Anda di halaman 1dari 24

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PNEUMONIA DI


RUANG 25 IRNA I RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL
ANWAR MALANG

OLEH:
Intan Dwi Arini, S. Kep
NIM 182311101078

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
OKTOBER, 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan


Pneumonia di Ruang 25 IRNA I RSUD Dr. Saiful Anwar Malang telah disetujui
dan disahkan pada :
Hari, Tanggal :
Tempat :

Malang, Oktober 2018

Mahasiswa

Intan Dwi Arini,S.Kep


NIM 182311101078

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Ruang 25 IRNA 1
Universitas Jember RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Ns. Fitrio Devianony, M.Kep M. Roji’in, Bsc


NRP. 760018001 NIP. 19630225 199403 1 002
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Penyakit
1. Anatomi Fisiologi Paru
Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya
berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru
terbagi menjadi dua yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai
tiga lobus sedangkan paru- paru kiri mempunyai dua lobus. Kelima lobus
tersebut dapat terlihat dengan jelas. Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi
beberapa subbagian menjadi sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut
bronchopulmonary segments. Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang
yang disebut mediastinum.
Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi menjadi
pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput yang
langsung membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang
menempel pada rongga dada. D i a n t a r a kedua pleura terdapat rongga yang
disebut kavum pleura (Guyton, 2007). Paru-paru merupakan organ yang lunak,
spongious dan elastis, berbentuk kerucut atau konus, terletak dalam rongga toraks
dan di atas diafragma, diselubungi oleh membran pleura. Setiap paru mempunyai
apeks (bagian atas paru) yang tumpul di kranial dan basis (dasar) yang melekuk
mengikuti lengkung diphragma di kaudal. Pembuluh darah paru, bronkus, saraf
dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus.
Paru-paru kanan mempunyai 3 lobus sedangkan paru-paru kiri 2 lobus. Lobus
pada paru-paru kanan adalah lobus superius, lobus medius, dan lobus inferius.
Lobus medius/lobus inferius dibatasi fissura horizontalis; lobus inferius dan
medius dipisahkan fissura oblique. Lobus pada paru-paru kiri adalah lobus
superius dan lobus inferius yg dipisahkan oleh fissura oblique. Pada paru-paru kiri
ada bagian yang menonjol seperti lidah yang disebut lingula. Jumlah segmen pada
paru-paru sesuai dengan jumlah bronchus segmentalis, biasanya 10 di kiri dan 8-9
yang kanan. Sejalan dengan percabangan bronchi segmentales menjadi cabang-
cabang yg lebih kecil, segmenta paru dibagi lagi menjadi subsegmen-subsegmen.
Sistem pernafasan dapat dibagi ke dalam sistem pernafasan bagian atas dan
pernafasan bagian bawah.
a. Pernafasan bagian atas meliputi, hidung, rongga hidung, sinus paranasal,
dan faring.
b. Pernafasan bagian bawah meliputi, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan
alveolus paru (Guyton, 2007) Pergerakan dari dalam ke luar paru terdiri dari
dua proses, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari
atmosfer ke dalam paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari
dalam paru ke atmosfer. Agar proses ventilasi dapat berjalan lancar
dibutuhkan fungsi yang baik pada otot pernafasan dan elastisitas
jaringan paru. Otot-otot pernafasan dibagi menjadi dua yaitu:
1) Otot inspirasi yang terdiri atas, otot interkostalis eksterna,
sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma.
2) Otot-otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan
interkostalis internus
Paru-paru dan dinding dada adalah struktur yang elastis. Dalam keadaan
normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada sehingga
paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding dada. Tekanan pada ruangan
antara paru-paru dan dinding dada berada di bawah tekanan atmosfer (Guyton,
2007). Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara darah dan
atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon
dioksida terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme
seseorang, tapi pernafasan harus tetap dapat memelihara kandungan oksigen dan
karbon dioksida tersebut.
Udara masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa yang menyempit
(bronchi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paru-paru utama
(trachea). Pipa tersebut berakhir di gelembung-gelembung paru-paru (alveoli)
yang merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen dan karbondioksida
dipindahkan dari tempat dimana darah mengalir. Ada lebih dari 300 juta
alveoli di dalam paru-paru manusia bersifat elastis. Ruang udara tersebut
dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia surfaktan yang dapat
menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis
Untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan dapat dibagi menjadi empat
mekanisme dasar, yaitu:
1) Ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara alveoli dan
atmosfer
2) Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah
3) Transport dari oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan
tubuh ke dan dari sel
4) Pengaturan ventilasi (Guyton, 2007).
Pada waktu menarik nafas dalam, maka otot berkontraksi, tetapi pengeluaran
pernafasan dalam proses yang pasif. Ketika diafragma menutup dalam, penarikan
nafas melalui isi rongga dada kembali memperbesar paru-paru dan dinding badan
bergerak hingga diafragma dan tulang dada menutup ke posisi semula. Aktivitas
bernafas merupakan dasar yang meliputi gerak tulang rusuk sewaktu
bernafas dalam dan volume udara bertambah.
Inspirasi merupakan proses aktif kontraksi otot-otot. Inspirasi menaikkan
volume intratoraks. Selama bernafas tenang, tekanan intrapleura kira-kira 2,5
mmHg relatif lebih tinggi terhadap atmosfer. Pada permulaan, inspirasi menurun
sampai -6 mmHg dan paru-paru ditarik ke posisi yang lebih mengembang dan
tertanam dalam jalan udara sehingga menjadi sedikit negatif dan udara mengalir
ke dalam paru-paru. Pada akhir inspirasi, recoil menarik dada kembali ke posisi
ekspirasi dimana tekanan recoil paru-paru dan dinding dada seimbang. Tekanan
dalam jalan pernafasan seimbang menjadi sedikit positif sehingga udara mengalir
ke luar dari paru-paru.
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume
toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga
udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir
menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi (Price, 2005). Proses setelah
ventilasi adalah difusi yaitu, perpindahan oksigen dari alveol ke dalam
pembuluh darah dan berlaku sebaliknya untuk karbondioksida. Difusi dapat
terjadi dari daerah yang bertekanan tinggi ke tekanan rendah. Ada beberapa
faktor yang berpengaruh pada difusi gas dalam paru yaitu, faktor membran,
faktor darah dan faktor sirkulasi. Selanjutnya adalah proses transportasi, yaitu
perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan
aliran darah (Guyton, 2007).

