Anda di halaman 1dari 62

Dipresentasikan tanggal: 18-12-2019 Kepada Yth:

LAPORAN KASUS LONGITUDINAL

Pemantauan Tumbuh Kembang Seorang Anak dengan Insufisiensi


Adrenal, Cerebral Salt Wasting, Meningococcemia dan
Global Developmental Delay

Disampaikan Oleh:

Khodimatur Rofiah

Pembimbing:
dr. Harjoedi Adjie Tjahjono, SpA(K)
dr. Irfan Agus Salim, Sp.A, M.Biomed
dr. Ariani, Sp.A(K), M.Kes
dr. Hajeng Wulandari, Sp.A, M.Biomed

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1


LAB/ SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT DR SAIFUL ANWAR - MALANG
2019
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Acute adrenal insuffiency adalah suatu insufisiensi adrenal akut yang
biasanya ditemukan dalam keadaan syok pada seseorang yang menderita insu-
fisiensi adrenal yang sebelumnya tidak diketahui atau pada penderita insu-
fisiensi adrenal yang kemudian mendapat suatu infeksi bakteri, tindakan op-
erasi, diare atau penyakit berat lainnya (Speiser, 2013).
Krisis terjadi bila kebutuhan fisiologis terhadap hormon tersebut
melebihi kemampuan kelenjar adrenal untuk menghasilkan hormon tersebut,
yaitu pada penderita dengan kekurangan hormone kelenjar adrenal yang kronis
yang terkena stress atau penyakit. Etiologi dari krisis Addison ini antara lain
adalah infeksi, trauma, tindakan pembedahan, luka bakar, kehamilan, anestesi
umum dan keadaan hipermetabolik (Willacy and Bonsal, 2016).
Insiden (per 100.000 penerimaan) bakteriemia E. meningoseptica
meningkat dari 7,5 pada tahun 1996 menjadi 35,6 pada tahun 2006 (p = 0,006)
diantaranya 84% mengalami demam, 86% memiliki infeksi nosokomial, dan 60%
mengalami infeksi di unit perawatan intensif (ICU). Penyakit yang mendasari pal-
ing umum adalah keganasan (36%) dan diabetes mellitus (25%). Tujuh puluh de-
lapan persen pasien mengalami bakteremia primer, diikuti oleh pneumonia (9%),
infeksi jaringan lunak, dan bakteremia terkait kateter (6%). Empat puluh lima
pasien (38%) mengalami bakteremia polimikroba. Secara keseluruhan, mortalitas
14 hari adalah 23,4% (M.-S. Hsu, et al, 2011).
Chryseobacterium meningosepticum adalah basil Gram-negatif yang
dikaitkan dengan meningitis pada neonatus dan berbagai infeksi pada pasien
yang mengalami gangguan sistem imun. Chryseobacterium meningosepticum
adalah fermentasi, nonmotil, basil aerob Gram-negatif yang ada di lingkungan,
ditemukan di air tawar, air asin, dan tanah. Bakteri ini sebelumnya dikenal seba-
gai Flavobacterium meningosepticum dan baru-baru ini disebut Elizabethkingia
meningosepticum (atau meningoseptica) oleh beberapa penulis, milik keluarga
Flavobacteriae dan mendiami lingkungan alami dan rumah sakit (Mehmet, 2011).
Meningococcal Septicemia (Meningococcemia) adalah hasil sindrom dari
pelepasan sistemik dari berbagai mediator dalam menanggapi bakteri endotoksin
yang mengarah pada peningkatan permeabilitas kapiler secara umum. Meningo-
coccemia ditandai dengan syok dan koagulasi intravaskular diseminata.
Meningococcemia adalah penyebab utama meningitis pada populasi anak. Ini

!1
disebabkan oleh Neisseria meningitidis dan insidensi diperkirakan mencapai 1,1
kasus per 100.000 habitat. Penyakit ini menyerang anak-anak dan remaja den-
gan puncak insidensi pada bayi usia 6-12 bulan. Penyakit ini dengan cepat
berkembang menjadi syok septik, koagulasi intravaskular diseminata, dan kemat-
ian (MP Simon Diaz, A Tirado Sancez dan RM Ponce Olivera, 2015., Sabra A,
Benger J. 2011).

!2
1.2 Tujuan
Pada laporan kasus longitudinal ini akan disajikan satu kasus anak laki-
laki dengan diagnosis cerebral salt wasting, insufisiensi adrenal, meningococ-
cemia, global developmental delay dengan tujuan penulisan kasus panjang untuk
melaporkan pemantauan kondisi klinis dan tumbuh kembang penderita selama 6
bulan.


!3
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Data Awal
2.1.1 Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang anak laki-laki berusia 3 bulan datang ke IGD Rumah Sakit Umum Daer-
ah Dr. Saiful Anwar dengan keluhan demam (penderita merupakan rujukan dari
Rumah Sakit swasta di Malang). Demam sejak 15 hari SMRS (26-5-2018)
sumer-sumer kemudian semakin tinggi sejak 14 Hari SMRS, suhu tubuh tidak
diukur oleh orang tua. Pasien tidak didapatkan batuk, pilek, maupun diare. Sejak
demam tinggi penderita tidak mau minum, menangis merintih kemudian dibawa
ke IGD Rumah Sakit swasta di Malang dan diberikan obat penurun panas melalui
dubur, demam turun, dan diperbolehkan rawat jalan. Saat dirumah suhu tubuh
naik kembali 40OC, dibawa ke Rumah Sakit dan diobservasi di IGD pasien hanya
merintih, kemudian dirawat di Ruang intensif. Tanggal 27 Mei pasien mengalami
gagal nafas, Pasien pindah di ICU dengan ventilator. Pasien juga didapatkan
lebam-lebam di tangan dan di kaki setelah beberapa hari melepuh kemudian
pecah dan mengeluarkan cairan. Pada jari-jari tangan dan kaki menghitam sejak
muncul lebam kulit. Tanggal 31 Mei kultur sputum acinobacter baumanii. Kultur
darah tanggal 2 Juni pseudomonas aerogenosa dan elizabethkingia
meningosepticha. Pasien dengan riwayat terapi oksigenasi menggunakan alat
bantu endotraceal tube dengan ventilator selama 7 hari, kemudian diganti oksi-
gen nasal canul 2 lpm, IV. Cefepim 3x300mg IV. Sanmol 4x60mg, Natrium
Fusidat salep 2x1, transfusi TC dan PRC.

2.1.2 Riwayat Pengobatan dan Penyakit Dahulu


Oleh karena pasien masih dikeluhkan panas maka oleh orang tua pasien
dibawa berobat ke RS swasta, diperiksakan laboratorium didapatkan trombosit
3.000 dan peningkatan leukosit mencapai 70.000, muncul lebam-lembam warna
hitam berisi air, pasien juga mengalami peningkatan laju napas dan peningkatan
denyut jantung, oleh dokter spesialis anak dikatakan gagal napas, kemudian
pasien diintubasi dan dipindahkan keruang ICU. Selama di ICU RS swasta
pasien masih demam tinggi, menggunakan ventilator selama 10 hari (26/5/18 -
5/6/18). Setelah kondisi Pasien stabil, direncanakan dirujuk ke RS Saiful Anwar
untuk tindakan debridement. Kemudian Pasien dirujuk ke RSSA tanggal 10/6/18.

2.1.3 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada riwayat penyakit dalam keluarga.

!4
Kesan: tidak terdapat faktor risiko penyakit keluarga yang berhubungan
dengan kondisi penderita.
Gambar 2.1 Pedigree Keluarga Penderita. Penderita merupakan anak kedua dari dua
bersaudara. Ayah penderita merupakan anak kedua di keluarganya. Ibu penderita meru-
pakan anak pertama dari keluarganya.

2.1.4 Riwayat Kehamilan

Ibu berusia 29 tahun saat hamil. Kehamilan ini merupakan kehamilan


yang kedua dan tidak ada riwayat keguguran sebelumnya. Ibu memeriksakan
kehamilannya secara teratur sejak awal kehamilan ke bidan dan dokter kandun-
gan. Ibu Pasien periksa ke dokter kandungan 3 kali dilakukan ultrasonografi se-
lama hamil dan dikatakan normal. Selama hamil ibu tidak pernah sakit panas,
tidak pernah dengan keluhan ruam merah, tidak pernah merasa nyeri saat buang
air kecil, dan tidak ada keluhan keputihan. Obat-obatan yang dikonsumsi selama
kehamilan hanya vitamin dari bidan. Asupan makanan selama hamil berupa nasi,
sayur bervariasi, dengan lauk pauk tahu tempe, sesekali telur, ikan atau ayam.
Kenaikan badan ibu selama kehamilan lebih dari 10 kg. Ibu tidak pernah
merokok, tidak minum jamu-jamuan, dan tidak minum alkohol. Usia kehamilan
diperkirakan 39-40 minggu pada saat persalinan. Ibu tidak bekerja ketika hamil
dan tidak menggunakan kontrasepsi sejak menikah sampai dengan kehamilan.
Ketika hamil, ibu tinggal di rumah yang ditempatinya saat ini, tidak memiliki peli-
haraan.

Kesan: Riwayat kehamilan ibu dalam batas normal.

!5
2.1.5 Riwayat Kelahiran
Penderita lahir dibantu oleh bidan pada tanggal 3 Maret 2018 dengan be-
rat badan lahir 3000 gram, spontan belakang kepala, cukup bulan, dan langsung
menangis. Panjang badan 49 cm, namun lingkar kepala ibu lupa. Umur kehami-
lan saat lahir diperkirakan 39-40 minggu. Saat lahir penderita langsung
menangis, tidak ada sesak, tidak ada riwayat masuk rumah sakit setelah
melahirkan, tidak kejang, tidak pernah mengalami biru pada bibir dan kuku. Pada
penderita telah diberikan suntikan pada paha.
Kesan: Riwayat kelahiran penderita dalam batas normal.

2.1.6 Riwayat Asupan Nutrisi

Penderita minum air susu Ibu (ASI) sejak lahir sampai dengan usia 6 bu-
lan. Penderita diberi tambahan susu formula sejak lahir sampai sekarang oleh
karena ASI sudah tidak keluar lagi. Saat ini mendapatkan susu formula nutrilon
soya, frekuensi pemberian susu formula setiap ± 3 jam, volume 140 cc. Pasien
usia 8 bulan diberi jus buah, nasi blender, bubur saring. Saat usia 12 bulan diberi
nasi penyet dan lauk cincang sehari 2 kali.
Kesan: Kuantitas dan kualitas asupan nutrisi yang diberikan orang tua kepada
penderita tidak adekuat.

2.1.7 Riwayat Imunisasi


Anamnesis dari ibu penderita (KMS). Penderita telah mendapatkan imu-
nisasi Bacille Calmette Guerin (BCG), Hepatitis B sebanyak 4 kali; Difteri Pertu-
sis Tetanus (DPT) sebanyak 3 kali; Polio sebanyak 4 kali; campak sebanyak 1
kali.

Tabel 2.1 Jadwal Imunisasi Penderita

Lahi 1 2 3 8 9 10 11 12 14
Usia r bu- bulan bu- bu- bulan bulan bu- bu- bulan
Vaksin lan lan lan lan lan

BCG ✓

DPT ✓ ✓ ✓

Polio ✓ ✓ ✓ ✓

Hepatitis B ✓ ✓ ✓ ✓

Campak ✓

!6
Kesan: Riwayat imunisasi dasar lengkap menurut rekomendasi Kementrian Ke-
sehatan Republik Indonesia.

2.1.8 Riwayat tumbuh kembang

a. Pertumbuhan
Penderita diasuh oleh ibu dan ayah sejak lahir. Pada usia 1-3 bulan pen-
derita rutin ditimbang ke bidan. Pada saat lahir, berat badan lahir penderita
adalah 3000 gram, panjang badan 49 cm, lingkar kepala tidak diketahui. Peman-
tauan berat badan, saat usia 1 bulan berat badan penderita 3800 gram, usia 2
bulan 4500 gram. Saat usia 3 bulan berat badan 5700 gram, panjang badan 60
cm. Setelah sakit saat pasien berusia 8 bulan berat badan 8,9 kg, panjang badan
69 cm. Saat ini berat badan 11 kg, panjang badan 75 cm. Kesan: kenaikan berat
badan yang optimal.

b. Perkembangan
Penderita bisa tersenyum spontan, menatap wajah dan membalas senyum, dap-
at mengikuti objek yang diberikan ke garis tengah. Mengangkat kepala usia dan
miring-miring 3 bulan, tengkurap usia 13 bulan, belajar duduk usia 12 bulan.
Saat usia 16 bulan, penderita sudah bisa senyum, respon terhadap sekitar,
memegang benda dengan tangan kanan dan kiri dan kaki menendang-nendang.
Saat ini penderita Sudah bisa duduk sendiri tanpa bantuan, meraih mainan dan
memegang mainan dan mengoceh/ bubling.
Tabel 2.2 Perkembangan pada anak

Motorik kasar Motorik halus

Angkat kepala : 3 bulan M e m e g a n g : 8 bulan


mainan

Tengkurap : 13 bulan Mencorat- coret : -

Duduk (dengan : 12 bulan Memegang benda : -


bantuan) kecil

Duduk (tanpa : 20 bulan Makan sendiri : -


bantuan)

Merangkak : - Memakai pakaian : -


sendiri

Berdiri : -

Berjalan : -

Bicara Sosial dan kemandirian


Tertawa : 3 bulan Senyum sosial : 4 bulan

Berteriak : 14 bulan Senyum berarti : 14 bulan

!7
Menoleh kearah : 18 bulan Menggambar : -
suara orang

Bubling : 20 bulan

Kesan: perkembangan didapatkan keterlambatan dari 4 aspek (global develop-


mental delay)

