Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

HIPERBILIRUBINEMIA

DISUSUN OLEH :
Puspita Kurnia Wangi
17102211037

PEMBIMBING :
dr. Endang Prasetyowati, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
PERIODE 22 JULI 2019 – 27 SEPTEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS

HIPERBILIRUBINEMIA

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh :

Puspita Kurnia Wangi 1710221037

Pembimbing :

_________________________
dr. Endang Prasetyowati, Sp.A
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya, tidak lupa sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Hiperbilirubinemia”, yang
merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Endang Prasetyowati,
Sp.A selaku pembimbing dalam penyusunan laporan kasus ini. Disamping itu,
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua dan teman-
teman dokter muda yang telah memberikan dukungan moril dalam penyusunan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak dalam penyempurnaan laporan kasus ini agar
menjadi lebih baik lagi.

Ambarawa, Agustus 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling


sering ditemukan pada bayi baru lahir.Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang
kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan
ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan
ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna ikterus pada sclera
dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari degradasi heme yang merupakan
komponen hemoglobin mamalia. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum
berfungsi secara optimal, sehingga proses glukoronidasi bilirubin tidak terjadi
secara maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan dominasi bilirubin tak
terkonjugasi di dalam darah. Pada kebanyakan bayi baru lahir,
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena transisional yang
normal, tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin secara
berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat
menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada
jangka waktu yang panjang, akan menimbulkan sekuele neurologis. Dengan
demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus dibedakan apakah ikterus
yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis, serta dimonitor
apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi
hiperbilirubinemia yang berat.
BAB II
STATUS PASIEN

II.1 Identitas Pasien


 Nama : By. Ny. E
 Umur : 0 bulan 1 bulan
 Jenis kelamin : Perempuan
 Alamat : Tambakrejo, Tambakboyo
 Nama Ayah : Tn. L
 Pendidikan Ayah : SMP
 Nama Ibu : Ny. E
 Pendidikan Ibu : SMP
 Tanggal Masuk RS : 24 Juli 2019
 Tanggal Keluar RS : 27 Juli 2019

II.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada Ibu pasien di ruang
perawatan Seruni RSUD Ambarawa tanggal 24 Juli 2019.
Keluhan Utama
Kuning pada wajah hingga dada.
Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu pasien mengatakan tubuh pasien menjadi kuning sejak 1 minggu
SMRS. Awalnya tubuh pasien nampak kuning namun hanya pada bagian wajah
dan mata saja. Ibu pasien mencoba untuk menjemur pasien di bawah matahari
setiap hari sekitar pukul 08.00 selama kurang lebih 15 menit, namun kekuningan
tidak hilang dan semakin meluas hingga leher, dada, lengan, perut bagian bawah,
hingga paha pasien. Ibu pasien pun memutuskan untuk memeriksakan anaknya ke
RSUD Ambarawa.
Ibu pasien menyangkal adanya demam, batuk, ataupun muntah. BAB tidak
cair, berwarna kekuningan, tidak disertai darah maupun lendir, BAK jernih, warna
kekuningan. Ibu pasien mengatakan pasien hanya minum ASI sejak lahir sampai
saat ini namun pasien hanya menyusu sedikit-sedikit. Ibu pasien memberikan ASI
kurang lebih 5-7x setiap hari.
Ibu pasien mengakui bahwa selama kehamilan terdapat riwayat hipertensi
sehingga kehamilan diterminasi sebelum waktunya. pasien rutin mengkonsumsi
obat hipertensi, tablet tambah darah, dan vitamin selama kehamilan. Demam,
hepatitis, dan trauma persalinan disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami hal serupa saat 4 hari setelah pasien lahir.
Kekuningan diawali dari bagian mata dan wajah, kemudian semakin lama
meluas pada seluruh tubuh pasien. Ibu pasien memutuskan untuk
memeriksakan pasien ke RSUD Ambarawa dan pasien dirawat dan diberikan
Fototerapi selama 1x24 jam.
Riwayat Penyakit Keluarga
Di dalam keluarga, tidak ada anggota keluarga atau saudara kandung
pasien yang mengalami hal serupa.
Riwayat Sosial Personal ( Social – Personal History )
Keadaan ekonomi pasien cukup. Pasien tinggal bersama ayah, ibu, dan
kedua kakaknya di rumahnya.
Anamnesis Sistem
a. Sistem Cerebrospinal
kejang (-), keluhan kaku kuduk (-), nyeri kepala (-), muntah (-).
b. Sistem Kardiovaskular
Bengkak pada tungkai (-), kebiruan (-), dada berdebar (-)
c. Sistem Respirasi
Suara serak (-), sesak (-), sulit bernapas (-), suara ngik-ngik (-),
mengorok(-), pilek (-),
d. Sistem Gastrointestinal
BAB normal, nyeri tekan (-), kembung (-), mual (-), muntah (-), nyeri telan
(-).
e. Sistem Muskuloskeletal
Gerak aktif (+), gerak tidak terbatas, bengkak jari (-).
f. Sistem Integumentum
Tampak kekuningan pada wajah, leher, dada, lengan, perut bagian bawah,
hingga paha pasien.
g. Sistem Urogenital
BAK berwarna kuning jernih, menangis saat BAK (-)
h. Sistem Vestibular
Nyeri pada telinga (-), bising pada telinga (-), cairan (-)
Riwayat Kehamilan Ibu :
KEHAMILAN
Morbiditas kehamilan (-)
Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya di
Perawatan bidan dan Puskesmas. Pasien didiagnosa
antenatal Hipertensi saat usia kehamilan 31 minggu dan
rutin konsumsi obat hipertensi.
KELAHIRAN Tempat
Rumah sakit
kelahiran
Penolong
Dokter
persalinan
Cara
SC
persalinan
Masa
Kurang bulan (35 minggu)
gestasi
Keadaan Berat lahir 2600 gram
bayi Panjang badan 45 cm
Langsung menangis
Kulit kemerahan
Tidak ada kelainan bawaan
Kesan : Pasien lahir dengan SC, kehamilan kurang bulan dengan BBLC

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan:


Belum dapat dinilai.

Riwayat Imnunisasi
Imunisasi Dasar : Wajib dan Tidak Wajib
- Imunisasi Dasar Wajib
VAKSIN Dasar (umur dalam bulan)

0 1 2 4 6 9
BCG - - - - - -
DPT - - - - - -
Polio - - - - - -
Campak - - - - - -
Hepatitis B + - - - - -

- Imunisasi Dasar Tidak Wajib : Belum dilakukan


Kesan: Imunisasi dasar kurang

Riwayat Nutrisi:
Susu : ASI, 5-7 x /hari
Makanan padat :-
Makanan sekarang : ASI

Silsilah Keluarga ( Family’s Tree )

