Anda di halaman 1dari 31

REFERAT KEPANITERAAN KLINIK

ILMU PENYAKIT DALAM

SARKOPENIA PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Disusun oleh:

Marcella Jesslyn

01073180139

Pembimbing:

dr. Samuel Sunarso, Sp.P, FPCP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE 17 JUNI – 24 AGUSTUS 2019

TANGERANG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ 1

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 3

2.1. ANATOMI ................................................................................................................ 3


2.2. FISIOLOGI PERNAFASAN .................................................................................... 5
2.3. DEFINISI .................................................................................................................. 7
2.4. EPIDEMIOLOGI ...................................................................................................... 8
2.5. ETIOLOGI ................................................................................................................ 8
2.6. FAKTOR RISIKO .................................................................................................... 9
2.7. MANIFESTASI KLINIS ........................................................................................ 13
2.8. DIAGNOSIS ........................................................................................................... 14
2.9. KLASIFIKASI ........................................................................................................ 19
2.10. PENATALAKSANAAN ........................................................................................ 21
2.11. PENCEGAHAN ..................................................................................................... 23
2.12. PROGNOSIS .......................................................................................................... 25

BAB III SIMPULAN ............................................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 28

1
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) terjadi akibat adanya hambatan aliran udara
saluran nafas yang persisten disertai dengan respon inflamasi yang biasanya dicetuskan oleh
gas berbahaya atau partikel beracun. PPOK merupakan penyakit yang sangat umum, dan dapat
dicegah serta dilakukan pengobatan yang adekuat. PPOK menjadi penyebab kematian keempat
terbanyak di dunia dan di prediksikan dapat menempati posisi ketiga pada tahun 2020.1
Sarkopenia merupakan penyakit degeneratif yang disertai dengan penurunan massa otot, fungsi
kapasitas aktivitas, yang berdampak pada penurunan kualitas hidup. Terjadinya sarkopenia
dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas. 1
Pada pasien dengan PPOK, kurangnya nutrisi, hipoksia, dan kurangnya aktivitas fisik,
serta inflamasi sistemik dapat meningkatkan aktivitas perusakan oksidatif sehingga terjadi
penurunan fungsi otot skeletal.2 Terjadinya sarkopenia pada pasien dengan PPOK berbanding
lurus dengan peningkatan usia. Pasien dengan sarkopenia mengalami penurunan kapasitas
aktivitas, kinerja fungsional, aktivitas fisik, dan status kesehatan dibandingkan dengan pasien
tanpa sarkopenia.3 Sarkopenia Berdasarkan Asian Working Group for Sarcopenia, prevalensi
terjadinya sarkopenia pada pasien dengan PPOK adalah sebesar 24%.4
Terjadinya Sarkopenia pada pasien dengan PPOK dapat dicegah dengan pemberian
suplementasi nutrisi yang dapat meningkatkan kekuatan otot pernafasan, meningkatkan
kualitas hidup dan memperbaiki indeks massa tubuh pada pasien dengan malnutrisi.
Penatalaksanaan yang tepat pada pasien dengan PPOK dapat meningkatkan kualitas hidup.5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
Untuk mendapatkan pertukaran gas yang efektif, paru-paru bekerja bersama
dengan sistem saraf pusat yang membantu memberikan irama untuk bernafas, diafragma,
dan otot pernafasan pada dinding dada yang merespon terhadap sinyal dari sistem saraf
pusat untuk pergerakan udara, serta sistem sirkulasi yang memberikan aliran darah dan
juga transportasi antar jaringan dengan paru. Gas mengalir melalui orofaring atau
nasofaring menuju trakea, dan akhirnya kedalam bronkus. Trakea terbagi pada carina
menjadi bronkus kanan dan kiri yang bercabang menjadi bronkus lobaris (tiga di kanan,
dua di kiri), bronkus segmental, dan sistem ekstensif bronkus subsegmental dan bronkus
yang lebih kecil kemudian membagi sekitar 15-20 kali ke bronkiolus terminal. Dalam
bronkiolus terminal, gas terbagi lebih lanjut termasuk bronkiolus.6
Manusia memiliki 1 pasang paru-paru dalam rongga dada. Terdapat 3 lobus (lobus
superior, medius, dan inferior) pada paru kanan, dan 2 lobus (lobus superior dan inferior)
pada paru kiri. Setip paru memiliki apeks, permukaan diafragmatik (basal), permukaan
mediastinal (medial), dan permukaan kostal. Pada permukaan mediastinal terdapat hilus
(akar) yaitu tempat keluar masuk pembuluh darah, bronki, pulmonar, dan bronkial paru.
Terdapat kavitas pleuralis pada bagian superior diatas kosta 1 sampai pangkal leher, dan
pada bagian inferior berada di arkus kosta dan berbatasan dengan mediastinum pada
bagian medial. Kavitas pleuralis dilapisi oleh pleura yang merupakan satu lapis sel
mesothelium dan lapisan dengan jaringan ikat penyangga. Terdapat 2 macam pleura yaitu
pleura parietalis yang berhubungan dengan dinding kavitas pleuralis, dan pleura viseralis
yang berlekatan dengan paru.7,8
Alveolus berfungsi sebagai tempat pertukaran gas. Terdapat 2 tipe sel alveolus
yaitu, sel alveolus tipe 1 dan sel alveolus tipe 2. Sel alveolus tipe 1 berfungsi berfungsi
sebagai pembatas dengan pembuluh darah dan berfungsi dalam pertukaran gas di dalam
paru yang memiliki 1 lapisan gepeng, sedangkan pada sel alveolus tipe 2 sebagai
penghasil surfaktan.9

3
Dikutip dari (9)
Gambar 1. Anatomi saluran nafas
Vaskularisasi paru-paru berasal dari arteri bronkialis dan arteri pulmonalis.
Sirkulasi bronkial memberikan darah oksigenasi dari sirkulasi sistemik dan berfungsi
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan paru-paru. Arteri bronkial berasal dari aorta
torakalis dan berjalan sepanjang dinding posterior bronkus. Vena bronkialis yang besar
mengalirkan darahnya ke dalam sistem azigos, yang kemudian bermuara pada vena cava
superior dan kembali ke atrium kanan. Vena bronkialis yang lebih kecil akan
mengalirkan darah vena pulmonalis. Karena sirkulasi bronkial tidak berperan pada
pertukaran gas, darah yang tidak teroksigenasi mengalami shunt sekitar 2 sampai 3%
curah jantung. Arteri pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan mengalirkan darah
vena campuran ke paru di mana darah tersebut mengambil bagian dalam pertukaran gas.
Kapiler-kapiler paru yang halus mengitari dan menutupi alveolus, merupakan kontak erat
yang diperlukan untuk proses pertukaran gas antara alveolus dan darah. Darah yang
teroksigenasi kemudian dikembalikan melalui vena pulmonalis ke ventrikel kiri, yang
selanjutnya membagikan kepada sel-sel melalui sirkulasi sistemik10

4
2.2. Fisiologi Pernafasan
Saluran pernafasan terbagi menjadi dua, yaitu saluran nafas atas dan saluran nafas
bawah. Pada saluran nafas mencakup rongga hidung, nasofaring, orofaring, dan laring.
Sedangkan saluran nafas bawah dimulai dari trakea, bronkus utama hingga percabangan
bronkus. Mekanisme pernafasan dibagi menjadi inspirasi dan ekspirasi. Pada saat
inspirasi, volume paru meningkat selama inspirasi menyebabkan tekanan intra-alveolus
menurun sehingga gradien tekanan yang menyebabkan udara mengalir ke dalam alveolus
dari atmosfer dan terjadilah inspirasi. Sedangkan padaa saat paru mengecil keukuran
sebelum inspirasi karena otot yang melemas dan meningkatkan tekanan intra-alveolus.
Gradien tekanan menyebabkan udara mengalir keluar alveolus menuju atmosfer
sehingga terjadi ekspirasi.9