2.1.9 Riwayat Kebutuhan Dasar Anak

2.1.9.1 Asuh (Fisis-Biomedis)


Pemenuhan kebutuhan dasar dilaksanakan ayah penderita dengan ban-
tuan ibu penderita. Kebutuhan hidup penderita dipenuhi sebagian besar dipenuhi
oleh ibu penderita sebagai ibu rumah tangga dan ayahnya yang bekerja sebagai
dosen di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Malang. Penderita tinggal di
rumah permanen dengan ukuran 6 x 10 meter. Pencahayaan cukup baik dan
mendapat sinar matahari langsung. Sirkulasi udara pada kamar penderita baik,
didapatkan ventilasi langsung keluar rumah. Jendela didapatkan pada kamar
penderita dan menggunakan air conditioner. Pakaian yang digunakan layak
pakai. Kebutuhan pangan terpenuhi terdiri atas nasi, tahu, tempe, sayur, ayam
dan telur. Air untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari air dari sumur dan PDAM.
2.1.9.2 Asih (Psikososial)
Penderita tinggal bersama dengan ayah, ibu, dan kakak penderita dalam
satu rumah sampai sekarang. Penderita mendapat perhatian dan perawatan
yang baik terutama dari ibu dan ayah. Selama masuk RSSA, penderita selalu
ditemani dengan ibu dan ayahnya. Kakak pasien dirawat di rumah oleh neneknya
selama penderita rawat inap. Kakak penderita saat ini berusia 5 tahun. Setelah
sakit penderita lebih banyak berada didalam rumah, jarang dibawa keluar rumah.
2.1.9.3 Asah (Stimulasi)
Penderita sehari-hari tinggal bersama ayah dan ibu. Kadang-kadang pen-
derita diasuh oleh nenek. Penderita mendapatkan stimulasi baik dari orangtua
dan nenek. Orangtua mampu memberikan stimulasi yang sesuai dengan usia
penderita sebelum penderita sakit. Setelah penderita sakit, penderita mendap-
atkan stimulasi dari terapis, fisioterapi dilakukan seminggu 3 kali di RS swasta
Malang.

2.1.10 Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Penderita merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Ayah kandung
penderita pendidikan terakhir S1 pekerjaan sebagai dosen dengan penghasilan

!8
tidak tentu, rata-rata penghasilan Rp 5.000.000 – Rp. 10.000.000 setiap bulan.
Ibu penderita berusia 30 tahun, pendidikan terakhir S1. Ibu tidak bekerja.
Lingkungan tempat tinggal merupakan pemukiman perumahan, letak rumah ma-
suk kedalam gang kurang lebih 500 meter dari jalan utama. Rumah penderita
permanen dengan luas 60 m2 (6x10 m), terdiri dari 1 ruang tamu dan 1 ruang
keluarga, 3 kamar tidur. Kamar mandi terletak di dalam rumah. Rumah memiliki
dapur di dalam rumah. Dinding seluruhnya terbuat dari tembok, beratap genteng
dan beralaskan keramik. Rumah terkesan rapi dan bersih, tempat tertata rapi dan
tidak berdebu.

Ruang tamu terdapat kursi tamu panjang disertai meja kayu yang ditutupi
taplak. Pada masing-masing jendela terdapat gordin. Ruang keluarga memiliki
satu televisi berukuran 21 inchi. Terdapat ruang makanan disebelah ruang kelu-
arga. Masing-masing kamar berukuran 3x4 meter dengan langit-langit terbuat
dari asbes, kedua ruangan tersebut dengan pencahayaan dan ventilasi yang baik
dimana setiap ruangan memiliki satu kaca kecil untuk sirkulasi dan berhubungan
langsung keluar. Kondisi kamar terasa hangat dan terang. Terdapat 1 kasur dari
busa dengan sprei yang terawat dan terkesan bersih.
Kamar mandi terletak di belakang rumah, dimana tidak dibedakan kamar
mandi untuk buang air besar (jamban) dan untuk mandi. Kamar mandi dan jam-
ban terlihat sudah permanen dengan lantai dan terkesan terawat. Di depan ka-
mar mandi terdapat dapur. Sumber air kamar mandi berasal dari sumur dan
PDAM.

!9
Gambar 2.2 Lingkungan Tempat Tinggal Penderita. A. Rumah tampak depan; B. Ru-
ang tamu; C. Ruang keluarga; D. Kamar penderita;E. Ruang makan dan dapur; F. Kamar
mandi.

Dapur terletak di depan kamar mandi, dapur terlihat bersih dan rapi, dind-
ing berupa tembok, air berasal dari sumur dan PDAM dan penerangan listrik be-
rasal dari PLN. Akses kesehatan terdekat adalah Rumah Sakit Soepraoen yang
berjarak 600 meter dari tempat tinggal penderita dan Puskesmas Janti yang ber-
jarak 3 kilometer dari tempat tinggal penderita.

!10
Gambar 2.3. Gambaran Fasilitas Umum. A. Jalan masuk perumahan penderita; B.
Puskesmas pembantu (berjarak 300 m dari rumah penderita); C. Rumah Sakit
Soepraoen (berjarak 600 meter rumah dari rumah penderita); D. Puskemas Janti (ber-
jarak 3 kilometer dari rumah penderta)

2.2 Pemeriksaan Fisis Awal

(Pada saat di poli anak rawat jalan di RS dr.Saiful Anwar, 9 Januari 2019)
Keadaan umum : Didapatkan penderita dengan keadaan umum compos
mentis, anak sadar
Tanda vital
Laju nadi : 108 kali/menit, teratur, isi cukup
Laju nafas : 24 kali/menit
Suhu axilla : 36,80C
Tekanan darah : 85/50 mmHg

!11
Status antropometri (pasien lahir 23 November 2018 (usia 8 bulan))
Berat badan/usia : 8,9 kg (Mean s/d 2SD)
Tinggi badan/usia : 69 cm (-2SD s/d Mean ~ 7 bulan)
Lingkar kepala : 43,5 cm (-1SD s/d Mean)
Lingkar lengan atas : 13,5 cm (-1SD s/d Mean)
Berat badan/Panjang Badan : Mean s/d 1SD
Kesan : Gizi Baik

Gambar 2.4 Grafik Berat Badan terhadap usia. Keterangan: berat badan adalah 8,9 kg
(Mean s/d 1SD) sesuai usia menunjukkan normal.

!12
Gambar 2.5 Grafik Panjang Badan terhadap usia. Keterangan: panjang badan adalah
69 cm menurut usia menunjukkan normal.

Gambar 2.6 Grafik Lingkar Lengan Atas. Keterangan: Lingkar lengan atas adalah 13,5
cm (-1SD s/d Mean) sesuai usia menunjukkan normal.

!13
Gambar 2.7 Grafik Lingkar Kepala. Keterangan: lingkar kepala 43,5 cm (-1SD s/d
Mean) menunjukkan normosefali.

Gambar 2.8 Grafik Berat Badan dan Panjang Badan. Keterangan: berat badan pen-
derita 8,9 kg (Mean s/d 2SD), panjang badan penderita adalah 69 cm (-2SD s/d Mean ~
7 bulan) dan dengan berat badan sesuai panjang badan Mean s/d 1SD.

!14
2.2 Pemeriksaan fisis awal (saat di poliklinik RSSA)

Tabel 2.3 Pemeriksaan fisis awal

Pemeriksaan Deskripsi
K e a d a a n tampak sadar baik, napas spontan adekuat
Umum tidak sesak
GCS 456; nadi 112 kali/menit, kuat, regular; napas 34 kali/
Tanda Vital menit spontan, adekuat; suhu aksila 36,8oC; tekanan darah
85/50 mmHg; saturasi O2 98%
Kepala normosefali, rambut hitam, tidak mudah rontok, ubun-ubun
membonjol/cekung (-), tanda trauma (-)
wajah : simetris, tidak tampak old man face
mata : gerakan bola mata simetris, konjungtiva tidak
anemis, sklera ikterik, pupil bulat isokor, diam-
eter 3mm/3mm, reflek cahaya baik
hidung : septum nasi simetris, cavum nasi tidak
hiperemis, tidak terdapat pernafasan cuping
hidung, tidak tampak sekret keluar dari lubang
hidung
telinga : tidak terdapat serumen pada kedua liang
telinga, membran timpani intak D/S.
mulut : tampak bibir merah, mukosa mulut basah
Leher tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening di leher
Toraks simetris, tidak tampak retraksi, tampak iga gambang; iktus ko-
rdis tidak terlihat, iktus kordis teraba di sela iga 4-5 linea mid-
klavikularis sinistra; perkusi didapatkan suara sonor
paru : perkusi sonor, suara nafas vesikular, tidak
menurun, tidak terdengar ronki, tidak terden-
gar wheezing
jantung : bunyi jantung 1 tunggal, bunyi jantung 2 nor-
mal, tidak terdengar bising jantung tidak ada
gallop

Abdomen inspeksi: cembung, umbilikus menonjol, tidak tampak vena


kolateral.
auskultasi: bising usus normal
perkusi: didapatkan timpani
palpasi: turgor cukup, soefl; Hepar tidak teraba membesar,
tepi tumpul, permukaan rata, nyeri tekan (-) dan lien tidak ter-
aba membesar, tepi tumpul, permukaan rata, nyeri tekan (-)
Ekstremitas akral teraba hangat; capillary refill time 1 detik, tidak didap-
atkan anemis, edema, dan sianosis, baggy pants (-)

!15
rambut aksila tidak didapatkan, rambut pubis tidak didap-
Urogenital
atkan.
Anus tidak didapatkan kelainan
Kulit tidak pucat, tidak sianosis, tidak kuning
Status neu- kesadaran kompos mentis, GCS 4-5-6
rologi meningeal sign (-), refleks fisiologis (+), refleks patologis (-)

Gambar 2.9 Pemeriksaan ekstremitas pada tanggal 26-06-2018. Ditemukan bula


eritematosa pada tibia dextra et sinistra dan antebrachii dextra et sinistra dan nekrosis
pada proksimal phalanx digiti manus 3,4,5.

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Tabel 2.4 Profil serum elektrolit, produksi urin dan gula darah (Juni 2018)

Parameter 11/6 12/6 22/6 24/6 26/6 28/6

Natrium 131 136 134 113 110 139

Kalium 4,36 5,86 5,06 5,62 4,26 3,24

Clorida 98 103 103 87 107 107

Prod.urin 6,4 6,1 4,6 5,2 3,4 5,4

GDS 89 72 88 74 86 99

Tabel 2.5 Serum elektrolit urin 26/6/2018

SE URINE Hasil Normal

Natrium 163,4 40-220

Kalium 12,01 25-125

!16
Clorida 156,20 110-250

SE PLASMA

Natirum 110 135-147

Kalium 21,28 3,5-5

Clorida 86 95-105

Osmolaritas plasma 225,9 285-295

osmolaritas urine 332,67 95-105

Tabel 2.6 Profil serum elektrolit, produksi urin dan gula darah (Juli 2018)

Parameter 1/7 3/7 5/7 7/7 9/7 11/7

Natrium 128 133 112 129 126 131

Kalium 4,39 3,73 4,04 3,47 2,64 4,15

Clorida 107 101 104 84 107 101

Prod.urin 5,4 5,2 3,5 2,3 6,8 4,4

GDS 76 90 87 82 84 87

Tabel 2.7 Pemeriksaan Darah Lengkap dan Kimia Darah (Juni 2018)

Parameter Patient Value Normal value

Hemoglobin 11,6 gr/dl 13,4-17,0

Leukocytes 24.060 /µl 4.300-10.300

Thrombocytes 609.000/µl 142.000-424.000

Hematocrits 29,40 % 40-47

Differential Count 4,5/0,2/61,2/23,4/10,4 0-4/0-1/51-67/25-33/2-5

MCV/MCH/MCHC 81,3/28,7/35,3 80-93/27-31/32-36

Albumin 3,51 mg/dl 3.5-5.5

Ureum 15,6 mg/dl 16.6-48.5

Creatinine 0.17 mg/dl < 1.2

Natrium 130 mmol/L 136-145

Potassium 5,60 mmol/L 3.5-5

Chloride 97 mmoL/l 98-106

Calcium 8,8 mg/dl 7.6-11

Phospor 5,2 mg/dl

AST/ALT 32 U/L / 51 U/L 0-41 / 0-40

PPT 9,7 second 9,4-11,3

!17
INR 0,93

APTT 30,7 second 24,6-30,6


Fibrinogen 325 mg/dl 200-400
D dimer 16,933 ng/ml FEU <500

Blood culture Elizabeth meningosepti-


ca
Faeces culture Pseudomonas aerogi-
nusa
Blood culture Acinetobacter baumannii

Urine culture Negatif

Procalcitonin 1,09 ng/ml <0,5

NT Pro BNP 2.614 >300

Aldosteron 1,32 1,76-23,2

Kortisol pagi 98 Pagi (07.00-10.00): 171-536

Kortisol sore 46 Sore (16.00-20.00): 64-327

Tabel 2.8 Pemeriksaan Darah Lengkap dan Kimia Darah (Maret 2019)

Parameter Patient Value Normal value

Hemoglobin 13,4 gr/dl 13,4-17,0

Leukocytes 7.730 /µl 4.300-10.300

Thrombocytes 512.000/µl 142.000-424.000

Hematocrits 37,80 % 40-47

Differential Count 2,5/0,3/60,2/22,9/14,1 0-4/0-1/51-67/25-33/2-5

MCV/MCH/MCHC 81,3/28,7/35,3 80-93/27-31/32-36

Albumin 3,51 mg/dl 3.5-5.5

Ureum 15,6 mg/dl 16.6-48.5

Creatinine 0.17 mg/dl < 1.2

Natrium 138 mmol/L 136-145

Potassium 3,90mmol/L 3.5-5

Chloride 108 mmoL/l 98-106

Calcium 9,4 mg/dl 7.6-11

Phospor 6,8 mg/dl

AST/ALT 41 U/L / 32 U/L 0-41 / 0-40

Procalcitonin 0,32 ng/ml <0,5

!18
Gambar 2.9 Gambar Rongten Toraks. Keterangan: Cor dan Pulmo dalam batas normal

Gambar 2.10 Gambar CT Scan Kepala. Keterangan: subdural fluid collection pada regio
frontal bilateral, encephalomalacia pada lobus frontotemporobilateral kanan dan fron-
totemporal kiri, moderate commnicating hydrocephalus

Departemen Dermato-venerologi menyimpulkan sebagai manifestasi kulit


akibat meningococcemia dengan diferensial dignose fascitis necroticans. Dari
departemen bedah saraf, hasilnya adalah meningoensefalitis, tidak ada terapi
dari departemen bedah saraf. Dari departemen bedah plastik adalah fascitis
necroticans regio cruris dan antebrachii dextra et sinistra dilakukan debridemant
dan amputasi digiti 3,4,5 manus dextra.

