Anda di halaman 1dari 21

III.

RENTANG SEHAT- SAKIT JIWA


A. Konsep Sehat Jiwa
a. Pengertian Sehat Jiwa

Stuart (2016) menjelaskan kesehatan jiwa adalah suatu keadaan sejahtera dikaitkan dengan
kebahagiaan, kegembiraan, kepuasan, pencapaian, optimisme, atau harapan. Beberapa pendapat
menyatakan bahwa kesehatan jiwa bukanlah konsep yang sederhana atau hanya tentang satu dan
aspek dari perilaku. Sebaliknya, kesehatan jiwa melibatkan sejumlah kriteria yang terdapat
dalam suatu rentang.

Menurut UU RI No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, kesehatan jiwa adalah kondisi
dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga
individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.

Sedangkan menurut Rerbraca(2012) kesehatan jiwa merupakan keadaan positif dimana


seseorang bertanggung jawab, menunjukkan kesadaran diri, mengarahkan diri sendiri, cukup
khawatir, dan dapat mengatasi ketegangan harian yang biasa dilewati. Individu seperti ini akan
berfungsi dengan baik dalam masyarakat diterima dalam suatu kelompok, dan umumnya puas
dengan kehidupan mereka. Jadi seorang individu dikatakan sehat jiwa ketika ia berada pada
kondisi optimal dimana ia dapat menghadapi dan bertanggung jawab pada kehidupan yang dia
jalani dengan keadaan sejahtera serta dapat diterima di lingkungan dimana ia tinggal.

b. Faktor Yang Mempengaruhi Status Kesehatan Jiwa

Ada tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan status kesehatan jiwa, yaitu karakteristik
genetik, pemeliharaan selama masa anak-anak, dan keadaan lingkungan sekitar.

1. Karakteristik genetik

Menurut Dr. Insel, Direktur Institut Kesehatan Mental Nasional di Bethesda, Maryland, sebagian
karakteristik genetik didasarkan pada ada tidaknya faktor risiko genetik yang kompleks dan
defisit neurologis yang mendasari gangguan kejiwaan. Dia percaya bahwa genetika dan
genomik, dua jenis penelitian gen, akan memberikan wawasan lebih lanjut tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan kesehatan mental. Sebagai contoh, cacat genetik yang
menghasilkan perbedaan bawaan dalam sensitivitas dan temperamen yang mendorong berbagai
respons terhadap lingkungan dapat mempengaruhi seseorang terhadap gangguan kognitif,
skizofrenia, atau gangguan bipolar.

2. Pola asuh selama masa kecil

Pola asuh antara keluarga dan anak juga akan mempengaruhi perkembangan kesehatan jiwa.
Pola asuh positif dimulai saat anak di melahirkan atau bahkan dalam masa kehamilan dan
termasuk perkembangan rasa cinta, keamanan, dan penerimaan. Anak akan mengalami interaksi
positif dengan orang tua dan saudara kandung. Sedangkan pola asuh negatif seperti keadaan
kehilangan ibu, perceraian orang tua, persaingan saudara kandung, dan kegagalan komunikasi
awal. Seorang individu yang terpapar pada pengasuhan yang buruk dapat berkembang menjadi
harga diri rendah atau akan memiliki keterampilan komunikasi yang buruk.
3. Keadaan Lingkungan Sekitar
Lingkungan sekitar mempengaruhi kesehatan mental seorang individu. Jika pada kondisi
lingkungan yang positif, umumnya akan aman secara emosional dan akan sukses di sekolah serta
mampu membangun hubungan interpersonal yang sehat. Namun jika pada lingkungan yang
negatif, seperti kemiskinan, kesehatan fisik yang buruk, pengangguran, pelecehan, pengabaian,
dan kehilangan anak yang belum terselesaikan.
c. Indikator Sehat Jiwa

Menurut WHO (World Health Organization, 2008) ciri-ciri sehat jiwa yaitu:

1. Sikap positif kepada diri sendiri

Individu menerima dengan baik dirinya sendiri secara utuh dan menyadari kelebihan dan
kekurangan dirinya sendiri.

2. Tumbuh kembang dan beraktualisasi diri

Individu yang mengalami perubahan dalam tahap tumbuh kembang dan dapat mengapresikan
potensi atau bakat yang ada dalam dirinya.

3. Integrasi
Individu menyadari bahwa yang ada dalam dirinya adalah satu kesatuan utuh dan mampu
bertahan terhadap stress dan dapat mengatasi kecemasan yang ada.

4. Persepsi sesuai dengan kenyataan

Individu memamhami terhadap stimulus eksternal sesuai dengan kenyataan yang ada, persepsi
individu dapat berubah terhadap informasi memiliki empati terhadap orang lain.

5. Otonomi

Individu bisa mengambil keputusan dengan bertanggung jawab dan mampu mengatur kebutuhan
yang menyangkut dirinya tanpa bergantung terhadap orang lairn

Seorang individu yang telah mencapai aktualisasi diri akan menampilkan perilaku yang
konsisten karena mereka akan menghargai dan menghormati hak oranglain. Mereka juga akan
menunjukkan kesediaan untuk mendengarkan dan belajar dari orang lain. Serta menunjukkan
sikap menghormati atas keunikan dan perbedaan lainnya.

Faktor yang mempengaruhi setiap individu dalam upaya memelihara kesehatan jiwa, yaitu
komunikasi interpersonal, mekanisme pertahanan diri, dan orang-pendukung. Akan di jelaskan
masing masing faktor tersebut.

1. Komunikasi Interpersonal

Komunikasi yang mempengaruhi pertumbuhan antar pribadi, yaitu percakapan klise, pelaporan
fakta, mengungkapkan ide dan penilaian, spontan dan komunikasi yang terbuka dan jujur.

