Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


PNEUMONIA DI RUANG CATLEYA RSD
dr. SOEBANDI JEMBER

Oleh
Sari Mulianingrum, S.Kep
192311101081

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2019
BAB I KONSEP DASAR PENYAKIT

1.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan

Anatomi

1. Paru-paru

Gambar 1. Anatomi Paru

Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan satu sama lain oleh mediastinum, di mana
jantung, pembuluh darah besar, bronkus, kerongkongan, dan organ-organ lain berada.
Setiap paru terdiri dari saluran pernapasan dan alveoli. Paru-paru yang sehat lembut dan
ringan. Stroma paru-paru terdiri dari jaringan ikat elastis berserat, yang memungkinkan
pasien untuk mundur secara pasif selama ekspirasi. Permukaan paru-paru ditutupi oleh
pleura visceral dan rongga toraks dilapisi oleh pleura parietal. Rongga pleura adalah ruang
potensial antara pleura parietal dan visceral. Membran pleura menghasilkan sekresi serosa,
cairan pleura yang melumasi permukaan pleura dan memungkinkan paru-paru meluncur di
atas dinding toraks selama bernafas (Aung dkk., 2019).

Paru-paru adalah organ berbentuk kerucut dan bagian superior yang sempit adalah
puncaknya, yaitu 2,5 cm di atas tengah klavikula. Puncaknya ditutupi oleh pleura serviks.
Bagian inferior luas dari paru-paru, yang terletak di diafragma ipsilateral, adalah dasarnya.
Paru-paru kanan relatif lebih besar dari paru-paru kiri karena gumpalan jantung lebih ke
kiri daripada ke kanan. Setiap paru memiliki tiga permukaan dan tiga batas. Perbatasan
anterior dimulai dari puncak pas posterior ke sendi sternoklavikula. Pada paru kanan, ia
turun secara vertikal di sepanjang tepi lateral sternum dan memenuhi batas inferior pada
sendi xiphisternal. Perbatasan anterior paru kiri turun ke kartilago kosta ke-4, dan melewati
lateral. Itu lebih dalam indentasi oleh takik jantung. Kurva ke bawah dan medial untuk
memenuhi kartilago kosta ke-6 (Aung dkk., 2019).

Perbatasan inferior melintasi tulang rusuk ke-6 di garis midclavicular, dan di garis
midaxillary, dan diarahkan menuju proses spinosus vertebra toraks ke-10. Batas posterior
memanjang dari ujung posterior dari perbatasan inferior ke puncak. Setiap lunge dibagi
menjadi lobus oleh celah. Paru-paru kanan memiliki dua celah; celah horisontal dan
miring, dan tiga lobus, yaitu lobus atas, tengah, dan bawah. Ada dua lobus, lobus atas dan
bawah, dibagi oleh celah miring di paru-paru kiri. Fisura miring memanjang dari proses
pemintalan vertebra toraks ke-2 yang berjalan di bawah tulang iga ke-6 berikut pada tulang
rawan kosta ke-6. Fisura horizontal paru kanan memanjang dari fisura oblik di sepanjang
tulang iga ke-4 dan kartilago kosta anterior. Di paru-paru kanan, ada kesan yang terbentuk
oleh vena cava superior, lengkung vena azygos, vena cava inferior, jantung, dan
kerongkongan di permukaan mediastinum. Demikian pula, ada alur untuk aorta desendens,
lengkung aorta, dan impresi jantung pada permukaan mediastinum paru kiri (Aung dkk.,
2019).

Fisiologi

Pernapasan, atau dikenal sebagai ventilasi, adalah pergerakan udara dari luar tubuh
ke dalam pohon bronkial dan ruang alveolar, yang diikuti oleh pembalikan proses ini.
Tindakan yang bertanggung jawab atas pergerakan udara ini disebut inspirasi atau inhalasi
dan ekspirasi atau pernafasan. Pergerakan udara masuk dan keluar paru-paru ini terjadi
karena perbedaan tekanan yang disebabkan oleh perubahan volume paru-paru. Ventilasi
diinduksi oleh sifat fisik paru-paru, termasuk tegangan permukaan, elastisitas, dan
kepatuhannya terhadap zona penghantar dan bronkiolus terminal, terjadi karena perbedaan
tekanan antara kedua ujung saluran udara. Aliran udara melalui bronkiolus berbanding
lurus dengan perbedaan tekanan dan berbanding terbalik dengan hambatan gesekan
terhadap aliran. Perbedaan tekanan dalam sistem paru disebabkan oleh perubahan volume
paru-paru. Ketegangan permukaan, elastisitas, dan kepatuhan paru-paru adalah sifat fisik
yang mempengaruhi fungsi paru-paru (Aung dkk., 2019).
Di dalam paru-paru, karbon dioksida, salah satu hasil buangan metabolisme,
menembus membran alveoler-kapiler dari kapiler darah ke alveoli dan setelah melalui pipa
bronkial dan trakea, dinapaskan keluar melalui hidung dan mulut. Semua proses ini diatur
sedemikian sehingga darah yang meninggalkan paru-paru menerima jumlah tepat CO2 dan
O2. Pada waktu gerak badan, lebih banyak darah datang di paru – paru membawa terlalu
banyak CO2 dan terlampau sedikit O2; jumlah CO2 itu tidak dapat dikeluarkan, maka
konsentrasinya dalam darah arteri bertambah. Hal ini merangsang pusat pernapasan dalam
otak unutk memperbesar kecepatan dan dalamnya pernapasan. Penambahan ventilasi ini
mengeluarkan CO2 dan memungut lebih banyak O2. Pernapasan jaringan atau pernapasan
interna. Darah yang telah menjenuhkan hemoglobinnya dengan oksigen (oksihemoglobin)
megintari seluruh tubuh dan akhirnya mencapai kapiler, di mana darah bergerak sangat
lambat. Sel jaringan memungut oksigen dari hemoglobin untuk memungkinkan oksigen
berlangsung, dan darah menerima, sebagai gantinya, yaitu karbon dioksida. Sistem
sirkulasi terbagi menjadi beberapa sistem. Sirkulasi sistemik atau peredaran darah
besar/Magna sirkulatoria adalah sirkulasi darah dari jantung (ventrikel kiri) ke seluruh
tubuh (kecuali paru-paru). Darah dari ventrikel kiri dipompakan ke seluruh tubuh melalui
aorta, kemudian pembuluh darah Aorta bercabang-cabang menjadi arteri dan arteri
bercabang lagi membentuk aeteriol/arteri yang lebih kecil yang tersebar dan 4yst
mengakses ke seluruh sel tubuh kita. Selanjutnya darah dikembalikan ke jantung bagian
kanan tepatnya ke serambi kanan)/ ventrikel dexter melalui vena cava baik Vena cava
superior (tubuh sebelah atas jantung) maupun Vena cava inferior (E.Weinberger dkk.,
2018).