II.3 Pemeriksaan Fisik


Status Pasien tanggal 24 Juli 2019
- Keadaan umum : Aktif
- Kesadaran : Compos Mentis
- Nadi : 142x/menit, regular, isi cukup
- Respirasi : 45 x/menit,
- SpO2 : 99%
- Suhu : 36,8ºC
- Berat Badan : 2800 gr
- Panjang Badan : 45 cm
- Lingkar kepala : 32 cm
- Lingkar dada : 28 cm
- Lingkar Perut : 30 cm
- Lila : 8 cm
Status Generalis
 Kelainan mukosa kulit/subkutan yang menyeluruh:
Ikterik (+), Pucat (-), Sianosis (-), Perdarahan (-), Oedem (-), Turgor
cukup, Lemak bawah kulit cukup
 Kepala : Normocephalic, Cephal hematom (-), Caput
succedenemum (-), rambut hitam terdistribusi merata, ubun-ubun besar
terbuka cekung
 Mata : Kedudukan simetris, Konjungtiva anemis -/- ,sklera
ikterik +/+
 Telinga : Bentuk normal, liang telinga lapang, sekret tidak ada,
membran timpani utuh.
 Hidung : Bentuk normal, deviasi septum tidak ada.
 Mulut : Bentuk normal, bibir lembab
 Leher : KGB tidak teraba membesar, kel.tiroid tidak teraba
membesar di leher, ikterik (+)
 Thorax
o Inspeksi : Tampak simetris, tidak ada retraksi sela iga,
pulsasi ictus cordis terlihat, ikterik (+), retraksi (-)
o Palpasi : Sela iga normal, tidak melebar maupun mengecil,
tidak teraba massa
o Perkusi :
Pulmo : Tidak dilakukan
Cor : Tidak dilakukan
o Auskultasi :
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/- wheezing -/-
Cor : BJ I-II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
o Inspeksi : Datar, tidak tampak benjolan, ikterik (+)
o Palpasi : Supel, turgor kulit baik
Hepar : Tidak teraba membesar
Lien : Tidak teraba membesar
o Perkusi : Timpani
o Auskultasi : Bising usus (+)

 Anus dan Rektum : Ada, tidak ada kelainan


 Genitalia : Tidak ditemukan kelainan
 Kulit : Warna kuning pada wajah, leher, dada, lengan,
perut bagian bawah, hingga paha, kramer 4
 Extremitas (lengan & tungkai):
Tonus: hipotonus/hipertonus/normotonus
Massa: hipotrofi/hipertrofi/normal
Sendi: bergerak aktif
Skor Kramer : IV
 PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Refleks primitif :
Refleks Moro :+
Refleks Rooting :+
Reflex Sucking :+
Refleks Palmar Grasping : +
Refleks Plantar :+

II.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratoium tanggal 24 Juli 2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Bilirubin Total 16.27 (H) 0.2-1.0 mg/dl
Bilirubin Direk 0.92 (H) 0-0.2 mg/dl
Bilirubin Indirek 15.35 (H) 0.0-0.8 mg/dl
Golongan darah bayi O
Golongan darah Ibu O
Rhesus (+)
II.5 Diagnosis Akhir
Hiperbilirubinemia
II.6 Penatalaksanaan
-Foto terapi 2x24 jam
-ASI eksklusif
II.7 Prognosis
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1. DEFINISI
Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, dan
sklera akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Secara klinis, ikterus
pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum >5 mg/dL. Pada
orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2 mg/dL. Ikterus
lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit,
sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin
serum total. Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus
neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan
kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia sering dijumpai pada minggu-
minggu pertama setelah lahir, sebagian besar ringan dan dapat membaik tanpa
pengobatan. Hiperbilirubinemia fisiologis tidak disebabkan oleh faktor tunggal
tapi kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas
fisiologis neonatus. Hiperbilirubinemia patologis disebabkan oleh
inkompatibilitas darah (Rhesus atau ABO), hemolisis, sepsis, kelainan
metabolisme, defisiensi enzim glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD),
Sindrom Gulbert dan Sindrom Crigler-Najjar. Inkompatibiltas ABO dan
defisiensi G6PD merupakan penyebab hiperbilirubinemia terbanyak di
Indonesia.2

III.2. FISIOLOGIS BILIRUBIN

Bilirubin adalah hasil terakhir dari degradasi heme. Heme adalah


produksi dari pemecahan hemoglobin (70%-80%) dan protein darah lainnya
(20%-30%). Konversi heme menjadi bilirubin terjadi terutama di sistem
retikuloendotelial lien, hepar, dan sumsum tulang. Pertama heme di konversi
menjadi biliverdin oleh enzim heme-oksigenase, kemudian menjadi blirubin tak
terkonjugasi oleh enzim sitosolik biliverdin reduktase sitosolik. Bilirubin tak
terkonjugasi atau bilirubin indirek terikat oleh albumin serum dan di
transportasi ke hepar untuk di konjugasi. Begitu berada di dalam hepatosit,
bilirubin indirek berikatan dengan protein pengikat sitosolik dan kemudian
dikonjugasi dengan asam glukuronat dalam retikulum endoplasma oleh enzim
bilirubin uridine diphosphate glucoronyl transferase (BUGT) untuk membentuk
bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk. Bilirubin terkonjugasi kemudian
diekskresikan ke dalam empedu melalui membran kanalikular, sebuah proses
yang dimediasi oleh sistem transporter transport adenosin trifosfat. Bilirubin
ekskret ini dimetabolisme lebih lanjut oleh flora bakteri usus untuk membentuk
urobilinogen. Sebagian kecil uribilinogen dapat mengalami absorbsi,
membentuk urobilin dan menjadi pewarna urin. Sebagian besar sisa dari
urobilinogen membentuk sterkobilinogen dan sterkobilin yang akan diekskresi
dari tubuh dan menjadi pewarna dalam feses. Bilirubin terkonjugasi juga dapat
didekonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase, beralih kembali ke bilirubin
indirek, yang diserap kembali di usus, sebuah proses yang dikenal sebagai

sirkulasi enterohepatik.1

Sumber: Jaundice: Newborn to Age 2 Months, 2017


Gambar 1. Diagram Metabolisme Bilirubin
III.3.KLASIFIKASI
Hiperbilirubinemia fisiologis
Umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak terkonjungasi
pada minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu
formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke
3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan
pewarnaan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1-2 minggu. Pada bayi cukup
bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar lebih
tinggi (7-4 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat. Bisa terjadi dalam waktu
2-4 minggu , bahkan dapat mencapai waktu 6 minggu. Pada bayi kurang bulan
yang mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan dengan puncak
yang lebih tinggi dan lebih lama, begitu juga dengan penurunannya jika tidak
diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam
kisaran fisiologis bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disetai kelainan metabolism
bilirubin. Kadar normal bilirubin tali pusat kurang dari 2 mg/dL dan berkisar dari
1,4-1,9 mg/dL.1 Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis :

1) Peningkatan bilirubin
o Peningkatan produksi bilirubin
o Peningkatan sel darah merah
o Penurunan umur sel darah merah
o Peningkatan early bilirubin
o Peningkatan resirkulasi melalui enterohepatik shunt
o Peningkatan aktifitas β-glukoronidase
o Tidak adanya flora bakteri
o Pengeluaran mekonium yang terlambat
 Penurunan bilirubin clearance
o Penurunan clearance dari plasma
3) Defisiensi protein karier
o Penurunan metabolisme hepatic
4) Penurunan aktifitas UDPGT
Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi minum lebih sering dan
bayi dengan aspirasi mekonium atau pengeluaran mekonium lebih awal cenderung
mempunyai insiden yang rendah untuk terjadinya ikterus fisiologis. Pada bayi
yang diberi minum susu formula cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak
pada mekoniumnya selama 3 hari pertama kehidupan dibandingkan dengan yang
mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah
karena defekasinya lebih sering. Namun ASI juga dapat menyebabkan ikterik
neonatus dikarenakan kandungan ASI 2α-20β-pregnanediol yang mempengaruhi
aktifitas UDPGT atau penglepasan bilirubin konjugasi dari hepatosit, atau
pelepasan bilirubin konjugasi dari hepatosit, atau penghambatan konjugasi akibat
peningkatan asam lemak unsaturated.Hal ini disebut breast milk jaundice.1
Beberapa keadaan yang menjadi ciri dari kondisi ikterik fisiologis, meliputi:

1) Ikterik yang muncul pada hari kedua-ketiga.