Dikutip dari (9)


Gambar 2. Anatomi otot pernafasan
Respirasi seluler mengacu pada proses metabolisme intrasel berlangsung dalam
mitokondria yang melibatkan penggunaan O2 dan produksi CO2 sementara mendapatkan
energi dari molekul nutrien. Respirasi eksternal mengacu pada serangkaian peristiwa
pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel-sel di jaringan. Pertama-

5
pertama udara bertukar keluar masuk paru antara lingkungan eksternal dan kantung udara
(alveoli) dengan pernafasan mekanik atau ventilasi. Selanjutnya terjadi pertukaran O2
dan CO2 di alveoli dan darah dalam kapiler paru melalui proses difusi. Setelah difusi,
darah mentransportasikan O2 dan CO2 antara paru-paru dan jaringan kemudian bertukar
antara sel jaringan dan darah dengan proses difusi melalui kapiler sistemik.9
Otot merupakan jaringan yang terdiri dari kumpulan serabut otot yang terbagi
menjadi otot rangka, otot polos, dan otot jantung. Otot polos terdapat pada dinding organ
berongga dan saluran dalam tubuh untuk mengatur aliran darah, gerakan pencernaan,
aliran udara, dan urin. Sedangkan otot skeletal untuk pergerakan. Sel otot terdiri dari
sarkolema yang berfungsi melindungi otot, sarkoplasma sebagai tempat miofibril,
miofilamen, organel sel. Sarkoplasma terdiri dari glikogen, ATP, fosfokreatin dan enzim
glikolisis. Miofilamen merupakan serat-serat atau gilamen halus yang berasal dari
miofibril dan terdiri dari protein kontraktil aktin dan miosin untuk kontraksi dan
relaksasi, troponin, dan tropomiosin.
Fungsi utama otot-otot nafas adalah untuk mengembangkan rongga toraks
sehingga terbentuk tekanan intratoraks negatif dan selanjutnya terjadi aliran udara dari
atmosfer ke dalam paru. Otot pernafasan juga berfungsi untuk batuk, muntah dan
stabilisasi tulang rusuk dan abdomen membentuk postur tubuh. Menurut kegunaannya,
otot-otot pernafasan dibedakan menjadi otot inspirasi utama dan tambahan, serta otot
untuk ekspirasi tambahan.11 Otot yang berperan sebagai otot inspirasi utama adalah
muskulus interkostalis eksterna, muskulus interkartilaginus parasternalis, dan muskulus
diafragma, sedangkan otot yang berperan sebagai otot inspirasi tambahan (aksesoris)
pada saat inspirasi dalam adalah muskulus sternocleidomastoideus, scalenus anterior,
scalenus medius, dan scalenus posterior. Diafragma berbentuk kubah, kontraksi
diafragma menyebabkan pemendekan dan penurunan kubah diafragma sehingga terjadi
penambahan volume rongga toraks dan peningkatan tekanan intra abdomen.9
Pada saat ekspirasi terjadi relaksasi dari otot inspirasi dan digunakan daya
elastisitas paru. Otot pernafasan ekspirasi digunakan hanya saat terjadi nafas aktif atau
ekspirasi tambahan dan melibatkan muskulus interkostalis interna, muskulus
interkartilaginus parasternalis, muskulus rektus abdominal, dan muskulus obliquus
abdominis externus. Kontraksi otot abdomen menyebabkan diafragma menempel tulang
rusuk dan memperpanjang ukuran otot, gerakan diafragma ke atas menyebabkan

6
bentuknya lebih melengkung, menghasilkan pengurangan radius jari-jari lengkungan
menyebabkan volume paru berkurang dan tekanan intratoraks meningkat.11

2.3. Definisi
2.3.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit yang sering, dapat dicegah
dan dapat ditatalaksana dengan karakteristik gejala respiratorik yang persisten dan
terdapat limitasi aliran udara karena saluran nafas dan atau abnormalitas alveolar yang
biasanya disebabkan oleh paparan terhadap partikel atau gas berbahaya yang terus
menerus.1
Limitasi aliran udara kronis pada PPOK disebabkan oleh campuran dari penyakit
saluran udara kecil (bronkiolitis kronik) dan kerusakan parenkim dimana terjadi
pelebaran rongga udara (emfisema) dan perannya berganutung dengan setiap individu.
Inflamasi kronis menyebabkan perubahan structural, penyempitan saluran udara kecil,
dan destruksi parenkim paru yang kemudian akan terjadi kurangnya perlekatan alveolar
ke saluran udara kecil dan mengurangi elastisitas paru sehingga mengurangi kemampuan
saluran udara untuk tetap terbuka selama ekspirasi. Perubahan pada saluran nafas kecil
juga menyebabkan keterbatasan aliran udara dan disfungsi mukosiliar yang khas pada
PPOK. Disfungsi otot skeletal merupakan manifestasi yang sering terjadi pada pasien
PPOK. Gejala khas utama termasuk kelemahan otot quadriceps, atrofi, dan pergeseran
serat tipe II yang berkaitan dengan prognosis yang buruk fungsi paru secara independen.1

2.3.2 Sarkopenia
Sarkopenia merupakan kondisi penurunan massa otot dan fungsinya yang terjadi
secara progresif dan menyeluruh.12 Biasanya terjadi disertai dengan adanya inaktivitas
fisik, penurunan mobilitas, gaya berjalan lambat, dan daya tahan fisik buruk yang
merupakan gejala dari sindrom kerapuhan (frailty syndrome) dapat terjadi karena proses
penuaan serta penurunan kekuatan otot dan fungsi fisik.13 Sarkopenia ditandai dengan
hilangnya ukuran dan jumlah serat otot dimana terjadi peralihan serat otot tipe II ke tipe
I. Sedangkan pada atrofi otot terjadi penurunan serat otot dengan jumlah dipertahankan,
terdapat kecenderungan serat tipe I beralih ke serat tipe II.14 Pada penurunan ukuran dan
kekuatan otot yang berkaitan dengan penuaan yaitu stres oksidatif yang berlebihan,

7
degenerasi neuromuscular junction, denervasi dan reinervasi serat otot, penurunan
kapasitas oksidatif, hipoplasia serat tipe II, penurunan level hormon, dan transisi serat
tipe II ke serat tipe I.