2. Definisi

Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan bagian


bawah dengan gejaa batuk dan disertai dengan sesak nafas yang disebabkan agen
infeksius seperti virus, bakteri, mycoplasma (fungi) berupa radang paru yang
disertai eksudasi dan konsolidasi (Nurarif, 2013). Pneumonia adalah radang paru
yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak,
napas cepat, sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan
berkurang) (Riskesdas, 2013). Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran
napas bawah akut pada parenkim paru. Pneumonia disebabkan oleh
mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit (PDIP,2014;
Djojodibroto,2009).

3. Epidemiologi
Kejadian pneumonia cukup tinggi di dunia, yaitu sekitar 15% - 20% (Dahlan,
2014). Pada usia lanjut angka kejadian pneumonia mencapai 25-44 kasus per
1000 penduduk setiap tahun (Putri dan Helmia.,2014). Pneumonia merupakan
penyebab kematian nomor lima pada usia lanjut (Dahlan, 2014).
Di Indonesia, prevalensi kejadian pneumonia pada tahun 2013 sebesar 4,5%
(Kementerian Kesehatan RI, 2013). Selain itu, pneumonia merupakan salah satu
dari 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit, dengan proporsi kasus 53,95%
laki-laki dan 46,05% perempuan. Pneumonia memiliki tingkat crude fatality rate
(CFR) yang tinggi, yaitu 7,6% (PDPI, 2014). Berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi pneumonia pada usia lanjut mencapai 15,5%
(Kementerian Kesehatan RI, 2013).