2) Kadar bilirubin indirek < 12 mg/dL pada bayi aterm dan < 10
mg/dL pada bayi preterm.
3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin serum total < 5 mg/dL/24
jam.
4) Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg/dL.
5) Gejala ikterik akan menghilang secara bertahap pada sepuluh hari
pertama kehidupan.
6) Tidak terbukti disebabkan atau berkaitan dengan keadaan patologis
tertentu.

Sumber: Immigrant Newborn and Physiological Jaundice, 2017.


Gambar 2. Kadar bilirubin serum total pada bayi dengan etnis Asia
Tenggar
Ikterus Patologis

Dulu disebut dengan ikterus patologis tidak mudah dibedakan dari


ikterus fisiologis.Keadaan dibawah ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjut.

1) Terjadinya peningkatan kadar bilirubin serum total dengan kecepatan


lebih dari 0,5 mg/dL/jam.

2) Ikterik dengan kadar bilirubin serum total melebihi 12 mg/dL pada bayi
aterm dan 10 mg/dL pada bayi preterm.

3) Ikterik dengan kadar bilirubin terkonjugasi > 1 mg/dL jika bilirubin


serum total < 5 mg/dL atau > 20% bilirubin total jika kadar bilirubin
serum total > 5 mg/dL.

4) Ikterik yang terjadi sebelum usia bayi mencapai 24 jam atau ikterik
yang terjadi setelah usia 3 minggu pada bayi aterm.

5) Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan foto terapi


yang ditentukan berdasarkan nomogram dalam panduan fototerapi
berdasarkan usia kehamilan yang dikeluarkan oleh American Academy
of Pediatric (AAP).
6) Adanya tanda-tanda penyakit yang menjadi dasar kondisi ikterik pada
bayi yang telah diketahui, seperti proses hemolitik, trauma atau infeksi.
7) Ikterik yang menetap setelah 14 hari pada bayi preterm atau setelah 8
hari pada bayi aterm.

Adapun faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia patologis dapat


dilihat dari 2 hal, antara lain maternal, fetal, dan neonatus.1-4

1) Faktor maternal
o Ras atau kelompok etnis tertentu (Asia, Native american, Yunani)
o Penyakit saat kehamilan (TORCH, DM)
o Komplikasi kehamilan (inkompatibilitas ABO dan Rhesus)
o Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik
o ASI
2) Faktor perinatal
o Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
o Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
3) Faktor Neonatus
o Prematuritas
4) Faktor genetik
o Polisitemia
o Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
o Rendahnya asupan ASI
o Hipoglikemia
o Hipoalbuminemia

Hiperbilirubinemia karena ASI


Dalam pemberian air susu ibu (ASI), harus dibedakan antara breast-milk
jaundice dan breastfeeding jaundice.

Breastfeeding jaundice
Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan
asupan ASI5. Asupan kalori yang kurang akibat kesulitan menyusui, baik dari
pihak ibu maupun dari pihak bayi, juga dapat meningkatkan kadar bilirubin
indirek serum. Keadaan ini dikenal dengan nama breastfeeding jaundice. Keadaan
ini ekuivalen dengan suatu keadaan yang pada orang dewasa disebut starvation
jaundice. Pada keadaan breastfeeding jaundice, keadaan “lapar” pada bayi
menyebabkan peningkatan aktivitas sirkulasi enterohepatik, sehingga
meningkatkan absorpsi biliburin di saluran intestinal. Breastfeeding jaundice
muncul pada 5 hari pertama kehidupan, disebabkan oleh gangguan menyusui.
Intervensi yang dilakukan pada breastfeeding jaundice berupa perbaikan masalah
yang ditemukan pada pola menyusui ibu pada bayinya. Untuk breastfeeding
jaundice dengan kadar bilirubin total melebihi 18-20 mg/dL, dapat dilakukan
fototerapi dan pemberian susu formula, walaupun sebenarnya dengan perbaikan
pola menyusui saja dapat memperbaiki kondisi breastffeeding jaundice.1
Breast-milk jaundice
Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu
(ASI). Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada bayi yang
mendapatkan asupan ASI sejak hari-hari pertama kehidupannya, dapat terjadi
pemanjangan kondisi ikterik fisiologis hingga minggu ke-3 pasca kelahiran.
Keadaan ini dikenal dengan nama breastmilk jaundice. Kadar bilirubin total serum
pada 5 hari pertama cenderung sama dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI,
lalu kemudian meningkat secara stabil hingga minggu ke-3. Pada beberapa kasus,
bilirubin total serum dapat tetap meningkat hingga beberapa minggu berikutnya,
namun sebagian besar kasus jarang melewati kadar bilirubin total > 25 mg/dL.
Setelah mencapai puncak, kadar bilirubin total akan berangsur turun dengan
sendirinya pada breastmilk jaundice. bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai
20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun secara
drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali
naik tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi menunjukkan
pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati normal, dan tidak terdapat bukti
hemolisis. Mekanisme sesungguhnya yang menyebabkan breast-milk jaundice
belum diketahui, tetapi diduga timbul akibat terhambatnya uridine
diphosphoglucuronic acidglucuronyl transferase (UDGPA) oleh hasil
metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3-alpha 2-beta-diol yang ada di dalam
ASI sebagian ibu.5 Pada kasus breastmilk jaundice dengan kadar bilirubin total >
25 mg/dL, perlu dilakukan intervensi berupa fototerapi dengan melanjutkan
pemberian ASI, atau menggantikan asupan ASI dengan susu formula selama 24
jam.

III.5. EPIDEMIOLOGI
Hiperbilirubinemia merupakan kondisi yang umum ditemukan di seluruh
dunia.Penelitian di Di Amerika Serikat, sebanyak 65% bayi baru lahir
menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya.Di Malaysia pada
tahun 1998, 75% bayi baru lahir menderita hiperbilirubinemia dalam minggu
pertama kehidupan. Catania, Italia mendapatkan insiden hiperbilirubinemia
19% dari bulan Januari 2006 sampai Januari 2007.Penelitian insiden
hiperbilirubinemia di Pakistan didapatkan 27,6%.
Di Indonesia,data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa kurang
dari 50% bayi baru lahir menderita hiperbilirubinemia yang dapat di deteksi
secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya.

III.6.ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa factor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum
dapat dibagi :

1) Pembentukan bilirubin berlebihan karena hemolisis


Disebabkan penyakit hemolitik atau peningkatan destruksi eritrosit karena:
a. Hb dan eritrosit abnormal (Hb S pada anemia sel sabit)
b. Inkompatibilitas ABO dan Rh
c. Defisiensi G6PD
d. Sepsis
e. Obat-obatan seperti oksitosin
f. Pemotongan tali pusat yang lambat
g. Polisitemia
h. Hemoragi ekstravasasi dalam tubuh seperti cephalhematoma,
memar
2) Gangguan transport bilirubin yang dipengaruhi oleh: hipoalbuminemia,
prematuritas, obat-obatan seperti sulfonamide, salisilat, diuretic dan FFA
(Free Fatty Acid) yang berkompetisi dengan albumin, hypoxia, asidosis,
dan hipotermi.
3) Gangguan uptake bilirubin
4) Gangguan konjugasi bilirubin karena :
a. Defisiensi enzim glukoronil transferasi dan imaturitas hepar
b. Ikterus persisten pada bayi yang diberi minum ASI
c. Hipoksia dan hipoglikemia
5) Penurunan ekskresi bilirubin karena adanya sumbatan hepar
6) Gangguan eliminasi bilirubin
a. Pemberian ASI yang lambat
b. Pengeluaran mekonium yang lambat

c. Obstruksi mekanik4

III.7.PATOFISIOLOGI

Pembentukan bilirubin
Pembentukan bilirubin terjadi di sistem retikuloendotelial. Awalnya
bilirubin mengalami oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari
heme dengan bantuan enzim heme oksigenase. Enzim ini sebagian besar berada di
dalam hati. Kemudian terbentuklah karbonmonoksida dan terlepaslah besi yang
akan digunakan kembali di pembentukan hemoglobin selanjutnya. Biliverdin
kemudian direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin
bersifat larut dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui
reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik
dan terikat dengan hidrogenserta pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan
mengekskresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.1,2
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme
eritrosit sirkulasi, dan sisanya dinamakan early labeled bilirubin berasal dari
eritropoiesis yang tidak sempurna di sumsum tulang, jaringan, dan heme
bebas.Bayi baru lahir memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan
orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi
baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari)
dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari) , peningkatan degradasi heme , turn
over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang
meningkat (sirkulasi enterohepatik).1
Mekanisme pembentukan bilirubin
Gambar 3. Diagram Metabolisme Bilirubin