2.4. Epidemiologi
Prevalensi sarkopenia yang dilakukan pada 6.025 pasien dengan PPOK stabil
sebesar 14.5% dimana terjadi peningkatan bersamaan dengan usia dan tingkat kriteria
Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD) dan tidak
dipengaruhi oleh jenis kelamin mau pun adanya kelemahan pada otot quadricep. Pasien
dengan sarkopenia mengalami penurunan kapasitas aktivitas, kinerja fungsional,
aktivitas fisik, dan status kesehatan dibandingkan dengan pasien tanpa sarkopenia.3 Dari
121 pasien dengan PPOK stabil yang diikutkan dalam penelitian, 92.6% adalah laki-laki
dengan usia > 65 tahun (47 – 92 tahun). Kebanyakan pasien memiliki riwayat merokok
dengan tingkat keparahan PPOK sedang.4
PPOK kini merupakan penyebab kematian keempat terbanyak di dunia, namun
diprediksi dapat menempati posisi ketiga di tahun 2020. Lebih dari 3 juta orang
meninggal karena PPOK di tahun 2012 yang juga bertanggung jawab atas 6% dari
kematian di dunia. PPOK merupakan suatu penyebab utama untuk morbiditas dan
mortalitas yang tinggi di tingkat dunia, dan banyak orang yang menderita penyakit ini
bertahun – tahun dan meninggal karena PPOK maupun komplikasi yang terjadi. Karena
hal ini, PPOK menyebabkan tingkat pemanfaatan sumber daya yang tinggi dengan
kunjungan klinis, hospitalisasi yang sering, serta kebutuhan untuk terapi kronis seperti
terapi oksigen.15 Berdasarkan Asian Working Group for Sarcopenia (AWGS), prevalensi
terjadinya sarkopenia pada pasien dengan PPOK adalah sebesar 24%4

2.5. Etiologi
Proses anabolik menurun dan peningkatan proses katabolik dipengaruhi oleh faktor
endogen dan eksogen untuk menyebabkan terjadinya sarkopenia. Faktor endogen yang
memengaruhi penurunan katabolisme adalah penurunan stimulasi hormon GH,
testosterone dan estrogen serta hilangnya motor neuron, denervasi serat otot, dan
peningkatan jaringan non kontraktil pada otot, sedangkan faktor eksogen dipengaruhi
oleh penurunan aktivitas fisik, imobilisasi, malnutrisi. Peningkatan sitokin

8
proinflamatori memengaruhi peningkatan proses katabolisme secara endogen dan
depresi secara eksogen.16

2.6. Patofisiologi
Pada pasien dengan sarcopenia, kemampuan antigen-presenting cells seperti
makrofag untuk memproses dan mempresentasikan antigen terhadap sel T masih baik.
Kemampuan kemotaksis, perlekatan, dan fagositosis dari monosit, makrofag, dan netrofil
juga tidak terpengaruh. Sebaliknya, penurunan kualitas pada imunitas humoral, yang
ditandai oleh hilangnya antibodi high affinity blocking dan naiknya antibodi self-reactive
telah dilaporkan pada lansia. Stres oksidatif pada pasien PPOK ditandai dengan adanya
peningkatan kadar sel inflamasi sirkulasi (neutrofil dan limfosit), ekspresi molekul adesi
permukaan yang lebih besar, sitokin sirkulasi (IL-6, IL-8, TNF-α, TNFR-55, TNFR-75
CRP, dan lipopolisakarida terikat protein) yang aktif. Pertama, inflamasi meningkatkan
kebutuhan asam amino untuk sintesis protein di hati dan menurunkan penyimpanan
protein otot. Kedua, TNF-α mengaktivasi adenosine-triphosphate (ATP)-ubiquitin
dependent proteolytic system, dan kemudian degradasi dan memperbaiki sistem yang
terinhibisi. Ketiga, TNF-α stimulasi apoptosis melalui fragmentasi DNA dan atau
interaksi dengan reseptor TNF-α di sel otot.
Peningkatan kadar sitokin proinflamasi plasma juga menurunkan faktor anabolic
dengan mengubah bioavailabilitas dan efek biologis hormon yang digunakan untuk
sintesis protein, pertumbuhan, dan pemeliharaan otot rangka seperti testosterone, faktor
pertumbuhan insulin-1 (IGF-1) dan dehidroepiandrosteron (DHEA). 17
Mekanisme terjadinya sarkopenia pada pasien dengan PPOK

9
Dikutip dari (2)
Gambar 3. Mekanisme PPOK menjadi sarkopenia

2.7. Faktor Risiko


Faktor terutama yang menyebabkan terjadinya sarkopenia adalah kurangnya
aktivitas fisik, sedangkan faktor independent yang berhubungan dengan sarkopenia
adalah usia ≥75 tahun. Faktor lain yang dapat memengaruhi adalah:
1. Perubahan imun
Perubahan sistem imun karena penuaan dapat terjadi alterasi sel T, peningkatan
kadar IL-6 dan TNF-a yang menunjukkan inflamasi kronis derajat rendah.18
2. Alterasi jaringan ikat
Seiring bertambahnya usia, terjadi peningkatan akumulasi fibroblast dan sel lipid
pada jaringan otot yang dapat meningkatkan rigiditas dan mengurangi elastisitas
otot.
3. Nutrisi
Asupan nutrisi (protein) berperan dalam pengaturan masa otot dengan nilai asupan
protein minimal 1.2gram/kgBB setiap hari. Produk susu, keju, daging, tuna, ayam,
kacang mengandung asam amino leusin yang berperan dalam sintesis protein.

10
4. Aktivitas fisik
Salah satu faktor risiko untuk utama terjadinya sarkopenia adalah kurangnya aktivitas
fisik. Latihan aerobik, resistensi, dan kombinasi dapat menghasilkan efek pencegahan
dan efek terapi.
Faktor yang berkaitan dengan sarkopenia pada pasien PPOK
Sekitar 1/3 pasien tidak memenuhi kriteria dan lebih dari setengah pasien
memenuhi salah satu kriteria, paling banyak pasien dengan kurangnya aktivitas fungsi
fisik. Pasien dengan sarkopenia dengan usia lebih tua, memiliki lebih banyak obstruksi
aliran udara dan mengurangi kekuatan otot quadriceps, kapasitas latihan, kinerja
fungsional, aktivitas fisik subyektif dan objektif dan status kesehatan dibandingkan
dengan pasien tanpa sarkopenia.3
Tabel 1. Faktor yang berkaitan dengan sarkopenia
Tidak SMI Fungsi Sarkopenia
sarkopenia rendah rendah
Usia (tahun) 66 69 73 73
Jenis kelamin (L:P) 147 : 73 14 : 13 136:149 57:33
MRC 3 3 4 4
FEV1 (%predicted) 46.3 37.9 45.6 40.5
Terapi oksigen jangka panjang 12/5 1/4 19/7 4/9
(n/%)
Penggunaan alat bantu jalan 5/2 0/0 54/19 15/17
BMI (kg/m) 28.8 21.1 29.2 21.4
Masa otot skeletal (kg) 26.6 18.8 22.9 18.9
Indeks masa otot skeletal (kg/m2) 9.2 6.8 8.6 6.9
Kekuatan genggaman tangan (kg) 33.9 29.6 22.6 21.5
Peak QMVC (kg) 32.2 23.0 23.3 19.8
QMVC Kontraksi maksimum 70.1 63.1 56.3 54.9
quadricep volunter (%predicted)
4MGS Kecepatan berjalan 4 meter 1.07 1.00 0.77 0.77
(m/d)