4. Etiologi
Pneumonia bakteri terjadi akibat inhalasi mikroba yang ada di udara. Aspirasi
organisme dari nasofaring (penyebab pneumonia bakterialis yang paling sering)
atau penyebaran hematogen dari fokus infeksi yang jauh. Bakteri yang masuk ke
paru-paru melalui saluran pernafasan masuk ke bronkiolus dan alveoli lalu
menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan endema yang
kaya protein dalam alveoli dan jaringan interstitial.
Menurut Smelzer & Bare (2010) pneumonia dikelompokkan berdasarkan
agen penyebabnya dan dikategorikan sebagai pneumonia bakterialis serta
pneumonia atipikal. Pneumonia bakterialis merupakan pneumonia yang
disebabkan oleh bakteri berupa gram positif seperti: Streptococus Pneumoniae,
Staphylococus Aureus, serta baketeri gram negatif seperti: Klebsiella
Pneumoniae, Pseudomonas Aeruginosa, Haemophilus Influenzae. Menurut
Soemantri (2007) pneumonia kebanyakan disebabkan oleh bakteri Pneumonia
pneumococcus. Menurut WHO (2014) penyebab pneumonia kedua setelah
Pneumonia pneumococcus adalah haemophilus influenzae tibe b (HIB), kemudian
pada bayi yang terinfeksi HIV penyebabnya adalah Pneumocystis jiroveci.
Penyebab pneumonia menurut Misnadiarly (2008) yaitu sebagai berikut.
1) Bakteri
a) Gram positif: Streptococcus Pneumoniae (Pneumococcal Pneumonia),
Staphylococcus Aureus.
b) Gram negatif: Haemophilus Influenzae, Pseudomonas Aeruginosa,
Klebsiella Pneumoniae (Friedlender’s Bacillus).
c) Anaerobik: Anaerobic Streptococcus, Fusobacteria, Bacteroides Species.
d) Atipikal: Legionella Pneumophila, Mycoplasma Pneumoniae
2) Virus: Influenza, Parainfluenza, Adenovirus.
3) Jamur: Candidiasis, Blastomycosis, Cryptococcosis, Histoplasmosis,
Coccidioidomycosis.
4) Aspirasi: Makanan, cairan, muntah.
5) Inhalasi: Racun atau bahan kimia (Polivinilpirolidin, Gumma Arabikum,
Berillium, uap air raksa), rokok, debu dan gas.
Pada umumnya pneumonia termasuk kedalam penyakit menular yang
ditularkan melalui udara. Sumber penularan adalah penderita pneumonia yang
menyebarkan kuman ke udara pada saat batuk atau bersin dalam bentuk droplet.
Inhalasi merupakan cara terpenting masuknya kuman penyebab pneumonia
kedalam saluran pernapasan yaitu bersama udara yang dihirup, di samping itu
terdapat juga cara penularan langsung yaitu melalui percikan droplet yang
dikeluarkan oleh penderita saat batuk, bersin dan berbicara kepada orang di
sekitar penderita, transmisi langsung dapat juga melalui ciuman, memegang dan
menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita
(WHO, 2014).

5. Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan anatomi dan etiologi.
1. Klasifikasi anatomis
a. Pneumonia Lobaris yaitu melibatkan seluruh atau satu bagian lobus paru.
Bila kedua parenkim terkena, maka dikenal sebagai pneumonia bilateral
atau “ganda”.
b. Pneumonia Loburalis (Bronkopneumonia) terjadi pada ujung akhir
bronkiolus, yang tersumbat oleh eksudat mukoporulen untuk membentuk
bercak konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya.
c. Pneumonia Interstitial (Bronkiolitis) proses inflamasi yang terjadi di dalam
dinding alveolar (interstisium) dan jaringan peribronkial serta interlobural.
2. Klasifikasi Etiologi
a. Bakteria: Diplococus pneumonia, Pneumococus, Streptococus,
Streptococus aureus, Mycrobacterium tuberculosis, Hemophilus infuenza
b. Virus: Virus Influenza, Adenovirus, Mycoplasma pneumonia
c. Jamur: Histoplasma capsulatum, Cryptococus neuroformans, Candida
albicans
d. Aspirasi: Makanan, kerosin (bensin, minyak tanah) , cairan amnion,
Benda asing.
e. Sindrom Loeffler sekelompok penyakit paru-paru dimana eosinofil (salah
satu jenis sel darah putih yang terlibat dalam terjadinya reaksi alergi),
muncul dalam jumlah yang banyak di paru-paru dan di dalam aliran darah.
Eosinofil berperan dalam pertahanan kekebalan di paru-paru. Selama
peradangan dan reaksi alergi (termasuk asma yang sering menyertai
beberapa tipe pneumonia eosinofilik), jumlah eosinofil akan meningkat.
Klasifikasi pneumonia didasarkan pada faktor inang dan lingkungan (Dahlan,
2014).
Lingkungan Faktor inang
Pneumonia komunitas Sporadis atau endmik; muda atau orang
tua
Pneumonia Nasokomial Didahului perawatan di rumah sakit
Pneumonia rekurens Terjadi berulang kali, berdasarkan
penyakit paru kronik
Pneumonia aspirasi Alkoholik, usia tua
Pneumonia pada gangguan imun Pada pasien transplantasi, onkologi,
AIDS