Transportasi bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial,
selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin .Bayi
baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin
karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang
kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non polar
dan tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasi ke sel hepar.
Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf
pusat dan bersifat non toksik . Selain itu , albumin juga mempunyai afinitas
yang tinggi terhadap obat-obat bersifat asam seperti penisilin dan sulfonamid.
Obat-obat tersebut akan menepati tempat utama perlekatab albumin untuk
bilirubin sehingga bersifat competitor serta dapat pula melepaskan ikatan

bilirubun dengan albumin.1


Pada bayi kurang bulan, ikatan bilirubin akan lebih lemah yang
umumnya merupakan komplikasi dari hipoalbumin, hipoksia, hipoglikemi,
asidosis , hipotermi, hemolisis dan septicemia. Hal tersebut tentunya akan
mengakibatkan peningkatan jumlah bilirubin bebas dan beresiko pula untuk
keadaan nerotoksisitas oleh bilirubin.

Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda yaitu :

1) Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan


membentuk sebagian besar bilirubin tak terkonjungasu dalam serum.
2) Bilirubin bebas
3) Bilirubin terkonjungasi (terutama monoglukuronida dan
diglukuronida) yaitu bilirubin yang siap diekskresikan melalui ginjal
atau sistem bilier.
4) Bilirubin yang terkonjungasi yang terikat dengan albumin serum.1

Asupan bilirubin atau bilirubin intake


Pada saat komplek bilirubin – albumin mencapai membrane plasma
hepatosit, albumin, terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ,
ditransfer melalui sel mebran yang berikatan dengan ligandin (protein Y) ,
mungkin juga dengan protein ikatan sistolik lainnya. Keseimbangan antara
jumlah bilirubin yang masuk kesirkulasi , dari sintesis de novo, retikulasi
enterohepatik , perpindahan bilirubin antar jaringan , pengambilan bilirubin
oleh sel hati dan konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi bilirubin tak
terkonjungasi dalam serum, baik pada keadaan normal atau tidak normal.
Berkurangnya kapasitas hepatik bilirubin tak terkonjungasi akan berpengaruh

terhadap pembentukan ikterus fisiologi.1

Konjugasi bilirubin
Bilirubin tidak dikonversikan kebentuk bilirubin konjungasi yang larut
dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine disphosphate
glucoronosyl transferase (UDPG-T) .Katalisa oleh enzim ini akan merubah
formasi menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjungasi
menjadi bilirubin diglukoronida. Substrast yang digunakan untuk
transglukoronidase kanalikuler adalah bilirubin monoglukoronida. Enzi mini akan
memidahkan satu molekul asam glukuronida dari satu molekul bilirubin
monoglukuronida ke yang lain akan menghasilkan pembentukan satu molekul

bilirubin diglukuronida.1

Bilirubin ini kemudian diekskresikan kedalam kanalikulus empedu.


Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke reticulum
endoplasmic untuk rekonjungasi berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban
bilirubin yang dihantarkan ke hati akan terjadi resistensi bilirubin tak
terkonjungasi seperti halnya pada keadaan hemolisis kronik yang berat pigmen

yang tertahan adalah bilirubin monoglukuronida.1

Penelitian invitro tentang enzim UDPG-T pada bayi baru lahir didapatkan
defisiensi aktifitas enzim, tetapi setelah 24 jam kehidupan , aktifitas enzim ini
meningkat melebihi bilirubin yang masuk ke hati sehingga konsentrasi bilirubin
serum akan menurun . Kapasitas total konjungasu akan sama dengan orang
dewasa pada hari ke 4 kehidupan . Pada periode bayi baru lahir, konjungasi

monoglukoronida merupakan konjugat pigmen empedu yang lebih dominan.1

Ekskresi bilirubin
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan dieksresi kedalam
kandung empedu kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui
feses. Proses ekskresinya sendiri merupakan proses yang memerlukan energi.
Setelah berada dalam usus halus , bilirubin terkonjugasi tidak langsung di
reabsorbsi , kecuali dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjungasu
oleh enzim beta glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resobsi kembali
bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonjungasu kembali

disebut sirkulasi enterohepatik.1

Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa , yaitu pada
mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim beta
glukoronidase yang dapat menghidrolisa monoglukoronidase dan glukoronida
kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjungasu yang selanjutnya akan
diabsobsi kembali. Setelah itu pada bayi baru lahir , lumen usus halusnya steril
sehingga bilirubin konjungasu tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu

produk yang tidak dapat diabsorbsi).1

Bayi baru lahir mempunyai konsentrasi bilirubin yang relative tinggi


didalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat , hidrolisis
bilirubin glukuronida yang berlebihan dan konsentrasi bilirubin yang tinggi
ditemukan didalam mekonium, Pada bayi baru lahir , kekurangan relative flora
vakteri untuk mengurangi bilirubin menjadi urobilinogen lebih lanjut akan
meningkatkan pool bilirubin usus dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau
orang dewasa. Peningkatan hidrolisis bilirubin konjungasi pada bayi baru lahir
diperkuat oleh aktivitas glukuronidase mukosa yang tinggi dan eksresi
monoglukuronida terkonjungasi. Pemberian substansi oral yang ridak larut seperti
agar atau arang aktif yang dapat meningkat bilirubin akan meningkakan kadar
bilirunin dalam tinja dan mengurangi kadar bilirubin serum , hal ini
menggambarkan peran konstribusi sirkulasi enterohepatik pada keadaan

hiperbilirubinemia tak terkonjungasi pada bayi baru lahir.1

III.8.MANIFESTASI KLINIS
Ikterik merupakan gambaran klinis dari kondisi hiperbilirubinemia (> 5
mg/dl). Untuk memastikan tampilan warna ikterik perlu dilakukan penilaian
dengan menekan kulit dibawah pencahayaan yang baik, diutamakan menggunakan

cahaya alami pada siang hari9. Warna kuning pada kulit akan bergerak secara

sefalokaudal seiring dengan semakin meningkatnya kadar bilirubin dalam serum.


Selain pada kulit, warna kuning juga mudah dilihat pada bagian sklera dan

mukosa3,9. Pada keadaan hiperbilirubinemia indirek berat, warna ikterik yang

muncul adalah warna kuning muda/kuning terang atau jingga9.