11
5STS Tes duduk berdiri 5 kali 12.4 14.1 16.1 19.6
(detik)
SPPB 11 11 8 8
Incremental shuttle walk test 309 257 152 157
/ISWT (m)
CAT (COPD Assesment Test) 19 22 23 24
SGRQ St George’s Respiratory 47.3 51.0 55.9 57.1
Disease Questionnaire total
Status merokok (sekarang) 43 6 49 16
Indeks charlson 1 1 1 1
Rawat inap rumah sakit dalam 12 0 0 0 0
bulan terakhir
Jumlah eksaserbasi dalam 12 bulan 2 2 2 2
terakhir
Aktivitas fisik objektif
Hitung langkah harian 5127 3916 2697 1482
Level aktivitas fisik 1.45 1.60 1.38 1.36
(METS/days)
Waktu dalam aktivitas 47 108 30 35
intensitas sedang ≥ 3 METS
(mnt/hari)
Pengeluaran energi aktif 246 466 134 105
(kcal/hari)
Dikutip dari (3)
Penggunaan kortikosteroid pada pasien PPOK untuk mengurangi gejala
respiratorik dan mengatasi eksaserbasi dapat menyebabkan kelemahan akut otot
proksimal serta distal pada pemberian dengan dosis 5 – 7 hari dosis tinggi (hidrokortison
1 – 4 gram/hari atau deksametason 40mg/hari). Penggunaan jangka panjang
kortikosteroid oral dengan dosis rendah juga menyebabkan kelemahan otot proksimal
dan atrofi serat otot. Hal ini disebut dengan Steroid memicu miopati atau steroid induced
myopathy (SIM).19

12
Dikutip dari (20)
Gambar 4. Faktor yang mendukung disfungsi otot perifer pada PPOK

2.8. Manifestasi Klinis


Sesak yang kronis dan progresif merupakan karakteristik khas dari PPOK. Selain
itu, batuk produktif sputum terjadi pada 30% pasien dengan PPOK. Sesak merupakan
gejala cardinal dari PPOK yang menyebabkan disabilitas dan ansietas dan dikaitkan
dengan penyakit lain. Pasien PPOK mendeskripsikan sesak dengan peningkatan usaha
untuk bernafas, rasa berat di dada, merasa sangat ingin udara, dan terengah-engah
(gasping). Batuk kronis biasanya merupakan gejala utama yang dapat disebabkan oleh
penyebab intratorak mau pun ekstratorak. Mengi dan dada terasa terikat bervariasi mulai
dari beberapa hari hingga sepanjang hari. Manifestasi klinis lain berupa kelelahan,
penurunan berat badan, dan anoreksia. Sinkop dapat terjadi saat batuk yang dikarenakan
peningkatan yang cepat tekanan intratoraks selama serangan yang terus-menerus.
Bengkak pada pergelangan kaki dapat menjadi tanda adanya cor pulmonale.1
Penurunan aktivitas merupakan penyebab terbesar dari disfungsi otot pergerakan.
Selain itu, inflamasi, stress oksidatif, malnutrisi dan hipoksemia juga dapat menyebabkan
disfungsi. Malnutrisi pada PPOK bergantung dari tingkat keparahan penyakit yang
biasanya sering terjadi pada pasien dengan PPOK sedang hingga berat. Kurangnya gizi
pasien dengan PPOK menyebabkan terjadinya otot pernafasan yang melemah, perubahan
ventilasi, perburukan kekuatan otot, dan gangguan imunitas.20

13
2.9. Diagnosis
Pasien dengan sesak nafas, batuk kronis atau dengan adanya sputum, dan/atau
riwayat terpapar faktor risiko harus dipikirkan untuk diagnosis PPOK. Spirometri
digunakan untuk membuat diagnosis klinis, dengan adanya FEV1/FVC <0.70 setelah
dilakukan bronkodilasi mengkonfirmasi adanya limitasi aliran udara yang persisten dan
pada pasien PPOK dengan gejala yang sesuai.1
Kriteria diagnosis dari sarkopenia ditentukan dengan tiga parameter yaitu kekuatan
otot, berkurangnya massa otot, dan kinerja fisik sebagai indikator keparahan. Diagnosis
dikonfirmasikan dengan berkurangnya massa otot dan ³1 dari kekuatan massa otot dan
penurunan kinerja fisik. European Working Group on Sarcopenia in Older People 2018
(EWGSOP2) merekomendasikan alur untuk menemukan kasus, menilai, konfirmasi dan
menentukan derajat keparahan sebagai skrining dan diagnosis sarkopenia:21
1. Menemukan kasus
Identifikasi risiko sarkopenia menggunakan kuesioner SARC-F atau berdasarkan
gejala penyerta. Dengan skor ³4 maka merupakan prediksi sarkopenia dan prognosis
buruk22
Tabel 2. SARC-F
Pertanyaan Skor
Strength Seberapa banyak kesulitan untuk Tidak ada = 0
mengangkat dan membawa Beberapa = 1
benda seberat 4.5kg Banyak/tidak bisa= 2
Assistance Seberapa banyak kesulitan untuk Tidak ada = 0
in walking berjalan melintasi ruangan Beberapa = 1
Banyak/ menggunakan alat
bantu/tidak bisa = 2
Rise from a Seberapa banyak kesulitan untuk Tidak ada = 0
chair pindah dari kursi atau tempat Beberapa = 1
tidur Banyak/tidak bisa tanpa
bantuan = 2
Climb stairs Seberapa banyak kesulitan dalam Tidak ada = 0
menaiki 10 tangga Beberapa = 1
Banyak/tidak bisa = 2

14
Falls Berapa kali jatuh dalam setahun Tidak ada = 0
terakhir 1 – 3x jatuh = 1
³4x jatuh = 2
Dikutip dari (23)
2. Menilai
Untuk menilai bukti sarkopenia dengan penggunaan pemeriksaan kekuatan pegangan
tangan atau tes berdiri dari kursi.23
Batas penilaian kekuatan genggaman tangan (grip-strength) dengan < 27 kg untuk
laki-laki, dan < 16 kg untuk perempuan dinilai kemungkinan (probable) sarcopenia.
Dalam praktik klinisnya, kemungkinan sarcopenia cukup dijadikan pemicu penilaian
dan memulai intervensi.21
Tabel 3. Penilaian grip strength spesifik usia
Nilai tengah laki-laki Nilai tengah perempuan
60 – 65 tahun 28 kg 13 kg
66 – 70 tahun 22 kg 11 kg
>70 tahun 20 kg 10 kg
Dikutip dari (23)
Batas penilaian tes berdiri dari kursi (thirty seconds chair stand test)
Tabel 4. Penilaian tes berdiri dari kursi spesifik usia
Nilai tengah laki-laki Nilai tengah perempuan
60 – 65 tahun 11 detik 10 detik
66 – 70 tahun 10 detik 9 detik
>70 tahun 10 detik 7.5 detik
Dikutip dari (23)
3. Konfirmasi
Konfirmasi sarkopenia dilakukan dengan deteksi kuantitas dengan
penghitungan massa otot total masa otot rangka skeletal muscle mass (SMM),
appendicular skeletal muscle mass (ASM) dan kualitas otot yang rendah, DXA untuk
level absolut dari SMM/ASM, BIA untuk analisis estimasi total atau ASM, dan CT
atau MRI sebagai baku emas penghitungan kuantitas/massa otot yang tidak invasif.21
Teknik yang dapat digunakan untuk mengukur Skeletal muscle mass index (SMI)
ukuran otot pada sarkopenia dapat menggunakan dual energy x-ray absorptiometry
(DXA), bioelectrical impedance analysis (BIA), CT-scan, dan MRI.