6. Patofisiologi
Pneumonia atau radang paru-paru ialah inflamasi paru-paru yang disebabkan
oleh bakteria, virus atau fungi. Pneumonia dapat terjadi akibat menghirup bibit
penyakit di udara atau kuman di tenggorokan terisap masuk ke paru-paru.
Penyebaran bisa juga melalui darah dari luka di tempat lain, misalnya di kulit.
Jika melalui saluran napas, patogen yang masuk akan dilawan oleh berbagai
sistem pertahanan tubuh manusia. Misalnya, dengan batuk-batuk atau perlawanan
oleh sel-sel pada lapisan lendir tenggorokan, hingga gerakan rambut-rambut halus
(silia) untuk mengeluarkan mukus (lendir) tersebut keluar pada saat itu terjadi
proses peradangan. Lobus bagian bawah paru-paru paling sering terkena karena
efek gravitasi. Setelah mencapai alveoli, maka pneumokokus menimbulkan
respon yang khas terdiri dari empat tahap yang berurutan (Price & Wilson, 2006).
a. Kongesti (4-12 jam pertama)
Merupakan stadium pertama, eksudat yang kaya protein keluar masuk ke
dalam alveolar melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor, disertai
kongesti vena. Paru menjadi berat, edematosa dan berwarna merah.
b. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya)
Terjadi pada stadium kedua, yang berakhir setelah beberapa hari. Ditemukan
akumulasi yang masif dalam ruang alveolar, bersama-sama dengan limfosit
dan magkrofag. Banyak sel darah merah juga dikeluarkan dari kapiler yang
meregang. Pleura yang menutupi diselimuti eksudat fibrinosa. Paru-paru
tampak berwarna kemerahan, padat tanpa mengandung udara, disertai
konsistensi mirip hati yang masih segar dan bergranula (hepatisasi = seperti
hepar).
c. Hepatisasi kelabu (3-8 hari)
Pada stadium ketiga menunjukkan akumulasi fibrin yang berlanjut disertai
penghancuran sel darah putih dan sel darah merah. Paru-paru tampak kelabu
coklat dan padat karena leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi di dalam
alveoli yang terserang.
d. Resolusi (8-11 hari)
Pada stadium keempat ini, eksudat mengalami lisis dan direabsorbsi oleh
makrofag dan pencernaan kotoran inflamasi, dengan mempertahankan
arsitektur dinding alveolus di bawahnya, sehingga jaringan kembali pada
strukturnya semula.
Akibat dari masuknya mukus ke dalam alveoli terjadi peningkatan
konsentrasi protein cairan alveoli sehingga menyebabkan tekanan hidrostatik
meningkat dan tekanan osmosis meningkat dan terjadi penurunan difusi sehingga
terjadi akumulasi cairan pada alveoli yang akan menekan saraf dan menyebabkan
timbulnya nyeri pleuritik. Akumulasi cairan pada alveoli akan menyebabkan
terjadinya gangguan pertukaran gas. Eksudat yang masuk ke dalam alveoli akan
menyebabkan konsolidasi di alveoli yang kemudian menyebabkan terjadi
complience paru menurun sehingga supai oksigen menurun yang menimbulkan
terjadinya gangguan pada pola nafas sehingga mengakibatkan ketidaktoleran
dalam beraktivitas. Proses peradangan juga akan menyebabkan peningkatan suhu
sehingga muncul masalah hipertermi. Penumpukan sekret akan terakumulasi di
jalan nafas sehingga timbul masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Jika
sputum masuk ke lambung akan terjadi peningkatan asam basa yang dapat
menimbulkan mual dan muntah.