2. Mekanisme pertahanan ego.

Mekanisme ini dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik mental, mengurangi rasa cemas
atau rasa takut, melindungi harga diri seseorang, melindungi rasa aman seorang individu.
Mekanisme ini bisa menjadi terapi atau patologis karena semua mekanisme pertahanan
merupakan distorsi realitas.

3. Orang pendukung.
Walaupun setiap individu sudah memiliki komunikasi interpersonal yang baik dan mekanisme
pertahanan ego yang baik, tetapi setiap individu juga memerlukan seseorang pendukung untuk
mendukung selama masa stres atau cemas. Contohnya, seorang wanita dalam masa persalinan
merupakan proses biologis normal, tapi kebanyakan wanita membutuhkan kehadiran atau
dukungan dari orang lain untuk membantu kecemasan selama proses persalinan.

d. Pemeriksaan Status Kesehatan Jiwa.

Pemeriksaan status kesehatan jiwa adalah suatu evaluasi dari kondisi terkini klien. Isi
pemeriksaannya terdiri dari 15 pemeriksaan. Dimulai penampilan, cara bicara, kegiatan motorik,
interaksi selama wawancara, suasana hati, afek, persepsi, isi pikiran, proses pikir, tinhkat
kesadaran, daya ingat, konsentrasi dan kalkulasi, informasi dan kecerdasan, penetapan
keputusan, dan penghargaan.

Ada saatnya seorang individu merasa tidak senang saat dilakuakn pemeriksaan kesehatan jiwa.
Oleh karena itu dalam hal ini seorang perawat bisa menggunakan mini status kesehatan jiwa.
Pemeriksaan terdiri dari 11 pertanyaan dan hanya memerlukan 5-10 menit untuk melakukannya.
Ini hanya berfokus pada aspek kognitif fungsi kesehatan jiwa dan mengabaikan pertanyaan
tentang suasana hati, pengalaman psikologis yang tidak normal, dan isi/proses pikir.

e. Strategi untuk Menjaga Kesehatan Jiwa

Program manajemen stres adalah salah satu cara untuk menjaga kesehatan jiwa. Beberapa contoh
strategi seorang individu untuk mengurangi stress dan meningkatkan kesejahteraan yaitu: latihan
aerobik, aromatherapi, relaksasi, seni beladiri, pijat, berjalan, meditasi, yoga, hipnotis diri.

B. Konsep Sakit Jiwa


a. Pengertian Sakit Jiwa

Sakit jiwa adalah gangguan psikologis atau prilaku yang mengubah pemikiran, mood dan
kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari dan berhubungan dengan orang lain (Keogh, 2015).
Sedangkan menurut PPDGJI III gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku seseorang yang
secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau penurunan (impairment) di
dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku,
biologik, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga
dengan masyarakat (Yusuf, Fitriyasari & Nihayati, 2015). Sedangkan menurut Struart pada tahun
2015, Penyakit jiwa adalah pola perilaku atau psikologis yang ditunjukkan oleh seorang individu
yang menyebabkan kesulitan yang signifikan, gangguan fungsi, dan penurunan kualitas hidup.
Itu mencerminkan disfungsi psikobiologis yang mendasarinya dan bukan hasil dari
penyimpangan sosial atau konflik dengan masyarakat.

b. Faktor penyebab terjadinya penyakit jiwa

Merujuk pada konsep model adaptasi stress dari Stuart, menyebutkan bahwa ada 2 faktor
penyebab terjadinya penyakit jiwa yaitu, faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor yang
pertama, faktor predisposisi adalah faktor yang mencakup tentang resiko dan proteksi yang
mempengaruhi seseorang dalam mengatasi stressor. Yang termasuk faktor predisposisi adalah
unsur biologis, psikologis dan social budaya. Unsur biologis meliputi : genetik, status nutrisi,
sensitivitas biologis, status kesehatan dan paparan toksin. Sedangkan unsur psikologis meliputi
kecerdasan, moralitas, kepribadian, pengalaman masa lampau, konsep diri, dan motivasi. Dan
unsure social budaya termasuk umur, jenis klamin, pendidikan, pendapatan, kedudukan, latar
budaya, kepercayaan, pilihan politik, dan pengalaman bersosialisasi. Faktor yang kedua, faktor
presipitasi adalah rangsangan yang menantang, mengancam, atau menuntut individu. Faktor ini
membuat keadaan yang membutuhkan kelebihan energi dan menghasilkan keadaan tegang dan
stres (Stuart, 2015).

c. Pengklasififikasian Penyakit Jiwa

Sistem pengklasifikasikan penyakit jiwa telah mengalami penyempurnaan-penyempurnaan. Pada


