Oleh:
Pembimbing:
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan
petunjuk dari-Nya penyusunan tugas laporan kasus dengan judul “Prolonged Jaundice +
Indirect Hyperbilirubinemia + Hipotiroid Kongenital + Anemia Hipokromik Mikrositik” dapat
diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan laporan
kasus ini adalah untuk memenuhi tugas dalam proses kepanitraan klinik di bagian SMF ilmu
kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Mataram, Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Selain itu, saya berharap tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi profesi
kedokteran, serta dapat meningkatkan dan memperluas pemahaman mengenai ASD Secundum.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih terdapat banyak kekurangan dan
belum sempurna. Oleh karenya, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk
perbaikan kedepannya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan bantuan dan
melimpahkan petunjuk-Nya kepada kita semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan
pada bayi baru lahir.1 lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu
pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini.
Angka kejadian hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir cukup tinggi pada neonatus
cukup bulan sekitar 25% sampai 50% dan sekitar 6,1 % di antaranya akan mencapai kadar
bilirubin 12,9 mg/dl, sedangkan kadar bilirubin lebih dari 15 mg/dl mencapai 3% dari total
neonates cukup bulan. Angka kejadian hiperbilirubinemia lebih tinggi pada neonates kurang
bulan.
Hipotiroidisme di akibatkan oleh kekurangan produksi hormon tiroid atau defek pada
reseptornya. Kelainan tersebut dapat nampak sejak lahir. Bila gejala-gejala muncul setelah
periode fungsi tiroid yang tampaknya normal, kelainan ini dapat merupakan kelainan “didapat”
yang sebenarnya atau hanya tampak demikian sebagai akibat dari salah satu varietas defek
congenital karena manifestasi defisiensinya terlambat. Istilah kretinisme sering digunakan
sebagai sinonim hipotiroidisme congenital tetapi harus dihindari.
Anemia adalah penurunan hemoglobin darah di bawah nilai normal. Anemia dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya turunnya produksi sel darah merah, perdarahan,
defisiensi zat pembentuk sel darah merah, penyakit genetik, hemolisis, kurangnya hormon
erithropoietin dan penyakit kronis lainnya. Faktor-faktor tersebut dapat memberikan gambaran
khas pada sel darah merah. Gambaran khas yang terbentuk dapat berupa perubahan warna
ataupun bentuk pada sel darah merah. Gambaran khas perubahan karakteristik sel darah merah
digolongkan menjadi 3 golongan besar, yakni anemia mikrositik hipokrom, anemia normositik
normokrom dan anemia makrositik.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : A.D.I
Jenis kelamin : Laki – laki
Tanggal lahir : 06/01/2021
Usia : 2 Bulan 26 Hari
Alamat : KLU
Tanggal MRS : 02/03/2021
Tanggal Pemeriksaan : 03/03/2021
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis dengan ibu dan bapak pasien pada tanggal
03/03/2021 dan didukung dengan data dari rekam medis pasien.
a) Keluhan utama
Kuning
Pasien dibawa ke Poli Anak RSUP NTB pada Rabu, 2 Maret 2021 karena dikeluhkan
kuning. Kuning dikatakan tampak sejak setelah lahir. Kuning hanya tampak pada mata,
kemudian pasien dibawa ke Puskesmas pada hari ke 3 setelah lahir. Di puskesmas tidak
diberikan pengobatan apapun, ibu pasien hanya diedukasi untuk menjemur pasien setiap pagi
hari dan memberikan rutin memberikan ASI. Pasien rutin dijemur dibawah matahari pukul 08.00
– 09.00 pagi setiap hari dan rutin diberikan ASI Setelah hari ke 7 dibawa lagi ke puskesmas
karena kuning tidak menghilang. Tetap tidak diberikan pengobatan, hanya edukasi untuk tetap
dijemur. Pasien sebelumnya sudah hamper 5 kali bolak balik Puskesmas akibat keluhan kuning
ini. Puncak kuning di seluruh tubuh terjadi pada 7 hari yang lalu dan dibawa ke IGD RSUP
NTB, kuning tampak pada wajah, leher, mata, badan, dan kaki serta tangan pasien. Di IGD,
pasien hanya dilakukan cek DL dan diberikan terapi suportif kemudian boleh dipulangkan karena
keluhan dikatakan membaik.Dan pada tanggal 2 Maret 2021 pasien datang kontrol ke Poli Anak
RSUP NTB karena keluhan kuning tidak membaik dan disarankan untuk rawat inap di bangsal
untuk dilakukan pemeriksaan penunjang dan pengobatan lebih lengkap. Keluhan batuk, pilek,
sesak, demam, kejang dan keluhan lain disangkal. BAB (-) sejak 3 hari yang lalu, terakhir BAB 4
hari yang lalu warna kuning konsistensi lembek tanpa lendir dan darah, BAK (+) Pasien rutin
diberi ASI ekslusif setiap 2 jam sekali. Produksi ASI ibu lancar.
Kesimpulan : Tidak terdapat riwayat penyakit serupa dengan pasien yang diturunkan oleh
keluarga.
e) Genogram keluarga
2 bulan
26 hari
Kesimpulan : Tidak terdapat riwayat penyakit serupa dengan pasien yang diturunkan oleh
keluarga.
f) Riwayat kehamilan
• Ibu pasien melakukan ANC sebanyak 5x dan sudah imunisasi TT sebanyak 4 kali.
• Pemeriksaan USG dilakukan setiap bulan selama kehamilan dengan hasil pemeriksaan
USG juga dilakukan setiap bulan dengan hasil baik
• Ibu mengakui tidak pernah mengalami sakit selama masa kehamilan. Keluhan seperti
demam, batuk, pilek, hipertensi saat kehamilan, kejang, asma, DM, keputihan disangkal.
• Selama kehamilan ibu mengakui nafsu makannya baik, sering mengalami mual dan
muntah disangkal.
• Selama kehamilan ibu rutin mengonsumsi vitamin dan tablet penambah darah. Tidak
ada mengkonsumsi obat-obatan tertentu.
g) Riwayat persalinan
h) Riwayat Imunisasi
• HBO pada saat baru lahir
i) Riwayat Nutrisi
• Mendapat ASI sejak lahir, produksi ASI banyak menyusu setiap 2 jam, namun namun
hanya sebentar - sebentar
j) Riwayat vaksinasi
BCG : - pada umur : - bln di : -
Hep B : 1 x pada umur: 0 bln di : RSUD KLU
DPT : - pada umur : - bln di : -
HiB : - pada umur : - bln di : -
Polio : - pada umur : - bln di : -
Kesimpulan : Imunisasi dasar pasin hanya HB0 pada saat baru lahir
Sistem serebrospinal :
Riwayat kejang (-), riwayat penurunan
kesadaran (-).
b. Tanda vital
▪ Frekuensi napas : 36 kali/menit
▪ Frekuensi nadi : 121 kali/menit, isi dan tegangan cukup, teratur
▪ Suhu tubuh : 36,8 o C
▪ SpO2 : 99% udara ruang
c. Status gizi
Klinis
d. Pemeriksaan lokalis
• Kepala
o Bentuk : normocephal
o Ubun ubun : ubun – ubun besar
terbuka, tidak cekung, tidak menonjol
o Rambut : berwarna hitam , rontok (-)
o Wajah : simetris, edema wajah (-), rash (-)
o Mata
▪ Konjungtiva anemis (+/+)
▪ Sklera ikterik (+/+)
▪ Pupil isokor (+)
▪ Sekret mata (-)
o Telinga
▪ Simetris (+/+)
▪ Massa (-/-)
▪ Tanda-tanda inflamasi (-/-)
▪ Nyeri tekan (-/-)
▪ Sekret (-/-)
o Hidung
▪ Simetris (+/+)
▪ Sekret (-/-)
▪ Epistaksis (-/-)
▪ Deformitas (-/-)
▪ Nyeri tekan (-/-)
o Mulut
▪ Bibir pucat (-)
▪ Sianosis (-)
▪ Mukosa bibir lembab
▪ Perdarahan gusi (-)
• Leher
o Pembesaran KGB disekitar leher (-)
• Thorax
o Inspeksi
▪ Bentuk dan ukuran dada normal
▪ Ictus cordis tidak tampak
▪ Retraksi (-)
▪ Tanda-tanda inflamasi (-)
▪ Ikterik (+)
o Palpasi
▪ Pengembangan dada simetris
▪ Krepitasi (-), nyeri tekan (-)
o Perkusi
▪ Sonor (+) seluruh lapang
o Auskultasi
▪ Cor
- Suara jantung S1 S2 tunggal reguler
- Suara murmur (-)
- Suara gallop (-)
▪ Pulmo
c) Pemeriksaan Hematologi
Komponen 04/03/2021 05/03/2021 NILAI NORMAL
2.6 Assessment
- Prolonged Jaundice
- Hiperbilirubinemia Indirect
- Hipotiroid Kongenital
- Anemia Hipokromik Mikrositik
2.7 Planning
a. Planning Diagnostik
- Darah lengkap
- Pemeriksaan Fungsi Hati
- Pemeriksaan Fungsi Tiroid
- Foto USG
b. Planning Terapi
Terapi farmakologis:
- Asam ursodeoxycolat 2x50 mg oral
c. Planning Monitoring
2.8 Edukasi
- KIE keluarga pasien terkait kondisi, tujuan terapi, komplikasi dan prognosis terkait
pasien.