7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang sering muncul pada klien dengan pneumonia adalah
sebagai berikut (Smeltzer & Bare, 2010).
1) Demam
2) Menggigil
3) Nyeri dada seperti ditusuk-tusuk ketika bernapas dan batuk
4) Takipneu
5) Pernapasan mendengkur
6) Pernapasan cuping hidung
7) Penggunaan otot-otot aksesori pernapasan
8) Sakit kepala
9) Myalgia, ruam dan faringitis pada klien pneumonia atipikal
10) Warna mata menjadi lebih terang
11) Bibir bidang kuku sianotik
12) Pasien lebih menyukai untuk duduk tegak ditempat tidur dengan condong
ke arah depan
13) Sputum berbusa pada pneumonia yang diakibatkan oleh pneumonia
pneumokokus, stafilokokus, klebsiella, dan streptokokus
14) Sputum kental pada pneumonia yang diakibatkan oleh pneumonia
klebsiella
15) Sputum berwarna hijau pada pneumonia yang dakiatkan oleh H. Influenza

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut
(Soemantri, 2007; Smetlzer & Bare, 2010).
1) Foto Thorax (X-ray), mengidentifikasikan distribusi struktural (misal: lobar,
bronchial) dapat menyatakan abses luas/infiltrat, empiema (stapilococcus),
infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bakterial) atau penyebaran/perluasan
infiltrat nodul (lebih sering virus). Pada pneumonia mikroplasma, sinar x
dada mungkin bersih.
2) Pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan leukositosis umumnya menandai
adanya infeksi bakteri. Pada kasus pneumonia oleh bakteri akan terjadi
leukositosis (meningkatnya jumlah netrofil). Secara laboratorik ditemukan
leukositosis 15.000-40.000/m dengan pergeseran LED meninggi.
3) Tes serologi, membantu membedakan diagnosis pada organisme secara
spesifik
4) Analisa gas darah, dilakukan untuk menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan
oksigen
5) Pewarnaan Gram/Kultur Sputum dan Darah
Didapatkan dengan needle biopsy, aspirasi trantrakheal, fiberoptic
bronchoscopy, atau biopsi paru-paru terbuka untuk mengeluarkan organisme
penyebab. Lebih dari satu tipe organisme yang dapat ditemukan, seperti
Diplococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, A. Hemolytic
streptococcus, dan Hemophilus influenzae.
6) Pemeriksaan fungsi paru dapat muncul volume mungkin menurun, tekanan
saluran udara meningkat dan kapasitas pemenuhan udara menurun,
hipoksemia

9. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non-Farmakologi


Menurut Smeltzer & Bare (2010) pengobatan farmakologi pneumonia
meliputi administrasi antibiotik yang sesuai sebagaimana ditentukan oleh hasil
pewarnaan Gram. Penderita yang penyakitnya tidak terlalu berat, bias diberikan
antibiotik per-oral (lewat mulut) dan tetap tinggal di rumah seperti penicillin,
cephalosporin. Penderita dengan sesak nafas atau dengan penyakit jantung atau
paru-paru lainnya, harus dirawat dan antibiotik diberikan melalui infus antibiotik
dapat berupa respiratory fluoroquinolone (moxifloxacin, gemifloxacin, or
levofloxacin) atau beta-lactam agent (cefpodoxime or cefuroxime) dan macrolide.
Pasien yang tidak mengalami multi drug resisten mendapat monoterapi berupa
ceftriaxone, ampicillin/sulbactam, levofloxacin, atau ertapenem. Pasien dengan
multidrug resistanceteraapi kembinasi threedrugs digunakan meliputi:
antipseudomonal cephalosporin atau ceftazidime atau antipseudomonal
carbapenem atau piperacillintazobactam+antipseudomonal fluoroquinolone atau
aminoglycoside+linezolid atau vancomycin. Mungkin perlu diberikan oksigen
tambahan, cairan intravena dan alat bantu nafas mekanik.
a) Pemberian antipiretik, analgetik, bronchodilator
b) Pemberian O2
c) Pemberian cairan parenteral sesuai indikasi
Sedangkan penatalaksanaan non-farmakologi untuk pneumonia bergantung
pada penyebab, sesuai yang ditentukan oleh pemeriksaan sputum mencakup :
a) Manajemen jalan nafas dengan mempertahankan kepatenan jalan nafas, serta
monitor peberian oksigenasi.
b) Humidifikasi dengan nebulizer agar sputum dapat keluar dan tidak
menyumbat jalan nafas
c) Fisioterapi dada (perkusi dan drainase postural) adalah penting dalam
melonggarkan dan memobilisasi sekresi. Indikasi untuk fisioterapi dada
termasuk sputum retensi tidak responsif terhadap batuk, bukti sekresi tertahan
(penurunan atau napas tidak normal terdengar, perubahan tanda-tanda vital).
d) Manajemen istirahat dan tidur dimana pasien dibatasi melakukan aktiviats
berlebih yang dapat menambah buruk sesak napas. Pasien dianjurkan untuk
lebih banyak beristitrahat untuk konservasi energi dalam rangka pemulihan.
Pasien diposisiskan senyaman mungkin serta bila sesak pasien diposisiskan
semifowler serta diubah-ubah posisinya dengan postural drainage sesuai lobar
yang mengalami pnueumoni
e) Pengaturan cairan dan nutrisi
f) Pendidikan kesehatan terkait pneumonia
B. Clinical Pathway
Etiologi : jamur, bakteri ,virus
protozoa dll