RINGKASAN
Seorang anak laki-laki berusia 3 bulan dengan berat badan 5,7 kg datang
dengan keluhan utama demam tinggi mencapai suhu axilla 39 derajat celcius.
Pasien juga dikeluhkan muncul ruam biru berupa lebam-lebam dikulit pada ked-
ua tangan dan kaki, lebam berubah warna menjadi merah kehitaman, dari pe-
meriksaan fisis didapatkan pasien dengan klinis demam tinggi, peningkatan laju
denyut jantung dan peningkatan respirasi, pasien dalam kondisi gagal napas
kemudian diintubasi dan menggunakan ventilator selama 10 hari perawatan di

!19
RS swasta di Malang. Pada pemeriksaan penunjang saat awal masuk RS didap-
atkan dengan leukosit mencapai 70.000 /µl, trombosit 3.000 /µl dan kultur darah
dengan hasil ditemukan biakan Elizabeth Meningoseptica. Pasien terdiagnosis
dengan meningococcemia, fascitis necrotica regio cruris dextra et sinistra ante-
bracii, necrotic digiti 3,4,5 manus dextra. Setelah lepas ventilator dan keadaan
umum stabil pasien dirujuk ke RSSA untuk dilakukan tindakan debridement dan
amputasi. Setelah perawatan 2 minggu di RSSA pasien didapatkan dengan
hiponatremia berulang dan produksi urin yang tinggi yaitu > 4,5 cc/kg/jam, kedu-
dian dari pemeriksaan kostisol dan aldosteron didapatkan penurunan, pasien
didiagnosis sebagai adrenal insufisiensi dan cerebral salt wasting, pasien men-
dapatkan terapi per oral fludrocortison 1x0,05 mg dan hidrokortison 3x0,1 mg.
Pasien awal sakit saat usia 3 bulan, yang pada saat itu pasien dalam perkem-
bangannya sudah dapat angkat kepala dan miring-miring, kemudian setelah
sembuh (pasien dirawat di RS selama 5 bulan), pasien mengalami keterlambatan
perkembangan. Pada awal bulan kedua perawatan pasien telah dikonsulkan ke
departemen Rehabilitasi Medik untuk dilakukan fisioterapi selama di RS.

2.4 Ringkasan Daftar Masalah


2.4.1 Masalah Medis
1. Adrenal insufisiensi
2. Cerebral salt wasting
3. Meningococcemia
4. Fascitis necrotica regio antebracii dan cruris dextra et sinistra
5. Necrotic digiti 3,4,5 manus dextra post amputasi
6. Global developmental delay
7. Low vision
2.4.2 Masalah Pediatri Sosial
1. Keterlambatan perkembangan
2. Jadwal imunisasi
3. Pemberian nutrisi
2.4.3 Upaya Pemecahan Masalah
Penyakit yang diderita oleh penderita merupakan adrenal insufisiensi,
cerebral salt wasting, meningococcemia, fascitis necrotica regio cruris dextra et
sinistra antebracii, necrotic digiti 3,4,5 manus dextra post amputatum, global de-
velopmental delay. Kualitas hidup anak sangat bergantung pada bagaimana
orang tua dalam pemberian obat, pengaturan makan, dukungan untuk fisioterapi

!20
serta motivasi dari keluarga secara terus menerus agar kualitas hidup anak tidak
semakin menurun progresif.
Pendekatan yang bisa dilakukan pada keluarga ini adalah:
1. Memberikan penjelasan bahwa penyakit cerebral salt wasting, adrenal
insufisiensi, meningococcemia, global devolepmental delay adalah
penyakit memerlukan pemantauan ketat agar dapat mengontrol kadar
elektrolit dan melakukan fisioterapi rutin agar dapat mengejar tumbuh
kembang penderita
2. Memotivasi orang tua agar penderita dapat rutin serta datang ke RS seti-
ap bulannya untuk evaluasi laboratorium dan fisioterapi
3. Memberikan informasi tentang pemberian makan bergizi pada anak dan
pengaturan diet yang tepat
4. Melakukan pemantauan terhadap tumbuh kembang anak setiap bulan
saat kontrol di poliklinik.
5. Memberikan penjelasan pada keluarga tentang pentingnya menjaga ke-
sehatan penderita dengan cara mempertahankan higiene dan sanitasi
rumah dan lingkungan yang baik.

2.5 Diagnosis Kerja


1. Adrenal insufisiensi
2. Cerebral salt wasting
3. Meningococcemia
4. Fascitis necrotica regio antebracii dan cruris dextra et sinistra
5. Necrotic digiti III, IV, V manus dextra psot amputasi
6. Global developmental delay
7. Low vision

2.6 Manajemen Diagnosis


• Pemeriksaan CT scan Kepala
• Evaluasi tumbuh kembang berkala
• Konsultasi mata

Tabel 2.4 Pemantauan dan Intervensi Penderita

Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun


Pemantauan 2018 2018 2019 2019 2019 2019 2019 2019

Pertum-
buhan
BB √ √ √ √ √ √ √ √

!21
TB √ √ √ √ √ √ √ √
BBI √ √ √ √ √ √ √ √

%BBI √ √ √ √ √ √ √ √

LLA √ √ √ √ √ √ √ √

LK √ √ √ √ √ √ √ √

Tanda vital

Nadi √ √ √ √ √ √ √ √
Tekanan
darah √ √ √ √ √ √ √ √

Laju napas √ √ √ √ √ √ √ √

Suhu √ √ √ √ √ √ √ √

Inervensi

Minum obat √ √ √ √ √ √ √ √

KIE √ √ √ √ √ √ √ √

2.7 Manajemen Terapi


2.7.1 Terapi medikamentosa
1. Intravena :
- cefepime 3x300 mg (50 mg/kg/kali) (~ kultur darah tanggl 4/6/18)
- tigecycine 2x6 mg (1mg/kg/kali) (~ kultur darah tanggl 16/6/18)
- paracetamol 4x60 mg (10 mg/kg/kali)
2. Peroral :
- Fludrokortison 1x0,05 mg
- garam 12 gram (1-2 gram/hari)
- Hidrokortison 3x0,1 mg
3. Rawat luka :
- fucidic cream 2x sehari pada erosi
- kompres NS pada erosi ulkus 3x 10 menit
4. Peroral: citocolin1x2cc
5. Diit: SF extensive hydrolise 8x125 cc (1000 cc, 700 kkal)

2.7.2 Asuhan Nutrisi Pediatrik


1. Status gizi pada anak : Gizi baik
2. Kebutuhan zat gizi sesuai kebutuhan kalori :

!22
Kebutuhan kalori : RDAxBBI = 98 kkal x 9 kg = 882 kkal/hari
Kebutuhan protein : RDA x BBI = 1,5 gram x 9 kg = 13,5 gram/hari
Kebutuhan cairan : Haliday segar ~ BB= 1100 cc/hari Cara pemberian nu-
trisi : per NGT
3. Jenis makanan : SF extensive hydrolise 8x125 cc (1000 cc, 700 kkal)
4. Evaluasi target yang masuk, toleransi dan efektivitas terhadap pemberian
makanan

2.7.3 Hasil Konsultasi Divisi Mata


1. Departemen Bedah Saraf
Kesimpulan: meningoensefalitis
Saran : tidak ada terapi dari departemen bedah saraf
2. Departemen Dermato-venerologi
Keseimpulan: fascitis necroticans sebagai manifestasi kulit akibat
meningococcemia
Saran :
3. Departemen Bedah Plastik
Keseimpulan: fascitis necroticans regio cruris dan antebrachii dextra et
sinistra post debridemant dan amputasi digiti 3,4,5 manus dextra
Saran : - kontrol poliklinik Bedah Plastik
- dermatix zalf untuk menipiskan scar
4. Departemen Mata
Kesimpulan: Low vision
Saran : - kontrol kepoliklinik mata tiap 6 bulan
- pemeriksaan selanjutnya direncakan pada bulan Maret 2020
- penggunaan alat bantu penglihatan seperti kacamata sesuai
hasil pemeriksaan pada bulan Maret mendatang
- direncakan fisioterapi mata
5. Departemen Rehabilatsi Medik
Kesimpulan: global developmental delay
Saran : fisioterapi

2.8 Pengamatan Lanjutan


Pengamatan dilakukan terhadap keadaan klinis penderita meliputi
keluhan, dan pemeriksaan fisis, tahapan imunisasi yang dilakukan, pertumbuhan
dan perkembangan penderita yang dipantau secara berkala. Pertumbuhan fisis
berupa tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas dan lingkar kepala, sedan-

!23
gkan perkembangan berupa pemeriksaan kuisioner pra skrining perkembangan
(KPSP) dan denver II.
2.8.1 Pengamatan bulan November 2018
Penderita kontrol di poliklinik setelah 1 minggu keluar dari RSSA. Dari
pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum compos mentis, nadi 112x/menit,
reguler, kuat angkat, napas 24x/menit, spontan, adekuat, shu axila 36,7°C, sat-
urasi O2 98%. Pemeriksaan antropometri menunjukkan pasien dengan berat
badan 8,9 kg (mean s/d 2SD), panjang badan 69 cm (-2SD s/d mean), lingkar
Kepala 43 cm (-1SD s/d Mean), lingkar lengan atas 13,5 cm (-1SD s/d mean),
berat badan berdasarkan panjang badan mean s/d 1SD. Pada pemeriksaan
Denver didapatkan keterlambatan pada 4 aspek. Penderita minum susu formula
extensively hydrolysed menggunakan NGT dengan volume minum 100cc tiap 3
jam. Pasien mendapatkan terapi fludrokortison, dan hidrokostison. Pasien men-
dapatkan vaksin DPT-1, polio-2, dan Hepatitis B-2. Pasien menjalani fisioterapi di
RSSA 2x seminggu.
2.8.2 Pengamatan bulan Desember 2018
Penderita kontrol dipoliklinik di RSSA. Dari pemeriksaan fisis didapatkan
keadaan umum kompos mentis, nadi 114x/menit, reguler, kuat angkat, napas
24x/menit, spontan, adekuat, shu axila 36,5°C, saturasi O2 99%. Pemeriksaan
antopometri menunjukkan pasien dengan berat badan 9,3 kg (mean s/d 2SD),
panjang badan 70 cm (-2SD s/d mean), lingkar Kepala 43 cm (-1SD s/d Mean),
lingkar lengan atas 13,5 cm (-1SD s/d mean), berat badan berdasarkan panjang
badan mean s/d 1SD. Pada pemeriksaan denver didapatkan keterlambatan pada
4 aspek. Penderita minum susu formula extensively hydrolysed menggunakan
NGT dengan volume minum 100cc tiap 3 jam. Pasien mendapatkan terapi flu-
drokortison dan hidrokortison. Pasien mendapatkan vaksin PCV. Pasien men-
jalani fisioterapi di RSSA 2x seminggu.
2.8.3 Pengamatan bulan Januari 2019
Penderita pindah kontrol di poliklinik di rumah sakit swasta di Malang.
Dari pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum kompos mentis, nadi 110x/
menit, reguler, kuat angkat, napas 24x/menit, spontan, adekuat, suhu axila
36,9°C, saturasi O2 98%. Pemeriksaan antropometri menunjukkan pasien den-
gan berat badan 9,6 kg (mean s/d 2SD), panjang badan 70 cm (mean s/d 2SD),
lingkar kepala 43 cm (-1SD s/d Mean), lingkar lengan atas 14 cm (-1SD s/d
mean), berat badan berdasarkan panjang badan mean s/d 1SD. Pada pemerik-
saan Denver didapatkan keterlambatan pada 4 aspek. Penderita minum susu
formula extensively hydrolysed dengan volume minum 110cc tiap 3 jam. Penseri-
ta juga diberi jus buah 2x sehari berupa semangka, melon, dan apel. Pasien