- KIE keluarga pasien terkait asupan nutrisi (makanan) harus diteruskan dan memberikan
dukungan kepada anak untuk makan lebih banyak untuk mencegah atau meminimalkan
gangguan yang terjadi.
- Edukasi keluarga pasien untuk memberikan banyak air putih kepada pasien, terutama
apabila ada demam.
2.9. Follow up pasien
Tanggal S O A P
03/03/21 Kuning (+), KU: Sedang, kesadaran Hiperbilirubinemia Infus D5 ¼ NS
500 ml/24 jam
GN/103 Minum Asi Compos mentis +
(+), BAB Temp: 36,6 Hipotiroid Asam
ursodeoxycolat
(-) dan SpO2 99% O2 ruangan Kongenital 2x50 mg oral
BAK (+) RR: 36x/menit
USG Abdomen
dbn HR: 120x/menit 2 Fase
konsul ts
K/L: normochepal, anemis endokrin anak
(-) ikterik (+) pembesaran
kgb (–)
Thoraks :
Pulmo: vesikuler +/+ rh-/-
whe -/-
Cor : s1s2 tunggal regular,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Soepl
BU (+), hepar dan lien tidak
teraba
Extremitas : akral hangat
crt<2
04/03/21 Kuning (+), KU:Sedang, kesadaran Prolonged Infus D5 ¼ NS
500 ml/24 jam
GN/104 Pucat (+), Compos mentis Jaundice
Minum Asi Temp: 36,7 Hiperbilirubinemia Asam
ursodeoxycolat
(+), BAB SpO2 98% O2 ruangan Indirect + 2x50 mg oral
(-) dan RR: 40X/menit Hipotiroid
L. Thyroxine
BAK (+) HR: 124x/menit Kongenital + 1x50 mcg
dbn
Caviplex drop
K/L: normochepal, anemis Anemia 1x8 tetes
(+) ikterik (+) pembesaran Hipokromik FT4/TSH
kgb (-) Mikrositik Evaluasi
Thoraks : konsul ts
Pulmo: vesikuler +/+ rh-/- Hematologi
anak ,
whe -/-
advice :
Cor : s1s2 tunggal regular,
-Pro transfusi
murmur (-), gallop (-) PRC 50 cc (1x)
Abdomen : Soepl -post transfusi
BU (+), hepar dan lien tidak ca glukonas 0,5
cc
teraba
-cek DL
Extremitas : akral hangat
crt<2
05/03/21 Kuning (+), KU: Sedang, kesadaran Prolonged Infus D5 ¼ NS
500 ml/24 jam
GN 103 Pucat (+), Compos mentis Jaundice +
Minum Asi Temp: 36,6 Hiperbilirubinemia Asam
ursodeoxycolat
(+), BAB SpO2 99% O2 ruangan Indirect + 2x50 mg oral
(+) dan RR: 36x/menit Hipotiroid
L. Thyroxine
BAK (+) HR: 120x/menit Kongenital + 1x50 mcg
dbn Anemia
Caviplex drop
K/L: normochepal, anemis Hipokromik 1x8 tetes
(+) ikterik (+) pembesaran Mikrositik (post Pro transfusi
kgb (–) transfuse) PRC 50 cc (2x)
Thoraks :
Pulmo: vesikuler +/+ rh-/-
whe -/-
Cor : s1s2 tunggal regular,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Soepl
BU (+), hepar dan lien tidak
teraba
Extremitas : akral hangat
crt<2
06/03/21 Kuning (+), KU: Sedang, kesadaran Prolonged Infus D5 ¼ NS
GN 103 Pucat (+), Compos mentis Jaundice + 500 ml/24 jam
Minum Asi Temp: 36,6 Hiperbilirubinemia Asam
(+), BAB SpO2 99% O2 ruangan Indirect + ursodeoxycolat
2x50 mg oral
(+) dan RR: 36x/menit Hipotiroid
BAK (+) HR: 120x/menit Kongenital + L. Thyroxine
1x50 mcg
dbn Anemia
Caviplex drop
K/L: normochepal, anemis Hipokromik
1x8 tetes
(+) ikterik (+) pembesaran Mikrositik
kgb (–)
Thoraks :
Pulmo: vesikuler +/+ rh-/-
whe -/-
Cor : s1s2 tunggal regular,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Soepl
BU (+), hepar dan lien tidak
teraba
Extremitas : akral hangat
crt<2
07/03/21 Kuning (+), KU: Sedang, kesadaran Prolonged Asam
ursodeoxycolat
GN 103 Pucat (-), Compos mentis Jaundice +
2x50 mg oral
Minum Asi Temp: 36,6 Hiperbilirubinemia
L. Thyroxine
(+), BAB SpO2 99% O2 ruangan Indirect + 1x50 mcg
(+) dan RR: 36x/menit Hipotiroid +
Caviplex drop
BAK (+) HR: 120x/menit Anemia 1x8 tetes
dbn Hipokromik
K/L: normochepal, anemis Mikrositik
(-) ikterik (+) pembesaran
kgb (–)
Thoraks :
Pulmo: vesikuler +/+ rh-/-
whe -/-
Cor : s1s2 tunggal regular,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Soepl
BU (+), hepar dan lien tidak
teraba
Extremitas : akral hangat
crt<2
08/03/21 Kuning (+), KU: Sedang, kesadaran Hiperbilirubinemia BPL
GN 103 Pucat Compos mentis Indirect +
(-),Demam Temp: 36,5 Hipotiroid
(-), Minum SpO2 99% O2 ruangan Kongenital +
Asi (+), RR: 32x/menit Anemia
BAB (+) HR: 120x/menit Hipokromik
dan BAK Mikrositik
(+) dbn K/L: normochepal, anemis
(-) ikterik (+) pembesaran
kgb (–)
Thoraks :
Pulmo: vesikuler +/+ rh-/-
whe -/-
Cor : s1s2 tunggal regular,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Soepl
BU (+), hepar dan lien tidak
teraba
Extremitas : akral hangat
crt<2
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 HIPERBILIRUBINEMIA
3.1.1 Definisi
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum total >5 mg/dL (86
μmol/L). Hiperbilirubinemia tampak sebagai ikterus, yaitu warna kuning pada kulit dan mukosa
yang disebabkan karena deposisi produk akhir katabolisme heme. Hiperbilirubinemia merupakan
kejadian yang sering dijumpai pada minggu-minggu pertama setelah lahir.
Hiperbilirubinemia neonatorum telah sejak lama dikenal. Penggunaan istilah Kernikterus
telah digunakan sejak awal tahun 1900 untuk menyebutkan pewarnaan kuning pada basal ganglia
neonatus yang meninggal akibat hiperbilirubinemia berat. Sejak tahun 1950 hingga 1970, terjadi
peningkatan insiden penyakit Rhesus hemolitik dan kernikterus sehingga pediatrisian menjadi
lebih agresif dalam penatalaksanaan ikterus. Meskipun demikian, beberapa faktor telah merubah
manajemen penatalaksanaan ikterus.