Terhirup/teraspirasi

Masuk ke paru-paru melalui alveoli

Proses peradangan
Infeksi
Peningkatan suhu tubuh
Eksudat masuk kedalam alveoli peningkatan konsentrasi protein
Kerja sel goblet meningkat cairan alveoli
Leukosit mengisi alveoli
Hipertermi
Tekanan hidrostatik dan
Produksi sputum meningkat osmotik meningkat
Konsolidasi di alveoli
Difusi menurun
Mukus berlebihan
Compliance paru menurun
Akumulasi cairan di alveoli
Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas Suplai O2 menurun Gangguan
Cairan menekan saraf pertukaran gas

Ketidakseimbangan suplai dan


kebutuhan oksigen
Nyeri akut

Intolerasi aktivitas
C. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas Klien meliputi:
Nama klien, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, pendidikan, no RM,
diagnosa medis, tanggal / jam MRS
2. Keluhan utama: biasanya klien sesak nafas, bernafas terasa berat pada
dada, adanya keluhan sulit untuk bernafas
3. Riwayat kesehatan:
a) Riwayat kesehatan sekarang
Klien dengan pneumonia mengeluhan sesak nafas yang hebat dan
mendadak. Kemudian diikuti dengan gejala-gejala lain seperti peningkatan
suhu tubuh, penggunaan otot bantu pernafasan, kelelahan,sianosis, dan
perubahan tekanan darah.
b) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti adanya
infeksi saluran pernafasan atas, TB, kebiasan merokok (bukan penyakit
namun pola hidup yang kurang baik).
c) Riwayat kesehatan keluarga
Pada klien dengan pneumonia yang perlu dikaji tentang riwayat penyakit
keluarga apakah ada yang menderita TB.
4. Pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan kesehatan
Pada klien dengan pneumonia pola kesehatannya kurang baik seperti
kebiasaan merokok.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Nafsu makan klien menurun karena distress pernafasan, klien terlihat
lemah, berat badan menurun karena anoreksia.
Gejala :
a) Mual dan muntah
b) Nafsu makan buruk
c) BB menetap/berkurang
Tanda
a) Turgor kulit memburuk
b) Edema
c) Berkeringat
3) Pola aktivitas dan latihan
1. Gejala
a) Keletihan, dan kelemahan.
b) Ketidakmampuan melakukan aktifitas sehari-hari karena sesak.
c) Kualitas tidur yang buruk.
d) Dipsnea
2. Tanda
a) Keletihan
b) Gelisah
c) Insomnia
d) Kelemahan umum
4) Pola eleminasi
Nafsu makan klien menurun, sulit BAB, memiliki resiko konstipasi.
5) Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sulit tidur karena mengalami sesak nafas dan sering
batuk.
6) Pola sensori dan kognitif
Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan, dan
pendengaran) apakah terdapat gangguan ataupun tidak ada gangguan.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Karena nyeri dan sesak napas biasanya akan meningkatkan emosi dan
rasa kawatir klien tentang penyakitnya
8) Pola seksualitas dan reproduksi
Adanya penurunan libido (hasrat emosional atau energi yang berkaitan
dengan nafsu seksual, keinginan untuk hubungan dan kenikmatan seksual)
akibat dari kelemahan.
9) Pola hubungan dan peran
Gejala sesak sangat membatasi klien untuk menjalani kehidupan secara
normal. Klien tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai anggota keluarga.
Klien perlu menyesuaikan diri kondisinya dengan hubungan dan peran
klien, baik di lingkungan rumah tangga, masyarakat, ataupun lingkungan
kerja.
10) Pola manajemen koping
Stress dan ketegangan emosional akan terjadi karena proses
penyembuhan yang membutuhkan waktu lama. Oleh karena itu perlu
dikaji penyebab terjadinya stress. Frekuensi dan pengaruh stress terhadap
kehidupan klien serat cara penangulangan terhadap stressor
11) Sistem keyakinan nilai dan keyakinan
Kedekatan klien pada sesuatu yang diyakininya didunia dipercaya
dapat meningkatakan kekuatan jiwa klien.

B. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan difusi O2
2) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mukus
berlebih
3) Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera biologis.
4) Hipertermi berhubungan dengan inflamasi
5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai
dan kebutuhan O2
C. Perencanaan keperawatan
No. Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
1 Gangguan Pertukaran NOC: NIC :
Gas berhubungan dengan a. Status pernafasan: pertukaran 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
penurunan difusi O2 gas 2. Pasang mayo bila perlu
b. Elektrolit dan keseimbangan 3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
asam basa 4. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
c. Status pernafasan: ventilasi 5. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
d. Status tanda vital 6. Berikan bronkodilator ;
7. Barikan pelembab udara
Setelah dilakukan tindakan 8. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
keperawatan selama .... x 24 jam 9. Monitor respirasi dan status O2
Gangguan pertukaran pasien 10. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan,
teratasi dengan kriteria hasi: retraksi otot supraclavicular dan intercostal
- Mendemonstrasikan 11. Monitor suara nafas, seperti dengkur
peningkatan ventilasi dan 12. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul, hiperventilasi,
oksigenasi yang adekuat cheyne stokes, biot
- Memelihara kebersihan paru 13. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan
paru dan bebas dari tanda suara tambahan
tanda distress pernafasan 14. Monitor TTV, AGD, elektrolit dan status mental
- Mendemonstrasikan batuk 15. Observasi sianosis khususnya membran mukosa
efektif dan suara nafas yang 16. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang persiapan tindakan dan tujuan
bersih, tidak ada sianosis dan penggunaan alat tambahan (O2, Suction, Inhalasi)
dyspneu (mampu 17. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama dan denyut jantung
mengeluarkan sputum,
mampu bernafas dengan
mudah, tidak ada pursed lips)
- Tanda tanda vital dalam
rentang normal
- AGD dalam batas normal
- Status neurologis dalam
batas normal
2. Ketidakefektifan NOC: NIC:
Bersihan Jalan nafas - Status pernafasan: ventilasi 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning.
berhubungan dengan - Status pernafasan: kepatenan 2. Berikan O2 ……l/mnt, metode………
mukus berlebih jalan nafas 3. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
- Kontrol aspirasi 4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Setelah dilakukan tindakan 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
keperawatan selama 1 x24 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
jampasien menunjukkan 8. Berikan bronkodilator :
keefektifan jalan nafas 9. Monitor status hemodinamik
dibuktikan dengan kriteria hasil 10. Berikan pelembab udara kassa basah NaCl lembab
: 11. Berikan antibiotik
a. Mendemonstrasikan batuk 12. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
efektif dan suara nafas yang 13. Monitor respirasi dan status O2
bersih, tidak ada sianosis dan 14. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan sekret
dyspneu (mampu 15. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan peralatan : O2,
mengeluarkan sputum, Suction, Inhalasi.
bernafas dengan mudah,
tidak ada pursed lips)
b. Menunjukkan jalan nafas
yang paten (klien tidak
merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam
rentang normal, tidak ada
suara nafas abnormal)
c. Mampu mengidentifikasikan
dan mencegah faktor yang
penyebab.
d. Saturasi O2 dalam batas
normal
e. Foto thorak dalam batas
normal
3. Nyeri akut berhubungan NOC : NIC:
dengan agen cidera - Tingkat nyeri Manajemen nyeri
biologis - Kontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
- Tingkat kenyamanan karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
Setelah dilakukan tindakan 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
keperawatan selama 2 x 24 jam, 3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
pasien tidak mengalami nyeri, 4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
dengan kriteria hasil: ruangan, pencahayaan dan kebisingan
a. Mampu mengontrol nyeri 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
(tahu penyebab nyeri, 6. Kaji tipe dan sumber nyeri
mampu menggunakan tehnik 7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dada, relaksasi, distraksi,
nonfarmakologi untuk kompres hangat/ dingin
mengurangi nyeri, mencari 8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...
bantuan) 9. Tingkatkan istirahat
b. Melaporkan bahwa nyeri 10. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama
berkurang dengan nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
menggunakan manajemen
nyeri
c. Mampu mengenali nyeri
(skala, intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri)
d. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
e. Tanda vital dalam rentang
normal
f. Tidak mengalami gangguan
tidur