umumnya ada 3 jenis pengklasifikasian yaitu menurut WHO dengan International Classification
of Disease (ICD), asosiasi dokter psikiatri Amerika juga telah mengembangkan sistem klasifikasi
berdasarkan diagnosis dan manual statistik dari gangguan jiwa (Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder—DSM) dan Indonesia menggunakan pedoman penggolongan dan
diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ), yang saat ini telah sampai pada PPDGJ III. Pedoman
penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia (PPDGJ) pada awalnya disusun
berdasarkan berbagai klasifikasi pada DSM, tetapi pada PPDGJ III ini disusun berdasarkan ICD
X. Secara singkat, klasifikasi PPDGJ III meliputi hal berikut.
1. F00 – F09 : gangguan mental organik (termasuk gangguan mental simtomatik).
2. F10 – F19 : gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif.
3. F20 – F29 : skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan waham.
4. F30 – F39 : gangguan suasana perasaan (mood/afektif).
5. F40 – F48 : gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan terkait stres.
6. F50 – F59 : sindroma perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik.
7. F60 – F69 : gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa.
8. F70 – F79 : retardasi mental.
9. F80 – F89 : gangguan perkembangan psikologis.
10. F90 – F98 : gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada anak dan remaja.
Stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Indonesia sangat tinggi yang
merupakan manifestasi dari perilaku negatif yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, tenaga
kesehatan, institusi kesehatan, lembaga lembaga pemerintah maupun swasta. Di Indonesia,
stigma dan stigmatisasi terjadi di kalangan masyarakat umum dan bahkan diantara para
profesional kesehatan. Penderita gangguan jiwa seringkali mendapat stigma dari lingkungan
sekitarnya. Stigma tersebut melekat pada penderita gangguan jiwa itu sendiri maupun
keluarganya. Stigmatisasi adalah suatu proses sosial ketika seseorang yang terpinggirkan telah
diberi label sebagai orang yang abnormal atau sesuatu yang memalukan. Kata 'stigma' berasal
dari bahasa Yunani kuno, yang barati adanya jarak sosial dimana orang lain tidak mau bergaul
dengan orang yang menderita gangguan jiwa. Orang yang menderita gangguan jiwa mengalami
diskriminasi, sterotif, label dalam kehidupan mereka. Stigma merupakan label negatif yang
melekat pada tubuh seseorang yang diberikan oleh masyarakat dan dipengaruhi oleh lingkungan
dan merupakan salah satu faktor penghambat dalam penyembuhan klien gangguan jiwa.

C. Respon Neurobiologis, Gangguan Skizofrenia, & Psikotik.


a. Respon Neurobiologis
Rentang repons neurobiologis mencakup rangkaian dari respons adaptif, seperti
pemikiran logis, persepsi akurat, hingga respons maladaptif, seperti distorsi dan halusinasi
pemikiran. Gejala-gejala psikosis termasuk rangkaian akhir dari respons maladaptif.

RANGKAIAN RESPONS NEUROBIOLOGIS


(Stuart,2016)

b. Skizofrenia dan Psikosis

Kata skizofrenia adalah gabungan dari dua kata Yunani, schizein “untuk membelah”, dan
phren, “pikiran”. Terjadi pemisahan antara aspek kognitif dan emosional kepribadian.
Skizofrenia adalah penyakit otak neurobiologis yang serius dan persisten. Skizofrenia
menimbulkan respons yang dapat merusak kehidupan individu, keluarga dan komunitas.

Skizofrenia adalah salah satu kelompok gangguan psikotik. Gangguan psikotik lainnya
temasuk gangguan skizofreniform, gangguan skizoafektif, gangguan delusi, gangguan psikotik
singkat, gangguan psikotik bersama, gangguan psikotik yang disebabkan oleh kondisi medis
umum, dan gangguan psikotik yang diinduksi zat (Ameican Psychiatric Associationm, 2000
dalam Stuart 2014).

Psikosis kadang-kadang muncul pada kelainan, seperti depresi dengan gejala psikotik,
episode manik gangguan bipolar, gangguan stress pascatrauma, delirium dan gangguan mental
organik.

c. Asuhan keperawatan pasien dengan skzofrenia dan psikosis

Pengkajian
Pengkajian melibatkan pemahaman cara otak memproses informasi dari indera dan respons
perilaku yang dihasilkan. Perilaku ini dikelompokan sebagai berikut: Kognisi, Persepsi, Perilaku
dan gerakan, Sosialisasi.

Gejala positif: Gejala Negatif:


Delusi, Halusinasi, Afek datar, alogia,
gangguan pikiran, bicara apatis, isolasi sosial,
tidak teratur, perilaku defisit perhatian.
aneh, sikap tidak pantas.
Gngguan sosial/ kerja:
Pekerjaan/ aktivitas,
hubungan interpersonal,
perawatan diri,
mortalitas/ morbiditas

Gejala kognitif: Gejala Mood:


Perthatian, memori, Dysphoria, bunuh diri,
fungsi eksekutif, keputusasaan
abstraksi, formasi
konsep, penyelesain
masalah, pengambilan
keputusan

Cluster gejala inti pada skizofrenia.


(Stuart,2012)