3.1.2 Klasifikasi
a. Ikterus fisiologis
Adalah ikterus yang paling sering terjadi pada bayi baru lahir di minggu pertama
kehidupannya, transiet, murni disebabkan oleh peningkatan bilirubin tak terkonyugasi akibat
proses fisiologis pada neonates. Proses tersebut antara lain karena penurunan level glukoronil
transferase, tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90
hari), belum matangnya fungsi hepar. Jika ikterus fisiologis, maka harus:
1. Tidak muncul pada hari pertama
2. Total bilirubin serum yang naik harus < 5 mg/dL dengan puncak < 12,9 mg/dL pada
hari ke 3 – 4 untuk bayi aterm dan < 15 mg/dL pada hari ke 5 – 7 untuk bayi
prematur
3. Bilirubin terkonjugasi harus < 2 mg/dL
4. Ikterus tidak menetap > 1 minggu pada bayi aterm dan > 2 minggu bagi bayi
prematur
b. Ikterus non fisiologis merujuk kepada keadaan sebagai berikut :
1. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam
2. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi
3. Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dL/jam
4. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari (muntah, letargis, malas menetek,
penurunan BB yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil)
5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi
kurang bulan
3.1.3 Epidemiologi
Hiperbilirubinemia terjadi pada hampir setiap bayi baru lahir yang mengalami tingkat
serum bilirubin tak terkonjugasi lebih dari 30mmol /L (1,8 mg/dl) selama minggu pertama
kehidupan. Insidens hiperbilirubinemia di Indonesia pada bayi baru lahir di beberapa RS
pendidikan antara lain RSCM, RS Dr Sardjito, RS Dr Soetomo, RS Dr Kariadi bervariasi dari
13,7% hingga 85%.
Insiden hiperbilirubinemia di dunia dipengaruhi oleh berbagai etnisitas dan kondisi
geografis. Insiden lebih tinggi terjadi pada orang asia timur dan indian amerika disbanding orang
kulit hitam. Orang Yunani yang hidup di Yunani memiliki insiden yang lebih tinggi daripada
yang keturunan yunani yang tinggal di luar yunani.
3.1.4 Etiologi
1. Peningkatan produksi bilirubin melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya :
Hemolisis yang meningkat misalnya inkompabilitas darah fetomaternal (Rh dan
ABO)
Peningkatan jumlah hemoglobin polistemia (twin to twin sindrom).
Defisiensi enzim kongenital (G6PD,piruvat kinase)
2.Gangguan konjugasi dan transportasi
Defisiensi albumin dan UDPGt
malnutrisi, obat-obatan (aspirin, sulfadiazin), hipoksia menggangu ikatan protein.
Criggler-Najjar Syndrome
Hipotiroidisme, imaturitas hepar, hipoglikemia.
Defisiensi ligandin (protein Y, glutation S-transferase B)
anoksia/ hipoksia
3. Gangguan ekskresi
Obstruksi pada hepar. Misalnya, hepatitis, toksoplasmosis dan sifilis yang menghasilkan toksin
yang langsung menyerang hati, anomali kongenital.
Obstruksi pada saluran empedu. Misalnya, batu saluran empedu.
Peningkatan siklus enterohepatik
Penurunan asupan enteral, stenosis pilorik, ileus mekonium,atresia/stenosis usus,
Hirschprung Disease
3.1.5 Patofisiologi
Pembentukan Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi – reduksi.
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati,
dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan haemoglobin dan karbon monoksida yang dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin
kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat
larut dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin
reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen
serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan, diperlukan
mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.
Transportasi Bilirubin
Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat – obatan yang
bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat – obat tersebut akan menempati tempat
utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor serta dapat pula
melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.
1) Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian besar
bilirubin tak terkonjugasi dalam serum.
2) Bilirubin bebas
Asupan Bilirubin
Pada saat kompleks bilirubin – albumin mencapai membrane plasma hepatosit, albumin
terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di transfer melalui sel membran yang
berikatan dengan ligandin (protein y), mungkin juga dengan protein ikatan sitosilik lainnya
Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam
air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospate glukuronosyl transferase (
UDPG – T ). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida
yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini kemudian
dieksresikan kedalam kalanikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi
akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi berikutnya.
Eksresi Bilirubin
Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan
bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus biliaris,
yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di pihak lain,
gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu,
kerusakan hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia
dan gangguan proses ambilan bilirubin olah hepatosit.
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah merupakan
penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut
ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsungnormal, tetapi suplai
bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan. Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang
sering adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah
abnormal (sterositosis herediter), anti body dalam serum (Rh atau autoimun), pemberian
beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran (limpa dan peningkatan
hemolisis). Sebagaian kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh peningkatan destruksi sel
darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang (talasemia, anemia persuisiosa, porviria).
Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi
20 mg / 100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern Ikterus.
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat albumin oleh sel-sel hati dilakukan
dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein penerima. Hanya beberapa
obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati,
asam flafas pidat ( di pakai untuk mengobati cacing pita ), nofobiosin, dan beberapa zat warna
kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya menghilang bila obat
yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu Ikterus Neonatal dan beberapa kasus sindrom
Gilbert dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh hati.
Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah di temukan defisiensi glukoronil tranferase
sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat konjugasi bilirubin.
Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin tak
terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di obati maka
akan terjadi kematian atau kerusakan Neorologik berat tindakan pengobatan saat ini dilakukan
pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi.
Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang yang
panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini
menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi) menjadi isomer-isomer yang larut
dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di
konjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas glukororil
transferase sering kali dapat menghilang ikterus pada penderita ini.
Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor Fungsional maupun
obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi .Karena bilirubin
terkonjugasi latut dalam air,maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga
menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih
sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai
bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe alkali dalam
serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam
darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia
terkonjugasi biasanya lebih kuning di bandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.
Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi
obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang
merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik ( mengenai sel
hati, kanalikuli, atau kolangiola ) atau ekstra hepatik ( mengenai saluran empedu di luar hati ).
Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan niokimia yang sama.
Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :
a. Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah, penurunan umur
sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah (inkompatibilitas golongan darah
dan Rh), defek sel darah merah pada defisiensi G6PD atau sferositosis, polisetemia,
sekuester darah, infeksi)
b. Penurunan konjugasi bilirubin, prematuritas, ASI, defek congenital yang jarang)
c. Peningkatan reabsorpsi bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia, pemberian ASI yang
terlambat, obstruksi saluran cerna.
d. Kegagalan eksresi cairan empede : infeksi intrauterine, sepsis, hepatitis, sindrom kolestatik,
atresia biliaris, fibrosis kistik)
3.1.6 Diagnosis
Anamnesis
1. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intra
uterin, infeksi intranatal)
2. Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi
3. Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya
4. Riwayat inkompatibilitas darah
5. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa
Pemeriksaan Fisik
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi baru lahir
(BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6mg/dl atau 1000mikro mol/L
(1mg/dl = 17,1 mikro mol/L).
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari
kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat
lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama
pada neonatus yang kulitnya gelap.
Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.
Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan
subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan
kemungkinan penyebab ikterus tersebut
Klasifikasi hiperbilirubinemia
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan
kadar serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid
untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 µmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus
yang sedang mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan
tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar ataukah tranfusi tukar.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus
antara lain :
• Golongan darah dan ‘Coombs test’
• Darah lengkap dan hapusan darah
• Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc
• Bilirubin direk
3.1.7 Penatalaksanaan
Strategi Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari untuk
beberapa hari pertama.
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
b. Pencegahan Sekunder
Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan
serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus
dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa
tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 – 12 jam.
Penggunaan Farmakoterapi
a) Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi – bayi dengan rhesus yang berat dan
inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan
transfusi tukar.
b) Fenobarbital merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPG – T dan ligandin serta dapat
meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin sehingga konjugasi bilirubin berlangsung
lebih cepat .Pemberian phenobarbital untuk mengobatan hiperbilirubenemia pada
neonatus selama tiga hari baru dapat menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi
prematur lebih banyak memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital
dapat diberikan dengan dosis 8 mg/kg berat badan sehari, mula-mula parenteral,
kemudian dilanjutkan secara oral. Keuntungan pemberian phenobarbital dibandingkan
dengan terapi sinar ialah bahwa pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah.