Sirkulasi darah antara jantung dan seluruh tubuh berjalan satu arah. Darah dari
ventrikel kanan dialirkan ke paru-paru kemudian kembali ke jantung dan diedarkan ke
seluruh tubuh dari ventrikel kiri melalui aorta. Aorta akan bercabang-cabang menjadi
arteri, arteriola/pembuluh. Sirkulasi pulmonal atau disebut juga system peredaran darah
kecil adalah sirkulasi darah antara jantung dan paru-paru. (Jantung – Paru paru – Jantung
lagi). Detailnya darah dari jantung (ventrikel kanan) dialirkan ke paru-paru melalui arteri
pulmonalis, darah ini banyak mengandung karbondioksida sebagai sisah untuk dibuang
melalui alveolus paru-paru ke atmosfer. Selanjutnya darah akan teroksigenasi pada kapiler
paru dan kembali ke jantung (atrium kiri) melalui vena pulmonali (E.Weinberger dkk.,
2018).
1.2 Definisi Pneumonia

Pneumonia adalah infeksi akut yang tidak boleh disamakan dengan beberapa infeksi
saluran pernapasan bawah akut lainnya dengan. Pneumonia adalah infeksi parenkim paru
yang disebabkan oleh berbagai organisme. Ini menyatakan bahwa pneumonia bukan
penyakit tunggal tetapi sekelompok infeksi spesifik, masing-masing dengan epidemiologi,
patogenesis, presentasi dan kursus klinis yang berbeda. Klasifikasi pneumonia paling baik
didasarkan pada mikroorganisme kausatif (Jung dan Kim, 2016). Pneumonia adalah infeksi
pada kantung udara di salah satu atau kedua paru-paru. Kantung udara dapat terisi dengan
cairan atau nanah (bahan bernanah), menyebabkan batuk berdahak atau nanah, demam,
kedinginan, dan sulit bernapas. Berbagai organisme, termasuk bakteri, virus, dan jamur,
dapat menyebabkan pneumonia. Pneumonia adalah bentuk infeksi pernapasan akut yang
menyerang paru-paru. Paru-paru terdiri dari kantung-kantung kecil yang disebut alveoli,
yang mengisi dengan udara ketika orang yang sehat bernafas. Ketika seseorang menderita
pneumonia, alveoli dipenuhi dengan nanah dan cairan, yang membuat pernafasan terasa
menyakitkan dan membatasi asupan oksigen (WHO, 2014).

1.3 Epidemiologi Pneumonia

Setiap tahun antara 0,5% dan 1% orang dewasa di Inggris menderita pneumonia yang
didapat dari masyarakat. Ini didiagnosis pada 5-12% orang dewasa yang datang ke dokter
dengan gejala infeksi saluran pernapasan bawah, dan 22-42% di antaranya dirawat di
rumah sakit, di mana angka kematiannya antara 5% dan 14%. Antara 1,2% dan 10% orang
dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan pneumonia yang didapat dari masyarakat
dikelola di unit perawatan intensif, dan untuk pasien ini risiko kematian lebih dari 30%.
Lebih dari setengah kematian akibat pneumonia terjadi pada orang yang berusia lebih dari
84 tahun. Kapan saja 1,5% pasien rawat inap di rumah sakit di Inggris memiliki infeksi
pernapasan yang didapat di rumah sakit, lebih dari setengahnya adalah pneumonia yang
didapat di rumah sakit dan tidak terkait dengan intubasi. Pneumonia yang didapat di rumah
sakit diperkirakan meningkatkan masa rawat di rumah sakit sekitar 8 hari dan memiliki
tingkat kematian yang dilaporkan berkisar antara 30-70%. Variasi dalam manajemen klinis
dan hasil terjadi di Inggris (National Institute for Health and Care Excellence, 2018).

Berdasarkan data rekam medik di RSUD Bhakti Dharma Husada Surabaya, di ruang
rawat inap anak (ruang ganesa) RSUD Bhakti Dharma Husada Surabaya, pada tahun 2013
penyakit pneumonia termasuk dalam urutan ke 5 penyakit terbanyak di rawat inap anak
dengan jumlah penderita sebesar 38 orang dan urutan ke 12 penyakit terbanyak di rawat
jalan dengan jumlah penderita sebesar 101 orang. Berdasarkan profil kesehatan propinsi
Jawa Timur, di RSU Propinsi Jatim penyakit pneumonia termasuk dalam daftar 10 besar
penyakit terbanyak rawat inap pada tahun 2012, dengan rincian 2.384 penderita RSU kelas
A (urutan ke 8), dan 3.878 penderita RSU kelas B (urutan ke 6) (Puspitasari dan Syahrul,
2015).

1.4 Etiologi Pneumonia

Pertahanan paru-paru terus ditantang oleh berbagai organisme, termasuk virus dan
bakteri (Weinberger dkk., 2019).