Kognisi adalah tindakan atau proses mengetahui. Kognisi melibatkan kesadaran dan
penilaian yang memungkinkan otak untuk memproses informasi dengan cara memberikan
akurasi, penyimpanan dan pengambilan. Orang dengan skizofrenia sering tidak bisa berpikir
logis yang kompleks atau mengekspresikan kalimat yang masuk akan karena transmisi
neurotransmisi dalam pemrosesan informasi otak tidak berfungsi. Defesit kognitif ini sering
timbul pada pasien yang berisiko tinggi secara klinis untuk psikosis sebelum timbulnya penyakit
psikotik.
Masalah dalam fungsi kognitif
 Memori: kesulitan mengambil dan menggunakan memori yang tersimpan, gangguan
memori jangka pendek/ jangka panjang.
 Perhatian: kesulitan mempertahankan perhatian, konsentrasi yang buruk, distraksi,
ketidakmampuan menggunakan perhatian selektif,
 Bentuk dan organisasi bicara: asosiasi longgar, ketidaklogisan, sirkumtansial, tertekan/
bicara teralihkan, jarang bicara.
 Pengambilan keputusan: kegagalan untuk abstrak, keragu-raguan, kurang wawasan,
pembentukan konsep yang terganggu, gangguan penilaian berpikir tidak logis atau
konkrit, kurangnya keterampilan perencanaan dan pemecahan masalah, kesulitan
memulai tugas.
 Isi pikir: delusi paranoid, megah, agama, somatik, nihilistik.
Persepsi adalah identifikasi dan interpretasi suatu stimulus berdasarkan informasi yang
diterima melalui penglihatan, suara, rasa, sentuhan, dan bau. Masalah persepsi sering merupakan
gejala pertama pada banyak penyakit otak. Masalah persepsi pada skizifrenia adalah halusinasi.
Emosi dijelaskan dalam hal suasana hati dan afek. Suasana hati adalah nada perasaan
yang luas dan berkelanjutan yang dapat dialami selama beberapa jam atau selama bertahun-tahun
dan memengaruhi pandangan dunia seseorang. Affect mengacu pada perilaku seperti gerakan
tangan dan tubuh, ekspresi wajah, dan nada suara yang dapat diamati ketika seseorang
mengekspresikan dan mengalami perasaan dan emosi. Gangguan afek merujuk pada ekspresis
emosi buka pengalaman emosi. Seperti afek tumpul, datar. Masalah emosi yang biasanya terlihat
pada skizofrenia meliputi: Alexithymia: kesulitan menyebutkan dan menggambarkan emosi.
Anhedonia: ketidakmampuan atau penurunan kemampuan untuk mengalami kesenangan,
kegembiraan, keintiman, dan kedekatan. Apatis: kurangnya perasaan, emosi, minat, atau
kekhawatiran.
Perilaku dan Gerakan. Definisi perilaku dan gerakan "normal" didasarkan pada budaya,
kesesuaian usia, dan penerimaan sosial. Respons neurobiologis maladaptif menyebabkan
perilaku dan gerakan yang aneh, tidak enak dilihat, membingungkan, sulit dikelola,
disfungsional, dan membingungkan orang lain. Dengan eksplorasi, banyak perilaku dapat
dijelaskan dan gerakan dapat dipahami. Beberapa masuk akal berdasarkan informasi yang
diberikan oleh pasien atau penyakit neurobiologis pasien. Pergerakan maladaptif yang
berhubungan dengan skizofrenia termasuk katatonia, gerakan mata abnormal, meringis, apraxia /
ekopraksia, gaya berjalan abnormal, tingkah laku, dan efek samping ekstrapiramidal dari obat-
obatan psikotropika.
Sosialisasi adalah kemampuan untuk membentuk hubungan kooperatif dan saling
bergantung dengan orang lain. Ini ditempatkan terakhir di antara lima fungsi otak utama karena
masalah dengan fungsi lain harus dipahami untuk menghargai konsekuensi relasional respons
neurobiologis maladaptif. Masalah sosial seringkali menjadi sumber keprihatinan utama bagi
keluarga dan penyedia layanan kesehatan, karena efek nyata dari penyakit ini seringkali lebih
menonjol daripada gejala terkait dengan kognisi dan persepsi. Masalah sosial dapat terjadi akibat
penyakit secara langsung atau tidak langsung. Efek langsung terjadi ketika gejala mencegah
orang dari bersosialisasi dalam norma sosial budaya yang berlaku atau ketika motivasi
memburuk, mengakibatkan penarikan sosial dan isolasi dari kegiatan kehidupan. Perilaku yang
secara langsung menyebabkan masalah-masalah ini termasuk ketidakmampuan berkomunikasi
secara koheren, kehilangan dorongan dan minat, kemunduran keterampilan sosial, kebersihan
pribadi yang buruk, dan paranoia.
Efek tidak langsung pada sosialisasi adalah konsekuensi sekunder dari penyakit.
Contohnya adalah harga diri rendah terkait dengan prestasi akademik dan sosial yang buruk.
Ketidaknyamanan sosial yang signifikan dan isolasi sosial lebih lanjut dapat terjadi. Masalah
khusus dalam pengembangan hubungan termasuk ketidaktepatan sosial, ketidaktertarikan dalam
kegiatan rekreasi, perilaku seksual yang tidak pantas, dan penarikan terkait stigma oleh teman,
keluarga, dan teman sebaya.
Stigma juga menghadirkan hambatan besar untuk mengembangkan hubungan dan
memengaruhi kualitas hidup. Ini adalah penyebab utama isolasi sosial orang dengan skizofrenia,
dan sering menyebar ke seluruh keluarga, yang mungkin memiliki masalah sosial terkait
skizofrenia mereka sendiri yang berasal dari rasa malu karena memiliki penyakit dalam keluarga.
Mereka mungkin menghindari membicarakannya, atau jika mereka ingin berbicara, mereka
mungkin tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan. Stigma dan penolakan mungkin membuat
mereka enggan berbicara.
Diagnosis
Diagnosis keperawatan mempertimbangkan tingkat fungsional, stresor, dan sistem pendukung
pasien dan harus diperioritaskan sesuai dengan tahapan penyakit pasien (krisis, akut,
pemeliharaan, atau promosi kesehatan). Diagnosis keperawatan NANDA yang utama meliputi
gangguan komunikasi verbal terkait gangguan pikiran formal, dibuktikan dengan kehilangan
asosiasi, gangguan interaksi sosial terkait dengan keterampilan sosial yang tidak adekuat,
dibuktikan dengan kemajuan seksual yang tidak pantas. dan risiko gangguan identitas pribadi
terkait dengan disfungsi otak fisiologis dibuktika dengan mendengar suara-suara yang
mengatakan hal buruk tentang saya, keyakinan seseorang dianiaya, dan pembatasan pemikaran
dan ucapan.
Identifikasi Outcome
Hasil yang diharapkan untuk perawatan pasien dengan respons neurobiologis maladaptif adalah
pasien akan hidup, belajar, dan bekerja pada tingkat keberhasilan yang maksimum, seperti yang
didefinisikan oleh individu. Pencegahan kambuh dan intervensi dini adalah komponen kunci dari
hasil yang sukses. Relaps adalah kembalinya gejala yang cukup parah sehingga mengganggu
aktivitas hidup sehari-hari. Hanya pemantauan gejala yang menyeluruh dan berkelanjutan yang
dapat mencegahnya. Intervensi terapeutik tergantung pada tujuan yang terkait dengan diagnosis
dan tingkat kesehatan.