Derajat dan kadar hiperbilirubinemia dapat diperkirakan dengan


pemeriksaan fisik pada daerah yang mengalami kuning menggunakan metode
Kramer11. Pemeriksaan dilakukan dengan menekan tempat-tempat yang
tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain menggunakan
jari telunjuk. Tempat yang ditekan, kulitnya akan tampak pucat atau kuning. Hasil
penilaian akan disesuaikan dengan interpretasi derajat Kramer. Penilaian dengan
metode Kramer hanya efektif pada bayi yang belum melakukan fototerapi.12
WHO dalam panduannya menerangkan cara menilai ikterus dari visual,
yaitu3,4
a. Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang
hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah
bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.
b. Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna
di bawah kulit dan jaringan subkutan.
c. Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh
yang tampak kuning

Tabel 1 Derajat Ikterik Menurut Kramer


Perkiraan Kadar Bilirubin
Derajat Ikterik Daerah Yang Mengalami Kuning Serum

0 Tidak ada < 5 mg/dL


4-8 mg/dL atau 100
1 Wajah dan leher μmol/L
Badan bagian atas (dada, 5-12 mg/dL atau 150
2 perut sebatas μmol/L
umbilikus dan punggung)
3 Badan bagian bawah (perut 8-16 mg/dL atau 200
dibawah μmol/L
umbilikus sampai dengan
lutut)
Lengan dan tungkai 11-18 mg/dL atau 250
4 dibawah lutut μmol/L
Telapak tangan dan telapak > 15 mg/dL atau > 250
5 kaki μmol/L
Sumber : Advancement of dermal icterus in the jaundiced newborn, 1969
Sumber : Neonatal Jaundice : Prevention, Assesment and Manajement,
2009

Gambar 4. Zona Tubuh Berdasarkan Derajat Ikterik Kramer

Gambaran klinis yang dapat menjadi petunjuk penyebab hiperbilirubinemia


perlu dicari pada saat melakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan berat badan bayi
pada kasus breastfeeding jaundice perlu dilakukan, karena umumnya bayi akan
mengalami kehilangan berat badan hingga 5%-7% dari berat badan lahir pada hari
ke 3 postnatal akibat asupan ASI yang tidak memadai. Kurangnya pemberian
minum pada bayi dengan breastfeeding jaundice dapat menyebabkan bayi
mengalami dehidrasi, yang dapat ditandai dengan mukosa yang kering, fontanela
yang cekung, tugor kulit yang buruk dan sedikitnya produksi air mata. Gambaran
hemolisis ektravaskular seperti memar dan petechie, hepatosplenomegali, kondisi
bayi yang tampak pucat dan peningkatan suhu yang dapat terjadi sebagai akibat
dari infeksi juga perlu dievaluasi pada saat melakukan pemeriksaan fisik untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebab ikterik yang lain.13
Identifikasi dan evaluasi terhadap berbagai keadaan yang menunjukkan
kondisi pemberian ASI yang tidak tepat dan tidak adekuat perlu dilakukan.
Kesulitan ibu selama proses menyusui dan pemberian ASI yang jarang dapat
menjadi petunjuk prediktif kemungkinan breastfeeding jaundice. Pengamatan
proses menyusui secara langsung mungkin perlu dilakukan untuk memastikan ada
tidaknya masalah dalam teknik menyusui. Posisi dan perlekatan mulut bayi
dengan payudara, suara menelan yang terdengar, durasi selama menyusui dan
penilaian berat badan sebelum dan sesudah menyusui juga perlu diperhatikan
untuk menentukan asupan ASI (1 cc ASI sama dengan 1 gram berat badan).Onset
pengeluaran mekonium dan frekuensi buang air besar dan buang air kecil perlu
ditanyakan. Bayi dengan breastfeeding jaundice yang mendapatkan kalori yang
kurang biasanya akan tampak tidak bugar, iritabel, rewel atau bayi menjadi lemas,

sering mengantuk dan sulit untuk dibangunkan.13

III.9. DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan melihat dari faktor risiko, onset ikterik, gejala klinis,
dan pemeriksaan bilirubin.Dimulai dari anamesa adanya riwayat keluarga dengan
kelahiran kuning seperti pada Gilbert syndrome, ada riwayat pengobatan tertentu
pada pasien seperti sulfadiazine dan ceftriaxon.Adakah riwayat keluarga dengan
anemia, splenectomi, penyakit hemolitik dan penyakit hati.Diperlukan juga
riwayat kehamilan dan kelahiran.Riwayat minum ASI atau PASI dan adanya
penurunan berat badan, gejala hipotiroid, gangguan metabolik seperti
galaktosemia.Golongan darah bayi, ayah dan ibu juga dibutuhkan untuk

mencurigai adanya gangguan kompaktibilitas ABO.1,3

Pada pemeriksaan fisik dapat dicari adanya ekstravasasi darah, contoh


peningkatan produksi bilirubin termasuk sefal hematom, ekimosis, petechie dan
hemorhagis, walaupun diagnosisnya seringkali dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan fisik.Perdarahan intrakranial, intestinal maupun pulmonal juga dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia. Hal yang serupa juga terjadi jika darah tertelan,
yang akan dikonversi menjadi bilirubin oleh heme-oksigenase epitel
intestinum.Untuk kecurigaan adanya bilirubin ensefalopati atau kernikterus maka
harus periksa keadaan umum, tonus, refleks bayi. Guna mengantisipasi
komplikasi yang akan timbul, maka perlu diketahui daerah letak kadar bilirubin
serum total beserta faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia yang berat.
Semakin rendah faktor risiko, semakin rendah kemungkinan terjadinya

kernikterus.1,3
Gambar 5. Grafik Kadar Billirubin Sesuai Usia Postnatal

Nomogram Penentuan Risiko Hiperbilirubinemia Pada Bayi Sehat usia 36


Minggu atau Lebih dengan Berat Badan 2000 gram atau Lebih atau Usia
Kehamilan 35 Minggu atau Lebih dan Berat Badan 2500 gram atau Lebih
Berdasarkan Jam Observasi Kadar Bilirubin Serum.1,5
Faktor risiko major

 Sebelum pulang, kadar bilirubin terletak pada risiko tinggi


 Ikterus yang muncul pada 24 jam pertama
 Inkompatibilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang positif
atau penyakit hemolitik lainnya (G6PD)
 Umur kehamilan 35-36 minggu
 Riwayat anak sebelumnya yang mendaoat fototerapi
 Sefalhematom atau memar yang bermakna
 ASI eksklusif dengan cara perawatan tidak baik dan kehilangan berat
badan yang berlebihan
 Ras asia timur1
Faktor risiko minor

 Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus


terletak pada daerah risiko sedang
 Umur kehamilan 37-38 minggu
 Sebelum pulang, bayi tampak kuningRiwayat anak sebelumnya kuning
 Bayi makrosomnia dari ibu DM
 Umur ibu >= 25 tahun

 Laki-laki1

Faktor risiko kurang

 Kadar bilirubin serum total atau biilirubin transkutaneus terletak pada


daerah risiko rendah.
 Umur kehamilan >= 41 minggu
 Bayi mendapat susu formula penuh
 Kulit hitam
 Bayi dipulangkan setelah 72 jam1

Tipe Ada Hemolitik Tidak Ada hemolitik


hiperbilirubinemia
Penyebab Umum: Penyebab Umum:
1. Inkompabilitas 1. Breast milk
darah associated
fetomaternal jaundice
(ABO, rh, 2. Ikterus fisiologis
antigen minor) 3. Polisitemia
2. Infeksi 4. Bayi dengan ibu
DM
Hiperbilirubinemia 5. Perdarahan
Indirek internal
Penyebab yang lebih Penyebab yang lebih
jarang: jarang:
1. Hemoglobinopati 1. Hipotiroidisme
thalasemia 2. Stenosis piloric
2. Defek enzim 3. Immune
G6PD, defisiensi thrombocytopeni
piruvat kinase a
3. Abnormalitas 4. Mutasi pada
membran glucorony
eritrosit, transferase:
ovalositosis, sindrom gilbert,
sferositosis sindrom crigler-
najar