!24
mendapatkan vaksin DPT-2, polio-3, dan Hepatitis B-3. Pada bulan ini obat oral
sudah dihentikan berdasarkan klinis dan produksi urin. Pasien juga menjalani
fisioterapi 3x seminggu di rumah sakit tersebut.
2.8.4 Pengamatan bulan Februari 2019
Dari pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum kompos mentis, nadi
112x/menit, reguler, kuat angkat, napas 24x/menit, spontan, adekuat, shu axila
36,6°C, saturasi O2 98%. Pemeriksaan antopometri menunjukkan pasien dengan
berat badan 9,9 kg (mean s/d 2SD), panjang badan 71 cm (mean s/d 2SD),
lingkar Kepala 44 cm (-1SD s/d mean), lingkar lengan atas 14 cm (-1SD s/d
mean), berat badan berdasarkan panjang badan mean s/d 1SD. Pada pemerik-
saan Denver didapatkan keterlambatan pada 4 aspek. Penderita minum susu
formula extensively hydrolysed dengan volume minum 110cc tiap 3 jam. Pasien
mendapatkan vaksin DPT-3, polio-4, dan Hepatitis B-4. Penderita menjalani fi-
sioterapi 3x seminggu dirumah sakit tersebut.
2.8.5 Pengamatan bulan Maret 2019
Dari pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum kompos mentis, nadi
108x/menit, reguler, kuat angkat, napas 24x/menit, spontan, adekuat, suhu axila
36,7°C, saturasi O2 98%. Pemeriksaan antropometri menunjukkan pasien den-
gan berat badan 10,2 kg (mean s/d 2SD), panjang badan 71 cm (mean s/d 2SD),
lingkar Kepala 44 cm (-1SD s/d mean), lingkar lengan atas 14,5 cm (-1SD s/d
mean), berat badan berdasarkan panjang badan mean s/d 1SD. Pada pemerik-
saan Denver didapatkan keterlambatan pada 4 aspek. Penderita minum susu
formula extensively hydrolysed dengan volume minum 120cc tiap 3 jam. Pasien
mendapatkan vaksin PCV. Penderita menjalani fisioterapi 3x seminggu dirumah
sakit tersebut. saat ini pasien sudah bisa tengkurap dan duduk dengan topangan,
memegang benda dengan 1 tangan dan menggumam/ cooing.
2.8.6 Pengamatan bulan April 2019
Dari pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum kompos mentis, nadi
108x/menit, reguler, kuat angkat, napas 24x/menit, spontan, adekuat, shu axila
36,7°C, saturasi O2 98%. Pemeriksaan antopometri menunjukkan pasien dengan
berat badan 10,5 kg (mean), panjang badan 72 cm (-2SD s/d mean), lingkar
Kepala 44 cm (-2SD s/d -1SD), lingkar lengan atas 14,5 cm (-1SD s/d mean),
berat badan berdasarkan panjang badan mean s/d 1SD. Pada pemeriksaan
Denver didapatkan keterlambatan pada 4 aspek. Penderita minum susu formula
extensively hydrolysed dengan volume minum 130cc tiap 3 jam diberika 6 kali
sehari, penderita juga diberikan jus buah 2x sehari. Nasi dan sayur diblender
diberikan 2x dalam sehari. Pasien mendapatkan vaksin PCV. Penderita men-
jalani fisioterapi 3x seminggu dirumah sakit tersebut. Pasien dapat duduk dengan

!25
topangan dan menggenggam mainan dengan satu tangan, dan menggumam/
cooing.
2.8.7 Pengamatan bulan Mei 2019
Dari pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum compos mentis, nadi
108x/menit, reguler, kuat angkat, napas 24x/menit, spontan, adekuat, suhu axila
36,7°C, saturasi O2 98%. Pemeriksaan antropometri menunjukkan pasien den-
gan berat badan 11 kg (mean s/d 2SD), panjang badan 74 cm (-2SD s/d mean),
lingkar Kepala 44 cm (-2SD s/d -1SD), lingkar lengan atas 14,5 cm (-1SD s/d
mean), berat badan berdasarkan panjang badan mean s/d 1SD. Pada pemerik-
saan Denver didapatkan keterlambatan pada 4 aspek. Penderita minum susu
formula extensively hydrolysed dengan volume minum 140cc diberikan sehari 5
kali, diberikan jus buah 140cc 2 kali dalam sehari. Penderita juga diberikan nasi
dihaluskan dengan cara dipenyet, lauk cincang berupa daging ayam, tahu, dag-
ing sapi, diberikan 2x sehari. Pasien mendapatkan vaksin campak dan varisela.
Penderita menjalani fisioterapi 3x seminggu dirumah sakit tersebut, saat ini
pasien sudah bisa tengkurap dan duduk dengan topangan, memegang benda
dengan 1 tangan dan menggumam/ cooing.
2.8.8 Pengamatan bulan Juni 2019
Dari pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum compos mentis, nadi
108x/menit, reguler, kuat angkat, napas 24x/menit, spontan, adekuat, suhu axila
36,7°C, saturasi O2 98%. Pemeriksaan antropometri menunjukkan pasien den-
gan berat badan 11,5 kg (mean s/d 1SD), panjang badan 75 cm (-2SD s/d
mean), lingkar Kepala 44 cm (-2SD s/d -1SD), lingkar lengan atas 14,5 cm (-1SD
s/d mean), berat badan berdasarkan panjang badan mean s/d 1SD. Pada pe-
meriksaan Denver didapatkan keterlambatan pada 4 aspek. Penderita minum
susu formula extensively hydrolysed dengan volume minum 140cc diberikan se-
hari 5 kali, diberikan jus buah 140cc 2 kali dalam sehari. Penderita juga diberikan
nasi dihaluskan dengan cara dipenyet, lauk cincang berupa daging ayam, tahu,
daging sapi diberikan 2x sehari. Penderita mendapatkan terapi RG-colin dan
rencana kontrol ke dokter Mata bulan depan. Untuk penglihatan pasien dapat
berespon kearah suara dan ke benda yang digerakkan kegaris tengah penderita.
Saat ini pasien telah menjalani fisioterapi bulan ke-8, pasien saat ini dengan
perkembangan dapat tengkurap sendiri, duduk tanpa topangan, meraih benda
yang diberikan, dan babling. Pasien mendapatkan vaksin campak dan varisela.

!26
Tabel 2.5 Ringkasan Hasil Pengamatan Penderita

Mei 2019 Juni


Pemantauan
Nov Des Feb April 2019
2018 2018 Jan 2019 2019 Mar 2019 2019

Klinis

Demam (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)

Pertumbuhan

10, 11 11,5
BB (Kg) 8,9 9,3 9,6 9,9 10,5
2

PB (cm) 69 70 70 71 71 72 74 75

Me Mean s/d Mea


Mean Mean Mea an 1SD n s/
Mean s/d Mean s/d
BB/PB s/d s/d n s/d s/d d
1SD 1SD
1SD 1SD 1SD 1S 1SD
D

14, 14,5 14,5


LLA (cm) 13,5 13,5 14 14 14,5
5
LK (cm) 43 43 43 44 44 44 44 44

Kesimpu-
Status gizi : Gizi Baik
lan
Tanda vital

Nadi (x/m) 112 114 110 112 108 104 104 102

Laju napas 24 24
24 24 24 24 24 24
(x/m)
36, 36,8 36,6
Suhu (‘C) 36,7 36,5 36,9 36,6 36,6
7
SaO2 98 99 98 98 98 99 99 99

Perkembangan

Dari 10 pertanyaan tentang kempauan perkembangan, orang tua


KPSP menjawab 1 Ya, artinya penderita kemungkinan ada penyimpangan
sehingga dilakukan skiring dengan menggunakan Denver II

Personal sosial: tersenyum, berusaha menggapai mainan


Adaptif: memegang icik-icik, tangan bersentuhan, memegang mainan
Denver II Bahasa: bersuara, tertawa, berteriak, menoleh kearah suara, babling
Motorik kasar: mengangkat kepala, tengkurap, duduk
Kesimpulan: Global developmental delay

!27
Tabel 2.6 Ringkasan vaksinasi Penderita

Usia 1 8 9 10 11 12 13 14 15
Lah
Vaksin bu- bu- bu- bu- bu- bu- bu- bu- bu-
ir lan lan lan lan lan lan lan lan lan

BCG ✓

DPT ✓ ✓ ✓

Polio ✓ ✓ ✓ ✓

Hepatitis ✓ ✓ ✓ ✓
B

Campak ✓

PCV ✓ ✓ ✓

Varisela ✓

2.9 Permasalahan pada pasien hingga akhir pengamatan


Tabel 2.7 Daftar Masalah

No Masalah Ditemukan Teratasi tanggal


Teratasi tanggal
1. Infeksi (meningococcemia) 26-05-2018
01/07/2018
Dilakukan tindakan de-
Fascitis necreotica pada redio bridement pada tanggal
06-06-2018 mening-
2. antebracii dan cruris manus dex- 29-05-2018 galkan jaringan parut
tra et sinistra (scar) menetap s/d
sekarang

Dilakukan tindakan am-


putasi pada tanggal 06-
3. Necrotic digiti 3,4,5 manus dextra 06-06-2018
06-2018 teratasi pada
tanggal 16-09-2018

Teratasi tanggal
4. Insufisiensi Adrenal 11-06-2108 12-02-2019
Teratasi tanggal
5. Cerebral Salt Wasting 11-06-2108 12-02-2019
6. Low vision 23-10-2018 Tetap
Keterlambatan perkembangan
7. 16-08-2018 Tetap
(personal sosial)
Keterlambatan perkembangan
8. 16-08-2018 Tetap
(adaptif)
Keterlambatan perkembangan
9. 16-08-2018 Tetap
(bahasa)

!28
No Masalah Ditemukan Teratasi tanggal
Teratasi tanggal
1. Infeksi (meningococcemia) 26-05-2018
01/07/2018
Dilakukan tindakan de-
Fascitis necreotica pada redio bridement pada tanggal
06-06-2018 mening-
2. antebracii dan cruris manus dex- 29-05-2018 galkan jaringan parut
tra et sinistra (scar) menetap s/d
sekarang

Dilakukan tindakan am-


putasi pada tanggal 06-
3. Necrotic digiti 3,4,5 manus dextra 06-06-2018
06-2018 teratasi pada
tanggal 16-09-2018

Teratasi tanggal
4. Insufisiensi Adrenal 11-06-2108 12-02-2019
Teratasi tanggal
5. Cerebral Salt Wasting 11-06-2108 12-02-2019
6. Low vision 23-10-2018 Tetap
Keterlambatan perkembangan
7. 16-08-2018 Tetap
(personal sosial)
Keterlambatan perkembangan
8. 16-08-2018 Tetap
(adaptif)
Keterlambatan perkembangan
9. 16-08-2018 Tetap
(bahasa)
Keterlambatan perkembangan
10. 16-08-2018 Tetap
(motorik kasar)

2.10 Prognosis
• Quo ad vitam : bonam
• Quo ad sanationam : bonam
• Quo ad functionam : dubia ad malam

!29
Gambar 2.11 Pemantauan Chart Berat Badan menurut Usia

Gambar 2.12 Pemantauan Chart Panjang Badan menurut Usia

!30
Gambar 2.13 Pemantauan Chart Lingkar Lengan Atas menurut Usia

Gambar 2.14 Pemantauan Chart Lingkar Kepala menurut Usia

!31
Gambar 2.15 Pemantauan Chart Berat Badan menurut Tinggi Badan

Tabel 2.8 KPSP (Kuesioner Pra Skrining Perkembangan)

!32
Gambar 2.16 Denver II

!33
Gambar 2.11 Denver II Perkembangan diamati tiap 6 bulan

!34
BAB 3
DISKUSI

3.1 Insufisiensi Adrenal


Insufisiensi adrenal adalah kelainan yang mengancam jiwa yang dapat
terjadi akibat kegagalan adrenal primer atau penyakit adrenal sekunder akibat
kerusakan aksis hipotalamus-hipofisis. Manifestasi klinis dari kekurangan pro-
duksi glukokortikoid, dengan atau tanpa defisiensi pada mineralokortikoid dan
androgen adrenal. Gejala klinis kardinal dari insufisiensi adrenal, seperti yang
pertama kali dijelaskan oleh Thomas Addison pada tahun 1855, yaitu kelemahan,
kelelahan, anoreksia, nyeri perut, penurunan berat badan, hipotensi ortostatik,
dan hiperpigmentasi kulit yang khas terjadi dengan kegagalan adrenal primer
(Nieary and Nieman, 2010).
3.1.1 Epidemiologi
Prevalensi insufisiensi adrenal primer dengan perkiraan insiden sekarang
sebesar 4,4–6,0 kasus baru per juta populasi per tahun di negara Eropa. Pada
615 pasien dengan penyakit Addison, dipelajari antara tahun 1969 dan 2009,
bentuk autoimun didiagnosis pada 82% kasus, bentuk terkait TB pada 9%, dan
penyebab lain pada sekitar 8% kasus (Perry et al., 2015).

Pada 103 anak-anak dengan penyakit Addison penyebab paling sering


adalah hiperplasia adrenal bawaan (72%), dan penyebab genetik lainnya
menyumbang 6%; penyakit autoimun didiagnosis hanya 13% (Perry et al., 2015).
3.1.2 Etiologi Insufisiensi Adrenal Primer

Insufisiensi adrenal primer disebabkan oleh autoimun adrenalitis terdapat


80-90% kasus, yang dapat diisolasi (40%) atau bagian dari sindrom
polimokrinopati autoimun (60%). Penyakit Addison Autoimun ditandai oleh
kerusakan korteks adrenal oleh mekanisme imun yang diperantarai sel. Antibodi
terhadap steroid 21-hidroksilase terdeteksi sekitar 85% pasien dengan insu-
fisiensi adrenal primer idiopatik. Sel T dan imunitas seluler juga memiliki peran
penting dalam patogenesis penyakit Addison autoimun, dan generasi autoantibo-
di dapat sekunder terhadap kerusakan jaringan (gambar 3.1). Selanjutnya, be-
berapa gen yang memberikan kerentanan terhadap penyakit Addison autoimun
telah diidentifikasi. Selain haplotipe MHC DR3-DQ2 dan DR4-DQ8, antigen lim-
fosit T-sitotoksik, protein non-reseptor tirosin-fosfatase tipe 22, dan transaktivator
kelas II MHC telah dikaitkan dengan kondisi tersebut (Evangelia, Nicolas, &
George, 2014).