15
DXA digunakan untuk menganalisa komposisi tubuh dan prosedur pilihan
untuk menilai densitas mineral tulang secara rutin. Penilaian massa otot keempat
anggota gerak (ASM) dapat diperkirakan dengan menggunakan massa tulang dan
massa bebas lemak dari tangan dan kaki (massa tubuh tanpa lemak – masa tulang
ekstremitas). Nilai massa otot pada laki-laki 21.35 ± 0.12 kg, dan perempuan 13.68 ±
0.10 kg.24 dikatakan sarcopenia jika pada laki-laki <20kg, dan perempuan <15kg.21
SMI dikalkulasikan dengan ASM/tinggi2, jika terdapat penurunan 2 standar
deviasi dibawah normal (laki-laki 7.40kg/m2, dan perempuan 5.14kg/m2).25 SMI
kurang dari 2 SD dengan nilai rata-rata (laki-laki 8.51kg/m2 dan perempuan
5.76kg/m2) merupakan indikasi sarkopenia kelas II, dan indeks 1-2 SD merupakan
sarkopenia kelas I. Berdasarkan EWGSOP2, dikatakan sarcopenia dengan nilai pada
laki-laki <7.0 kg/m2, dan perempuan 5.5 kg/m2.21 Metode pencitraan yang paling
akurat untuk menilai massa otot, luas penampang otot (CSA) dan kualitas otot
(densitas otot dan infiltrasi lemak intramuskular). CSA otot paha dikaitkan dengan
berat badan dibandingkan dengan tinggi badan. Dikatakan sarkopenia jika massa otot
CSA/berat badan dalam 1 SD dari nilai normal pada laki-laki dan perempuan.26

4. Menentukan derajat keparahan


Dilakukan dengan evaluasi performa fisik dari kecepatan gaya berjalan (gait), short
physical performance battery (SPPB), timed up and go test (TUG), dan berjalan 400
meter. Jika hasil rendah maka dikatakan sarkopenia berat.21
4.1. Kecepatan gaya berjalan (gait speed)
Dikatakan sarcopenia jika berjalan dalam 5 meter ≤ 0.8m/detik
Tabel 5. Penilaian kecepatan gaya berjalan
Interpretasi
< 0.4 meter/detik Dapat berjalan dirumah tangga
0.4 – 0.8 meter/detik Berjalan dalam komunitas terbatas

0.8 – 1.2 meter/detik Berjalan dalam komunitas

>1.2 meter/detik Dapat menyebrang jalan dengan aman


Dikutip dari (22)

16
4.2. Short physical performance battery (SPPB)
SPPB merupakan penghitungan hasil dari pemeriksaan keseimbangan (berdiri
dengan kaki bersebelahan, berdiri semi tandem, berdiri tandem), kecepatan gaya
berjalan untuk 3 atau 4 meter, dan tes berdiri dari kursi. Penilaian dengan skor 0 untuk
performa terburuk hingga 12 dengan performa terbaik untuk menentukan validitas dan
juga risiko mortalitas, admisi perawatan rumah dan disabilitas. 27 Skor ≤8 merupakan
poin penanda sarkopenia.21
A. Keseimbangan
- Berdiri dengan kaki bersebelahan selama 10 detik
Tabel 6. skoring berdiri dengan kaki bersebelahan
Dapat bertahan dalam 10 detik 1 poin
Tidak dapat bertahan dalam 10 detik 0 poin
Tidak dicoba 0 poin
Dikutip dari (25)
- Berdiri semi tandem selama 10 detik
Tabel 7. skoring berdiri semi tandem
Dapat bertahan dalam 10 detik 1 poin
Tidak dapat bertahan dalam 10 detik 0 poin
Tidak dicoba 0 poin
Dikutip dari (25)
- Berdiri tandem selama 10 detik
Tabel 8. skoring berdiri tandem
Dapat bertahan dalam 10 detik 2 poin
Dapat bertahan 3 – 9.99 detik 1 poin
Dapat bertahan <3 detik 0 poin
Tidak dicoba 0 poin
Dikutip dari (25)

B. Kecepatan gaya berjalan


Penilaian gaya berjalan normal dan waktu yang dibutuhkan untuk berjalan 4 meter
dengan kecepatan yang sama, biasanya dilakukan 2 kali percobaan

17
Tabel 9. kecepatan gaya berjalan
Berjalan 4 meter Berjalan 3 meter
<4.82 detik 4 poin <3.62 detik 4 poin
4.82 – 6.20 detik 3 poin 3.62 – 4.65 detik 3 poin
6.21 – 8.70 detik 2 poin 4.66 – 6.52 detik 2 poin
³ 8.70 detik 1 poin ³ 6.52 detik 1 poin
Dikutip dari (25)
C. Berdiri dari kursi
Pemeriksaan pergerakan pasien untuk berdiri dari kursi tanpa menggunakan
bantuan tangan untuk mengukur kekuatan otot kaki. Jika pasien tidak dapat
bangun, maka pemeriksaan berakhir dengan poin 0. Jika berhasil, pasien diminta
untuk mengulangi berdiri dari kursi sebanyak 5 kali tanpa menggunakan tangan.
Tabel 10. berdiri dari kursi
Jika dapat berdiri dari kursi <11.19 detik 4 poin
Jika dapat berdiri dari kursi 11.20 – 13.69 detik 3 poin
Jika dapat berdiri dari kursi 13.70 – 16.69 detik 2 poin
Jika dapat berdiri dari kursi >16.70 detik 1 poin
Tidak dapat menyelesaikan 5x berdiri dari kursi 0 poin
atau tidak dapat selesai >60 detik
Dikutip dari (25)
4.3. Timed up and go test (TUG)
Timed up and go test (TUG) untuk menilai mobilitas, keseimbangan dan
kemampuan berjalan serta risiko jatuh. Interpretasi hasil dari tes ini adalah ≤10 detik
dikatakan normal, ≤20 detik dikatakan memiliki mobilitas baik, dapat berpergian
keluar sendiri, bergerak tanpa bantuan jalan, sedangkan dengan waktu ≤30 detik
menandakan adanya permasalahan, tidak dapat keluar rumah sendiri dan
membutuhkan bantuan alat bantu berjalan. Skor ³20 detik menandakan adanya
sarcopenia,21 dan jika skor ³14 detik mengindikasikan adanya risiko tinggi untuk
jatuh.28

18
Tabel 11. Timed up and go test (TUG)
Usia (dalam tahun) Rata-rata dalam detik
60 – 69 7.9 ± 0.9
70 – 79 7.7 ± 2.3
80 – 89 Tidak menggunakan alat bantu 11 ± 2.2
Menggunakan alat bantu 19.9 ± 6.4
90 – 101 Tidak menggunakan alat bantu 14.7
Dikutip dari (26)
4.4. Berjalan 400 meter
Dilakukan dengan melihat kemampuan berjalan daya tahan dengan memenuhi
20 meter sebanyak 20 lap. Pemeriksaan berjalan 400 meter ini memprediksikan
mortalitas tapi sulit dilakukan karena membutuhkan tempat sepanjang 20 meter.
EWFSOP2 mengatakan sarcopenia jika tidak selesai atau ³ 6 menit tidak selesai
melakukan pemeriksaan21

2.10. Klasifikasi
Berdasarkan GOLD 2019, PPOK diklasifikasikan berdasarkan keparahan limitasi aliran
udara berdasarkan post-bronkodilator FEV1
Tabel 12. Klasifikasi PPOK berdasarkan GOLD
Pada pasien dengan FEV1/FVC <0.70
GOLD 1 : Ringan FEV1 ≥ 80% predicted
GOLD 2 : Sedang 50% ≤ FEV1 < 80% predicted
GOLD 3 : Berat 30% ≤ FEV1 < 50% predicted
GOLD 4 : Sangat berat FEV1 <30% predicted
Dikutip dari (1)
Untuk melakukan evaluasi gejala digunakan kuesioner Modified British Medical
Research Council (mMRC) dan COPD Assessment Test (CAT). CAT digunakan untuk
mengevaluasi keparahan gejala-gejala batuk, dahak, sesak, rasa tertekan pada dada,
kapasitas untuk aktivitas dan olahraga, kepercayaan diri, dan kualitas tidur serta tingkat
energi serta jika terjadinya ketidakpatuhan terhadap obat. Sedangkan pada mMRC
digunakan untuk penilaian kuantitatif hanya untuk sesak. Digunakan untuk menilai
efektivitas pengobatan secara individual, membandingkan efektivitas pengobatan dalam
suatu populasi dan prediksi waktu dan tingkat kelangsungan hidup.