Tujuan jangka pendek mengidentifikasi langkah-langkah yang akan mengarahkan pasien untuk
berhasil mencapai hasil yang diharapkan. Contohnya sebagai berikut:
 Pasien akan memulai percakapan dengan setidaknya satu orang setiap hari
 Pasien akan berpartisipasi dalam kelompok pendidikan pengobatan setiap minggu
 Pasien akan mengidentifikasi obat-obatan dengan menggambarkan dosis yang
diresepkan, efek uang diharapkan, kemungkinan efek samping, dan tindakan yang harus
diambil jika pertanyaan muncul.
 Pasien akan menjalani gaya hidup sehat
 Pasien akan menggambarkan situasi hidup yang disukai setelah keluar dari rumah sakit.
 Pasien akan mempraktikan keterampilan hidup seperti pesiapan makan, perawatan
rumah tangga, perawatan pakaian, pengelolaan uang, dan penggunaan trasnpotrasi umum.
Perencanaan
Pada kondisi akut perawatan diberikan di rumah sakit. Tujuannya untuk membantu pasien
mencapai stabilitas sambil membangun fondasi untuk pemulihan. Karena kebutuhan psikososial
yang kompleks dari pasien dengan respons neurobiologis maladaptif, perencanaan pemulangan
dimulai sejak pasien masuk. Semua sumber daya pasien harus dievaluasi. Dukungan keluarga
sangat penting, karena keluarga adalah penyedia perawatan untuk sebagian besar pasien dengan
skizofrenia. Sumber daya keluarga mulai dari waktu, energi, pengetahuan, dan uang. Recana
pemulangan harus didasarkan pada realitas sumber daya yang tersedia.
Perawatan pasien dalam fase pemeliharaan dirumah atau di lingkungan komunitas lain. Fokus
fase ini adalah membantu proses pemulihan. Elemen penting adalah pasien mendapat kembali
harapan yang menjadi titik balik dalam proses pemulihan.
Komponen pemulihan adalah belajar mengidentifikasi pemicu gejala dan gejala awal.
Melibatkan identifikasi teknik manajemen yang mengurangi potensi kambuh dan menjaga
stabilitas. Penting bagi perawat menyadari bahwa, meskipun pengobatan skizofrenia yang efektif
tersedia, banyak orang tidak menerima mengalami penyakit ini. Dengan demikian perawat
mempunyai tanggung jawab kepada pasien, keluarga, dan masyarakat untuk mendidik,
mengadvokasi, dan mempromosikan sterategi pengobatan yang efektif untuk penyakit
neurobiologis.
Ketika stabilitas telah tercapai, fase promosi kesehatan dimulai. Tujuannya adalah untuk
bersama-sama mengembangkan dan menerapkan teknik manajemen gejala yang mencegah
kekambuhan dan mempromosikan pemulihan. Ketika keluarga menyadari bahwa pemulihan dan
pencegahan kambuh adalah mungkin. Mereka menjadi diberdayakan dan dapat menikmati
kualitas hidup karena pasien dapat mengontrol penyakitnya.
Implementasi

Sebelum melakukan implementasi, perawat harus membuat kontrak dengan pasien dengan
menjelaskan apa yang akan dikerjakan dan peran serta pasien yang diharapkan. Kemudian
penting untuk diperhatikan terkait dengan standar tindakan yang telah ditentukan dan aspek legal
yaitu mendokumentasikan apa yang telah dilaksanakan (Yusuf, A et al, 2015).

Pada pasien skizofrenia, tindakan yang dilakukan berfokus pada menyusun rencana tindakan
untuk mengurangi gejala penyakit yang dirasakan, dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan,
kesejahteraan, fungsi optimal dan kualitas hidup pasien (Stuart, 2016). Tritmen penyakit yang
diberikan diantaranya obat-obatan antipsikotik, psikoterapi, latihan keterampilan sosial,
dukungan pekerjaan, terapi asertif komunitas. Untuk menurunkan beban pengobatan seperti efek
samping, biaya, diskriminasi dapat dilakukan upaya-upaya seperti pemantauan dan manajemen
efek samping, pemantauan medis dan tritmen, pendidikan gaya hidup dan menurunkan stigma.
Yang kesemuanya bertujuan untuk menurunkan gejala penyakit dan menurunkan beban penyakit
(Tandon, R., et al, 2006 dalam Stuart 2016) Disini, keterlibatan keluarga juga berperan penting
untuk memaksimalkan pemulihan klien dan meningkatkan kepatuhan dengan rencana tritmen.

Pada pasien dengan respon neurobiologis yang tidak stabil, diperlukan observasi dan monitoring
kesehatan, perilaku dan sikap yang ketat, karena 9% sampai 13% klien dengan skizofrenia
melakukan bunuh diri dan 20% sampai 40% melakukan percobaan bunuh diri (Hor & Taylor,
2010 dalam Stuart 2016). Sehingga tindakan keperawatan pada fase ini difokuskan pada
pemulihan respon neurobilogis adaptif sambil tetap menjaga keselamatan klien.

Pada klien dengan masalah waham, bina trust menjadi kunci dalam seni berkomunikasi. Klien
dengan gangguan kognitif biasanya mengalami kesulitan dalam berbahasa, sehingga permulaan
membangun kepercayaan akan lebih mudah bila dilakukan dengan komunikasi nonverbal.
Setelah kepercayaan terbangun, penggunaan bahasa yang jelas, langsung dan sederhana baru
dapat digunakan dalam berkomunikasi. Bagi perawat, rencana tindakan yang telah disusun harus
diikuti secara konsisten, dan jangan mencoba sesuatu diluar rencana yang telah disusun, karena
perawat akan terkesan tidak konsisten dan mengacaukan lingkungan klien.