Tipe hiperbilirubinemia Ada Hemolitik

Hiperbilirubinemia Direk Penyebab Umum:


1. Infeksi: TORCH, sepsis,
infeksi traktus urinarius
2. Hyperalimentation
cholestasis
3. Hepatitis neonatal
4. Atresia biliaris
5. Kistik fibrosis
6. Infark hepatik
7. Kelainan metabolisme
bawaan: galaktosemia,
tyrosinosis
Sumber : A practical approach to neonatal jaundice, 2008

III.10. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan untuk
diperiksa bila ikterus menetap sampai usia> 2 minggu atau dicurigai
adanya kolestasis.
2. Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat
morfologin eritrosit dan ada tidaknya hemolilis. Bila fasilitas tersedia,
lengkap dengan phitung etikulosit.
3. Golongan darah, rhesus, dan direct Coombs’ test dari ibu dan bayi
untuk mencari penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan rhesus negatif
harus menjalani pemeriksaan golongan darah, rhesus dan direct
Coombs’ test segera setelah lahir.
4. Kadar enzim G6PD pada eritrosit
5. Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan fungsi uji hati,
pemeriksaan urin untuk mencari infeksi saluran kemih, serta
pemeriksaan untuk mencari infeksi kongenital, sepsis, defek
metabolik atau hipotiroid. (PPM)

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan juga meliputi pemeriksaan

kadar bilirubin serum yang akan diinterpretasikan ke dalam nomogram Bhutani1 3

Pemeriksaan meliputi kadar bilirubin serum total, bilirubin indirek dan bilirubin
direk yang biasanya dilakukan dengan mengambil darah bayi untuk diperiksa di
laboratorium. Metode nonivasif untuk mengukur kadar bilirubin yang disebut
sebagai transcutaneous bilirubin (TcB) telah dikembangkan. Alat yang digunakan
disebut sebagai jaundicemeter, yang akan mengukur warna kulit dengan
reflectance spectrophotometry. Alat ini dianjurkan sebagai sarana skrining pada
bayi-bayi baru lahir yang berisiko mengalami ikterik.

Pengukuran TcB menggunakan jaundicemeter cenderung memberikan hasil


yang lebih rendah bila dibandingkan hasil pemeriksaan laboratorium bilirubin
total serum, namun memberikan hasil yang lebih akurat bila dibandingkan dengan
pengukuran bilirubin total serum berdasarkan estimasi visual. Kelemahan
penggunaan jaundicemeter adalah ketika digunakan untuk mengukur kadar TcB
bayi yang sedang ataupun sesudah menjalani fototerapi. Hasil TcB yang terlalu
rendah dari seharusnya dapat menyebabkan penghentian terapi sebelum waktunya,
dan berpotensi meningkatkan morbiditas bayi. Oleh karena itu, penggunaan
jaundicemeter untuk mengukur TcB bukan untuk menggantikan pengukuran
bilirubin total serum, tetapi dapat membantu dalam pengambilan keputusan kapan
harus menduga keadaan hiperbilirubinemia dan kapan harus memeriksa kadar

bilirubin total serum. 11

Selain pemeriksaan bilirubin, pemeriksaan laboratorium lain perlu


dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab ikterik pada neonatus. Pemeriksaan
darah lengkap, darah tepi, jenis golongan darah dan rhesus, kadar SGPT/SGOT

dan Coomb‟s test perlu dilakukan sesuai dengan anjuran AAP.12


III.11. PENATALAKSANAAN

Usia gestasi ≥ 35 minggu


Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab
langsung ikterus. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan
mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini
dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan

pemberian obat-obatan.1

Pada tahun 2004, American Academy of Pediatric mengeluarkan panduan


manajemen kondisi hiperbilirubinemia untuk bayi baru lahir dengan usia gestasi
35 minggu atau lebih. Tujuan dari disusunnya panduan tersebut adalah untuk
menurunkan frekuensi kasus hiperbilirubinemia berat dan komplikasinya
(ensefalopati bilirubin dan kernikterus). Manajemen tersebut meliputi beberapa
anjuran dan rekomendasi berkaitan dengan tindakan pencegahan dan pengobatan
kondisi ikterik neonatorum.

Terdapat 10 elemen penting dalam panduan AAP tersebut yang meliputi :


a. Mempromosikan dan mendukung keberhasilan menyusui ibu pada bayi baru
lahir
b. Menetapkan protokol perawatan anak untuk melakukan identifikasi dan
evaluasi terhadap hiperbilirubinemia.
c. Melakukan pengukuran kadar bilirubin serum total (TSB) atau bilirubin
transkutan (TcB) pada bayi dengan ikterik dalam kurun waktu 24 jam
pertama.
d. Mengantisipasi kemungkinan penilaian derajat ikterik secara visual dapat
mengalami kesalahan terutama jika penilaian dilakukan dalam keadaan gelap
dan penilaian pada neonatus dengan kulit yang cenderung gelap.
e. Menginterpretasikan semua tingkat bilirubin kedalam nomogram sesuai
dengan usia bayi dalam jam.
f. Mengantisipasi kemungkinan bahwa bayi dengan usia gestasi kurang dari 38
minggu, terutama yang mendapatkan ASI, memiliki risiko lebih tinggi
mengalami hiperbilirubinemia dan membutuhkan pengawasan dan
monitoring lebih ketat.
g. Melakukan penilaian secara sistematis terhadap risiko hiperbilirubinemia
berat pada semua bayi sebelum diizinkan untuk dibawa pulang.
h. Memberikan informasi secara lisan dan tulisan kepada orang tua berkaitan
dengan ikterik neonatorum.
i. Melakukan follow-up yang tepat berdasarkan waktu bayi diperbolehkan
untuk dibawa pulang dan penilaian terhadap faktor risiko.
j. Lakukan penatalaksanaan pada bayi baru lahir dengan indikasi yang sesuai
dengan fototerapi atau transfusi tukar (Gambar 9 dan Gambar 10).

Tindakan fototerapi dan transfusi tukar (exchange tranfusion) merupakan


terapi pilihan untuk kondisi ikterik yang berat. Indikasi penggunaan kedua terapi
ini berdasarkan plot diagram panduan tindakan fototerapi dan tindakan transfusi
tukar yang dikeluarkan oleh American Academy of Pediatric.9

Sumber: Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more


weeks of
gestation, 2004
Gambar 6. Guideline fototerapi pada hiperbilirubinemia dengan usia
gestasi ≥ 35 minggu

Sumber: Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more


weeks of
gestation, 2004
Gambar 7. Guideline transfusi tukar pada hiperbilirubinemia dengan
usia gestasi ≥ 35 minggu

Usia Gestasi < 35 minggu


Bayi dengan usia gestasi < 35 minggu memiliki risiko lebih tinggi
mengalami kerusakan otak yang disebabkan oleh kadar bilirubin yang tinggi,
sehingga ambang batas kadar bilirubin total untuk inisiasi fototerapi dan transfusi
tukar lebih rendah daripada bayi aterm. Namun hingga saat ini, belum ada
guideline yang bersifat evidence-based karena keterbatasan data. Berbagai senter
perawatan intensif neonatal menggunakan kriteria sendiri untuk menentukan
terapi berdasarkan berat lahir ataupun usia gestasional. Mengingat risiko
morbiditas yang tinggi pada keadaan ini, AAP pada tahun 2012 mengeluarkan
sebuah rekomendasi yang bersifat consensus-based untuk terapi

hiperbiliribunemia pada bayi dengan usia gestasi < 35 minggu.12

Fototerapi Transfusi tukar

Bilirubin total serum untuk Bilirubin total serum untuk


Usia gestasional
inisiasi fototerapi (mg/dL) transfusi tukar (mg/dL)

< 28 0/7 5– 6 11 – 14

28 0/7 – 29 6/7 6– 8 12 – 14

30 0/7 – 31 6/7 8 – 10 13 – 16

32 0/7 – 33 6/7 10– 12 15 – 18

34 0/7 – 34 6/7 12– 14 17 – 19

Tabel 3 Rekomendasi penggunaan fototerapi dan transfusi tukar pada bayi


preterm < 35 minggu
Sumber: An approach to the management of hyperbilirubinemia in the preterm
infant less than 35 weeks of gestation, 2012.