Kerugiannya ialah diperlukan waktu paling kurang 3 hari untuk mendapat hasil yang
berarti.
c) Metalloprotoprophyrin adalah analog sintesis heme.
d) Tin – Protoporphyrin ( Sn – Pp ) dan Tin – Mesoporphyrin ( Sn – Mp ) dapat
menurunkan kadar bilirubin serum.
e) Pemberian inhibitor b - glukuronidasi seperti asam L – aspartikdan kasein holdolisat
dalam jumlah kecil ( 5 ml/dosis – 6 kali/hari ) pada bayi sehat cukup bulan yang
mendapat ASI dan meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi
berkurang dibandingkan dengan bayi contro
Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang
perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi – bayi yang
mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan
bayi – bayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan
penyelidikan mengenai pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya
terbukti bahwa disamping pengaruh sinar matahari, sinar lampu tertentu juga mempunyai
pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi – bayi prematur lainnya. Sinar fototerapi
akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler superfisial dan ruang-ruang usus
menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan tanpa metabolisme lebih lanjut
oleh hati. Maisels, seorang peneliti bilirubin, menyatakan bahwa fototerapi merupakan obat
perkutan. Bila fototerapi menyinari kulit, akan memberikan foton-foton diskrit energi, sama
halnya seperti molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang sama
dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.
Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi
fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah bentuk
molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk bilirubin 4Z, 15Z akan berubah
menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer nontoksik yang bisa diekskresikan. Isomer bilirubin
ini mempunyai bentuk yang berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa diekskresikan dari hati
ke dalam empedu tanpa mengalami konjugasi atau membutuhkan pengangkutan khusus untuk
ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung 20% dari jumlah bilirubin serum. Eliminasi melalui
urin dan saluran cerna sama-sama penting dalam mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi
menghasilkan suatu fotooksidasi melalui proses yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan
lumirubin, dimana lumirubin ini mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum dan
lumirubin diekskresikan melalui empedu dan urin.Lumirubin bersifat larut dalam air.
Mekanisme fototerapi.
Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus kurang
bulan menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi.
Fototerapi diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan umur pada
neonatus cukup bulan atau berdasarkan berat badan pada neonatus kurang bulan, sesuai dengan
rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP)
Sinar Fototerapi
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan suatu
gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut frekuensi dan
panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik. Spektrum dari sinar tampak
ini terdiri dari sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing dari sinar
memiliki panjang gelombang yang berbeda beda.
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin adalah
sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm. Sinar biru lebih baik dalam menurunkan
kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar hijau. Intensitas sinar
adalah jumlah foton yang diberikan per sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang terpapar.
Intensitas yang diberikan menentukan efektifitas fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka
semakin cepat penurunan kadar bilirubin serum.Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai
W/cm2/nm.
Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi. Intensitas sinar
diukur dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer fototerapi.28,36 Intensitas sinar ≥ 30
μW/cm2/nm cukup signifikan dalam menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi.
Intensitas sinar yang diharapkan adalah 10 – 40 μW/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk
fototerapi standard adalah 30 – 50 μW/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas sinar, maka akan lebih
besar pula efikasinya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar,
panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh
neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.
Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan permukaan tubuh. Cara
mudah untuk meningkatkan intensitas sinar adalah menggeser sinar lebih dekat pada bayi.
Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm kecuali dengan
menggunakan sinar halogen.Sinar halogen dapat menyebabkan luka bakar bila diletakkan terlalu
dekat dengan bayi. Bayi cukup bulan tidak akan kepanasan dengan sinar fototerapi berjarak 10
cm dari bayi. Luas permukaan terbesar dari tubuh bayi yaitu badan bayi, harus diposisikan di
pusat sinar, tempat di mana intensitas sinar paling tinggi.
Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat dan cukup bulan.
Usia ( jam ) Pertimbangan Terapi sinar Transfusi tukar Transfusi tukar
terapi sinar dan terapi sinar
25-48 >12mg/dl >15 mg/dl >20 mg/dl >25 mg/dl
(>200 µmol/L) ( >250 µmol/L) (>340 µmol/L) (425 µmol/L)
Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin
direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive jaundice.
Di dalam penggunaan terapi sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak
memperlihatkan hal yang dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi, baik komplikasi
segera ataupun efek lanjut yang terlihat selama ini bersifat sementara yang dapat dicegah atau
ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan
diatas.
Tranfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan
dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang
sampai sebagian besar darah penderita tertukar
Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis/ vena saphena
magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.
b. ISOVOLUMETRIC
Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis dan
dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
1. Personel. Seorang dokter dan minimal 2 orang perawat untuk membantu persiapan,
pelaksanaan dan pencatatan serta pengawasan penderita.
2. Lokasi. Sebaiknya dilakukan di ruang NICU atau kamar operasi dengan penerangan dan
pengaturan suhu yang adekuat, alat monitor dan resusitasi yang lengkap serta terjaga
sterilitasnya.
3. Persiapan Alat.
c. Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kain penutup steril
h. Three way stopcock semprit 1 mL, 5 mL, 10 mL, 20 mL, masing-masing 2 buah
i. Selang pembuangan
k.Meja tindakan
Indikasi
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi tukar
pada hiperbilirubinemia.
Indikasi Transfusi Tukar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum berdasarkan keputusan WHO
Hari ke-1 15 13
Hari ke-2 25 15
Hari ke-3 30 20
Seterusnya
1000-1500 12-15
1500-2000 15-18
2000-2500 18-20
a) Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan tertulis dari
orang tua penderita
b) Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus segera
dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya
c) Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering kompres dengan
NaCl fisiologis
d) Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin
e) Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar antara lain semua elektrolit, dekstrostik, Hb,
hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin indirek, albumin, golongan darah,
rhesus, uji coombs direk dan indirek, kadar G6PD dan enzim eritrosit lainnya serta kultur
darah
f) Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai tranfusi tukar
g) Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek label
darah)
3.2.2 Epidemiologi
Hipotiroid kongenital merupakan kelainan endokrin kongenital yang paling sering, dapat
terjadi pada 1 dari 3000 sampai 4000 bayi baru lahir. Penyakit ini dapat terjadi secara transient,
namun lebih sering terjadi secara permanen. 9Hipotiroid, termasuk yang kongenital, paling sering
terjadi karena defisiensi iodine. Hipotiroid neonatal disebabkan oleh disgenesis pada 80-85%,
karena dishormogenesis pada 10-15%, dan antibodi TSH-R pada 5% populasi. Kelainan ini
terjadi dua kali lebih sering pada anak perempuan. 9 Hipotiroid kongenital biasanya bersifat
sporadik, namun sampai 2% dari disgenesis tiroid bersifat familial, dan hipotiroid kongenital
yang disebabkan oleh defek organifikasi biasanya diturunkan resesif. Mutasi yang menyebabkan
hipotiroid kongenital semakin banyak ditemukan, namun penyebab dari sebagian besar populasi
masih tidak diketahui.
3.2.3 Etiologi
Beberapa defek genetik dikaitkan dengan terjadinya hipotiroid kongenital yang permanen.
Diketahui bahwa faktor imunologik, lingkungan, dan iatrogenik (tapi bukan genetik) dapat
menyebabkan hipotiroid kongenital yang transient, yang dapat sembuh secara spontan dalam
bulan pertama kehidupan.
Penyebab dari hipotiroid kongenital dihubungkan dengan terjadainya defek pada protein-
protein yang berperan dalam sistesis hormon tiroid dan defek pada faktor transkripsi yang
berperan dalam pembentukan/perkembangan kelenjar tiroid. Namun, kasus yang demikian hanya
terjadi pada persentasi yang kecil dari populasi hipotiroid kogenital, penyebab dari sebagian
besar populasinya masih tidak diketahui.
Hipotiroid kongenital yang transient dapat disebabkan oleh defisiensi iodine, paparan
terhadap iodine yang berlebih pada saat periode perinatal, atau paparan pada fetus oleh thyriod-
blocking antibodies yang diperoleh secara maternal atau obat antitiroid yang dikonsumsi oleh
wanita hamil dengan penyakit tiroid autoimun. Disfungsi tiroid kongenital dapat juga merupakan
akibat dari lahir yang prematur, dishormogenesis tiroid ringan, atau kehilangan protein karena
nefrosis (pada kasus yang jarang).