!35
Insufisiensi adrenal primer juga dapat muncul dalam konteks sindrom
polymokrinophaty autoimun. Sindrom polyendocrinopathy autoimun tipe 1, yang
juga dikenal sebagai sindrom APECED (autoimun poliocrinopathy, candidosis,
ectodermal dystrophy) adalah kelainan resesif autosomal yang jarang terjadi
yang disebabkan oleh mutasi pada gen pengatur autoimun (AIRE). Mutasi gen
ini ditandai oleh kandidosis mukokutan kronik, insufisiensi adrenokortikal,
hipoparatiroidisme, hipoplasia enamel gigi, dan distrofi kuku, gangguan autoimun
lainnya, seperti diabetes tipe 1 dan anemia pernisiosa, dapat berkembang di ke-
mudian hari. Antibodi terhadap interferon-beta dan interferon-alfa keduanya sen-
sitif dan spesifik untuk sindrom autoimun polyendocrinopathy tipe 1, dan analisis
mutasi gen AIRE mengonfirmasi diagnosis pada lebih dari 95% kasus. Sindrom
polendokrinopati autoimun tipe 2 ditandai oleh insufisiensi adrenal autoimun dan
penyakit tiroid autoimun, dengan atau tanpa diabetes tipe 1. Penyakit autoimun
Addison disertai satu atau lebih penyakit seperti atrofi gastritis, anemia perni-
siosa, miastenia gravis, vitiligo, alopesia, dan hipofisitis) tetapi tidak termasuk
komponen utama karakteristik penyakit tipe 1 dan 2 (kandidosis kronis,
hipoparatiroidisme, penyakit autoimun tiroid, penyakit autoimun tiroid, diabetes
tipe 1) (Evangelia, Nicolas, & George, 2014).
Dari penyebab genetik, adrenoleukodystrophy, adalah kelainan resesif
terkait-X yang mempengaruhi satu dari 20.000 pria dan anak laki-laki dan dise-
babkan oleh mutasi pada kaset pengikat ATP, subfamili D, gen anggota 1
(ABCD1). Mutasi-mutasi ini mencegah pengangkutan asam-asam lemak rantai
panjang yang sangat normal ke dalam peroksisom, sehingga mencegah β-oksi-
dasi dan penguraiannya. Akumulasi jumlah abnormal asam lemak ini di organ
yang terkena (SSP, sel Leydig dari testis, korteks adrenal) dianggap sebagai
proses patologis yang mendasarinya. Gambaran klinis meliputi gangguan neu-
rologis dan insufisiensi adrenal primer, yang muncul saat bayi atau masa kanak-
kanak. Dua bentuk utama adrenoleukodystrophy adalah bentuk otak (50% kasus;
manifestasi anak usia dini dengan perkembangan cepat) dan adrenomieloneu-
ropati (35% kasus; timbul pada dewasa awal dengan perkembangan lambat) di
mana demielinasi dibatasi pada sumsum tulang belakang dan perifer. saraf.
Karena insufisiensi adrenal dapat menjadi manifestasi klinis awal,
adrenoleukodistrofi harus dipertimbangkan pada pasien pria muda dengan insu-
fisiensi adrenal dan dikonfirmasi secara biokimia dengan pengukuran konsentrasi
plasma asam lemak rantai panjang (Evangelia, Nicolas, & George, 2014).

!36
3.1.2.2 Insufisiensi Adrenal Sentral

Insufisiensi adrenal sekunder dihasilkan dari proses apa pun yang meli-
batkan kelenjar hipofisis dan mengganggu sekresi kortikotropin. Kekurangan kor-
tikotropin dapat terjadi dalam kaitannya dengan defisiensi hormon hipofisis lain-
nya. Kekurangan kortikotropin terisolasi umumnya hasil dari proses autoimun.
Insufisiensi adrenal tersier dihasilkan dari proses yang melibatkan hipotalamus
dan mengganggu sekresi pelepasan hormon kortikotropin, arginin vasopresin,
atau keduanya. Penyebab penekanan hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA)
adalah pemberian glukokortikoid dosis tinggi jangka panjang. Oleh karena itu,
dalam kebanyakan kasus, penarikan lambat pengobatan glukokortikoid selama
9-12 bulan diperlukan untuk pemulihan penuh dari HPA. Insufisiensi adrenal ter-
sier juga terjadi pada pasien yang sembuh dari Sindrom Cushing, karena kon-
sentrasi kortisol serum yang tinggi sebelum pengobatan menekan HPA dengan
cara yang sama dengan dosis glukokortikoid eksogen yang tinggi. Akhirnya,
obat-obatan seperti mifepristone, antagonis reseptor glukokortikoid, antipsikotik,
dan antidepresan menyebabkan jaringan target. resistensi terhadap glukokor-
tikoid melalui penurunan transduksi sinyal glukokortikoid (Charmandari et al.,
2010).

3.1.3 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Korteks adrenal memiliki tiga zona berbeda yaitu aldosteron disintesis di


zona terluar, zona glomerulosa. Sekresi utamanya didominasi oleh sistem renin-
angiotensin dan konsentrasi kalium ekstraseluler; oleh karena itu, tidak tergang-
gu pada insufisiensi adrenal sekunder dan tersier. Sekresi kortisol dari zona fas-
ciculata terutama diatur oleh kortikotropin, yang dilepaskan dari hipofisis anterior
sebagai respons terhadap hormon pelepas neuropeptida hipotalamus kor-
tikotropin dan arginin vasopresin. Pada orang sehat, sekresi kortisol bersifat pul-
satil, dan mensirkulasi kortisol. konsentrasi berfluktuasi secara alami dengan
cara sirkadian, tertinggi di pagi hari (jam 06.00-08.00) dan terendah sekitar ten-
gah malam. Adrenal androgen, androstenedion, dehydroepiandrosterone, dan
ester sulfat dari dehydroepiandrosterone, disintesis di zona paling dalam reticu-
laris (Charmadari et al., 2010).

!37
Tabel 3.1 Manifestasi klinis insufisiensi Adrenal

Manifestasi klinis dari insufisiensi adrenal primer dihasilkan dari defisien-


si semua hormon adrenokortikal (aldosteron, kortisol, androgen), dapat juga dis-
ertai kondisi autoimun. Hipoglikemia dapat menjadi tanda yang muncul pada
anak-anak dengan insufisiensi adrenal. Tanda spesifik dari insufisiensi adrenal
primer adalah hiperpigmentasi. Hal ini disebabkan oleh stimulasi reseptor
melanocortin-1 di kulit oleh konsentrasi kortikotropin yang bersirkulasi tinggi.
Pada insufisiensi adrenal autoimun, zona pertama yang dipengaruhi oleh
kerusakan yang dimediasi imun umumnya adalah zona glomerulosa, mungkin
karena lebih rentan terhadap serangan autoimun. Fitur ini mungkin menjelaskan
langkah pertama kegagalan adrenal, yang ditandai dengan aktivitas renin plasma
yang tinggi dan konsentrasi aldosteron yang rendah, diikuti oleh fase defisiensi
glukokortikoid progresif, awalnya dengan respon yang tidak memadai terhadap

!38
rangsangan stres dan kemudian oleh fase kegagalan terbuka dengan rendah
konsentrasi kortisol basal (Gordijn et al., 2012).

Manifestasi klinis dari adrenal insufisiensi sekunder atau tersier hanya


dari defisiensi glukokortikoid (sekresi aldosteron dan androgen). Hiperpigmentasi
tidak muncul karena sekresi kortikotropin tidak meningkat. Hiponatremia dan
ekspansi volume dapat terjadi sekunder akibat peningkatan sekresi vasopresin
arginin. Mungkin juga ada gejala dan tanda-tanda kekurangan hormon hipofisis
anterior lainnya. Krisis adrenal yang mengancam jiwa dapat menjadi presentasi
pertama dari kekurangan adrenal. Gambaran klinis meliputi muntah, nyeri perut,
mialgia, nyeri sendi, hipotensi berat, dan syok hipovolemik. Bersifat akut dapat
dipicu oleh stres fisiologis, seperti infeksi, pembedahan atau trauma (Evangelia,
Nicolas, & George, 2014).

3.1.4 Diagnosis

Ada tiga tujuan utama dalam diagnosis insufisiensi adrenal yaitu untuk
mengkonfirmasi sekresi kortisol, untuk mengetahui apakah kekurangan adrenal
adalah primer atau sentral, dan untuk menggambarkan proses patologis yang
mendasarinya (Neary, 2010).

Tabel 3.2 Diagnosis insufisiensi Adrenal

Dikutip dari: Evangelia, Nicolas, & George, 2014

Diagnosis insufisiensi adrenal tergantung sepenuhnya pada sekresi korti-


sol yang rendah (Raff, 2009). Pada orang sehat, konsentrasi kortisol serum tert-

!39
inggi di pagi hari, pada 275-555 nmol/L (100-200 µg/L). Konsentrasi kortisol
serum yang rendah (<80 nmol/L (30 µg/L) dalam sampel darah yang diambil
pada pagi hari sangat menunjukkan insufisiensi adrenal. Sebaliknya, konsentrasi
kortisol serum pagi hari lebih dari 415 nmol/L (150 ug/L) memprediksi respons
kortisol serum normal terhadap hipoglikemia yang diinduksi insulin (Schimidt et
al., 2003).

Dalam insufisiensi adrenal primer, konsentrasi kortikotropin plasma jam


08.00 tinggi, dan dikaitkan dengan konsentrasi atau aktivitas renin plasma yang
tinggi, konsentrasi aldosteron yang rendah, hiponatremia, dan hiperkalemia. Se-
baliknya, konsentrasi kortikotropin plasma rendah atau normal rendah pada insu-
fisiensi adrenal sekunder atau tersier. Konsentrasi renin dan aldosteron plasma
umumnya tidak terpengaruh pada insufisiensi adrenal sekunder atau tersier,
tetapi defisiensi mineralokortikoid. Pada insufisiensi adrenal autoimun, konsen-
trasi renin plasma biasanya yang pertama kali meningkat, diikuti oleh pen-
ingkatan dalam kortikotropin dan penurunan konsentrasi aldosteron (Betterle et
al., 2012).

Pada pasien didapatkan dengan klinis demam, dari pemeriksaan laboratorium


didapatkan dengan hiponatremia, hiperkalemia, penurunan kadar kortisol darah
dan aldosteron memungkinkan suatu Insufisiensi adrenal sekunder.

Gambar 3.1 Profil kadar serum natrium pada bulan Juni 2018

Gambar 3.2 Profil kadar serum natrium pada bulan Juli 2018

!40
3.1.5 Terapi

Pasien dengan insufisiensi adrenal harus diobati dengan hidrokortison,


yang merupakan pilihan paling fisiologis untuk penggantian glukokortikoid. Dosis
hidrokortison harian yang direkomendasikan adalah 10-15 mg/m2, dibagai dalam
dua sampai tiga dosis. Hidrokortison menghasilkan konsentrasi kortisol yang
lebih stabil dan berkelanjutan mereproduksi kenaikan kortisol fisiologis selama
jam-jam dini hari setelah asupan oral sebelum tidur. Pada insufisiensi adrenal
primer, terapi penggantian mineralokortikoid diperlukan untuk mencegah kehilan-
gan natrium, penurunan volume intravaskular, dan hiperkalemia. Ini diberikan
dalam bentuk fludrocortisone (9-α-fluorohydrocortisone) dalam dosis 0,05-0,20
mg setiap hari, di pagi hari. Dosis fludrocortisone dititrasi secara individual
berdasarkan konsentrasi natrium dan kalium serum, serta konsentrasi aktivitas
renin plasma (Evangelia, Nicolas, & George, 2014).

Tujuan pengobatan dalam hiperplasia adrenal kongenital klasik tidak


hanya untuk memberikan pengganti glukokortikoid dan mineralokortikoid yang
memadai untuk mencegah krisis adrenal. Penggunaan hidrokortison 10–15 mg/
m2 setiap hari dibagi menjadi tiga dosis menghasilkan kontrol yang memuaskan.
Karena dosis ini melebihi sekresi kortisol fisiologis, pasien harus dipantau secara
hati-hati untuk tanda-tanda sindrom Cushing iatrogenik. Keberhasilan pengob-
atan dinilai dengan kecepatan pertumbuhan, laju maturasi tulang, pertambahan
berat badan, dan konsentrasi serum 17-hidroksiprogesteron dan androstenedion
pada jam 08.00 (Evangelia, Nicolas, & George, 2014).