Fototerapi Intensif
Fototerapi intensif adalah terapi radiasi cahaya dengan panjang

gelombang 430-490 nm, dengan daya 30 µW/cm2 per nm atau lebih. Radiasi

cahaya dipancarkan pada area permukaan tubuh bayi seluas-luasnya untuk hasil
yang optimal. Beberapa faktor yang mempengaruhi optimalisasi fototerapi
dalam penanganan fototerapi adalah:

1. Panjang gelombang cahaya yang dipancarkan


2. Daya radiasi pada permukaan tubuh bayi
3. Area permukaan tubuh bayi yang terekspos fototerapi
4. Penyebab jaundice
5. Kadar bilirubin total serum pada awal dimulainya fototerapi

Kecepatan penurunan kadar bilirubin total serum bergantung pada kelima


faktor diatas. Bila kadar bilirubin sangat tinggi (lebih dari 30 mg/dL),
penggunaan fototerap intensif dapat menurunkan kadar bilirubin hingga 10
mg/dL dalam beberapa jam pertama. Penurunan kadar bilirubin berkisar antara
0,5-1 mg/dL per jam dalam 4-8 jam pertama. Penurunan paling signifikan akan
terjadi pada 4-6 jam pertama setelah inisiasi fototerapi. Dengan peralatan
fototerapi standar dapat menurunkan kadar bilirubin hingga 6-20% pada 24 jam

pertama.9

Saat ini belum ada standar yang menentukan kapan fototerapi


diihentikan. Kadar bilirubin total serum untuk menghentikan terapi tergantung
pada usia bayi dan penyebab hiperbilirubinemia. Pada bayi yang dirawat
setelah perawatan pertama saat kelahiran (dengan kadar bilirubin total rata-rata
18 mg/dL), fototerapi dihentikan bila kadar bilirubin total dibawah 13-14

mg/dL.12 Pada bayi usia gestasi < 35 minggu dengan hiperbilirubinemia,

fototerapi dihentikan bila kadar bilirubin total 1-2 mg/dL dibawah kadar saat

inisiasi dilakukan.12

Strategi mengelola bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia meliputi;


pencegahan, penggunaan farmakologi, fototerapi dan transfusi tukar.1

1) Strategi pencegahan hiperbilirubinemia


a. Pencegahan primer :
 Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali
perhari untuk beberapa hari pertama
 Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air
pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi
b. Pencegahan sekunder
 Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan
rhesus serta penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak
biasa.
o Jika golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif,
dilakukan pemeriksaan antibodi direk (tes coombs), golongan
darah dan tipe
o Jika golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk
dilakukan tes golongan darah dan tes coombs pada darah tali
pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jikan dilakukan
pengawasan, penilaian terhadap resiko sebelum keluar RS
dan tindak lanjut yang memadai.
 Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor
terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap
penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital
bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam.
c. Evaluasi laboraturium
 Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan pada setiap bayi
yang mengalami ikterus dalam 24 jam pertama setelah lahir.
 Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan jika tampak ikterus
yang berlebihan
 Semua kadar bilirubin harus diintrepretasikan sesuai dengan
umur bayi dalam jam
d. Penyebab kuning
 Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi
harus dilakukan analisis dan kultur urin
 Bayi sakit dan ikterus pada umur atau lebih dari 3 minggu harus
dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk untuk
mengidentifikasi adanya kolestatis
 Jika kadar bilirubin direk meningkat, dilakukan evaluasi
tambahan mencari penyebab kolestatis
 Pemeriksaan kadar G6PD direkomendasikan untuk bayi ikterus
yang mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau
ernis/asal geografis yang menunjukan kecenderungan defisiensi
G6PD atau pada bayi dengan respon fototerapi buruk.
e. Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan
 Setiap bayi harus dinilai terhadap resiko berkembangnya
hiperbilirubinemia berat
f. Kebijakan dan prosedur rumah sakit
 RS harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orangtua
mengenai kuning, perlunya monitor terhadap kuning, dan anjuran
bagaimana monitoring harus dilakukan

g. Pengelolaan bayi dengan ikterus yang mendapat ASI


 Observasi semua fese awal bayi, pertimbangkan untuk merangsang
pengeluaran jika feses keluar dalam waktu 24 jam
 Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui yang
sering dengan waktu yang singkat lebih efektif dibandingkan
dengan menyusui yang lama dengan frekuensi yang jarang
walaupun total waktu yang diberikan sama
 Tidak dianjurkan pemberian air, dektrosa, atau formula pengganti
 Observasi berat badan, BAK, dan BAB yang berhubungan dengan
pola menyusui
 Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, tingkatkan pemberian
minum, rangsang pengeluaran/produksi ASI dengan cara
memompa, dan menggunakan protokol penggunaan fototerapi yang
dikeluarkan AAP
 Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan
abnormalitas ASI, sehingga penghentian menyusui sebagai suatu
upaya hanya diindikasikan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari
atau meningkat diatas 20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat bayi

sebelumnya terkena kuning.1

2) Penggunaan Farmakologi
a. Imunoglobulin intravena digunakan pada bayi dengan Rh yang berat
dan inkompabilitas ABO untuk menekan isoimun dan menurunkan
tindakan transfusi ganti
b. Fenobarbital telah memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang
aktifitas dan konsentrasi UPGDT dan ligandin serta dapat
meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin
c. Pencegahan hiperbilirubinemia dengan menggunakan
metalloprotoporphyrin yang merupakan analog sintesis heme. Zat ini
efektif sebagai inhibitor kompetitif dari heme oksigenase, yang
diperlukan untuk katabolisme heme manjadi biliverdin.
d. Tin-protoporphyrin (Sn-PP) dan tin-mesoporphyrin (Sn-MP) dapat
menurunkan kadar bilirubin serum.
Pemberian inhibitor β-glukoronidase pada bayi sehat cukup bulan yang
mendapat ASI dapat meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus

menjadi berkurang.1

3) Terapi sinar dan Transfusi tukar


Penanganan ikterus berdasarkan kadar serum bilirubin

(dikutip dari : American Academy of Pediatrics, Subcommittee on


Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant
35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294)
Terapi Sinar
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak
1958.Banyak teoriyang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut.Teori
terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi
bilirubin.Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin
menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk
isomernya.Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah
diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer
dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam
usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat
meninggalkan usus halus. 6,7

Gambar 8. Proses Pemecahan Bilirubin dengan Terapi Sinar

Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah
lampu neon yang diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang
berfentilasi.Agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm)
lampu diletakkan pada jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang
pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak
bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau setelah
penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada boks bayi
atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada
untuk memantulkan kembalisinar sebanyak mungkin ke arah bayi.6,7

Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat
seluas-luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi.Posisi bayi sebaiknya
diubah-ubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat
menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidak perlu ditutup lagi, selama
penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di pantau secara berkala dan
terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171 µmol/L). Lamanya

penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam.6

Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila


ditemukan efeksamping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu
diperhatikan antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan
minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat sementara dan
kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang

menyertainya diperbaiki.6

Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, dan jarang terjadi. Kejadian


tersebut antara lain:

 Bronze Baby Syndrome. Berkurangnya ekskresi hepatik hasil penyinaran


bilirubin.
 Diare. Bilirubin indirek menghambat laktase
 Hemolisis Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit.
 Dehidrasi. Bertambahnya Insensible Water Loss (30-100%) karena
menyerap energi foton.
 Ruam Kulit. Gangguan fotosensitisasi terhadap sel mast kulit dengan
pelepasan histamin.
Menurut National Institute for Clinical Excellence atau NICE 2010, bila
terjadi peningkatan lebih dari 8.5 µmol/L/jam dapat dipertimbangkan multiple
fototerapi, kemudian lakukan pengecekan bilirubin selama 6-12 jam kemudian.
Bila sudah stabil, dapat diturunkan menjadi 1 lampu saja.