1. Bakteri
Pneumonia, Pneumococcus, Stretococcus Hemoliticus Aureus, Haemophilus,
influenza, Basillus Friendlander (Klebsial Pneumonia), Mycobacterium Tuberculosis.
Bakteri gram positif yang menyebabkan pneumonia adalah steprokokus pneumonia,
streptococcus aureus dan streptococcus pyogenesis.
2. Virus Influenza, Parainfluenza, Adenovirus
3. Jamur, Infeksi yang biasanya disebabkan oleh jamur biasanya menyebar melalui
penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran
burung. Jamur yang dapat menyebabkan pneumonia adalah Citoplasma Capsulatum,
Criptococcus Nepromas, Blastomices Dermatices, Aspergillus Sp, Candinda Albicans
dan Mycoplasma Pneumonia.
4. Myoplasma
Mycoplasma tampaknya merupakan kelas organisme yang merupakan perantara antara
virus dan bakteri. Organisme ini sekarang dikenal sebagai penyebab umum pneumonia,
dan mungkin bertanggung jawab atas minimal 10% hingga 20% dari semua kasus.
Pneumonia mikoplasma paling sering terjadi pada dewasa muda tetapi tidak terbatas
pada kelompok usia ini (Weinberger dkk., 2019).
1.5 Klasifikasi Pneumonia

Jenis-jenis pneumonia individu mungkin berbeda di lokasi yang tepat dan cara
penyebaran infeksi. Di masa lalu, perbedaan sering dibuat antara pneumonia yang
mengikuti distribusi "lobar", yang berperilaku lebih seperti "bronchopneumonia," dan
mereka yang memiliki pola "pneumonia interstitial." Namun, perbedaan ini seringkali sulit
untuk dibuat karena masing-masing kasus pneumonia sering tidak mematuhi satu pola
tertentu, tetapi memiliki campuran dari tiga pola dalam proporsi yang berbeda-beda
(Weinberger dkk., 2019).

1. Lobar Pneumonia, digambarkan sebagai suatu proses yang tidak terbatas pada batas-
batas segmental tetapi cenderung menyebar ke seluruh lobus paru-paru. Penyebaran
infeksi diyakini terjadi dari alveolus ke alveolus dan dari asinus ke asinus melalui pori
interalveolar yang dikenal sebagai pori Kohn. Contoh klasik pneumonia lobar adalah
karena S. pneumoniae, walaupun banyak kasus pneumonia yang didokumentasikan
karena pneumococcus tidak selalu mengikuti pola khas ini (Weinberger dkk., 2019).
2. Bronchopneumonia, radang saluran napas distal menonjol bersama dengan penyakit
alveolar, dan penyebaran infeksi dan proses inflamasi cenderung terjadi melalui saluran
udara daripada melalui alveoli dan asini yang berdekatan. Sedangkan pneumonia lobar
muncul sebagai konsolidasi padat yang melibatkan sebagian atau seluruh lobus,
bronkopneumonia lebih merata dalam distribusi, tergantung di mana penyebaran oleh
saluran udara telah terjadi. Banyak bakteri, seperti stafilokokus dan berbagai basil gram
negatif, dapat menghasilkan pola yang tidak merata ini (Weinberger dkk., 2019).
3. Interstitial Pneumonia, ditandai oleh proses inflamasi di dalam dinding interstitial
daripada ruang alveolar. Meskipun pneumonia virus secara klasik dimulai sebagai
pneumonia interstitial, kasus yang parah umumnya menunjukkan perpanjangan proses
inflamasi ke ruang alveolar juga (Weinberger dkk., 2019).

Dalam beberapa kasus pneumonia, organisme tidak sangat merusak jaringan paru-paru
meskipun proses inflamasi yang berlebihan dapat terlihat. Pneumonia pneumokokus klasik
(meskipun tidak selalu) berperilaku dengan cara ini, dan proses penyembuhan dikaitkan
dengan pemulihan arsitektur parenkim yang relatif normal. Dalam kasus lain, ketika
organisme lebih merusak, nekrosis jaringan dapat terjadi, dengan pembentukan rongga
yang dihasilkan atau parut parenkim. Banyak kasus pneumonia stafilokokus dan anaerob
mengikuti kursus yang lebih merusak ini (Weinberger dkk., 2019).
Pneumonia berdasarkan Etiologi (El-Solh dkk., 2016)

Grup Penyebab Tipe Pneumonia


Bakteri Streptokokus pneumonia Pneumoni bakterial
Streptokokus piogenesis Legionnaires disease
Stafilokokus aureus
Klebsiela pneumonia
Eserikia koli
Yersinia pestis
Legionnaires bacillus
Aktinomisetes Aktinomisetes Israeli Aktinomisetes pulmonal
Nokardia asteroides Nokardia pulmonal
Fungi Kokidioides imitis Kokidioidomikosis
Histoplasma kapsulatum Histoplasmosis
Blastomises dermatitidis Blastomikosis
Aspergilus Aspergilosis
Fikomisetes Mukormikosis
Riketsia Koksiela burneti Q fever
Klamidia Chlamydia trachomatis Chlamydial Pneumonia
Mikoplasma Mikoplasma pneumonia Pneumonia mikoplasmal
Virus Influenza virus, adeno Pneumonia virus
Virus respiratory, Syncytial

1.6 Patofisiologi Pneumonia

Infeksi parenkim paru menghasilkan sekuele klinis yang tidak hanya mengubah fungsi
normal parenkim paru tetapi juga dengan menginduksi respons sistemik. Konsekuensi
patofisiologis utama dari peradangan dan infeksi yang melibatkan ruang udara distal
adalah berkurangnya ventilasi ke daerah yang terkena. Jika perfusi relatif dipertahankan,
seperti yang sering terjadi karena efek vasodilator mediator inflamasi, hasil
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Ketika alveoli dipenuhi dengan eksudat inflamasi,
mungkin tidak ada ventilasi ke daerah-daerah tersebut (Weinberger dkk., 2019).

Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi umumnya bermanifestasi sebagai hipoksemia.


ketidakcocokan ventilasi-perfusi dengan area dengan rasio ventilasi-perfusi rendah
biasanya merupakan faktor yang lebih penting. Retensi karbon dioksida bukan fitur
pneumonia kecuali pasien sudah memiliki cadangan yang sangat terbatas, terutama dari
COPD yang mendasarinya. Bahkan, pasien pneumonia sering mengalami hiperventilasi
dan memiliki PCO2 kurang dari 40 mm Hg (Weinberger dkk., 2019).