19
Pada mMRC digunakan untuk membedakan gejala yang lebih ringan dengan
pasien dengan gejala yang lebih parah.29
Tabel 13. Modified British Medical Research Council (mMRC)
mMRC
Saya merasa sesak jika beraktivitas berat
grade 0
mMRC
Saya merasa sesak jika bergegas naik tangga atau berjalan menanjak
grade 1
mMRC Saya merasa berjalan lebih lambat dibandingkan dengan teman sebaya
grade 2 karena sesak atau harus berhenti untuk mengambil nafas ketika naik tangga
mMRC Saya berhenti untuk menarik nafas setelah berjalan 100 meter atau beberapa
grade 3 menit
mMRC Saya terlalu sesak untuk meninggalkan rumah atau sesak ketika memakai
grade 4 berganti pakaian
Dikutip dari (1)
COPD Assesment Test (CAT)
Tabel 14. COPD assessment test (CAT)1
Tidak pernah batuk 0 1 2 3 4 5 Selalu batuk
Tidak ada dahak sama sekali 0 1 2 3 4 5 Dada penuh dengan dahak
Tidak ada rasa berat Dada terasa berat (tertekan)
0 1 2 3 4 5
(tertekan) di dada sekali
Ketika saya jalan
Ketika jalan mendaki/naik
mendaki/naik tangga, saya 0 1 2 3 4 5
tangga, sangat sesak
tidak sesak
Aktivitas sehari-hari saya di Aktivitas sehari-hari saya di
0 1 2 3 4 5
rumah tidak terbatas rumah sangat terbatas
Saya tidak khawatir keluar
Saya sangat khawatir keluar
rumah meskipun saya 0 1 2 3 4 5
rumah karena kondisi paru saya
menderita penyakit paru
Saya dapat tidur dengan Saya tidak dapat tidur nyenyak
0 1 2 3 4 5
nyenyak karena kondisi paru saya
Saya tidak punya tenaga sama
Saya sangat bertenaga 0 1 2 3 4 5
sekali
Dikutip dari (1)

20
2.11. Penatalaksanaan
Penggunaan obat dan manajemen ditujukan untuk menghambat proses penurunan
kekuatan dan daya tahan otot, stres oksidatif, inaktivitas, hipoksemia, abnormalitas
hormon, dan defisit nutrient termasuk protein dan vitamin D serta penggunaan
kortikosteroid sistemik. Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah:30
a. Olahraga
Rehabilitasi paru pada pasien PPOK telah terbukti memberikan keuntungan
meningkatkan kapasitas aktivitas pasien dan memperbaiki gejala sesak nafas dan
peningkatan kualitas hidup. Olahraga pada pasien dengan sarkopenia terdiri dari
latihan uji resistensi, aerobik, dan latihan keseimbangan dan fleksibilitas.31 Uji
resistensi intensif pada pasien lansia meningkatkan fungsi dan massa otot. Pencegahan
cedera otot dengan latihan repetisi maksimum (RM) dengan berat maksimum yang
dapat diangkat sekaligus. Jika kekuatan otot membaik, RM di reevaluasi dan dapat
ditingkatkan latihan intensitas kemudian frekuensi ditingkatkan 1-3 kali per hari.
Latihan keseimbangan dilakukan untuk memperbaiki postur.32
VO2max merupakan maksimal oksigen yang dapat dikonsumsi saat olahraga dan
menggambarkan daya tahan (endurance) kardiovaskular. Intensitas aktivitas
dilakukan dengan tes berjalan 6 menit, penilaian aktivitas yang dirasakan (rating of
perceived exertion RPE), dan laju nadi. Penggunaan skala Borg 0 – 1 digunakan
sebagai metode evaluasi dan klasifikasi RPE .30
Tabel 15. Skala Borg
Skala Gejala
0 Tidak sesak sama sekali
0.5 Sangat, sangat sedikit (just noticeable)
1 Sangat sedikit
2 Sedikit sesak
3 Sedang
4 Agak berat
5 Sesak nafas berat
6
7 Sesak nafas sangat berat
8
9 Sesak nafas sangat sangat berat (hampir maksimal)
10 Sesak maksimal
Dikutip dari (27)

21
Latihan aerobik dapat dilakukan minimal 3 kali dalam seminggu selama 20-60
menit. Latihan aerobik efektif dalam memperbaiki gejala PPOK dan kekuatan
kekuatan jantung. Latihan aerobik yang direkomendasikan bagi pasien usia tua adalah
treadmill, dan sepeda statis untuk mengurangi risiko jatuh. Pada pasien dengan PPOK
berat FEV1 <50%, perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya desaturasi yang
disebabkan oleh olah raga (exercise-induced desaturation EID) jika SpO2 <90% maka
latihan aerobik harus dihentikan, dan sebaiknya olahraga dilakukan di dalam ruangan
untuk menghindari polusi.30
Tabel 16. Perbandingan program latihan pada rehabilitasi paru dan sarkopenia
Program latihan pada rehabilitasi paru Program latihan pada sarkopenia
Latihan aerobik Latihan resistensi progresif (kekuatan)
Latihan kekuatan Latihan aerobik
Peregangan Peregangan
Latihan otot ventilasi Latihan keseimbangan
Latihan pernafasan
Dikutip dari (27)

b. Nutrisi
Sarkopenia seringkali disebabkan oleh malnutrisi, Rekomendasi asupan protein
menurut penelitian sebelumnya33 adalah 1.0 – 1.2 gram/kg bagi lansia sehat, dan 1.2
– 1.5 gram/kg bagi lansia dengan penyakit kronis/akut. Semakin berat derajat PPOK,
kejadian malnutrisi akan semakin sering terjadi. Perbaikan suplementasi nutrisi pada
pasien PPOK dengan malnutrisi dilaporkan meningkatkan masalah kesehatan yang
berkaitan dengan kualitas hidup.34 Pada pasien dengan GFR 30 – 60 diberikan protein
0.8 gram/kg/hari, dan pasien dengan GFR <30 diberikan 0.6 – 0.8 gram/kg/hari. 35

c. Medikasi
- Vitamin D : metabolisme otot pada massa otot rangka dan kekuatan otot.
Kekurangan vitamin D dapat menyebabkan atrofi serat otot tipe II yang berperan
dalam mencegah jatuh dan gerak cepat. Mengganti kekurangan serum vitamin D
dan menjaga pasokan cukup 700 – 1000IU/ hari kolekalsiferol (vitamin D3).
Kinerja otot meningkat dengan konsentrasi 25-hidroksi-vitamin D >60nmol/L. 34

22
- Suplementasi asam amino esensial leusin 2.5 gram atau 2.8 gram dengan
kombinasi latihan olahraga
- Beta-hydroxy-beta-methylbutyrate (HMB) merupakan metabolit leusin yang
digunakan saat pelatihan otot. 34
- Selective androgen receptor modulator à pencegahan dan tatalaksana pengecilan
otot34

