Simtomatik dan Suportif
 Oksigen
 Antibiotic
 Kortikosteroid
 Vitamin C
 Ibuprofen
 Profilaksis tromboemboli vena
 Plasma konvalesen
 Imunoterapi
b. Manajemen Pasien COVID-19 yang Kritis
 Terapi cairan konservatif
 Resusitasi cairan dengan kristaloid
 Norepinefrin sebagai lini pertama agen vasoaktif pada COVID-19
dengan syok
 Antibiotik spektrum luas sedini mungkin pada dugaan koinfeksi
bakteri sampai ditemukan bakteri spesifik;
 Pilihan utama obat demam adalah acetaminophen
 Penggunaan imunoglobulin intravena (IVIg) dan plasma konvalesen
COVID-19 telah dilaporkan, tetapi belum direkomendasikan rutin
 Mobilisasi pasien setiap 2 jam untuk mencegah ulkus decubitus
 Berikan nutrisi enteral dalam 24-48 jam pertama

8. Pengkajian Keperawatan
Berikut ini merupakan beberapa hal yang perlu dikaji:
a. Riwayat penyakit
Demam, batuk, pilek, anoreksia, badan lemah/tidak bergairah,
riwayat  penyakit pernapasan, pengobatan yang dilakukan di rumah dan
penyakit yang menyertai.
b. Tanda fisik
Demam, dyspneu, tachipneu, menggunakan otot pernafasan tambahan, faring
hiperemis, pembesaran tonsil, sakit menelan.
c. Faktor perkembangan:
Tingkat perkembangan, kebiasaan sehari-hari, mekanisme koping,
kemampuan mengerti tindakan yang dilakukan.
d. Pengetahuan pasien/ keluarga
Pengalaman terkena penyakit pernafasan, pengetahuan tentang penyakit
pernafasan dan tindakan yang dilakukan
e. Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan kelainan sebelum hal ini dapat
ditemukan secara pemeriksaan fisik. Pada bronchopneumonia bercak –
bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Pada pneumonia
lobaris terlihat adanya konsosolidasi pada satu atau beberapa lobus. Pada
pneumonia lobaris terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.
Foto rongent dapat juga menunjukkan adanya komplikasi pada satu atau
beberapa lobus. Foto rongent dapat juga menunjukkan adanya komplikasi
seperti pleuritis, abses paru, perikarditis dll.
f. Pemeriksaan laboratorium

Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 –


40.000/mm3dengan pergeseran ke kiri. Kuman penyebab dapat dibiakkan
dari usapan tenggorokan dan 30% dari darah. Urine biasanya berwarna lebih
tua, mungkin terdapat albuminuria ringan karena suhu yang naik dan sedikit
torak hialin.

9. Masalah Keperawatan dan Diagnosa yang Mungkin Muncul (Doengoes,


2010)
a. Bersihan jalan napas tidak efektif kemungkinan b.d inflamasi
trakeabranchial, pembentukan edema, peningkatan produksi sputum
b. Gangguan pertukaran gas kemungkinan b.d perubahan membran alveolar-
kapiler
c. Hipertermi kemungkinan b.d. proses infeksi
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan kemungkinan
b.d.peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses
infeksi
e. Resiko kekurangan volume cairan kemungkinan b.d. intake cairan oral tidak
adekuat, kehilangan cairan aktif
f. Intoleransi aktifitas kemungkinan b.d. ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen, kelemahan umum.

10. Rencana Asuhan Keperawatan

1. Bersihan jalan napas tidak efektif  kemungkinan b.d inflamasi trakeabranchial,


pembentukan edema, peningkatan produksi sputum

Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


Setelah dilakukan tindakan diharapkan Mandiri
pasien memiliki kembali kepatenan 1.Monitor dan auskultasi area paru,
saluran pernapasan, dengan kriteri catat area penurunan/tak ada aliran
hasil: udara dan bunyi nafas, misalnya :
 RR batas normal 20 x/menit krekels, mengi.
2.Bantu pasien latihan nafas sering.
 Sesak (-) Tunjukkan / bantu pasien
 Jalan napas aten dengan bunyi mempelajari melakukan batuk, misal
napas bersih menekan dada dan batuk efektif
sementara posisi duduk tinggi.
 Batuk (-)
3.Anjurkan pada keluarga untuk
 Pasien dapat mengeluarkan sputum memberi pasien cairan hangat
sedikitnya 2500 ml ml/hari ( kecuali
kontraindikasi ).
Kolaborasi
1. Suction sesuai indikasi
2. Berikan obat sesuai indikasi,
mukoliti, ekspentoran, bronchodilator
& analgesik 