Respon sistemik terhadap pneumonia tidak unik tetapi lebih merupakan cerminan dari
respons tubuh terhadap infeksi serius. Mungkin aspek yang paling jelas dari respons ini
adalah demam, curahan PMN juga ke sirkulasi (terutama dengan pneumonia bakteri), dan
sering kali penampilan "beracun" dari pasien. Respons sistemik tidak langsung ini dapat
menjadi petunjuk bahwa proses infeksi adalah penyebab infiltrat paru baru. Pneumonia
atau radang paru-paru ialah inflamasi paru-paru yang disebabkan oleh bakteria, virus atau
fungi. Pneumonia dapat terjadi akibat menghirup bibit penyakit di udara atau kuman di
tenggorokan terisap masuk ke paru-paru. Penyebaran bisa juga melalui darah dari luka di
tempat lain, misalnya di kulit. Jika melalui saluran napas, agen (bibit penyakit) yang masuk
akan dilawan oleh berbagai sistem pertahanan tubuh manusia. Misalnya, dengan batuk-
batuk atau perlawanan oleh sel-sel pada lapisan lendir tenggorokan, hingga gerakan
rambut-rambut halus (silia) untuk mengeluarkan mukus (lendir) tersebut keluar pada saat
itu terjadi proses peradangan. Lobus bagian bawah paru-paru paling sering terkena karena
efek gravitasi. Setelah mencapai alveoli, maka pneumokokus menimbulkan respon yang
khas terdiri dari empat tahap yang berurutan (Weinberger dkk., 2019).

1. Kongesti (24 jam pertama)


Merupakan stadium pertama, eksudat yang kaya protein keluar masuk ke dalam
alveolar melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor, disertai kongesti vena. Paru
menjadi berat, edematosa dan berwarna merah.
2. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya)
Terjadi pada stadium kedua, yang berakhir setelah beberapa hari. Ditemukan
akumulasi yang masif dalam ruang alveolar, bersama-sama dengan limfosit dan
magkrofag. Banyak sel darah merah juga dikeluarkan dari kapiler yang meregang. Pleura
yang menutupi diselimuti eksudat fibrinosa, paru-paru tampak berwarna kemerahan, padat
tanpa mengandung udara, disertai konsistensi mirip hati yang masih segar dan bergranula
(hepatisasi = seperti hepar).
3. Hepatisasi kelabu (3-8 hari)
Pada stadium ketiga menunjukkan akumulasi fibrin yang berlanjut disertai
penghancuran sel darah putih dan sel darah merah. Paru-paru tampak kelabu coklat dan
padat karena leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang terserang.
4. Resolusi (8-11 hari)
Pada stadium keempat ini, eksudat mengalami lisis dan direabsorbsi oleh makrofag
dan pencernaan kotoran inflamasi, dengan mempertahankan arsitektur dinding alveolus di
bawahnya, sehingga jaringan kembali pada strukturnya semula.
Akibat dari masuknya mukus ke dalam alveoli terjadi peningkatan konsentrasi protein
cairan alveoli sehingga menyebabkan tekanan hidrostatik meningkat dan tekanan osmosis
meningkat dan terjadi penurunan difusi sehingga terjadi akumulasi cairan pada alveoli
yang akan menekan saraf dan menyebabkan timbulnya nyeri pleuritik. Akumulasi cairan
pada alveoli akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas. Eksudat yang masuk
ke dalam alveoli akan menyebabkan konsolidasu di alveoli yang kemudian menyebabkan
terjadi comience paru menurun sehingga supai oksigen menurun yang menimbulkan
terjadinya gangguan pola nafas dan intoleransi aktivitas. Proses peradangan juga akan
menyebabkan peningkatan suhu sehingga muncul masalah keperawatan hipertermi.
Penumpukan sekret akan terakumulasi di jalan nafas sehingga timbul masalah
keperawatan bersihan jalan tidak efektif. Jika sputum masuk ke lambung akan terjadi
peningkatan asam basa yang dapat menimbulkan mual dan muntah.

1.7 Manifestasi Klinis Pneumonia

Berdasarkan sebuah penelitian didapatkan bahwa manifestasi klinis pneumonia antara lain
(Sari dkk., 2016):

a) Batuk
b) Sputum Produktif
c) Sesak napas
d) Ronki
e) Demam
f) Nyeri dada
g) Sakit kepala
h) Takipneu
i) Pernafasan cuping hidung
j) Penggunaan otot pernafasan
k) Sianosis disekitar bibir dan kuku
l) Mual muntah
m) Lemas
n) Thorax photo menujukkan infiltrasi melebar
1.8 Pemeriksaan Penunjang

a) Chest X-ray
Teridentifikasi adanya penyebaran (misal: lobus dan bronkhial); dapat juga
menunjukkan multiple abses/infiltat, empiema (Staphylococcus); penyebaran atau lokasi
infiltrasi (bakterial); atau penyebaran/extensive nodul infiltrat (sering kali viral), pada
pneumonia mycoplasma chest x-ray mungkin bersih.