Dosis OAT (Obat Anti Tiroid) berlebihan menyebabkan hipotiroidisme. Dapat juga terjadi
pada pemberian litium karbonat pada pasien psikosis. Hati-hatilah menggunakan fenitoin dan
fenobarbital sebab meningkatkan metabolisme tiroksin di hepar. Kelompok kolestiramin dan
kolestipol dapat mengikat hormon tiroid di usus. Defisiensi yodium berat serta kelebihan yodium
kronis menyebabkan hipotiroidisme dan gondok, tetapi sebaliknya kelebihan akut menyebabkan
IIT (iodine induced thyrotoxcisos). Bahan farmakologis yang menghambat sintesis hormon tiroid
yaitu tionamid (MTU, PTU, karbimazol), perklorat, sulfonamid, yodida dan yang meningkatkan
katabolisme atau penghancuran hormon tiroid yaitu fenitoin, fenobarbital, yang menghambat
jalur enterohepatik hormon tiroid yaitu kolestipol dan kolestiramin.
Obat anti tiroid yang dianjurkan ialah golongan tionamid yaitu propilthiourasil (PTU) dan
carbamizole (Neo Mercazole) . Yodida merupakan kontraindikasi untuk diberikan karena dapat
langsung melewati sawar plasenta dan dengan demikian mudah menimbulkan keadaan hipotiroid
janin. Wanita hamil dapat mentolerir keadaan hipertiroid yang tidak terlalu berat sehingga lebih
baik memberikan dosis OAT yang kurang dari pada berlebih. Bioavilibilitas carbamizole pada
janin ± 4 kali lebih tinggi dari pada PTU sehingga lebih mudah menyebabkan keadaan
hipotiroid. Melihat hal-hal tersebut maka pada kehamilan PTU lebih terpilih. PTU mula-mula
diberikan 100-150 mg tiap 8 jam. Setelah keadaan eutiroid tercapai (biasanya 4-6 minggu setelah
pengobatan dimulai), diturunkan menjadi 50 mg tiap 6 jam dan bila masih tetap eutiroid dosisnya
diturunkan dan dipertahankan menjadi 2 kali 50 mg/hari. Idealnya hormon tiroid bebas dipantau
setiap bulan. Kadar T4 dipertahankan pada batas normal dengan dosis PTU ≤ 100 mg/hari. Bila
tirotoksikosis timbul lagi, biasanya pasca persalinan, PTU dinaikkan sampai 300 mg/hari. Efek
OAT terhadap janin dapat menghambat sintesa hormon tiroid. Selanjutnya hal tersebut dapat
menyebabkan hipotiroidisme sesaat dan struma pada bayi, walaupun hal ini jarang terjadi. Pada
ibu yang menyusui yang mendapat OAT, OAT dapat keluar bersama ASI namun jumlah PTU
kurang dibandingkan carbamizole dan bahaya pengaruhnya kepada bayi sangat kecil, meskipun
demikian perlu dilakukan pemantauan pada bayi seketat mungkin.
Kelenjar tiroid bekerja di bawah pengaruh kelenjar hipofisis, tempat diproduksi hormon
tirotropik. Hormon ini mengatur produksi hormon tiroid yaitu tiroksin dan tri-iodotironin. Kedua
hormon tersebut dibentuk dari monoiodo-tirosin dan diiodo-tirosin. Untuk ini diperlukan
yodium. T3 dan T4 diperlukan dalam proses metabolik di dalam badan, lebih-lebih pada
pemakaian oksigen. Selain itu ia merangsang sintesis protein dan mempengaruhi metabolisme
karbohidrat, lemak dan vitamin. Hormon ini juga diperlukan untuk mengolah karoten menjadi
vitamin A. Untuk pertumbuhan badan, hormon ini sangat dibutuhkan, tetapi harus bekerja sama
dengan growth hormon.
Berdasarkan pada kelainan heterogenous genetiknya terdapat dua kelompok utama kelainan:
yang menyebabkan disgenesis kelenjar tiroid, dan yang menyebabkan dishormogenesis. Gen
yang terkait dengan disgenesis kelenjar tiroid antara lain adalah reseptor TSH pada hipotiroid
kongenital tanpa gejala, dan GSα serta faktor transkripsi tiroid (TTF-1, TTF-2, dan Pax-8). Yang
menyebabkan dishormogenesis antara lain adalah defek pada gen thyroid peroxidase dan gen
thyroglobulin, PDS (pendred syndrome), NIS (sodium iodine symporter), dan THOX2 (thyroid
oxidase 2). Ada pula bukti awal yang mengarahkan pada kelompok ketiga dari hipotiroid
kongenital yang terkait dengan defek pada transposter iodothyronine yang terkait dengan
gangguan neurologik berat.6,8 Sedangkan menurut Genetics Home Reference bahwa Mutasi di
DUOX2 , PAX8 , SLC5A5 , TG , TPO , TSHB , dan TSHR gen menyebabkan hipotiroidisme
kongenital. mutasi gen menyebabkan hilangnya fungsi tiroid dalam salah satu dari dua cara.
Mutasi pada gen PAX8 dan beberapa mutasi pada gen TSHR mencegah atau mengganggu
perkembangan normal dari kelenjar tiroid sebelum kelahiran. Mutasi di DUOX2, SLC5A5, TG,
TPO, dan gen TSHB mencegah atau mengurangi produksi hormon tiroid, meskipun kelenjar
tiroid hadir. Mutasi pada gen lain yang belum juga ditandai juga dapat menyebabkan
hipotiroidisme congenital.
3.2.4 Patofisiologi
Patofisiologi hipotiroidisme didasarkan atas masing-masing penyebab yang dapat
menyebabkan hipotiroidisme, yaitu :
1. Hipotiroidisme sentral (HS)
Apabila gangguan faal tiroid terjadi karena adanya kegagalan hipofisis, maka disebut
hipotiroidisme sekunder, sedangkan apabila kegagalan terletak di hipothalamus disebut
hipotiroidisme tertier. 50% HS terjadi karena tumor hipofisis. Keluhan klinis tidak hanya karena
desakan tumor, gangguan visus, sakit kepala, tetapi juga karena produksi hormon yang berlebih
(ACTH penyakit Cushing, hormon pertumbuhan akromegali, prolaktin galaktorea pada wanita
dan impotensi pada pria). Urutan kegagalan hormon akibat desakan tumor hipofisis lobus
anterior adalah gonadotropin, ACTH, hormon hipofisis lain, dan TSH.
2. Hipotiroidisme Primer (HP)
Hipogenesis atau agenesis kelenjar tiroid. Hormon berkurang akibat anatomi kelenjar. Jarang
ditemukan, tetapi merupakan etiologi terbanyak dari hipotiroidisme kongenital di negara barat.
Umumnya ditemukan pada program skrining massal. Kerusakan tiroid dapat terjadi karena:
1) Pascaoperasi
Strumektomi dapat parsial (hemistrumektomi atau lebih kecil), subtotal atau total. Tanpa
kelainan lain, strumektomi parsial jarang menyebabkan hipotiroidisme. Strumektomi subtotal M.
Graves sering menjadi hipotiroidisme dan 40% mengalaminya dalam 10 tahun, baik karena
jumlah jaringan dibuang tetapi juga akibat proses autoimun yang mendasarinya.
2) Pascaradiasi
Pemberian RAI (Radioactive iodine) pada hipertiroidisme menyebabkan lebih dari 40-50%
pasien menjadi hipotiroidisme dalam 10 tahun. Tetapi pemberian RAI pada nodus toksik hanya
menyebabkan hipotiroidisme sebesar <5%. Juga dapat terjadi pada radiasi eksternal di usia <20
tahun : 52% 20 tahun dan 67% 26 tahun pascaradiasi, namun tergantung juga dari dosis radiasi.
3) Tiroiditis autoimun.