Krisis adrenal adalah keadaan darurat yang mengancam jiwa yang sering
terjadi pada pasien dengan insufisiensi adrenal yang menerima terapi penggant-
ian standar dan membutuhkan penanganan segera. Dalam survei pos 840
pasien dengan penyakit Addison di empat negara, sekitar 8% responden mem-
butuhkan perawatan rumah sakit untuk krisis adrenal setiap tahun. Manajemen
awal dalam krisis adrenal adalah untuk mengobati hipotensi dan untuk memba-
likkan kelainan elektrolit dan defisiensi kortisol. Pengobatan terdiri dari pember-
ian langsung 100 mg hidrokortison intravena dan rehidrasi cepat dengan infus
normal salin dengan monitoring sistem kardiovaskuler, diikuti oleh 100-200 mg
hidrokortison dalam glukosa 5% per 24 jam dengan infus intravena secara conti-
nous. Alternatifnya, hidrokortison dapat diberikan dengan injeksi intravena setiap
6 jam dengan dosis 50-100 mg tergantung pada usia dan luas permukaan tubuh.
Dengan dosis hidrokortison harian 50 mg atau lebih, penggantian mineralokor-
tikoid dalam insufisiensi adrenal primer dapat dihentika atau dikurangi dengan

!41
dosis 0,1 mg fludrokortison. Setelah kondisi pasien stabil, pengobatan glukokor-
tikoid intravena dapat dikurangi selama beberapa hari ke depan dan dosis
pemeliharaan oral dapat diberikan (Evangelia, Nicolas, & George, 2014).

Pada pasien mendapatkan terapi hydrocortisone 0,1 mg diberikan selama


3 bulan dan dimonitoring untuk serum elektrolit plasma. Setelah pemberian 3 bu-
lan, dilihat dari kondisi klinis pasien dan dari hasil pemeriksaan serum elektrolit
menunjukkan perbaikkan maka untuk hydrocortisone dihentikan. Setelah 3 bulan
penghentian obat, dievaluasi pemeriksaan serum elektrolit plasma menunjukkan
nilai normal.

3.2 Cerebral Salt wasting


Cerebral Salt Wasting (CSW) merupakan kelainan pengaturan Natrium dan
air, yang terjadi sebagai akibat penyakit serebral tanpa disertai kelainan fungsi
ginjal. CSW ditandai adanya hiponatremia yang berkaitan dengan hipovolemia,
yang sesuai dengan namanya, disebabkan oleh natriuresis. CSW dapat didefin-
isikan sebagai natriuresis eksesif yang terjadi pada pasien dengan penyakit in-
trakranial, yang menyebabkan deplesi volume dan hiponatremia (Yee et al.,
2010).

3.2.1 Patofisiologi

Mekanisme penyakit serebral yang menyebabkan CSW masih belum di-


mengerti sepenuhnya. Kemungkinan besar proses tersebut melibatkan gang-
guan input saraf ke ginjal dan/atau penyebaran sentral faktor–faktor natriuretik
dalam sirkulasi. Pada kedua mekanisme tersebut, terjadi peningkatan ekskresi
Natrium urin, yang dapat menyebabkan penurunan Effective Arterial Blood Vol-
ume (EABV), dan hal ini kemudian merangsang baroreseptor sehingga terjadi
sekresi Arginine Vasopressin (AVP). Dalam hal ini, peningkatan kadar AVP dapat
mengganggu kemampuan ginjal dalam menguraikan urin cair. Dapat dikatakan
bahwa sekresi AVP dalam keadaan ini merupakan respons yang sesuai terhadap
deplesi volume. Sebaliknya, sekresi AVP pada SIADH tidaklah sesuai, karena
EABV meningkat (Yee et al., 2010).

Kemungkinan lokasi terjadinya penurunan absorbsi Natrium ginjal pada


CSW terdapat pada nefron proksimal. Hal tersebut disebabkan oleh karena pada
segmen tersebut secara normal terjadi reabsorbsi sebagian besar Natrium yang
tersaring. Sedikit saja penurunan efisiensi pada segmen tersebut dapat menye-
babkan pelepasan sejumlah besar Natrium menuju nefron distal, dan pada

!42
akhirnya keluar bersama–sama urin. Penurunan input simpatis ke ginjal meru-
pakan faktor yang memyebabkan terganggunya reabsorbsi nefron proksimal.
Sistem saraf simpatis dapat merubah pengaturan garam dan air pada segmen
nefron proksimal melalui berbagai mekanisme langsung dan tidak langsung. Sis-
tem saraf simpatis juga berperan dalam kontrol pelepasan renin, sehingga penu-
runan tonus simpatis merupakan penjelasan terjadinya kegagalan peningkatan
kadar renin dan aldosteron sirkulasi pada pasien CSW. Kegagalan peningkatan
kadar aldosteron serum sebagai respons terhadap menurunnya EABV dapat
menjelaskan mengapa pada CSWS tidak terjadi ekskresi berlebihan Kalium,
meskipun terjadi pelepasan berlebihan Natrium ke nefron distal. Dengan
demikian, hipokalemia bukan merupakan bagian dari CSW (Yee et al., 2010).

Selain penurunan input saraf ke ginjal, pelepasan satu atau lebih faktor–
faktor natriuretik juga berperan dalam mekanisme ekskresi berlebihan garam
pada CSWS. Efek Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dan Brain Natriuretic Peptide
(BNP) dapat menyebabkan gambaran–gambaran klinis CSW. Sebagai contoh,
pemberian peptida–peptida tersebut pada orang normal memberikan respons
natriuretik yang tidak berhubungan dengan perubahan tekanan darah. Kemam-
puan zat–zat tersebut untuk meningkatkan Glomerular Filtration Rate (GFR)
agak berperan dalam proses natriuresis, namun, bahkan tanpa adanya peruba-
han GFR, ekskresi Natrium urin tetap meningkat karena adanya efek inhibisi
langsung pada transport Natrium di duktus pengumpul medulla. Peptida–peptida
tersebut juga dapat meningkatkan ekskresi Natrium urin tanpa menyebabkan
hipokalemia. Sebagai contoh, ANP dan BNP berhubungan dengan menurunnya
kadar aldosteron sirkulasi karena efek inhibisi langsung pada pelepasan rennin
oleh sel–sel juxtaglomerular ginjal, dan efek inhibisi langsung pada pelepasan
aldosteron oleh kelenjar adrenal. Selain itu, inhibisi reabsorbsi Natrium pada duk-
tus pengumpul medulla tidak seharusnya menyebabkan ekskresi berlebih Kalium
pada ginjal (K-wasting), karena segmen ini terletak distal terhadap tempat sekre-
si predominan Kalium, yaitu di duktus pengumpul korteks. Dengan penurunan
volume cairan ekstraseluler, terjadi peningkatan reabsorbsi Natrium proksimal,
yang menyebabkan berkurangnya pelepasan Natrium distal ke duktus
pengumpul (Yee et al., 2010).

ANP dan BNP dapat pula secara langsung menurunkan aliran otonom
melalui efek terhadap batang otak. Dalam hal ini, peptida natriuretik dan penyakit
sistem saraf pusat secara sinergis dapat menurunkan input saraf ke ginjal (Yee et
al., 2010).

!43
Pada manusia, BNP ditemukan terutama pada ventrikel jantung, namun
juga dapat ditemukan pada otak. Belum diketahui secara pasti apakah hanya
jaringan otak atau jaringan jantung, atau bahkan keduanya yang berkontribusi
terhadap peningkatan konsentrasi BNP yang ditemukan pada pasien dengan
perdarahan subarachnoid. Peningkatan pelepasan BNP oleh jantung dapat
merupakan bagian dari respons stress umum terhadap penyakit yang sedang
diderita, dimana peningkatan tekanan intrakranial dapat merupakan tanda
pelepasan BNP otak. Dalam hal ini, dapat dispekulasikan bahwa perkembangan
CSW dan deplesi volume yang terjadi dalam keadaan adanya penyakit intrakra-
nial merupakan langkah protektif, bertujuan untuk membatasi peningkatan
tekanan intrakranial yang ekstrim. Selain itu, sifat vasodilator pada peptida natri-
uretik tersebut dapat menurunkan kecenderungan terjadinya vasospasme pada
keadaan seperti perdarahan subarachnoid (Yee et al., 2010).

3.2.2 Manifestasi Klinis

Gejala–gejala hiponatremia tergantung dari onset dan beratnya penu-


runan kadar natrium. Penurunan lambat dan ringan kadar natrium serum dapat
menyebabkan anoreksia, sakit kepala, iritabilitas, dan kelemahan otot. Sebagian
pasien dapat tampak asimptomatik. Gejala yang lebih berat terjadi pada keadaan
penurunan kadar Natrium yang cepat atau bila kadar natrium kurang dari 120
mEq/L, berupa edema serebral, mual, muntah, delirium, halusinasi, letargi, ke-
jang, gagal napas, dan kemungkinan kematian. Status volume cairan juga dapat
mempengaruhi gejala–gejala yang dialami pasien. Adanya tanda–tanda deplesi
volume cairan ekstraseluler berupa hipotensi, penurunan berat badan dan turgor
kulit melambat dapat ditemukan pada CSW (Yee et al., 2010).

Pada pasien didapatkan dengan klinis dehidrasi dilihat dari ubun-ubun


besar cekung, mata cowong dan turgor kulit melambat, dari pemeriksaan labora-
torium hiponatremia, penurunan osmolaritas urine natrium, produksi urin
meningkat >4,5 ml/kg/jam, pasien didiagnosis sebagai cerebral salt wasting.

3.2.2 Tatalaksana

Tujuan tatalaksana CSW adalah mengatasi dehidrasi dan menormalkan


kadar natrium serum, tatalaksana penyakit primer, rehidrasi: bertujuan mengatasi
dehidrasi akibat poliuria dengan mempertahankan balans cairan positif. Berikan
NaCl 0,9%, atasi hiponatremia: pemberian garam per oral atau cairan hipertonik
(NaCl 3%), Jumlah natrium yang dibutuhkan sesuai dengan rumus untuk ke-
naikan kadar natriumserum cukup hingga 130 mEq/L, koreksi hiponatremia tidak

!44
melenihi 1 mmol/L per jam untuk menghindari central pontine myelinolysis, pem-
berian fludrocortison masih kontroversial karena walaupun memperbaiki hipona-
tremia, efek sampingnya adalah hipokalemia, hipervolemia, dan hipertensi, dan
pemantauan ketat: tanda vital, status dehidrasi/balans cairan, kadar natrium
(IDAI, 2015).

Gambar 3.3 Profil produksi urin pada bulan Juni 2018

Gambar 3.4 Profil produksi urin pada bulan Juli 2018

Pada pasien didapatkan dengan klinis dehidrasi dilihat dari ubun-ubun


besar cekung, mata cowong dan turgor kulit melambat, dari pemeriksaan labora-
torium hiponatremia, penurunan osmolaritas urine natrium, produksi urin
meningkat >4,5 ml/kg/jam, pasien didiagnosis sebagai cerebral salt wasting dan
mendapat tatalksana rehidrasi diberikan dengan NaCl 0,9%, Atasi hiponatremia
dengan pemberian garam per oral atau cairan hipertonik NaCl 3% dan pember-
ian fludrocortison 0,05 mg. kemudian pasien dimonitoring serum elektrolit, pro-

!45
duksi urin dan gula darah berkala. Setelah 5 bulan terapi pasien secara klinis,
produksi urin dan pemeriksaan serum elektrolit dan gula darah dalam batas nor-
mal makan untuk pemberian fludrocortison dihentikan.

3.3 Meningococcemia
Meningococcemia ditandai dengan petekie nonblanching (tidak memucat)
dan purpura palpable, yang memiliki pusat nekrotik kelabu, biasanya menyebar
pada telapak tangan dan talapak kaki, dimulai sebagai papul eritematosus atau
makula berwarna merah muda. Sindrom klinis meningococcemia tanpa meningi-
tis awalnya dijelaskan oleh Salmon pada tahun 1902. Meningococcemia ditandai
dengan demam, manifestasi kulit dan atralgia-artritis. Demam bersifat intermiten
atau kontinyu dan manifestasi kulit terdiri dari erupsi mukopapular, nodular, dan
atau petike. Perjalan almiah dapat terjadi selama berminggu-minggu sampai
berbulan-bulan dan meningitis dapat terjadi kapan saja. Diagnosis banding yaitu
Henoch-Schonlein Purpura, infeksi gonokokal, septikemia, endokarditis bakterial,
infeksi virus dan reaksi hipersensitivitas (Olc Pn et al., 2016).
Kesulitan untuk mengisolasi meningococcemia dari darah mungkin dise-
babkan oleh penyebaran meningococcemia kedalam aliran darah yang inter-
miten. Didukung Oleh demam berulang diikuti oleh erupsi kulit yang mengandung
meningococcemia. Dalam Infeksi gonokokus 13% dari pasien ini memiliki kultur
darah positif. Meningitis bakteri adalah penyebab utama Infeksi sistem saraf
pusat. Brain Blood Barier melindungi sistem saraf pusat dari sebagian besar bak-
teri yang terlah mencapai aliran darah. Sebagian besar dari beberapa jenis bak-
teri yang dapat menembus blood brain barrier untuk menyerang meningens
adalah patogen ektraseluler. Pada Bayi Baru lahir, Escherichia coli and Strepto-
coccus agalactiae (Group B Streptococcus), sedangkan pada anak lebih dewasa
N. meningitidis, Haemophilus influenzae and Streptococcus pneumoniae. Begitu
berada didalam cairan serebrospinal, multiplikasi bakteri dianggap tidak terkon-
trol karena defisiensi lokal pada komplemen dan imunologi dan meskipun adanya
leukosit polimorfonuklear yang diinduksi oleh respon inflamasi lokal. Sejumlah
kecil spesies bakteri yang mampu menyerang meningens menunjukkan bahwa
faktor virulensi spesifilk diperlukan agar bakteri memasuki ruang subarachnoidal.
Di antara bakteri ekstraseluler yang disebutkan di atas, N. meningitidis adalah
yang paling patogen dalam aliran darah, mampu menyerang meninges. Diperki-
rakan bahwa 63% kasus bakteremia akibat N. Meningitidis berhubungan dengan
meningitis (Mathieau et al., 2013).