Gambar 2. Perbedaan X-Ray Paru Normal dan Paru dengan Pneumonia


b) Analisis Gas Darah dan Pulse Oximetry, abnormalitas mungkin timbul tergantung
dari luasnya kerusakan paru-paru.
c) Pewarnaan Gram/Kultur Sputum dan Darah
Didapatkan dengan needle biopsy, aspirasi trantrakheal, fiberoptic bronchoscopy,
atau biopsi paru-paru terbuka untuk mengeluarkan organisme penyebab. Lebih dari satu
tipe organisme yang dapat ditemukan, seperti Diplococcus pneumoniae, Staphylococcus
aureus, A. Hemolytic streptococcus, dan Hemophilus influenzae.
d) Pemeriksaan Darah Lengkap (Complete Blood Count – CBC)
Leukositosis biasanya timbul, meskipun nilai pemeriksaan darah putih (white blood
count-WBC) rendah pada infeksi virus.
e) Tes Serologi, membantu dalam membedakan diagnosis pada organisme secara
spesifik.
f) Pemeriksaan Fungsi Paru-paru
Volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar): tekanan saluran udara
meningkat dan kapasistas pemenuhan udara menurun, hiposekmia.
g) Elektrolit, sodium dan klorida mungkin rendah.
h) Bilirubin mungkin meningkat
1.9 Penatalaksanaan Pneumonia
1. Penatalaksanaan Farmakologi
a. Pemberian antibiotik
Penderita yang penyakitnya tidak terlalu berat, diberikan antibiotik per-oral (lewat
mulut) dan tetap tinggal di rumah seperti penicillin, cephalosporin. Penderita yang
lebih tua dan penderita dengan sesak nafas atau dengan penyakit jantung atau paru-
paru lainnya, harus dirawat dan antibiotik diberikan melalui infus. Mungkin perlu
diberikan oksigen tambahan, cairan intravena dan alat bantu nafas mekanik.
b. Antibiotik misalnya ampisilin, kloramfenikol, sefatoksin, amkasin
c. Pemberian antipiretik, analgetik, bronchodilator
d. Pemberian O2
e. Pemberian cairan parenteral sesuai indikasi (Thomas dkk., 2015).

2. Penatalaksanaan Non Farmakologi


a. Oksigenasi 1-2 L/menit.
b. Humidifikasi dengan nebulizer
c. Fisioterapi dada
d. Pengaturan cairan
e. Pendidikan kesehatan terkait pneumonia
Clinical Pathway
Bakteri Virus Parasit

Infeksi Parenkim Paru

Antigen-Antibodi Berikatan Antigen Toxic Cedera Jaringan


dengan Molekul Komplemen

Pelepasan mediator nyei Kerusakan Sel Pelepasan pirogen


Pengaktifan Kaskade endogen (Sitokin)
Komplemen Merangsang Nosiseptor
Kemotaksis Netrofil dan Makrofag Aktifasi Sel Mast dan Interleukin-1 Interleukin-6
Basofil Medulla Spinalis
Fagositosis oleh Netrogil dan Makrofag Pelepasan Histamin Aktivasi
Nyeri Akut Merangsang saraf vagus
Bradikinin
Penampakan Fibrin, Eksudat, Eritrosit, Vasodilatasi Kapiler
Leukosit Sinyal mencapai Sistem Saraf
Mual Pusat
Permeabilitas Kapiler
Meningkat Pembentukan Prostaglandin Otak
Nafsu makan menurun
Perpindahan Eksudat Plasma
ke Interstisiel Merangsang hipotalamus
penumpukan sekret
Ketidakefektifan Oedem Ruang Kapiler Perubahan nutrisi :
pada bronkus
Bersihan Jalan Alveoli kurang dari
Metabolism Hipertermia
Nafas kebutuhan tubuh
Penurunan Difusi O2 e meningkat
Batuk, Dipsnea

Gangguan Pertukaran Gas Penurunan Saturasi O2


Ketidaedektifan Pola Nafas Peningkatan Penggunaan Energi

Hipoksia Jaringan
Intoleransi Aktivitas
Ketidakefektifan Perfusi Jaringan
Perifer
BAB 2. PROSES KEPERAWATAN
2.1 PENGKAJIAN
a. Identitas klien
b. Riwayat kesehatan
1) Diagnosa Medik
Pneumonia
2) Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering terjadi pada pasien pneumonia adalah sesak
napas, peningkatan suhu tubuh, dan batuk. Pada pasien dengan
pneumonia, keluhan batuk biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang
setelah meminum obat batuk yang biasanya tersedia di pasaran. Pada
awalnya keluhan batuk yang tidak produktif, tapi selanjutnya akan
berkembang menjadi batuk produktif dengan mucus purulen kekuning-
kuningan, kehijau-hijauan, dan seringkali berbau busuk. Pasien biasanya
mengeluh mengalami demam tinggi dan menggigil. Adanya keluhan nyeri
dada, sesak napas, peningkatan frekuensi pernapasan, lemas, dan kepala
nyeri
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Informasi yang dapat diperoleh meliputi informasi mengenai keluhan
batuk biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum
obat batuk yang biasanya tersedia di pasaran. Pada awalnya keluhan batuk
yang tidak produktif, tapi selanjutnya akan berkembang menjadi batuk
produktif dengan mucus purulen kekuning-kuningan, kehijau-hijauan, dan
seringkali berbau busuk.
4) Riwayat Kesehatan Terdahulu
(a) Penyakit yang pernah dialami

penyakit kronik (misalnya ginjal, dan paru), diabetes mellitus,


imunosupresi (misalnya obat-obatan, HIV), ketergantungan alkohol,
aspirasi (misalnya epilepsi), penyakit virus yang baru terjadi (misalnya
influenza), malnutrisi, ventilasi mekanik, pascaoperasi
(b) Alergi : Klien mungkin mengalami alergi yang bisa menimbulkan
reaksi inflamasi seperti peningkatan mucus atau yang lain
(c) Imunisasi : Klien umumnya memiliki imunisasi lengkap
(d) Life style: Mungkin klien memiliki kebiasaan hidup terpapar dengan
debu
(e) Obat yang dikonsumsi: tanyakan terkait obat yang dikonsumsi oleh
klien, antibiotik atau yang berkaitan dengan peradangan
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan pada pasien apakah keluarga pasien ada yang mengalami hal
yang sama dengan pasien atau apakah keluarga ada yang mengalami
penyakit degeneratif.

c. Pengkajian Keperawatan
1) Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan

Mengkaji bagaimana persepsi klien dan keluarga terkait sehat dan sakit.