Disini terjadi inflamasi akibat proses autoimun, di mana berperan antibodi antitiroid, yaitu
antibodi terhadap fraksi tiroglobulin (antibodi-antitiroglobulin, Atg-Ab). Kerusakan yang luas
dapat menyebabkan hipotiroidisme. Faktor predisposisi meliputi toksin, yodium, hormon
(estrogen meningkatkan respon imun, androgen dan supresi kortikosteroid), stres mengubah
interaksi sistem imun dengan neuroendokrin. Pada kasus tiroiditis-atrofis gejala klinisnya
mencolok. Hipotiroidisme yang terjadi akibat tiroiditis Hashimoto tidak permanen.
4) Tiroiditis Subakut.
(De Quervain) Nyeri di kelenjar/sekitar, demam, menggigil. Etiologi yaitu virus. Akibat nekrosis
jaringan, hormon merembes masuk sirkulasi dan terjadi tirotoksikosis (bukan hipertiroidisme).
Penyembuhan didahului dengan hipotiroidisme sepintas.
5) Dishormogenesis
Ada defek pada enzim yang berperan pada langkah-langkah proses hormogenesis. Keadaan ini
diturunkan, bersifat resesif. Apabila defek berat maka kasus sudah dapat ditemukan pada
skrining hipotiroidisme neonatal, namun pada defek ringan, baru pada usia lanjut.
6)
Karsinoma.
Kerusakan tiroid karena karsinoma primer atau sekunder, amat jarang.
3. Hipotiroidisme sepintas.
Hipotiroidisme sepintas (transient) adalah keadaan hipotiroidisme yang cepat menghilang.
Kasus ini sering dijumpai. Misalnya pasca pengobatan RAI, pasca tiroidektomi subtotalis. Pada
tahun pertama pasca operasi morbus Graves, 40% kasus mengalami hipotiroidisme ringan
dengan TSH naik sedikit. Sesudah setahun banyak kasus pulih kembali, sehingga jangan tergesa-
gesa memberi substitusi. Pada neonatus di daerah dengan defisiensi yodium keadaan ini banyak
ditemukan, dan mereka beresiko mengalami gangguan perkembangan saraf.
3.2.5 Tipe Hipotiroidism
Hipotiroidisme kongenital terdiri dari hipotiroidisme kongental primer dan sekunder. Untuk
hipotiroidisme kongenital primer, kerusakan terjadi pada bagian tiroid. Untuk kondisi ini kita
dapat membagi pasien dengan hipotiroidisme kongenital primer ke dalam 4 kelompok. sebagai
berikut:
Apabila keadaan hipothyroid ini tidak ditangani selama masa neonatus dan bayi, maka akan
dapat menyebabkan kelainan yang lebih berat berupa:
1. Keterlambatan Pertumbuhan
Walaupun tiroksin tampaknya tidak begitu diperlukan untuk pertembuhan sebelum kelahiran,
namun sangat esensial untuk pertumbuhan normal setelah kelahiran. Jika seorang bayi memilki
defisiensi tiroid yang tidak ditangani, ia akan memiliki postur yang kecil pada masa bayi maupun
kanak-kanak dan berujung pada postur yang sangat pendek. Keterlambatan pertumbuhan ini
mempengaruhi seluruh bagian tubuh termasuk tulang.
2. Keterlambatan Perkembangan Mental
Retardasi intelektual dapat terjadi pada kondisi kekurangan tiroksin. Derajat retardasi
bergantung pada keparahan defisiensi hormon tiroid. Jika hanya ada kekurangan parsial tiroksin,
kelainan mental minimal dapat terjadi.4,5 Ketika tiroksin sepenuhnya tidak ada dan bayi tidak
mendapatkan penanganan, retardasi mental yang parah mungkin dapat terjadi. Namun, kondisi
ini tidak akan terjadi jika penatalaksanaan dilakukan sejak awal.
3. Jaundice Persisten
Secara normal, kondisi jaundice adalah kondisi yang fisiologis yang dapat terjadi pada
neonatus yang berlangsung selama 1-2 minggu. Namun pada kondisi hipotiroidisme yang tidak
ditangani (untreated hypothiroidism), jaundice dapat berlangsung lebih dari waktu yang
normal.4,5,10
Enzim glukoronil teransferase merupakan enzim yang mengkatatalisis proses konjugasi
bilirubin di dalam hepatosit. Pada hipotiroid aktivitas enzim ini menurun sehingga terjadi
penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dari hepatosit ke dalam usus. Hal ini menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi. Peningkatan rasio klesterol-fosfolipid pada
membran hepatosit dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada proses pengambilan bilirubin
tak terkonjugasi oleh hepatosit. Gangguan karena penningkatan rasio kolesterol fosfolipid ini
mengganggu kelarutan bahan–bahan yang akan memasuki sel hepatosit, salah satunya adalah
bilirubin tak terkonjugasi yang berasal dari siklus enterohepatik. Selain itu tejadi juga gangguan
kerja dari enzim Na+, K+-ATPase yang merupkan enzim yang berperan dalam proses up take
bilirubin oleh hati yang terjadi melalui suatu proses transport aktif.
3.2.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Tanpa adanya skrining pada bayi baru lahir, pasien sering datang terlambat dengan keluhan
retardasi perkembangan disertai dengan gagal tumbuh atau perawakan pendek. Pada beberapa
kasus pasien datang dengan keluhan pucat. Pada bayi baru lahir sampai usia 8 minggu keluhan
tidak spesifik. Perlu ditanya riwayat gangguan tiroid dalam keluarga, penyakit ibu saat hamil,
obat anti tiorid yang sedang diminum dan terapi sinar.
Dari anamnesis dapat digali berbagai gejala yang mengarah kepada hipotiroid kongenital
seperti ikterus lama, letargi, konstipasi, nafsu makan menurun dan kulit teraba dingin. Selain itu,
didapat pertumbuhan anak kerdil, ekstremitas pendek, fontanel anterior dan posterior terbuka
lebih lebar, mata tampak berjauhan dan hidung pesek. Mulut terbuka, lidah yang tebal dan besar
menonjol keluar, gigi terlambat tumbuh. Leher pendek dan tebal, tangan besar dan jari-jari
pendek, kulit kering, miksedema dan hernia umbilikalis.perkembangan terganggu, otot hipotonik
kadang dapat ditemukan hipertrofi otot generalisata sehingga menghasilkan tampakan tubuh
berotot. Perlu pula digali adanya riwayat keluarga dengan hipothyroidisme, terutama kedua
orang tua. Penting juga mengevaluasi riwayat kehamilan untuk mengetahui pengobatan yang
mungkin didapat ibu selama hamil, terutama yang bekerja mempengaruhi sintesis dan kerja
hormon thyroid atau kelainan lainnya.
2. Gejala Klinis
Indeks hipotiroidisme kongenital merupakan ringkasan tanda dan gejala yang paling sering
terlihat pada hipotiroidisme kongenital. Dicurigai adanya hipotiroid bila skor indeks hipothyroid
kongenital > 5. Tetapi, tidak adanya gejala atau tanda yang tampak tidak menyingkirkan
kemungkinan hipotiroid kongenital.
Gejala Klinis
Hernia umbilicalis 2
Kromosom Y tidak ada (wanita) 1
Pucat, dingin, hipotermi 1
Tipe wajah khas edematus 2
Makroglosi 1
Hipotoni 1
Ikterus lebih dari 3 hari 1
Kulit kasar, kering 1
Fontanella posterior terbuka (>3cm) 1
Konstipasi 1
Berat badan lahir > 3,5 kg 1
Kehamilan > 40 minggu 1
Total 15
3. Laboratorium
Penyakit hipotiroid kongenital dapat dideteksi dengan tes skrining, yang dilakukan dengan
pemeriksaan darah pada bayi baru lahir atau berumur 3 hari atau minimal 36 jam atau 24 jam
setelah kelahiran. Tes skrining dilakukan melalui pemeriksaan darah bayi. Darah bayi akan
diambil sebelum ibu dan bayi meninggalkan rumah sakit bersalin. Jika bayi dilahirkan di rumah,
bayi diharapkan dibawa ke rumah sakit / dokter sebelum usia 7 hari untuk dilakukan
pemeriksaan ini. Darah diambil melalui tusukan kecil pada salah satu tumit bayi, lalu diteteskan
beberapa kali pada suatu kertas saring (kertas Guthrie) dan setelah mengering dikirim ke
laboratorium. Adapun pemeriksaannya ada tiga cara, yaitu:
a) Pemeriksaan primer TSH.
b) Pemeriksaan T4 ditambah dengan pemeriksaan TSH dari sampel darah yang sama, bila hasil T4
rendah.
c) Pemeriksaan TSH dan T4 sekaligus pada satu sampel darah.