!46
Invasi meningens dan persilangan blood brain barrier dengan pembe-
basan sekuensial endotoksin dan aktivitas sitokin pro dan antiinflamasi adalah
proses patofisiologis yang mendasari gambaran klinis dari meningitis meningiti-
sokokus. Ini juga dapat menyebabkan edema otak dan peningkatan tekanan in-
trakranial. Pasien yang mengalami meningitis memiliki gejala dan tanda yang
serupa dengan jenis meningitis lainnya. Temasuk demam, sakit kepala, leher
kaku, mual, muntah, gangguan kesadaran, fotofobia, dan kejang (Sabra A &
Benger, 2011).
Anak dengan meningitis umumnya memiliki prognosis lebih baik daripada
anak dengan meningococemia. Ketika meningitis dikaitkan dengan septikemia,
mungkin timbul dengan onset mendadak dan manifestasi syok, purpura, dan
penurunan tingkat kesadaran yang progresif cepat. Prodrome meningitis
menyerupai meningococcemia termasuk gejala infeksi saluran pernapasan atas.
Diagnosis meningitis meningococcus dikonfirmasikan dengan memeriksa CSF
termasuk kultur. Analisis biomedis menunjukkan cairan serebrospinal rendah:
rasio glukosa darah dan protein tinggi, sedangkan mikroskopi menunjukkan neu-
trofil tinggi dan diplokokus intraseluler gram negatif. Tes lain yang mungkin ter-
masuk yang disebutkan sebelumnya di bawah meningococcemia seperti PCR
dan pewarnaan Gram (Sabra A & Benger, 2011).
Meningococcal Disease adalah contoh penyakit yang secara fatal
mematikan jika diagnosis terlewatkan atau ditunda. Meningococcus menyerang
selaput tipis yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang (meningitis
meningococcus) atau darah (meningococcus septica), dan seringkali keduanya.
Meningococcal Disease sebagian besar memengaruhi anak-anak kurang dari 5
tahun dan remaja berusia 17 hingga 19 tahun. Sebagian besar pasien anak-anak
dengan Meningococcal Disease mendapat pemulihan penuh tetapi ada beberapa
yang tersisa dengan komplikasi kritis. Diperkirakan 3% yang selamat dengan
amputasi, 3% memiliki komplikasi pada bidang ortopedi misalnya kerusakan
pada pelat pertumbuhan dan 13% memiliki komplikasi kulit yang memerlukan
operasi rekonstruksi. Sebuah studi kasus-kontrol Inggris baru-baru ini mengenai
hasil Meningococcal Disease invasif dilaporkan: sekitar 10% anak-anak menderi-
ta defisit neurologis (kejang, gangguan pendengaran, amputasi, kehilangan
penglihatan dan kehilangan kemampuan bicara atau kemampuan untuk mema-
hami dan berbicara) dan kelainan fisik, kognitif, dan psikologis. Tingkat prokalsi-
tonin (PCT) dalam darah meningkat dalam dua jam setelah infeksi infeksi,
memuncak pada enam jam dan tetap meningkat selama 24 jam lebih lanjut
(BellJM, 2015).

!47
Diagnosis meningococcus meningitis dikonfirmasikan dengan pleositosis
cairan serebrospinal, pewarnaan Gram, reaksi rantai polimerase, kultur cairan
serebrospinal, atau kultur darah atau lesi kulit (Chang et al., 2012).
Kultur darah pada kasus ini menunjukkan Elizabethkingia meningosepti-
ca. Elizabethkingia meningoseptica, sebelumnya dikenal sebagai Flavobacterium
meningosepticum, pertama kali dilaporkan oleh King pada tahun 1959 di CDC
Atlanta. Direklasifikasi dalam genus Cryseobacterium, kemudian ditempatkan
dalam genus baru Elizabethkingia yang dinamai menurut penemu aslinya. Bak-
teri ini merupakan bakteri gram negatif, aerob obligat, non-spora, batang non-
fermentatif dan non-motil yang bersifat katalase, oksidase, dan urease positif.
Dalam literatur, sebagian besar kasus infeksi Elizabethkingia meningosepticum
yang dilaporkan didapat di rumah sakit dan biasanya terjadi pada pasien yang
imunodefisiensi (Smita Sarma et al., 2011).
Manifestasi klinis infeksi Elizabethkingia meningoseptica yang paling
umum adalah infeksi mata (termasuk keratitis dan endophtalmitis), pnemonia,
bronkitis, endokarditis, abses perikardial, infeksi kulit, jaringan lunak (seperti
selulitis, nekrotikan fascitis), osteomielitis, infeksi intra abdominal , infeksi saluran
kemih dan sinusitis. Meningitis juga dikaitkan dengan Elizabethkingia
meningoseptica yang sering mengakibatkan hidrosefalus dan kerusakan otak
(Jean et al., 2014).
Enam puluh persen pasien dengan bakteriemia E. meningoseptica yang
dirawat ICU dan 83,8% dari meraka mengalami demam. Jumlah WBC rata-rata
adalah 11.919,65 ± 7.402,67 (0 ~ 6340)/µL. Menurut definisi NNIS, 77,8% pasien
diklasifikasikan memiliki bakteremia primer, diikuti oleh pneumonia (n = 11;
9,4%), infeksi jaringan lunak dan bakteremia terkait penggunaan kateter (n = 6;
6,1%). Empat puluh lima pasien (38,1%) dari hasil kultur darah, ditemukan ku-
man patogen termasuk diantaranya sepuluh pasien dengan Acinetobacter bau-
mannii, sembilan pasien dengan Staphylococcus aureus yang resisten methi-
cillin, dan lima pasien dengan Pseudomonas aeruginosa (Hsu et al., 2011).
Di antara spesies Chryseobacterium, Elizabethkingia meningoseptica
atau disebut C. meningosepticum adalah anggota genus yang paling patogen.
Namun, sebagian besar infeksi E. meningosepticum berasal dari nosokomial.
Jika kolonisasi ini berkembang menjadi infeksi klinis menunjukkan tanda dan ge-
jala infeksi atau individu yang terinfeksi menginfeksi individu lain yang rentan dan
menyebabkan infeksi, maka infeksi tersebut harus ditangani dengan terapi an-
tibakteri yang sesuai. Pilihan yang tepat dari agen antimikroba yang efektif untuk
pengobatan infeksi bakteri chryseo cukup sulit untuk dibuat. Chryseobacterium
spp. tahan terhadap sebagian besar antibiotik dan penggunaan obat-obatan tidak

!48
aktif karena terapi empiris dapat berkontribusi mempuanyai hasil yang buruk
pada banyak infeksi (Mehmet Ceyhan & Melda Celik, 2011; Salim et al., 2013).
Pilihan obat yang efektif untuk pengobatan empiris infeksi nosokomial
Elizabethkingia meningosepticum sulit dilakukan. Organisme ini secara inheren
resisten terhadap banyak agen antimikroba yang biasa digunakan untuk mengo-
bati infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif (aminoglikosida, antibiotik
beta-laktam, tetrasiklin dan kloramfenikol), tetapi sering rentan terhadap agen
yang umumnya digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Gram positif (rifampisin , klindamisin, erythromycin, trimethoprim-sulfamethoxa-
zole, kuinolon dan vankomisin) (Smita et al., 2011).
Elizabethkingia meningosepticum memiliki profil antibiotik yang khas.
Bakteri secara inheren resisten terhadap sebagian besar antibiotik untuk mengo-
bati bakteri gram negatif, seperti amino glikosida, agen β-laktam, kloramfenikol
dan karbapenem, tetapi rentan terhadap agen yang digunakan untuk bakteri
gram positif (rifampisin, siprofloksasin, vankomisin, trimetoprim–sulfametoksazol)
(Shah Z, Soodhana D, Kalathia M, Parikh Y, 2017).
Strain yang diisolasi dari pasien ini resisten terhadap semua antibiotik
betalactam, asam amoksisilin-klavulanat, aminoglikosida, doksisiklin dan
trimethoprim-sulfamethoxazole ketika diuji dengan mikrodilusi kaldu. Organisme
itu sensitif terhadap ciprofloxacin dan piperacillin-tazobactam. Pola resistensi ini
konsisten dengan penelitian sebelumnya walaupun penelitian terbaru menun-
jukkan kerentanan variabel terhadap levofloxacin, ciprofloxacin, piperacillin-
tazobactam dan tigecycline. Sementara beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa rejimen optimal untuk infeksi serius oleh E. meningoseptica adalah
ciprofloxacin plus trimetoprim-sulfametoksaz (Amerr et al., 2011).

Tabel 3.3 Sensitifitas antibiotik

!49
!
Gambar 3.5 Koloni E. Meningoceptikum
Robic, non-fermentor, non-spora-forming dan non-mobile, saprophiticus
bacillus yang ada di mana-mana. Tidak seperti banyak bakteri non-fermentasi
lainnya (Flavobacterium dan Cryseobacterium), Elizabethkingia meningosep-
ticum tumbuh dengan baik pada suhu 37 °C pada agar darah dan agar coklat.
Koloni-koloni tampak kuning pucat atau tidak berpigmen (berbeda dengan semua
spesies Chryseobacterium, yang menghasilkan pigmen kuning-oranye yang tidak
dapat difus); pertumbuhannya tidak mudah terukur setelah 24 jam inkubasi. War-
na abu-abu koloni pada agar darah disebabkan oleh produksi protease dan
gelatinase. Elizabethkingia meningosepticum kurang baik tumbuh pada agar
MacConkey dan tidak dapat tumbuh pada agar asam colistin-nalidixic (CNA)
karena kerentanan terhadap kuinolon seperti asam nalidiksat. Elizabethkingia
meningosepticum memiliki ketahanan khas terhadap sebagian besar antibiotik
untuk bakteri Gram-negatif (aminoglikosida, beta-laktam, kloramfenikol, tetapi
rentan terhadap vankomisin, ciprofloxacin, levofloxacin, dll). Faktor risiko yang
dapat ditertimbangkan adalah prosedur bedah invasif, perawatan jangka pan-
jang, penggunaan kateter vena sentral dan profilaksis antibiotik yang lama (Vitto-
rio Panetta et al.,2017).
Pada pasien dengan klinis awal didapatkan demam demam, sesak, infek-
si kulit, dan dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peninggkatan leukosit
dengan dominan nautrofilia, prokalsitonin >0,5, gangguan multiorgan, memu-
ngkinkan pasien dengan sepsis, dari hasil kultur darah ditemukan Elizabethkingia
meningoseptica. Dalam hal ini, pasien ini didiagnosis dengan nekrotikan fascitis,
meningitis bakteri dan syok septik yang dapat disebabkan oleh infeksi Eliza-
bethkingia meningoseptica. Pada kasus ini berhasil merespons terapi kombinasi
trygecyclin, ceftrixon, meropenem berdasarkan hasil kultur darah.

!50
3.4 Global Developmental Delay
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan fungsi-fungsi individu
antara lain: kemampuan gerak kasar dan halus, pendengaran, penglihatan, ko-
munikasi, bicara, emosi-sosial, kemandirian, intelegensia bahkan perkembangan
moral. Faktor penentu kualitas tumbuh kembang anak adalah potensi genetik-
heredo konstituinal (intrinsik) dan peran lingkungan (ekstrinsik). Gangguan tum-
buh kembang terjadi bila ada faktor genetik dan atau karena faktor lingkungan
yang tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar tumbuh kembang anak. Masalah
perkembangan pada anak sering dijumpai, sehingga diagnosis awal dan penge-
nalan tandatanda gangguan perkembangan sangatlah penting. Diagnosis dini
membantu dilakukan tindakan dini berbagai program, seperti stimulasi motor
kasar dan halus, wicara, kognisi serta edukasi orangtua agar tumbuh kembang
anak optimal, sehingga memberikan hasil yang lebih baik di kemudian hari
(Soedjatmiko, 2001; Tjandrajani et al, 2012).
Keterlambatan perkembangan umum atau global developmental delay
(GDD) adalah bagian dari ketidakmampuan mencapai perkembangan sesuai
usia, dan didefinisikan sebagai keterlambatan dalam dua bidang atau lebih
perkembangan motor kasar/motor halus, bicara/ berbahasa, kognisi, personal/
sosial dan aktifitas seharihari, dan digunakan bagi anak yang berusia kurang dari
lima tahun. Diperkirakan 5%10% anak mengalami masalah keterlambatan
perkembangan, dengan prevalensi GDD sekitar 1%3% (Tjandrajani et al, 2012).
Skrining adalah prosedur yang relatif cepat, sederhana dan murah untuk
populasi yang asimtomatik tetapi mempunyai risiko tinggi atau dicurigai mem-
punyai masalah. Blackman (1992) menganjurkan agar bayi atau anak dengan
risiko tinggi (berdasarkan anamnesis atau pemeriksaan fisik rutin) harus di-
lakukan skrining perkembangan secara periodik. Sedangkan bayi atau anak
dengan risiko rendah dimulai dengan kuesioner praskrining yang diisi atau di-
jawab oleh orangtua. Bila dari kuesioner dicurigai ada gangguan tumbuh kem-
bang dilanjutkan dengan skrining perkembangan (Soedjatmiko, 2011).
Kuesioner pra skrining perkembangan digunakan untuk skrining pendahu-
luan bayi umur 3 bulan sampai anak umur 6 tahun yang dilakukan oleh orangtua.
Setiap umur tertentu ada 10 pertanyaan tentang kemampuan perkembangan
anak, yang harus diisi (atau dijawab) oleh orangtua dengan ya atau tidak, se-
hingga hanya membutuhkan waktu 10-15 menit. Jika jawaban ya sebanyak 6
atau kurang maka anak dicurigai ada gangguan perkembangan dan perlu dirujuk,
atau dilakukan skrining dengan Denver II. Jika jawaban ya sebanyak 7-8, perlu
diperiksa ulang 1 minggu kemudian. Jika jawaban ya 9-10, anak dianggap tidak