Transfusi Tukar
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan
dengan cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam
mengganti eritrosit yang telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang
menimbulkan hemolisis.Walaupun transfusi tukar ini sangat bermanfaat, tetapi
efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul perlu diperhatikan dan
karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi. Kriteria melakukan
transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin
terhadap albumin.

(dikutip dari : American Academy of Pediatrics, Subcommittee on


Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant
35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294)

Yang dimaksud ada komplikasi apabila :

1. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5


2. PaO2 < 40 torr selama 1 jam
3. pH< 7,15 selama 1 jam

4. Suhu rectal <= 350C

5. Serum albumin <2,5 g/dL


6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
8. Anemia hemolitik
9. Berat bayi <= 1000g

Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang
akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila
hiperbilirubinemia yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah
ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan
lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah
yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat
dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal inipun
tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang
rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180

cc/kgBB.6

Macam Transfusi Tukar:

1. „Double Volume‟ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan


dapat menggantikurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 %
mengganti Hb bayi.
2. „Iso Volume‟ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi,
dapat mengganti 65% Hb bayi.
3. „Partial Exchange‟ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada
kasus polisitemia atau darah pada anemia.
*Volume darah bayi cukup bulan 85 cc/kgBB

*Volume darah bayi kurang bulan 100 cc/kgBB

(dikutip dari : American Academy of Pediatrics, Subcommittee on


Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35
or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294)

Dalam melaksanakan transfuse tukar tempat dan peralatan yang diperlukan


harus dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfuse dilakukan di ruangan yang
aseptic yang dilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi disertai
dengan alat yang dapat mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan pula
kemungkinan terjadinya komplikasi transfuse tukar seperti asidosis, bradikardia,
aritmia, ataupun henti jantung.6
III.12.KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

Komplikasi berat hiperbilirubinemia adalah toksisitas pada sistem saraf


pusat. Bentuk hiperbilirubinemia indirek bebas sangat mudah masuk melewati
blood-brain barrier. Kondisi akut berupa ensefalopati bilirubin berisiko

menyebabkan kejang bahkan koma yang mengancam nyawa.9

Kernikterus merupakan penamaan neuropatologi dimana didapatkan


deposisi bilirubin pada serebelum, pons dan ganglia basalis. Kernikterus akan
menyebabkan gangguan saraf pada proses perkembangan bayi. Keterlambatan
tumbuh kembang, gangguan pendengaran, paralisis upward gaze, gangguan
intelektual dan athethoid cerebral palsy berat dapat muncul sebagai manifestasi

dari keadaan tersebut.9

Tatalaksana pada hiperbilirubinemia sendiri dapat menimbulkan beberapa


komplikasi pada bayi. Bayi yang sedang menjalani fototerapi harus terpisah dari
orang tuanya dan memakai penutup mata, sesuatu yang sangat mengganggu orang
tuanya. Komplikasi klinis paling bermakna muncul pada bayi dengan cholestatic
jaundice. Bila pada bayi ini dilakukan fototerapi, maka kulit, serum, dan urinnya
dapat berubah warna menjadi abu-abu kecoklatan. Keadaan ini dinamakan
sindrom bronze baby. Patogenesis dari sindrom ini belum diketahui secara pasti,
namun dapat dihubungkan dengan akumulasi porfirin dan produk metabolit lain di
plasma darah bayi dengan kolestasis. Pada transfusi tukar, komplikasi yang sering
terjadi adalah apnea, bradikardi, sianosis, vasospasme, trombosis, dan
enterokolitis nekrotikans, dengan angka kejadian 5%. Mortalitas yang memiliki

hubungan dengan transfusi tukar sebesar 3 dari 1.000 prosedur transfusi tukar.9

Prognosis dari keadaan ikterik neonatorum bergantung pada derajat


hiperbilirubinemia dan penyebab dasar dari kondisi tersebut. Tindakan fototerapi
memberikan hasil yang memuaskan pada sebagian besar keadaan
hiperbilirubinemia. Keadaan hiperbilirubinemia berat dan risiko terjadinya
komplikasi diharapkan dapat secara signifikan dihindari dan diatas dengan adanya
panduan dan rekomendasi yang sudah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rivas, Y. Pan, HD, 2017, „Jaundice: Newborn to Age 2 Months‟,


Pediatrics in Review, Vol.38, no. II, hlm.499-508.

2. Ullah, S, Rahman, K, Hedayati, M, 2016, „Hyperbilirubinemia in


Neonates: Types,Causes, Clinical Examinations, Preventive Measures and
Treatments: A Narrative Review Article‟, Iran Journal Public Health, Vol.
45, no. 5, hlm.558-564.

3. Sukadi, A, 2012, „Hiperbilirubinemia‟ Dalam Kosim MS,


Yuananto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, Penyunting. Buku Ajar
Neonatologi Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta; hal. 147-153.

4. Mathindas, S, Wilar, R, Wahani, A, 2013, „Hiperbilirubinemia pada


Neonatus‟. Jurnal Biomedik, Vol. 5, no.1, hlm.S4-S9.

5. McCance, KL, Huether , SE. Pathophysiology; 6th ed. Utah: Mosby. 2009.

6. Behrman, RE, Kliegman RM. The Fetus and the Neonatal Infant,
In : Nelson Textbook of pediatrics; 19 th ed. California: Saunders. 2011; 550-
8

7. Maisels A, Jaundice in a newborn: answers to questions about a common


clinical problem. First of two parts. contempPediatr.2011;hlm.1226-53

8. Kaplan, M, Hammerman C, Vreman, HJ, Wong, RJ, Stevenson, DK.


„Hemolysis and hyperbilirubinemia in antiglobulin positive, direct ABO
blood group heterospecific neonates‟. 2010. Journal of Pediatrics.
Jerusalem, Israel. University of Hebrew.
9. American Academy of Pediatrics Subcommite on
Hyperbilirubinemia 2004,„Management of hyperbilirubinemia in the
newborn infant 35 or more weeks of gestation‟, Pediatrics, Vol. 114, no.1,
hlm.297-316.

10. Kramer, LI, 1969, „Advancement of dermal icterus in the jaundice


newborn‟, Am J Dis Child, Vol.118, no.1, hlm 454-458

11. Grabenhenrich, J, Grabenhenrich, L, Buehrer, C, Berns, M.


„Trancutaneous bilirubin after phototherapy in term and preterm infants‟.
2014. Pediatrics, Vol. 134, no. 5, hlm 1324-1329

12. Maisels, MJ, Watchko, JF, Bhutani, VK, Stevenson, DK. „An approach to
the management of hyperbilirubinemia in the preterm infant less than 35
weeks of gestation‟. 2012. Journal of Perinatology, Vol. 32, hlm. 660-
664.

13. Mansjoer, A. Kapita Selekta Kedokteran; ed. 4 jilid 1. Jakarta: Media


Aesculapius. 2016.

Anda mungkin juga menyukai