Dalam Stuart, 2016, ada beberapa strategi dalam merawat klien dengan waham, diantaranya :

 Menempatkan waham dalam bingkai waktu dan identifikasi pemicu


 Mengkaji intensitas, frekuensi dan durasi waham
 Mengidentifikasi komponen emosional dan waham
 Amati bukti berpikir konkret
 Observasi bicara dari gejala gangguan pikiran
 Amati kemampuan untuk secara akurat menggunakan penalaran penyebab dan efek
 Bedakan antara deskripsi pengalaman dan situasi nyata
 Hati-hati menanyakan fakta dan maknanya
 Diskusikan konsekuensi dari waham
 Promosikan distraksi sebagai jalan untuk berhenti dari waham

Gejala skizofrenia lainnya adalah halusinasi. Sekitar 70 % dari halusinasi adalah halusinasi
pendengaran, 20% adalah visual dan 10% sisanya adalah halusinasi pengecapan, taktil,
penciuman, kinestetik atau kenestetik. Tujuan dari asuhan keperawatan pada pasien halusinasi
adalah untuk membantu mereka meningkatan kesadaran akan gejala halusinasi sehingga dapat
membedakan mana halusinasi dan mana realita. Langkah keberhasilan untuk mencapai tujuan ini
adalah komunikasi fasilitatif, mendengarkan dan mengamati. Mempelajari gejala-gejala
halusinasi juga penting bagi perawat untuk membantu menghindari hambatan komunikasi,
karena klien harus nyaman menceritakan kepada perawat tentang gejala yang dialami. Kejujuran,
kesetiaan dan keterbukaan merupakan dasar komunikasi yang efektif selama halusinasi.
Masih menurut Stuart, 2016, ada empat prinsip dasar yang sangat membantu dalam fase akut
halusinasi, yaitu :

 Pertahankan kontak mata


 Berbicara sederhana dan dengan suara yang lebih keras dari biasanya
 Panggil klien dengan nama panggilannya
 Gunakan sentuhan yang sesuai

Selain yang sudah disebutkan diatas, ada tritmen lain yang digunakan untuk mengatasi respon
neurobiologis maladaptive, yaitu Psikofarmakologi dan Terapi Perilaku Kognitif atau Cognitive
Behavioral Therapy (CBT). Psikofarmakologi adalah bagian utama dari tritmen pengobatan
antipsikotik dan CBT sebagai tambahan untuk pengobatan antipsikotik dan perbaikan
pendekatan. CBT menggunakan pendekatan psikoedukasi seperti latihan keterampilan sosial.
CBT dapat meningkatkan koping klien melalui kepatuhan dan manajemen pengendalian gejala
(Kingdon et al, 2008; Pinninti et al, 2010 dalam Stuart, 2016).

Evaluasi

Menurut Yusuf, A et al, 2015, evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek
dari tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi ada dua macam, yaitu (1) evaluasi proses atau
evaluasi formatif, yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, dan (2) evaluasi hasil
atau sumatif, yang dilakukan dengan membandingkan respons pasien pada tujuan khusus dan
umum yang telah ditetapkan.

Evaluasi asuhan keperawatan pada klien dengan respon neurobiologis maladaptive diantaranya
adalah dengan menanyakan pendapat dari klien dan keluarga. Untuk mengevaluasi tindakan
keperawatan, beberapa contoh pertanyaan berikut dapat ditanyakan :

 Apakah gejala utama penyakit membaik ?


 Apakah beban dari tritmen berkurang ?
 Apakah beban penyakit telah menurun setelah didapatkan peningkatan keterampilan
adaptif dan fungsional ?
 Apakah kesehatan dan kebugaran telah dipromosikan?
 Apakah klien mampu menggambarkan perilaku yang terkait dengan timbulnya
kekambuhan ?

D. Peran Perawat Kesehatan Jiwa


Peran Perawat Promotif

Promosi kesehatan, seperti dijelaskan dalam American Journal of Health Promotion merupakan
ilmu dan seni dalam membantu perubahan gaya hidup seseorang menuju keadaan dengan
kesehatan optimal (Potter & Perry, 2009).

Menurut Stuart, 2016, pada tahap promosi kesehatan, pendidikan menjadi peran utama yang
berfokus pada pencegahan kekambuhan dan manajemen gejala melalui keterlibatan klien dalam
melakukan gaya hidup yang sehat. Metode pendidikan yang baik harus sederhana, jelas,
memiliki petunjuk yang mudah dimengerti dan tersedia pengulangan atau demonstrasi. Selain
pendidikan, salah satu kunci untuk mencegah kekambuhan kembali adalah dengan
mengidentifikasi gejala pemicu dan menemukan strategi tepat untuk mengelolanya.

Menurut Stuart (2016), dalam menangani pasien skizofrenia yang beresiko mengalami
kekambuhan, tindakan keperawatan berfokus pada pendidikan manajemen dan pengendalian
gejala serta mengidentifikasi gejala yang berhubungan dengan kekambuhan.

PANDUAN KLIEN UNTUK MENANGANI POTENSIAL KEKAMBUHAN

 Pergi ke lingkungan yang aman dengan seseorang yang dapat membantu anda jika
bantuan diperlukan. Orang ini harus mampu memonitor perilaku yang menunjukkan
kekambuhan semakin parah.
 Mengurangi stress dan tuntuan pada diri sendiri. Hal ini termasuk mengurangi
rangsangan. Beberapa orang menemukan sebuah ruangan yang tenang dimana
mereka bisa sendirian, mungkin mendengarkan musik lembut. Teknik relaksasi atau
teknik distraksi dapat berguna untuk anda. Sebuah tempat yang tenang dimana anda
dapat berbicara dengan satu orang yang anda percaya sering dapat membantu.
 Minum obat adalah bagian dari program anda. Bekerja dengan dokter untuk
menentukan apakah obat berguna untuk mengurangi kekambuhan. Obat yang paling
membantu ketika digunakan dengan aman, lingkungan yang tenang dan
pengurangan stress.
 Berbicara dengan orang yang terpercaya tentang apa yang dikatakan suara kepada
anda atau tentang pengalaman yang anda alami.
 Hindari orang-orang yang mengatakan hal-hal negatif seperti “Kamu berpikir gila”
atau “Hentikan bicara negatif”.
(Stuart, 2016)