Mengkaji bagaimana kebiasaan klien dan keluarga jika sedang mengalami sakit
(tenaga kesehatan apa yang dijadikan rujukan)

2) Pola Nutrisi

Mengkaji berdasarkan Antopometri, Biomedical sign, clinical sign, dan Diit


makan. Umumnya pasien bisa mengalami penurunan energi yang menyebabkan
munculnya masalah mual muntah, dan perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan
tubuh.

3) Pola Eliminasi

Mengkaji terkait balance cairan, serta mengkaji adanya masalah diare, kontipasi,
yang berhubungan dengan pola eliminasi. Umumnya jarang ditemukan masalah
terkait pola eliminasi.
4) Pola Aktivtias dan Latihan

Mengkaji terkait kemandirian klien dalam melakukan ADL dan bagaimana


kemampuan oksigenasi dan energi dalam melakukan aktivitas. Umumnya klien
akan mengalami intoleransi aktivitas.

5) Pola Tidur dan Istirahat

Mengkaji terkait durasi frekuensi dan kualitas pada tidur pasien. Umumnya
karena sakit klien akan memiliki gangguan dalam pola tidur atau insomnia

6) Pola Kognitif dan Persepsi

Mengkaji fungsi kognitif dan indra pasien umumnya tidak ditemukan masalah
pada pasien dengan pneumonia.

7) Pola Persepsi Diri

Mengkaji permasalahan yang berhubngan dengan gambaran diri, identitas diri,


ideal diri, dan harga diri. Umumnya klien tidak memiliki masalah.

8) Pola Peran dan Hubungan

Mengkaji terkait support system yang dimiliki klien, seperti keluarga yang
menunggu atau hubungan dengan teman. Dikarenakan pasien harus menjalani
hospitalisasi kemungkinan klien akan mengalami masalasah interaksi sosial.

9) Pola Manajemen Koping dan Stres

Mengkaji resiliensi klien terhadap masalah yang dihadapi dan bagaimana koping
pasien.

10) Sistem Nilai dan Keyakinan


d. Pengkajian Fisik
1) Keadaan Umum (TTV)

Klien bisa mengalami peningkatan atau penurunan RR.


2) Kepala

I: bentuk kepala simetris, persebaran rambut merata, warna rambut hitam, rambut
tidak berbau, tidak ada ketombe atau kutu
P : tidak ada penonjolan tulang kepala, tidak ada nyeri tekan

3) Mata

I: mata simetris kanan dan kiri, tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis, sklera
putih, pupil bereaksi terhadap cahaya, , reflek cahaya positif ka/ki : 3/3, pupil
dekstra dan sinistra isokor, mata tampak lelah,
P: tidak ada penonjolan pada area mata, tidak ada nyeri tekan pada area mata

4) Telinga

I: telinga simetris kanan dan kiri, tidak ada lesi, tidak ada cairan yang keluar
seperti nanah atau darah (bloody otorhea)
P: tidak ada nyeri tekan pada area telinga

5) Hidung

I: hidung kanan dan kiri simetris, tidak ada lesi, menggunakan pernafasan cuping
hidung, terdapat mucus , memakai bantuan terapi O2
P: tidak ada nyeri tekan pada area hidung

6) Mulut

I: mukosa bibir kering, warna bibir pucat, lidah terlihat kotor, area sekitar mulut,
ada pursed lip breathing.
P: tidak ada nyeri tekan pada area mulut

7) Dada

Paru
In : bentuk simetris, tidak ada lesi, ada otot bantu pernafasan
Pal :tidak ada nyeri tekan, traktil fremitus seimbang.
Per : sonor dari ICS 1-6 dekstra, suara sonor dari ICS 1-4 sinistra
Aus : ada suara nafas tambahan
ronchi vesikuler
vesikuler wheezing
Jantung
In : ictus cordis tidak terlihat, tidak ada jejas, warna kulit sama dengan kulit
sekitarnya
Pal : ictus cordis teraba di ICS 5
Per : pekak
Aus : terdengar bunyi S1 dan S2 tunggal
8) Abdomen
9) Urogenital
10) Ekstremitas
11) Kulit dan Kuku
12) Keadaan Lokal