Nilai cut-off adalah 25 mU/ml. Bila nilai TSH < 25 >50 mU/ml dianggap abnormal dan perlu
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan TSH dan T4 plasma. Bila kadar TSH tinggi > 40 mU/ml dan
T4 rendah, Bayi dengan kadar TSH diantara 25-50 mmU/ml, dilakukan pemeriksaan ulang 2-3
minggu kemudian.
Prinsip EIA sama seperti prinsip RIA, hanya disini digunakan label ensim sebagai pengganti
label zat radioaktif. T3 UPTAKE (T3U). Pemeriksaan T3U bukanlah pemeriksaan mengukur
kadar hormon T3. Penamaan T 3 U disini hanyalah karena reagens yang dipakai adalah T3—
J125. T 3 U dipakai untuk menilai "unsaturated thyroxine binding protein". T 3 — J 125
berlebihan ditambahkan kedalam serum dimana ia akan mengisi unsaturated TBP. Sisa T3 —
J125 diikat oleh pengikat kedua yaitu resin atau arang. Yang dimaksud dengan T 3 U adalah
persentase radioaktivitas yang diikat oleh pengikat kedua.
Selain cara diatas, dapat pula dilaporkan sebagai thyrobinding index (TBI) yaitu persentase
radioaktivitas yang diikat oleh unsaturated TBP. Kadar TBG dapat pula diukur secara langsung
dengan cara RIA.
T4 bebas
Kadar T4 bebas dapat diperkirakan dengan menghitung Free Thyroxine Index (FTI) dengan
rumus : FTI = T4 x T3U atau FTI = T4/TBG. T4 bebas (Free T4 = FT4)Idapat pula diulcur
langsung. Cara yang klasik adalah dengan cars dialysis ekuilibrium. Cara ini sulit dan tidak
praktis untuk digunakan secara rutin, sehingga seisms ini perkiraan T4 bebas dengan menghitung
FTI yang lebih banyak digunakan. Akhir-akhir ini telah dibuat suatu tehnik pemenksaan FT4
yang lebih sederhana. Dasar dari cara ini adalah penggunaan antibody spesifilc terhadap T4 yang
dibuat sedemikian sehingga hanya bereaksi dengan T4 bebas.
Triiodothyronine (T3)
T3 dapat diukur dengan cars RIA dengan menggunakan T3-J'25 dan antibodi spesifik terhadap
T3. Prinsip pemeriksaan ini sama seperti pemeriksaan T4 dengan cara RIA. Seperti halnya T4
total, kadar T3 juga dipengaruhi kadar protein pengikatnya dalam darah. Untuk mendapatkan
gambaran kadar T3 bebas dalam darah dapat pula diitung Free T3 Index (FT3I) dengan rumus l
FT3I = T3 (ng/dl) x T3U (%)/ 1000
Disamping pemeriksaan T3 dapat pula diperiksa kadar neversed T3 (rT3) yang juga
menggunakan carai RIA. Selain pemeriksaan-pemeriksaan hormon kelenjar gondok diatas,
dilcenal pula pemeriksaan Protein bound iodine (PBI) dan Butanol extractable iodine (BEI), akan
tetapi pemeriksaan ini telah ditinggalkanehingga tidak dibicarakan dalam tulisan ini.
2. Penlaian jalur hipotalamus — hipofisis - kelenjar gondok Thyroid Stimulating
Hormone (TSH).
TSH adalah suatu glikoprotein yang disekresi oleh kelenjar hipofisis pars anterior. Dulu kadar
TSH diperiksa dengan cant bioassay, sekarang telah dapat digunakan cara RIA yang sensitif
untuk mengukurnya. Kadar normal TSH adalah mulai dari tidak terdeteksi sampai 10uU/ml. Tes
TRH. Pengukuran kadar TSH dilakukan sebelum, 20 menit sesudah penyuntikan S00ug TRH
intravena.
3. Pemeriksaan tidak langsung.
Pemeriksaan basal metabolic rate (BMR) dan lemak darah dapat digunakan untuk menilai faal
kelenjar gondok secara tidak langsung. Padahipotiroidisme seringkali dijumpai adanya
hiperlipidemia.
4. Pemeriksaan terhadap etiologi
Autoantibodi terhadap kelenjar gondok. Pada keadaan-keadaan tertentu mungkin dijumpai
adanya antibodi terhadap komponen- komponen kelenjar gondok seperti thyroglobulin,
komponen koloid, mikrosom dan komponen nukleus dari sal folikuler. Antibodi ini dapat
diperiksa dengan cara imunologis seperti hemaglutinasi, presipitasi, fiksasi komplemen dan
imunofluoresens. Penyakit yang dihubungkan dengan adanya autoantibodi ini antara lain
thyroiditis Hashimoto dan penyakit Grave. Long acting thyroid stimulator (LATS). LATS adalah
IgG yang bersifat antibodi terhadap komponen kelenjar gondok yang mampu merangsang fungsi
kelenjar gondok. Sekarang ini dikenal beberapa macam thyroid stimulating immunoglobulins
(TSI). Zat-zat ini dapat diukur dengan cara bioassay, akan tetapi cara ini sulit dilakukan.
Penggunaan dan Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium
Karena hampir seluruh T4 dalam sirkulasi darah terikat TBP, terutama TBG, pengukuran
kadar T4 total dipengaruhi oleh juinlah T4 yang dibuat oleh kelenjar gondok dan kadar TBG. 14
bebas merupakan bentuk hormon yang dapat mendifusi kedalam sel dan mempengaruhi
metabolisme, karena itu pengukuran FT4 lebih menggambarkan fungsi kelenjar gondok.
Kadar T4 total dan T3U dipengaruhi oleh kadar TBG seperti dapat dilihat pada gambar
dibawah.
Anemia mikrositik
3.3.2 Etiopatofisiologi
Faktor penyebab utama jenis anemia ini di pengaruhi oleh daya serap tubuh
terhadap zat besi. Biasanya penderita mengalami gejala anemia mikrositik hipokromik
karena memilki gangguan daya serat zat besi. Akibatnya kadar zat besi yang di butuhkan
untuk pembentukan darah tidak tercukupi. Inilah yang di sebut faktor genetik. Sel darah
merah yang terbentuk ukurannya akan lebih kecil dan tidak matang (imatur) sementara
volum hemglobinnya kurang dari batas normal. Selain itu penyakit ini dapat di sebabkan
karena kelalaian penderita dalam memenuhi asupan gizi yang cukup mengandung zat
besi, vitamin B12 dan folat. Aktifitas yang terlalu padat namun waktu istirahat dan tidur
lebih sedikit, dapat memicu penyakit anemia jenis mikrositik hipokromik.
Anemia ini biasanya bersifat sekunder, dalam arti ada penyakit primer yang
mendasarinya. Perbedaan anemia ini dengan anemia defisiensi besi tampak pada feritin
yang tinggi dan TIBC yang rendah.
Terjadi karena gangguan pada rantai globin. Thalasemia dapat terjadi karena
sintesis hb yang abnormal dan juga karena berkurangnya kecepatan sintesis rantai alfa
atau beta yang normal.
3.3.3 Diagnosis
Anamnesis
Infeksi kronis
Malabsorpsi besi
Perdarahan
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan penunjang
Kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat , saturasi menurun
Kadar feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte Porphyrin (FEP) meningkat
1. VER (Volume Eritrosit Rata-rata). Yaitu perbandingan nilai hematokrit dengan jumlah
eritrosit (dalam juta) x 10. Satuannya fL. Jika lebih kecil dari pada normal :
eritrositnya mikrositer.