TINDAKAN KEPERAWATAN UNTUK MENCEGAH KEKAMBUHAN

 Mengidentifikasi pemicu dan gejala yang menandakan kekambuhan serta bagaimana


strategi kopingnya
 Mengidentifikasi strategi koping untuk gejala pemicu
 Memilih teknik manajemen gejala yang tepat
 Mengidentifikasi sistem pendukung apabila terjadi kekambuhan di masa depan
 Dokumen tertulis berisi rencana tindakan
 Memfasilitasi integrasi keluarga dan masyarakat
 (Stuart, 2016)

Pada tahap promosi kesehatan, mempromosikan gaya hidup sehat merupakan tindakan
keperawatan yang penting. Program kelompok terstruktur seperti aktivitas fisik, kontrol diet baik
individu atau kelompok terbukti efektif untuk klien dengan skizofrenia (Beebe dan Smith, 2010
dalam Stuart, 2016).

Peran Perawat Preventif Primer

Layanan kesehatan yang berorientasi pada promosi kesehatan, kesejahteraan dan pencegahan
penyakit memiliki tiga tingkatan pelayanan pencegahan, yaitu primer,sekunder dan tersier.

Dalam Potter & Perry, 2009, dikatakan pencegahan primer merupakan pencegahan yang sejati
karena dilakukan pada klien sehat secara fisik dan emosional, sebelum penyakit timbul. Program
ini mencakup pendidikan kesehatan, imunisasi, aktivitas fisik serta nutrisional. Dapat diberikan
kepada individu maupun kelompok atau berfokus pada individu yang beresiko memiliki penyakit
tertentu.
Pencegahan primer mencakup seluruh upaya promosi kesehatan dan aktivitas pendidikan
kesejahteraan yang berfokus pada pemeliharaan atau peningkatan kesehatan keseluruhan dari
individu, keluarga dan komunitas (Edelman &Mandle, 2002 dalam Potter & Perry, 2009).

PERAN PERAWAT JIWA DALAM PREVENSI PRIMER


 Memberikan penyuluhan tentang prinsip sehat jiwa.
 Mengefektifkan perubahan dalam kondisi kehidupan,tingkat kemiskinan
dan pendidikan
 Memberikan pendidikan dalam kondisi normal,pertumbuhan dan
perkembangan dan Pendidikan seks.
 Melakukan rujukan yang sesuai sebelum terjadi gangguan jiwa.
 Membantu klien di rumah sakit umum untuk menghindari masalah
psikiatri.
 Bersama keluarga untuk memberikan dukungan pada anggotanya untuk
meningkatkan fungsi kelompok.
 Aktif dalam kegiatan masyarakat atau politik yang berkaitan dengan
kesehatan jiwa.
(UNAIR, 2017)

Peran Perawat Preventif Sekunder

Pada tingkat pencegahan sekunder pelayanan keperawatan berfokus pada deteksi dini masalah
psikososial dan gangguan jiwa serta penanganannya. Tujuan pencegahan sekunder yaitu untuk
mencegah terjadinya gangguan jiwa dan menurunkan angka kejadian gangguan jiwa.

Dalam tahap pencegahan sekunder yang menjadi target adalah orang dengan faktor resiko
gangguan jiwa dan sudah memperlihatkan gejala psikososial dan gangguan jiwa.

Peran perawat dalam tahap pencegahan sekunder yaitu:

 Melakukan deteksi dini dengan cara mencari informasi dari berbagai sumber seperti
masyarakat
 Melakukan penjaringan kasus, yaitu dengan cara melakukan pengkajian untuk menemukan
data fokus, jika ditemukan gejala depresi atau kecemasan maka pengkajian dilanjutkan
dengan menggunakan instrumen pengkajian gangguan jiwa
 Memberikan informasi kepada masyarakat tentang gejala dini gangguan jiwa
 Memberikan penanganan dengan cepat jika ditemukan kasus baru
 Menurunkan prevalensi gangguan jiwa yang ada

Peran Perawat Pencegahan Tersier

Pada pencegahan tersier, perawat berfokus pada peningkatan fungsi dan sosialisasi serta
pencegahan kekambuhan pasien dengan gangguan jiwa. Tujuan dari pencegahan tersier adalah
mengurangi kecacatan dan/ ketidakmampuan akibat gangguan jiwa dan pemulihan optimal.

Tindakan yang bisa dilakukan oleh perawat dalam pencegahan tersier yaitu:

1. Memberikan dukungan sosial dengan menggerakkan sumber-sumber di masyarakat


(tetangga, teman dekat, tokoh masyarakat).
2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang kepada masyarakat tentang penerimaan pasien
gangguan jiwa
3. Pentingnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dan penanganan pasien yang mengalami
kekambuhan.
4. Mengadakan program rehabilitasi dengan memberdayakan pasien dan keluarga hingga
pasien dapat mandiri dan produktif. Hal ini berfokus pada kemampuan dan kekuatan
pasien dan keluarga. Tindakan yang dapat dilakukan oleh perawat yaitu:
a. Meningkatkan kemampuan koping pasien, yaitu belajar mengungkapkan dan
menyelesaikan masalah dengan cara yang tepat
b. Megembangkan sistem pendukung dengan memberdayakan keluarga dan masyarakat
c. Menyediakan pelatihan kemamapuan dan potensi yang perlu dikembangkan
d. Membantu pasien dan keluarga merencanakan masa depan pasien.
E. Manual Statistik dan Diagnostik Gangguan Mental (DSM).