4. Hipertermia NOC : NIC:


berhubungan dengan Termoregulasi Pengaturan Suhu
invasi organisme Setelah dilakukan tinfakan 1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
penginfeksi keperawatan selama …. Pasien 2. Rencanakan monitoring suhu secara kontinyu
tidak mengalami 3. Monitor TD, nadi, dan RR
hipertermi,kriteria hasil : 4. Monitor warna dan suhu kulit
a. Suhu tubuh dalam rentang 5. Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
normal 6. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
b. Nadi dan RR dalam rentang 7. Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh
normal 8. Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas
c. Tidak ada perubahan warna 9. Berikan anti piretik jika perlu
kulit, dan tidak ada pusing
5. Intoleransi aktivitas NOC : NIC :
berhubungan dengan - Perawatan diri: ADLs 1. Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
peningkatan - Konservasi eneergi 2. Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
metabolisme Setelah dilakukan tindakan 3. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
- keperawatan selama .... x 24 jam 4. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara
bertoleransi terhadap aktivitas berlebihan
dengan 5. Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas (takikardi, disritmia,
Kriteria Hasil : sesak nafas, diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)
a. Berpartisipasi dalam 6. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
aktivitas fisik tanpa disertai 7. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalam merencanakan
peningkatan tekanan darah, progran terapi yang tepat.
nadi dan RR 8. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
b. Mampu melakukan aktivitas 9. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan
sehari hari (ADLs) secara kemampuan fisik, psikologi dan sosial
mandiri 10. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang
c. Keseimbangan aktivitas dan diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan
istirahat 11. Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, krek
12. Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai
13. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
14. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
15. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
16. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan
D. Disharge Planning
Menurut Dongoes et al (2010), pasien pneumonian membutuhkan bantuan
dengan perawatan diri, oksigen tambahan, terutama jika pemulihan yang lama
atau kondisi predisposisi lain.

E. Daftar Pustaka

Badan penelitian dan pengembangan kesehatan Kemenkes RI. 2013. Riset


Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kemenkes RI
Dahlan Z. 2014. Pneumonia. dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi
VI. Jakarta: Interna Publishing
Djojodibroto D. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC
Dongoes, M., Moorhouse, M., & Murr, A. 2010. Nursing Care Plans. USA:
Mosby
Guyton, A.C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluan Napas Pneumonia pada Anak, Orang
Dewasa, Usia Lanjut, Penumonia Atipik & Pneumonia Atypik
Mycobacterium. Jakarta: Pustaka Obor Populer

Moorhead, Sue, et al. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) edisi kelima,
edisi Bahasa Indonesia. Alih bahasa: Intansari N. dan Roxsana Devi
T. Singapore: Elseveir.

NANDA International . 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi.


Jakarta: EGC

Nurarif, A. H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan diagnosa Medis


dan NANDA. Jakarta: EGC.

PDPI. 2014. Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di


Indonesia. Edisi II. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Price, A & Wilson, L. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.


Jakarta: EGC

Putri, R. M dan Helmia H. 2014. Tinjauan Imunologi Pneumonia pada Pasien


Geriatri. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran
Smeltzer, S.C & Bare. 2010. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1.
Jakarta: EGC.

Soemantri, I. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada


Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba
Medika.

Anda mungkin juga menyukai