2. HER (Hemoglobin Eritrosit Rata-rata). Yaitu perbandingan nilai hemoglobin dengan
jumlah eritrosit (dalam juta ) x 10 . Satuannya pg. Jika lebih kecil dari normal biasanya
eritrosit hipokrom
3. KHER (Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-rata). Yaitu perbandingan nilai
hemoglobin dengan nilai hematokrit x 100. Satuannya g/dL.Jika lebih kecil dari
normal biasanya eritrosit hipokrom. Kalau perhitungan sudah menunjukan bahwa
eritrosit mikrositik hipokrom, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan apus darah tepi
untuk melihat morfologi darah tepi.
a) Terapi besi oral Ferro sulfat, mengandung 67mg besi Ferro glukonat, mengandung
37 mg besi.
b) Terapi besi parenteral biasa digunakan untuk pasien yang tidak bisa mentoleransi
penggunaan besi oral. Besi-sorbitol-sitrat diberikan secara injeksi intramuskular
Ferri hidroksida-sukrosa diberikan secara injeksi intravena lambat atau infus
c) Pengobatan Lain Diet, diberikan makanan bergizi tinggi protein terutama yang
berasal dari protein hewani Vitamin C diberikan 3 x 100mg per hari untuk
meningkatkan absorpsi besi Transfusi darah, pada anemia def. Besi dan
sideroblastik jarang dilakukan (untuk menghindari penumpukan besi pada
eritrosit)
2. Anemia pada penyakit kronik. Tidak ada pengobatan khusus yang mengobati
penyakit ini, sehingga pengobatan ditujukan untuk penyakit yang mendasarinya. Jika
anemia menjadi berat, dapat dilakukan transfusi darah dan pemberian eritropoietin.
3.3.5 Pencegahan
Bila anemia ini disebabkan karena kelainan genetik pada fungsi penyerapan zat
besi, maka penderita cukup mengatasi penyakit ini dengan cukup beristirahat dan
megurangi aktifitas yang terlalu berat agar tubuh tidak mengalami kelelahan. Istirahat
juga akan mengurangi efek letih pusing dan kekurangan tenaga. Bagi seseorang yang
normal, tetap harus mewaspadai gejala anemia mikrositik hipokrom karena penyebabnya
juga bisa dipengaruhi pola makan yang kurang baik. Oleh karena itu cegah penyakit ini
dengan mencukupi asupan gizi dan perbanyak makanan kaya zat besi, asam folat serta
Vitamin B. setiap kali beraktifitas, sempatkan untuk istirahat Jadi kesimpulannya,
anemia mikrositik hiprokomik sulit disembuhkan bila penyebabnya dipengaruhi oleh
faktor genetik, namun dapat dicegah resikonya bagi orang yang sehat dengan pola makan
dan pola hidup yang baik.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, didapatkan bayi ikterus di seluruh tubuhnya yang diketahui sejak lahir hingga
usia saat ini 2 bulan 26 hari. Saat datang di kontrol ke Poli Anak RSUP NTB, bayi berusia 2
bulan 26 hari hari, sklera, kulit, dan ekstremitas tubuh ikterik, dengan kadar bilirubin direct 0,90
Ikterus yang terjadi pada bayi ini sejak lahir disebut sebagai ikterus neonatorum , yaitu
keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan pada kulit dan sklera akibat akumulasi
bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru
lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dl. Namun karena usia dari bayi sudah lebih dari 30 hari
atau usia neonatus, maka dioagnosisnya pun menjadi Prolonged Jaundice Hiperbilirubinemia
Indirect
Ikterus neonatorum dibedakan menjadi dua yaitu ikterus fisiologis dan ikterus patologis.
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari ke-2 dan ke-3 yang tidak mempunyai
dasar patologis dengan kadar bilirubin total > 2 mg/dl. Pada bayi cukup bulan yang mendapat
susu formula kadar bilirubin dapat mencapai 6 mg/dl pada hari ke-3, kemudian menurun cepat
selama 2-3 hari. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin dapat mencapai 7-14
mg/dl dan menurun dalam 2-4 minggu. Sedangkan ikterus patologis mempunyai beberapa
petunjuk, yaitu ikterus yang terjadi sebelum umur 24 jam, setiap peningkatan kadar bilirubin
serum yang memerlukan fototerapi, peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dl/jam,
adanya penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah, letargis, malas menetek penurunan
berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil), ikterus yang bertahan
setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan, bila kadar
bilirubin direct lebih banyak dari pada kadar bilirubin indirect. Hiperbilirubinemia adalah
terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari yang diharapkan
Terapi yang diusulkan Infus D5 ¼ NS 500 cc/24 jam sebagai cairan maintenans yang
diberikan sesuai berat badan bayi, Ursodeoxycholic acid 50 mg 2 x 1 dan multivitamin sebagai
enterohepatik, perubahan clearance bilirubin hati, perubahan produksi atau aktivitas uridine
karena bayi memberikan respon yang baik terhadap foto terapi, dan juga baik ibu maupun bayi
mempunyai Rh yang sama yaitu Rh (+), dengan golongan darah ibu A dan golongan darah bayi
O, yang artinya ibu memiliki anti-B berupa IgM yang tidak dapat menembus plasenta sehingga
tidak akan mempengaruhi kondisi janin. Pada bayi ini tidak didapatkan perdarahan tertutup
karena hemodinamiknya dalam kondisi stabil, ileus mekonium (-) karena BAB anak baik,
imaturitas (-) karena bayi lahir cukup bulan, asfiksia (-), hipoksia (-), hipotermi (-), sepsis (juga
proses inflamasi) (-) dapat dilihat dari kondisi umum bayi cukup baik. Perubahan produksi atau
aktivitas uridine diphosphoglucoronyl transferase menjadi salah satu penyebab yang paling
mungkin dan mendekati pada kasus ini karena terkait juga dengan penurunan FT4 pada pasien
ini dan mengarah ke hipotiroid kongenital. Pemeriksaan penunjang yang diusulkan pada pasien
Peningkatan kadar bilirubin dapat juga disebabkan oleh proses fisiologi. Berikut ini
KESIMPULAN
Bayi A.D.I pada kasus ini mengalami hiperbilirubinemia indirect (Ikterus Patologis) pada
sejak lahir, sedangkan untuk menentukan penyebab dari hiperbilirubinemianya dari pemeriksaan
fungsi hati dan fungsi tiroid mengarah ke hipotiroid kongenital, dan juga menyebabkan
1. Pedoman diagnosis dan terapi SMF Ilmu Kesehatan anak edisi III. 2008. Hal 17-21. RS
Umum Dr. Sutomo : Surabaya.
2. Buku ajar neonatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia edisi pertama 2008. Hal 147-168. FKUI
: Jakarta
3. Diagnosis dan tatalaksana penyakit anak dengan gejala kuning Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. 2007. FKUI : Jakarta.
4. Behrmand Kliegelman. Nelson Essential of Pediatrics,hal 592-98. Edisi 17. 2006. EGC:
Jakarta
5. Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI. Edisi 3. 1985 Hal 1101-10. FKUI: Jakarta.
6. Pedoman diagnosis dan terapi Ilmu Kesehatan Anak edisi III FK Unpad RSHS 2005. Hal
102-8. FK Unpad : Bandung.
7. Bagchi A. phototherapy. Philadelphia: Lippincott Williams and Wikins, 2002. Hal 373-80.
Philadelphia
8. Supandiman I.,Sumatri,R.,Fadjari,TN.,Firanza,PI.,Oehadian,A.,2003. Pedoman Diagnosis
dan Terapi HEMATOLOGI ONKOLOGI MEDIK. Bandung : Q-Communication.
9. Sudoyo,AW., et al.2006. Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM Jilid II Edisi IV.Jakarta:
Pusat Penerbitan IPD FKUI.
10. O’Connor,S.,Kaplan,S., Final Diagnosis-Anemia. Available at path.upmc.edl
11. Schick, P., 2007. Megaloblastic Anemia. Thomas Jefferson University Medical College.
Avalaible at www.emedicine.com
12. Damanik, Sylvia. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Edisi III.
2008. Rumah Sakit dokter Soetomo. Hiperbilirubinemia. Hal : 17-21.
13. Etika, Risa dkk. Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu
Kesehatan Anak. FK Unair/RSU Dr. Soetomo – Surabaya.
14. Sukadi, Abdulrahman. Buku Ajar Neonatologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi I. 2010.
IDAI. Hal 147-169.