2.12. Pencegahan
Karena anoreksia dan penurunan berat badan sering terjadi pada pasien PPOK,
skrining untuk anoreksia menggunakan Council of Nutrition appetite questionnaire
(CNAQ) dan Simplified Nutritional Appetite Questionnaire (SNAQ) diperlukan untuk
mencegah terjadinya kekurangan nutrisi. SNAQ merupakan pemeriksaan kuisioner nafsu
makan yang disederhanakan mencakup nafsu makan, perasaan kenyang saat makan, rasa
dari makanan, dan jumlah makan per hari. 36
Tabel 17. Council of Nutrition appetite questionnaire (CNAQ)
1. Nafsu makan saya
a. Sangat buruk
b. Buruk
c. Rata-rata
d. Baik
e. Sangat baik
2. Saat saya makan
a. Saya merasa kenyang setelah makan beberapa suap
b. Saya merasa kenyang setelah makan 1/3 makanan
c. Saya merasa kenyang setelah makan ½ makanan
d. Saya merasa kenyang setelah makan hampir seluruh makanan
e. Saya jarang merasa kenyang
3. Saya merasa lapar
a. Jarang
b. Saat tertentu
c. Kadang-kadang
d. kebanyakan
e. Selalu
4. Rasa dari makanan
a. Sangat buruk
b. Buruk
c. Rata-rata

23
d. Baik
e. Sangat baik
5. Dibandingkan saat anak-anak, makanan terasa
a. Jauh lebih buruk
b. Lebih buruk
c. Biasa saja
d. Lebih baik
e. Jauh lebih baik
6. Biasanya, saya makan
a. Kurang dari 1 kali per hari
b. 1 kali per hari
c. 2 kali per hari
d. 3 kali per hari
e. Lebih dari 3 kali per hari
7. Saya merasa sakit dan mual ketika makan
a. Hampir selalu
b. Sering
c. Kadang – kadang
d. Jarang
e. Tidak pernah
8. Kebanyakan, mood saya
a. Sangat sedih
b. Sedih
c. Tidak sedih, tidak juga senang
d. Senang
e. Sangat senang
a = 1, b = 2, c = 3, d = 4, e = 5
CNAQ ≤ 28 indikasi risiko signifikan setidaknya 5% penurunan berat badan dalam 6
bulan
SNAQ ≤ 14 indikasi risiko signifikan setidaknya 5% penurunan berat badan dalam 6
bulan
Dikutip dari (31)

Terdapat bermacam-macam instrumen skrining yang dapat digunakan sebagai


klinis untuk memastikan seseorang tidak memiliki sarcopenia. Alat skrining yang paling
spesifik digunakan adalah EWGSOP dengan spesifisitas 91.1%, sedangkan skrining
dengan sensitifitas terbaik digunakan skrining oleh Ishii et al hingga 100%.37
EWGSOP algoritma 2 langkah :

24
≤ 0.8 m/s Ukur massa
otot
Kecepatan
gaya jalan <20kg wanita,
kekuatan <30kg pria
> 0.8 m/s genggaman
tangan Ukur massa
otot

Dikutip dari (37)


Gambar 5. Algoritma skrining EWGSOP

Score chart berdasarkan Ishii et al dengan mengestimasi variabel usia, kekuatan


genggaman tangan, dan lingkar betis. Pada laki-laki 0.62 x (usia – 64) – 3.09 x (kekuataan
genggaman tangan – 50 ) – 4.64 x (lingkar betis – 42) dan skor wanita 0.80 x (usia – 64)
– 5.09 x (kekuataan genggaman tangan – 34 ) – 3.28 x (lingkar betis – 42). Jumlah skor
>105 pada laki-laki, dan >120 pada perempuan menentukan suatu individu dengan risiko
tinggi terkena sarkopenia.38
Suplementasi nutrisi dapat meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan kesehatan
yang akan berdampak baik pada kualitas hidup, dan peningkatan indeks massa tubuh
(IMT) serta melakukan berjalan 6 menit pada pasien dengan malnutrisi.5 Olah raga dan
suplementasi protein merupakan tatalaksana yang efektif. Penggunaan angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACEI) digunakan sebagai pencegahan primer dan sekunder
dari kejadian kardiovaskular, stroke, dan musculoskeletal sebagai anti inflamasi,
perbaikan fungsi endotel dan efek angiogenesis meningkatkan sirkulasi otot.34

2.13. Prognosis
Pada pasien dengan PPOK, sarkopenia dikaitkan dengan perubahan komposisi tubuh
yang tidak menguntungkan dan prognosis buruk. Tidak terdapat perbedaan berkaitan
dengan jenis kelamin, usia, atau status merokok. Sarkopenia tidak berkaitan dengan
keparahan GOLD ataupun FEV1.39 Derajat obstruksi dan prognosis ditentukan
berdasarkan BODE indeks, yaitu:
Tabel 18. BODE

25
Poin indeks BODE
0 1 2 3
Body mass index (BMI) >21 ≤ 21
Obstruction airflow (obstruksi ≥ 65 50 – 64 36 – 49 ≤ 35
saluran nafas) FEV1 (%)
Dyspnea MMRC (sesak) 0-1 2 3 4
Exercise capacity dengan tes ≥ 350 250 - 349 150 - 249 ≤ 149
berjalan 6 meter
Dikutip dari (39)
Perkiraan angka kelangsungan hidup 4 tahun yaitu 80% pada pasien dengan poin
BODE 0-2, 67% pada pasien denga BODE poin 3-4, 57% pada pasien dengan BODE
poin 5-6 poin, dan 18% pada pasien dengan poin 7-10.40