2. Gangguan pertukaran gas kemungkinan b.d perubahan membran alveolar-kapiler

Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


Setelah dilakukan tindakan diharapkan Mandiri
ventilasi dan oksigenasi klien 1. Kaji frekuensi, kedalaman dan
mengalami perbaikan, ditandai dengan kemudahan bernafas.
criteria hasil 2. Observasi warna kulit, membran
 AGD dalam rentang normal mukosa dan kuku, catat adanya
 Tak ada gejala distress pernafasan sianosis perifer ( kuku ) atau
 Warna kulit tidak pucat. sianosis sentral.
3. Awasi suhu tubuh sesuai indikasi
4. Beri posisi yang nyaman misal
semifowler atau fowler.
Kolaborasi
1.Berikan terapi oksigen sesuai terapi
dari dokter.

3. Intoleransi aktifitas kemungkinan b.d. ketidakseimbangan antara suplai dan


kebutuhan oksigen, kelemahan umum.

Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


Melaporkan / menunjukkan Mandiri
peningkatan toleransi terhadap 1.Monitor respons pasien terhadap
aktivitas, ditandai dengan: aktivitas.
 Dispnea (-) 2.Berikan lingkungan tenang dan batasi
 TTV normal pengunjung selama fase akut sesuai
indikasi.
3.Jelaskan pentingnya istirahat dalam
rencana pengobatan dan perlunya
keseimbangan aktivitas dan istirahat.
4.Bantu pasien memilih posisi nyaman
untuk istirahat dan / atau tidur
Kolaborasi
1.Kolaborasi dengan fisioterapi jika
perlu.

Daftar Referensi

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Medical surgical nursing clinical management for positive
outcomes. 9th Edition. St. Louis Missouri: Elsevier Saunders.

Cascella M, Rajnik M, Cuomo A, Dulebohn SC, Di Napoli R. Features. 2020. Evaluation and
Treatment Coronavirus (COVID-19). StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing
Fein, A., Grossman, R., & Ost, D. (2016). Diagnosis and management of pneumonia and other
respiratory infections. USA: Professional Communication

Pascarella, G., Strumia, A., Piliego, C., Bruno, F., Del Buono, R., Costa, F., … Agrò, F. E.
(2020). COVID‐19 diagnosis and management: a comprehensive review. Journal of
Internal Medicine. doi:10.1111/joim.13091 
Riedel S, Morse S, Mietzner T, Miller S. Jawetz, Melnick, & Adelberg. 2019. Medical
Microbiology. 28th ed. New York: McGrawHill Education/Medical. p.617-22

Sherwood, L. (2016). Human Physiology: From Cells to Systems. Ninth Edition. USA: Nelson
education, Ltd Brooks/cole Cengage Learning.Martini, F.H., Nath, J. L., Bartholomew, E.F.
(2012). Fundamental of Anatomy & Physiology, Ninth Edition. USA: Pearson Education,
Inc.
Thevarajan I, Nguyen THO, Koutsakos M, Druce J, Caly L, van de Sandt CE,.2020. Breadth of
concomitant immune responses prior to patient recovery: a case report of non-severe
COVID-19. Nat Med. DOI: 10.1038/s41591- 020-0819-2
Xu Z, Shi L, Wang Y, Zhang J, Huang L, Zhang C. 2020. Pathological findings of COVID-19
associated with acute respiratory distress syndrome. Lancet Respir Med. DOI:
10.1016/S2213-2600(20)30076-X
Zu, Z. Y., Jiang, M. D., Xu, P. P., Chen, W., Ni, Q. Q., Lu, G. M., & Zhang, L. J. (2020).
Coronavirus disease 2019 (COVID-19): a perspective from China. Radiology, 200490.

Anda mungkin juga menyukai