2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


a. Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan penurunan difusi O2
b. Ketidakefektifan Bersihan Jalan nafas berhubungan dengan penumpukan
sekret pada bronkus
c. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan batuk dan dispnea
d. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer berhubungan dengan penurunan
saturasi O2
e. Nyeri akut berhubungan dengan cedera jaringan alveoli
f. Hipertermia berhubungan dengan invasi organisme penginfeksi
g. Intolerasi Aktivitas berhubungan dengan peningkatan metabolisme
h. Mual berhubungan dengan stimulasi hipotalamus
i. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual
muntah
2.3 INTERVENSI KEPERAWATAN
No. Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
1 Gangguan Pertukaran Gas NOC: NIC :
berhubungan dengan a. Respiratory Status : Gas exchange 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
penurunan difusi O2 (NOC: 433b) 2. Pasang mayo bila perlu
(NANDA: 204) b. Electrolyte & Acid/Base 3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
1. DS: Balance(NOC: 209-210b) 4. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
a. sakit kepala ketika c. Respiratory Status: ventilation(NOC: 5. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
bangun 434b) 6. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
b. Dyspnoe d. Vital Sign Status(NOC: 550b) keseimbangan.
c. Gangguan penglihatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 7. Monitor respirasi dan status O2
2. DO: selama 1 x 24 jamGangguan pertukaran 8. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan,
a. Penurunan CO2 pasien teratasi dengan kriteria hasi: penggunaan otot tambahan, retraksi otot
b. Takikardi - Mendemonstrasikan peningkatan supraclavicular dan intercostal
c. Hiperkapnia ventilasi dan oksigenasi yang adekuat 9. Monitor suara nafas, seperti dengkur
d. Keletihan - Memelihara kebersihan paru paru dan 10. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul,
e. Iritabilitas bebas dari tanda tanda distress hiperventilasi, cheyne stokes, biot
f. Hypoxia pernafasan 11. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak
g. kebingungan - Mendemonstrasikan batuk efektif dan adanya ventilasi dan suara tambahan
h. sianosis suara nafas yang bersih, tidak ada 12. Monitor TTV, AGD, elektrolit dan ststus mental
i. warna kulit abnormal sianosis dan dyspneu (mampu 13. Observasi sianosis khususnya membran mukosa
(pucat, kehitaman) mengeluarkan sputum, mampu 14. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang persiapan
j. Hipoksemia bernafas dengan mudah, tidak ada tindakan dan tujuan penggunaan alat tambahan (O2,
k. hiperkarbia pursed lips) Suction, Inhalasi)
l. AGD abnormal - Tanda tanda vital dalam rentang 15. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama dan denyut
m. pH arteri abnormal normal jantung
3. frekuensi dan kedalaman - AGD dalam batas normal
nafas abnormal - Status neurologis dalam batas normal
2. Ketidakefektifan Bersihan NOC: NIC:
Jalan nafas berhubungan - Respiratory status : Ventilation 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning.
dengan penumpukan sekret (NOC: 434b) 2. Berikan O2 ……l/mnt, metode………
pada bronkus (NANDA: 380) - Respiratory status : Airway 3. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
DS: patency(NOC: 432-433b) 4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
- Dispneu - Aspiration Control 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
DO: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
- Penurunan suara nafas selama 1 x24 jampasien menunjukkan 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
- Orthopneu keefektifan jalan nafas dibuktikan dengan 8. Berikan bronkodilator :
- Cyanosis kriteria hasil : 9. Monitor status hemodinamik
- Kelainan suara nafas (rales,a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan 10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
wheezing) suara nafas yang bersih, tidak ada 11. Berikan antibiotik :
- Kesulitan berbicara sianosis dan dyspneu (mampu 12. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
- Batuk, tidak efekotif atau mengeluarkan sputum, bernafas keseimbangan.
tidak ada dengan mudah, tidak ada pursed lips) 13. Monitor respirasi dan status O2
- Produksi sputum b. Menunjukkan jalan nafas yang paten 14. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk
- Gelisah (klien tidak merasa tercekik, irama mengencerkan sekret
- Perubahan frekuensi dan nafas, frekuensi pernafasan dalam 15. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang
irama nafas rentang normal, tidak ada suara nafas penggunaan peralatan : O2, Suction, Inhalasi.
abnormal)
c. Mampu mengidentifikasikan dan
mencegah faktor yang penyebab.
d. Saturasi O2 dalam batas normal
e. Foto thorak dalam batas normal
3. Ketidakefektifan Perfusi NOC: NIC:
Jaringan Perifer berhubungan - Circulation Status Circulation Status
dengan penurunan saturasi - Fluid Management 1. Kaji secara komprehensif sirkukasi perifer (nadi
O2(NANDA: 237) - Vital Signs perifer, edema, kapillary refill, warna dan temperatur
DS: Setelah dilakukan tindakan keperawatan ekstremitas)
Klien sesak nafas selama 3 x 24 jampasien menunjukkan 2. Evaluasi nadi perifer dan edema
DO: keefektifan jalan nafas dibuktikan dengan 3. Inpseksi kulit adanya luka
- Nadi lemah kriteria hasil : 4. Kaji tingkat nyeri
- Perubahann karakteristik a. Tekanan darah sistolik dbn 5. Elevasi anggota badan 20 derajat atau lebih tinggi dari
kulit (misal: warna, b. Tekanan darah diastolik dbn jantung untuk meningkatkan venous return
elastisitas, kelembapan c. Kekuatan nadi dbn 6. Ubah posisi klien minimal setiap 2 jam sekali
rambut, kuku, sensasi, d. Rata-rata tekanan darah dbn 7. Monitor status cairan masuk dan keluar
temperatur) e. Nadi dbn 8. Gunakan therapeutic bed
- CRT > 3 detik f. Tekanan vena sentral dbn 9. Dorong latihan ROM selama bedrest
- Penurunan tekanan darah g. Tidak ada bunyi hipo jantung 10. Dorong pasien latihan sesuai kemampuan
pada ekstremitas abnormal 11. Jaga keadekuatan hidrasi untuk mencegah
- Edema h. Tidak ada angina peningkatan viskositas darah
- Nyeri ekstremitas i. AGD dbn 12. Kolaborasi pemberian antiplatelet atau antikoagulan
- Parastesia j. Kesimbangan intake dan output 24 13. Monitor laboratorium Hb, Hematokrit
- Keterlambatan jam
penyembuhan luka k. Perfusi jaringan perifer Fluid Management
l. Kekuatan pulsasi perifer 1. Catat intake dan output cairan
m. Tidak ada pelebaran vena 2. Monitor status hidrasi
n. Tidak ada distensi vena jugularis 3. Monitor tanda-tanda vital
o. Tidak ada edema perifer 4. Monitor status nutrisi
p. Tidak ada asites
q. Pengisian kapiler
r. Warna kulit normal
s. Kekuatan fungsi otot
t. Kekuatan kulit
u. Suhu kulit hangat
v. Tidak ada nyeri ekstremitas
4. Nyeri akut berhubungan NOC : NIC:
dengan cedera jaringan - Pain Level, Pain Management
alveoli - pain control, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
DS: - comfort level termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
- Laporan secara verbal Setelah dilakukan tinfakan keperawatan kualitas dan faktor presipitasi
DO: selama 2 x 24 jamPasien tidak 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
- Posisi untuk menahan nyeri mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:
- Gangguan tidur (mata a. Mampu mengontrol nyeri (tahu 3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
sayu, tampak capek, sulit penyebab nyeri, mampu menemukan dukungan
atau gerakan kacau, menggunakan tehnik nonfarmakologi 4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
menyeringai) untuk mengurangi nyeri, mencari seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
- Respon autonom (seperti bantuan) 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
diaphoresis, perubahan b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang 6. Kaji tipe dan sumber nyeri
tekanan darah, perubahan dengan menggunakan manajemen 7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dada,
nafas, nadi dan dilatasi nyeri relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
pupil) c. Mampu mengenali nyeri (skala, 8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...
- Perubahan autonomic intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 9. Tingkatkan istirahat
dalam tonus otot (mungkin d. Menyatakan rasa nyaman setelah 10. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab
dalam rentang dari lemah nyeri berkurang nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi
ke kaku) e. Tanda vital dalam rentang normal ketidaknyamanan dari prosedur
- Tingkah laku ekspresif f. Tidak mengalami gangguan tidur
(contoh : gelisah, merintih,
menangis, waspada,
iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu
makan dan minum
5. Hipertermia berhubungan NOC : NIC:
dengan invasi organisme Thermoregulation Temperature Regulation (Pengaturan Suhu)
penginfeksi Setelah dilakukan tinfakan keperawatan 1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
selama …. Pasien tidak mengalami 2. Rencanakan monitoring suhu secara kontinyu
hipertermi,kriteria hasil : 3. Monitor TD, nadi, dan RR
a. Suhu tubuh dalam rentang normal 4. Monitor warna dan suhu kulit
b. Nadi dan RR dalam rentang normal 5. Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
c. Tidak ada perubahan warna kulit, dan 6. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
tidak ada pusing 7. Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya
kehangatan tubuh
8. Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat
panas
9. Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan
kemungkinan efek negatif dari kedinginan
10. Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan
penanganan emergency yang diperlukan
11. Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penanganan yang
diperlukan
12. Berikan anti piretik jika perlu
Fever Treatment
Temperature Regulation
Vital Signs Monitoring
6. Intoleransi aktivitas NOC : NIC :
berhubungan dengan - Self Care : ADLs 1. Observasi adanya pembatasan klien dalam
peningkatan metabolisme - Konservasi eneergi melakukan aktivitas
DS: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
- Melaporkan secara selama 8 x 24 jam bertoleransi terhadap 3. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
verbal adanya kelelahan aktivitas dengan 4. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan
atau kelemahan. Kriteria Hasil : emosi secara berlebihan
- Adanya dyspneu atau a. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik 5. Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas
ketidaknyamanan saat tanpa disertai peningkatan tekanan (takikardi, disritmia, sesak nafas, diaporesis, pucat,
beraktivitas. darah, nadi dan RR perubahan hemodinamik)
DO : b. Mampu melakukan aktivitas sehari 6. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
- Respon abnormal dari hari (ADLs) secara mandiri 7. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik
tekanan darah atau nadi c. Keseimbangan aktivitas dan istirahat dalam merencanakan progran terapi yang tepat.
terhadap aktifitas 8. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang
- Perubahan ECG : mampu dilakukan
aritmia, iskemia 9. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai
dengan kemampuan fisik, psikologi dan sosial
10. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan
sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
11. Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas
seperti kursi roda, krek
12. Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai
13. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu
luang
14. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi
kekurangan dalam beraktivitas
15. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif
beraktivitas
16. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri
dan penguatan
17. Monitor respon fisik, emosi, sosial dan spiritual
2.4 Discharge Planning Pneumonia
1. Kaji kemampuan klien untuk meninggalkan RS
2. Kolaborasikan dengan terapis, dokter, ahli gizi, atau petugas kesehatan lain
tentang kebelanjutan perawatan klien di rumah
3. Identifikasi bahwa pelayanan kesehatan tingkat pertama (puskesmas atau
petugas kesehatan di rumah klien) mengetahui keadaan klien
4. Identifikasi pendidikan kesehatan apa yang dibutuhkan oleh klien yaitu
hindari penyebab kambuhnya pneumonia, cara penularan, dan pencegahan
kekambuhan, melakukan gaya hidup sehat.
5. Komunikasikan dengan klien tentang perencanaan pulang
6. Dokumentasikan perencanaan pulang
7. Anjurkan klien untuk melakukan pengontrolan kesehatan secara rutin
DAFTAR PUSTAKA