26
BAB III
SIMPULAN

Sarkopenia terjadi pada 24% pasien dengan PPOK dan mengganggu fungsi aktivitas dan
kinerja serta menurunkan kualitas hidup. Karena efek inflamasi sistemik, manifestasi ekstra
paru pada efek sistemik PPOK termasuk penurunan berat badan, abnormalitas nutrisi, disfungsi
otot skeletal, peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, gangguan hormon dan metabolik,
osteoporosis dan ansietas dan depresi dapat terjadi.
Sarkopenia dapat di diagnosis dengan tiga parameter utama berdasarkan EWGSOP2
yaitu dengan berkurangnya massa otot dan ³1 dari kekuatan massa otot dan penurunan kinerja
fisik atau apat dilakukan dengan penemuan kasus, penilaian, konfirmasi, dan penentuan derajat
keparahan pada pasien dengan PPOK. Selain itu, skrining anoreksia pada pasien dengan PPOK
juga diperlukan untuk mencegah terjadinya sarkopenia.
Pasien PPOK dengan sarkopenia tidak respon terhadap latihan rehabilitasi paru,
melainkan dapat dilakukan latihan khusus pada pasien dengan sarkopenia yaitu dengan
melakukan latihan resistensi progresif untuk melatih kekuatan otot, latihan aerobik,
peregangan, dan latihan keseimbangan. Serta diperlukan perbaikan gizi dan suplementasi
nutrisi pada pasien PPOK dengan sarkopenia.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Agusti A, Celli BR, Chen R, Criner G, Frith P, Halpin D, et al. GOLD (Global Initiative
for Chronic Obstructive Lung Disease) 2019. Pneumologie [Internet]. 2019;71(01).
Tersedia pada: www.goldcopd.org
2. Charbek E, Espiritu JR, Nayak R, Morley JE. Frailty: A global measure of the
multisystem impact of COPD. J Nutr Heal Aging. 2018;22(8):876–9.
3. Jones SE, Maddocks M, Kon SSC, Canavan JL, Nolan CM, Clark AL, et al. Sarcopenia
in copd: Prevalence, clinical correlates and response to pulmonary rehabilitation.
Thorax. 2015;70(3):213–8.
4. Limpawattana P, Inthasuwan P, Putraveephong S, Boonsawat W, Theerakulpisut D,
Sawanyawisuth K. Sarcopenia in chronic obstructive pulmonary disease: A study of
prevalence and associated factors in the Southeast Asian population. Chron Respir Dis.
2018;15(3):250–7.
5. Ferreira IM, Brooks D, White J, Goldstein R. Nutritional supplementation for stable
chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev. 2012;(12).
6. Weinberger S, Cockrill B, Mandel J. Principles of Pulmonary Medicine. 5 ed. 2008.
7. Drake R, Vogl W, Mithcell A. Gray’s basic anatomy. 1 ed. 2012.
8. Hall JE. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 13 ed. Elsevier; 2015.
9. Sherwood L. Human Physiology From cells to systems. 9 ed. 2014.
10. Price S, Wilson L. Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes. 6 ed.
Jakarta: ECG; 2006.
11. Djojodibroto D. Respirologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.
12. Santilli V, Bernetti A, Mangone M, Paoloni M. Clinical definition of sarcopenia. Clin
Cases Miner Bone Metab. 2014;11(3):177–80.
13. Cesari M, Leeuwenburgh C, Lauretani F, Onder G. Frailty syndrome and skeletal
muscle: result from Invecchiare in Chianti study. Am J Clin Nutr. 2006;1142–8.
14. Romanick M, Brown-Borg HM. Murine models of atrophy, cachexia, and sarcopenia in
skeletal muscle. Riv dei Combust. 2013;
15. Mathers C, Loncar D. Projections of global mortality and burden of disease from 2002
to 2030. PLoS Med. 2006;3:442.
16. Bautmans I, Puyvelde K Van, Mets T. Sarkopenia and Functional Decline
Pathophysiology, Prevention and Therapy. Acta Clin Belg. 2009;303–16.
17. Couillard A, Prefaut C. From muscle disuse to myopathy in COPD: potential
contribution of oxidative stress. Eur Respir J. 2005;26(4):703–19.
18. Zoico E, Roubenoff R. The role of cytokines in regulating protein metabolism and
muscle function. Nutr Rev. 2002;60:39–51.
19. Decramer M, Stas KJ. Corticosteroid-induced Myopathy Involving Respiratory Muscles
in Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease or Asthma 1 • 2. 1992;800–2.
20. Fasitasari M. Terapi Gizi pada Lanjut Usia dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (
PPOK ). 2013;5(1):50–61.

28
21. Cruz-Jentoft AJ, Ahat GÜB, Auer JÜB, Oirie YVESB, Ruyère OLB, In SA, et al.
Sarcopenia : revised European consensus on de fi nition and diagnosis. 2019;(September
2018):16–31.
22. Morley JE, Malmstrom TK, Mb JEM. SARC-F : A Simple Questionnaire to Rapidly
Diagnose Sarcopenia SARC-F : A Simple Questionnaire to Rapidly Diagnose
Sarcopenia. J Am Med Dir Assoc [Internet]. 2013;14(8):531–2. Tersedia pada:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jamda.2013.05.018
23. Gunasekaran V, Banerjee J, Nand S, Datt A, Chatterjee P, Ballav A. Normal gait speed
, grip strength and thirty seconds chair stand test among older Indians. Arch Gerontol
Geriatr [Internet]. 2016;67:171–8. Tersedia pada:
http://dx.doi.org/10.1016/j.archger.2016.08.003
24. Gita Shafiee, Ostovar A, Heshmat R, Ali A, Keshtkar, Sharifi F, et al. Appendicular
Skeletal Muscle Mass Reference Values and the Peak Muscle Mass to Identify
Sarcopenia among Iranian Healthy Population. Int J Prev Med. 2018;9:25.
25. Baumgartner RN, Waters DL, Gallagher D, Morley JE, Garry PJ. Predictors of skeletal
muscle mass in elderly men and women. Mech Ageing Dev. 1999;107:123–36.
26. Janssen I, Baumgartner RN, Ross R, Rosenberg I, Roubenoff R. Skeletal Muscle
cutpoints associated with elevated physical disability risk in older men and women. Am
J Epidemiol. 2004;159:413–21.
27. Stand AS. Short Physical Performance Battery Protocol and Score Sheet. 1994;1–8.
28. Timed Up and Go ( TUG ) Test. 2005;39(June).
29. Kim S, Oh J, Kim Y Il, Ban HJ, Kwon YS, Oh IJ, et al. Differences in classification of
COPD group using COPD assessment test (CAT) or modified Medical Research
Council (mMRC) dyspnea scores: A cross-sectional analyses. BMC Pulm Med
[Internet]. 2013;13(1):1. Tersedia pada: BMC Pulmonary Medicine
30. Kim SH, Shin MJ, Shin YB, Kim KU. Sarcopenia Associated with Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. 2019;26(2):65–74.
31. Vogelmeier C, Criner G, Martinez F. Global Strategy for the diagnosis, management,
and prevention of chronic obstructive lung disease 2017 report. GOLD executive
summary. Am J Respir Crit Care Med. 2017;195:557–82.
32. Yoo S, No M, Heo J, Park D, Kang J, Kim SH, et al. Role of exercise in age-related
sarcopenia. 2018;14(1):551–8.
33. Bauer J, Biolo G, Cederholm T, Cesari M, Cruz-jentoft AJ, Mb JEM, et al. Evidence-
Based Recommendations for Optimal Dietary Protein Intake in Older People : A
Position Paper From the PROT-AGE Study Group. J Am Med Dir Assoc [Internet].
2013;14(8):542–59. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.1016/j.jamda.2013.05.021
34. Aryana S. International Journal of Geriatrics and Gerontology Sarcopenia in Elderly.
2018;(January).
35. Yu SCY, Khow KSF, Jadczak AD, Visvanathan R. Clinical Screening Tools for
Sarcopenia and Its Management. Curr Gerontol Geriatr Res. 2016;2016.
36. Wilson MG, Thomas DR, Rubenstein LZ, Chibnall JT, Anderson S, Baxi A, et al.

29
Appetite assessment : simple appetite questionnaire predicts weight loss in community-
dwelling adults and nursing home residents 1 – 3. 2005;1074–81.
37. Locquet M, Beaudart C, Reginster JY, Petermans J, Bruyère O. Comparison of the
performance of five screening methods for sarcopenia. Clin Epidemiol. 2018;10:71–82.
38. Ishii S, Tanaka T, Shibasaki K, Ouchi Y, Kikutani T, Higashiguchi T, et al.
Development of a simple screening test for sarcopenia in older adults. Geriatr Gerontol
Int. 2014;14(SUPPL.1):93–101.
39. Munhoz T, Costa L, Costa FM, Moreira CA, Rabelo LM, Boguszewski CL, et al.
Sarcopenia in COPD : relationship with COPD severity and prognosis. 2015;41(5):415–
21.
40. Celli BR, Cote CG, Marin JM, Casanova C, Oca MM de, Mendez RA, et al. The Body-
Mass Index, Airflow Obstruction, Dyspnea, and Exercise Capacity Index in predicting
hospitaliZation for Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J Med.
2004;350:1005–12.

30

Anda mungkin juga menyukai