Untuk menegakkan suatu diagnosis, para profesional di bidang kesehatan mental menggunakan
istilah dan definisi standar sebagaimana dimuat dalam Manual Statistik dan Diagnostik
Gangguan Mental (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder --- DSM), sebuah
publikasi yang direvisi secara rutin untuk menjelaskan pengetahuan terbaru mengenai gangguan
psikologis. Sistem diagnostik ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1952, oleh American
Psychiatric Assosiation (APA) dan selalu mengalami perbaikan sesuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan.

Pada edisi DSM-I menyatakan bahwa masalah-masalah emosional atau “reaksi” adalah penyebab
dari gangguan yang digambarkan. Pernyataan tersebut berdasarkan asumsi teoritis yang memiliki
reliabilitas rendah sehingga pada tahun 1968 diterbitkan edisi DSM-II. DSM II ini adalah
klasifikasi gangguan mental pertama yang didasarkan pada sistem yang tercantum dalam
International Clasification of Desease (ICD). Pada DSM-II ini penulis mulai menggunakan
istilah-istilah diagnostik yang tidak condong pada suatu kerangka teoretis tertentu, namun masih
tampak jelas bahwa mereka mendasarkan kriteria yang mereka buat pada konsep-konsep
psikoanalisis. Selain itu, kriteria-kriteria yang dibentuk cenderung longgar, sehongga seoran
klinisi dengan sutau kecenderungan teori tertentu dapat membuat diagnosis terhadap suatu klien
berdasarkan teori yang disukainya, dan bukan berdasarkan kondisi aktual klien. Untuk mengatasi
hal tersebut, pada tahun 1980 diterbitkan DSM-III yang dipdangan sebagai kemajuan yang pesat
dari edisi-edisi sebelumnya. Pada edisi ini menyediakan kriteria yang lebih teliti dan juga
menjelaskan definisi dari setiap gangguan sehingga memungkinkan klinisi untuk lebih kuantitatif
dan objektif dalam menetapkan diagnosis. Akan tetapi, DSM-III tetap memiliki beberapa
masalah, misalnya: pada beberapa bagian, manual ini tidak mengelompokkan suatu kriteria
secara spesifik. Karena keterbatasan ini, pada tahun 1987 APA menerbitkan DSM-III-R yang
dimaksudkan untuk menjadi manual sementara hingga terbentuknya suatu perbaikan yang
lengkap.

Beberapa tahun setelah DSM-III-R diterbitkan, APA membentuk suatu tim kerja untuk menyusun
DSM-IV yang bertujuan untuk menyediakan suatu manual baru sebagai dasar pembuatan empiris
penegakkan diagnosis. Tim-tim kerja yang meneliti gangguan tertentu diharuskan melalui tiga
tahap termasuk pengujian reabilitas dan validitas yang lebih jauh. Pada tahap pertama, tim kerja
melakukan pengkajian terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasikan. Tahap kedua
meliputi analisis data penelitian yang menyelu ruh termasuk data dari penelitian yang belum
dipublikasikan. Tahap ketiga, tahap ini merupakan tahap paling penting, dimana para peneliti
melakukan uji lapangan yang bertujuan untuk menentukan gejala dan berapa banyak gejala yang
diperlukan untuk menegakkan suatu diagnosis.

Pada tahun 2000, APA menerbitkan suatu revisi teks dari DSM-IV yang disebut dengan DSM-
IV-TR. Di dalamnya termasuk revisi editorial seperti koreksi kesalahan-kesalahan faktual minor
yang telah diidentifikasi pada DSM-IV, pembaruan pada isi, dan pembaruan-pembaruan lain
yang dimakudkan untuk meningkatkan nilai edukasi. Pada DSM-IV-TR ini, setiap gangguan
yang terdapat di dalamnya terdaftar pada Axis I atau Axis II. Pada Axis III digunakan untuk
menjelaskan kesehatan jasmani klien, Axis IV menjelaskan tingkat stress yang dialami individu
dari peristiwa tertentu, dan Axis V digunakan untuk mengetahui derajat keseluruhan dari fungsi
individu.

1. Axis I — Gangguan Klinis dan Kondisi Lain yang Mungkin Menjadi Fokus Perhatian
Klinis: Ini termasuk semua gangguan mental (kecuali gangguan kepribadian dan
keterbelakangan mental).
2. Axis II — Gangguan Kepribadian dan Keterbelakangan Mental: Gangguan ini biasanya
dimulai pada masa kanak-kanak atau remaja dan bertahan dalam bentuk yang stabil ke
dalam kehidupan dewasa.
3. Axis III — Kondisi Medis Umum: Ini termasuk segala kondisi medis umum saat ini yang
berpotensi relevan dengan pemahaman atau manajemen gangguan mental individu.
4. Axis IV — Masalah Psikososial dan Lingkungan: Ini adalah masalah yang dapat
memengaruhi diagnosis, perawatan, dan prognosis gangguan mental yang disebutkan
pada sumbu I dan II. Ini termasuk masalah yang berkaitan dengan kelompok pendukung
utama, lingkungan sosial, pendidikan, pekerjaan, perumahan, ekonomi, akses ke layanan
perawatan kesehatan, interaksi dengan sistem hukum atau kejahatan, dan jenis masalah
psikososial dan lingkungan lainnya.
5. Axis V— Penilaian Global tentang Fungsi: Ini memungkinkan dokter untuk menilai
keseluruhan fungsi individu pada Skala Global Assessment of Functioning (GAF). Skala
ini mewakili dalam istilah global ukuran tunggal dari fungsi psikologis, sosial, dan
pekerjaan individu.

Anda mungkin juga menyukai