Aung, H. H., A. Sivakumar, S. K. Gholami, S. P. Venkateswaran, B. Gorain, dan


Shadab. 2019. An Overview of the Anatomy and Physiology of the Lung.
Elsevier Inc. Nanotechnology-Based Targeted Drug Delivery Systems for
Lung Cancer.

E.Weinberger, S., B. A.Cockrill, dan J. Mandel. 2018. Pulmonary anatomy and


physiology: the basics. Principles of Pulmonary Medicine. 1(1)

El-Solh, A. A., M. S. Niederman, dan P. Drinka. 2016. Management of


pneumonia in the nursing home. Chest. 138(6):1480–1485.

Jung, T. H. dan C. H. Kim. 2016. Definition and classification of pneumonia.


Tuberculosis and Respiratory Diseases. 43(3):297.

Lestari, N. E., N. Nurhaeni, dan S. Chodidjah. 2018. The combination of


nebulization and chest physiotherapy improved respiratory status in children
with pneumonia. Enfermeria Clinica. 28:19–22.

National Institute for Health and Care Excellence. 2018. Pneumonia in adults:
diagnosis and management clinical. Nice. 12(5):593–593.

Puspitasari, D. E. dan F. Syahrul. 2015. Faktor risiko pneumonia pada balita.


Jurnal Berkala Epidemiologi. 3(1)

Sari, E. F., C. M. Rumende, dan K. Harimurti. 2016. Factors related to diagnosis


of community-acquired pneumonia in the elderly faktor – faktor yang
berhubungan dengan diagnosis pneumonia pada pasien usia lanjut. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia. 3(4):183–192.

Thomas, M. F., A. Wort, dan D. A. Spencer. 2015. Management and


complications of pneumonia. Paediatrics and Child Health (United
Kingdom). 25(4):172–178.

Weinberger, S. E., B. A. Cockrill, J. Mandel, S. E. Weinberger, B. A. Cockrill,


dan J. Mandel. 2019. 23 – pneumonia. Principles of Pulmonary Medicine.
297–313.

WHO. 2014. Pneumonia. [serial online] http://www.who.int/mediacentre


/factsheets/fs331/en/ [16 Maret 2019]

Anda mungkin juga menyukai