!51
ada gangguan, tetapi pada umur berikutnya sebaiknya dilakukan KPSP lagi
(Soedjatmiko, 2001).
Skrining perkembangan yang banyak digunakan oleh profesi kesehatan
adalah Denver II, antara lain karena mempunyai rentang usia yang cukup lebar
(mulai bayi baru lahir sampai umur 6 tahun), mencakup semua aspek perkem-
bangan dengan realiability cukup tinggi (interrates reability = 0.99, test-retest re-
ability = 0.90). Uji Denver membutuhkan waktu sekitar 30-45 menit. Kesimpulan
hasil skrining Denver II hanya menyatakan bahwa balita tersebut: normal atau
dicurigai ada gangguan tumbuh kembang pada aspek tertentu. Normal, jika ia
dapat melakukan semua kemampuan (atau berdasarkan laporan orangtuanya)
pada semua persentil yang masuk dalam garis umurnya. Walaupun ada 1 keti-
dakmampuan atau menolak melakukan pada persentil 75-90 masih dianggap
normal. Dicurigai ada gangguan tumbuh kembang jika ada 1 atau lebih ketidak-
mampuan pada persentil > 90, atau 2 (atau lebih) ketidakmampuan/menolak
pada persentil 75-90 yang masuk garis umurnya. Selain itu di dalam Denver II
ada bagian terpisah untuk menilai perilaku anak secara sekilas. Tetapi Denver II
tidak mampu mendeteksi gangguan emosional atau gangguan-gangguan ringan
(Soedjatmiko, 2001).
Faktor yang mempengaruhi perkembangan berbicara dan berbahasa di
antaranya adalah perkembangan fisik dan mental anak, dan juga pengaruh dari
lingkungan serta bagaimana respon anak terhadap sekelilingnya. Keterlambatan
bicara dapat merupakan gejala dari berbagai penyakit seperti retardasi mental,
kelainan pada pendengaran, gangguan dalam berbahasa, autis, afasia, dan
keterlambatan dalam perkembangan. Dalam pemeriksaan anak dengan keluhan
gangguan bicara diharapkan dokter juga memeriksa perkembangan kognitif, neu-
rologis, fisik serta perkembangan anak lainnya. Hal tersebut sangat penting
karena gangguan bicara dapat bersifat sekunder dari kelainan perkembangan
lainnya atau bersamaan dengan kelainan lain. Perhatian awal orang tua mungkin
adalah pada keterlambatan bicara, namun evaluasi perkembangan menunjukkan
terdapat keterlambatan dalam reseptif, memecahkan masalah serta keterlambat-
an dalam motorik (Tjandrajani et al, 2012).
Pada Pasien dari pemeriksaan KPSP usia 9 bulan, didapatkan dengan 1
jawaban Ya dan 9 jawaban Tidak artinya anak dicurigai adanya gangguan
perklembangan dan perlu dirujuk atau dilakukan skrining dengan Denver II.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan Denver II, pada usia 3 bulan menurut
anmanesis dari orang tua dari personal sosial Anak dapat tersenyum spontan,
dari Bahasa dapat tertawa, dan dari motorik kasar pasien dapat mengangkat

!52
kepala. Perkembangan pasien saat usia 3 bulan menunjukkan perkembangan
normal.
Pemantauan perkembangan saat usia 8 bulan, dari personal sosial anak
dapat tersenyum sendiri, dari motorik halus anak dapat memegang icik-icik, dari
bahasa anak dapat mengeluarkan suara, dan dari motorik kasar anak dapat
mengangkat kepala. Berdasarkan pemeriksaan pasien menggunakan Denver II
dapat disimpulkan anak mengalami keterlambatan pada 4 aspek perkembangan
dan anak mengalami regresi setelah sakit.
Pemantauan perkembangan saat usia 14 bulan, dari personal sosial anak
dapat tersenyum spontan, dari motorik halus anak dapat tangan bersentuhan,
dari bahasa anak dapat berteriak, dan dari motorik kasar anak dapat duduk den-
gan kepala tegak. Berdasarkan pemeriksaan pasien menggunakan Denver II da-
pat disimpulkan anak mengalami keterlambatan pada 4 aspek perkembangan,
namun ada peningkatan perkembangan pada anak dibanding pemeriksaan 6 bu-
lan sebelumnya.
Pemantauan perkembangan saat usia 20 bulan, dari personal sosial anak
dapat berusaha mencapai mainan, dari motorik halus anak dapat meraih, dari
bahasa anak dapat menoleh kearah suara, dan dari motorik kasar anak dapat
duduk tanpa berpegangan. Berdasarkan pemeriksaan pasien menggunakan
Denver II dapat disimpulkan anak mengalami keterlambatan pada 4 aspek
perkembangan, namun ada peningkatan perkembangan pada anak dibanding
pemeriksaan 6 bulan sebelumnya.
Maka dapat disimpulkan pada pengamatan selama 12 bulan dan dievaluasi
tiap 6 bulan anak mengalami peningkatan perkembangan namun sangat lambat.
Dari pemeriksaan Denver II pasien mengalami keterlambatan pada 4 aspek yaitu
personal sosial, adaptif-motorik halus, bahasa, dan motorik kasar sehingga dapat
disimpulkan pasien dengan global developmental delay.
Pasien telah dilakukan intervensi dan rutin dilakukan Rehabilitasi medik
yang dilakukan setiap hari Selasa, Rabu dan Sabtu, masing-masing dilakukan
terapis selama 1-2 jam. Tarapi yang diperoleh adalah memulai dari motorik kasar
bagian ekstremitas dan kepala. Setelah dilakukan terapi, terapis dan kedua
orang tua berdiskusi dan disampaikan kendala dan perkembangan serta dia-
jarkan kepada orang tua untuk melnajutkan terapi dirumah. Dari fisioterapi yang
telah dilakukan terdapat perkembangan pada pasien yang dapat terlihat dalam
evaluasi tiap 6 bulan. Saat ini pasien dari aspek personal sosial anak dapat
berusaha mencapai mainan, dari motorik halus anak dapat meraih, dari bahasa
anak dapat menoleh kearah suara, dan dari motorik kasar anak dapat duduk
tanpa berpegangan.

!53
3.5 Definisi Low Vision

Low vision didefinisikan sebagai suatu gangguan/ hambatan/ keter-


batasan pada indera penglihatan, yang meskipun telah dibantu dengan alat ter-
tentu (dikoreksi) (IDEA, dalam Heward 2017). Low vision didefinisikan sebagai
individu yang mengalami gangguan fungsi penglihatan dengan tingkat visus
sentralis antara 20/70 sampai dengan 20/200 atau mereka yang memiliki keta-
jaman penglihatan normal tapi medan pandangan kurang dari 20 derajat. Den-
gan demikian pembelajarannya dapat semaksimal mungking menggunakan sisa
penglihatan (Heward, 2017).

3.5.1 Karakteristik Low Vision

a. Kemampuan Kognitif dan Bahasa

Anak dengan low vision kurang mampu melakukan tugas kognitif yang
membutuhkan pemahaman atau menghubungkan berbagai item informasi dari-
pada anak dengan penglihatan normal. Penglihatan yang terganggu membuat-
nya sulit untuk melihat (secara harfiah maupun secara kognitif) hubungan antar
pengalaman (Kingsley, dalam Heward, 2017). Anak dengan penglihatan normal
terus belajar dari pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya. Ketika
bergerak, indera penglihatan memberikan aliran informasi rinci tentang lingkun-
gan dan hubungan di antara hal-hal di lingkungan sehingga memperoleh penge-
tahuan dari pengalaman sehari-hari. Sedangkan anak dengan low vision seba-
gian besar terhambat untuk melakukan pembelajaran tersebut. Selain itu, kon-
sep abstrak, analogi, dan ekspresi idiomatis bisa sangat sulit untuk anak-anak
yang tidak bisa melihat (Heward, 2017).
b. Perkembangan Motorik dan Mobilitas

Gangguan penglihatan yang parah sering menyebabkan keterlambatan


atau defisit dalam perkembangan motorik. Penglihatan memainkan empat
fungsi penting dalam perolehan keterampilan motorik: (a) motivasi, (b) ke-
sadaran spasial, (c) perlindungan, dan (d) umpan balik (Houwen, dalam Heward
2017). Anak dengan penglihatan normal terdorong untuk meraih apa yang dili-
hat agar memahami objek terkait. Hal ini dapat memperkuat otot dan
meningkatkan koordinasi sehingga gerakannya lebih efektif. Namun, tidak
adanya penglihatan pada anak dengan low vision dapat mengurangi motivasi
mereka untuk bergerak. Kesadaran spasial (kesadaran ruang dan tempat) dan
fungsi umpan balik penglihatan secara bersama-sama memungkinkan seorang
anak normal untuk mengamati, meniru gerakan orang lain dan memperbaiki
ketepatan gerakannya. Sedangkan anak tanpa penglihatan yang jelas, bergerak

!54
lebih jarang karena gerakan di masa lalu telah mengakibatkan kontak yang ku-
rang menyenangkan dengan lingkungan (Brambring, dalam Heward, 2017). Se-
lain itu, anak dengan low vision memliki keseimbangan yang kurang baik dari-
pada anak dengan penglihatan normal, kemampuan imitasi yang lemah dan
biasanya lebih berhati-hati terhadap ruang.
c. Interaksi dan Penyesuaian Sosial

Anak dengan low vision bermain dan berinteraksi lebih sedikit dan sering
tertunda dalam pengembangan keterampilan sosial dibandingkan anak dengan
penglihatan normal (Celeste & Heward 2017). Menurut Campbell (Heward,
2017) faktor yang berkontribusi terhadap kesulitan sosial anak dengan low vi-
sion adalah ketidakmampuannya untuk melihat dan menanggapi sinyal sosial
orang lain (misalnya kontak mata, ekspresi wajah, dan gerak tubuh yang
sesuai) sehingga mengurangi peluang untuk melakukan interaksi timbal balik
dengan orang lain (Kingsley & Heward 2017).

Rainey (2016) melakukan penelitian mengenai model konseptual


dampak low vision, yang menunjukkan bahwa low vision mempengaruhi
perkembangan sensori dan fisik, kesejahteraan psikologis dan sosial anak-anak
dan remaja. Dari penelitian ini dapat juga diketahui karakteristik khas perkem-
bangan fisik, psikologis dan sosial anak dengan low vision pada rentang usia
tertentu, berikut uraiannya:

a. Usia 0-2 tahun anak-paling dipengaruhi oleh proses pelekatan. Orang


tua dapat kekurangan keterampilan yang tepat untuk membangun ikatan
aman dengan anak karena biasanya terjadi secara alami berdasarkan
isyarat visual. Karena isyarat visual ini bisa lebih sulit (atau tidak
mungkin) bagi anak untuk diproses, orangtua harus mengkompen-
sasikan kebutuhan anak yang mengalami low vision dengan menggu-
nakan proses sensorik lainnya.

b. Usia 3-6 tahun, mobilitas dan kebebasan bergerak menjadi tema utama.
Di satu sisi, orang tua ingin mendorong anak mereka menjadi mandiri,
tetapi di sisi lain ingin melindungi anak dengan mencegahnya berpartisi-
pasi dalam permaianan karena takut cedera. Namun, para profesional
menekankan pentingnya menstimulasi anak agar menjadi terbiasa den-
gan objek dan situasi yang dapat menimbulkan kecemasan.

c. Usia 7–12 tahun, komunikasi, interaksi sosial dan kesejahteraan sosial-


emosional menjadi lebih penting. Kehidupan anak-anak ditandai dengan
meningkatnya kesadaran akan gangguan penglihatan, pentingnya teknik

!55
coping yang tepat dan mulainya perkembangan seksual. Anak dengan
low vision merasa khawatir mengenai kecenderungannya bergantung
pada orang lain serta isolasi sosial yang dihadapi. Kekhawatiran ini
menguasai pikiran mereka dan mempengaruhi kesejahteraan psikologis,
emosi dan sosialnya.

d. Masa remaja (usia 13–17 tahun) ditandai dengan keinginan untuk


bertindak mandiri serta peningkatan ketidakamanan yang tinggi, teruta-
ma terhadap perubahan kehidupannya di masa depan. Di satu sisi, anak
mendambakan otonomi untuk melepaskan diri dari lingkungan aman
yang membuatnya tidak mandiri, namun di sisi lain anak enggan
melakukannya. Selain itu, anak merasa khawatir mengenai kehidupan
masa depannya yang meliputi penguasaan ketrampilan, pekerjaan, dan
tanggung jawab akan rumah tangganya mendatang.

3.5.2 Penyebab Low Vision

Kerusakan atau gangguan pada bagian optik mata, otot, atau sistem
saraf dapat menyebabkan gangguan penglihatan. Penyebab gangguan pengli-
hatan dikelompokkan ke dalam tiga kategori besar: (a) kesalahan pembiasan,
yakni kesalahan dalam membiaskan cahaya sehingga gambar tidak jatuh tepat
pada retina, diantaranya miopia, atau rabun jauh dan hyperopia atau rabun
dekat; (b) gangguan struktural, yaitu gangguan penglihatan disebabkan oleh
buruknya perkembangan atau kerusakan fungsi satu atau lebih bagian dari sis-
tem optik atau otot mata, misalnya glaukoma, katarak, nistagmus dan strabis-
mus; dan (c) cortical visual impairment, mengacu pada penurunan fungsi visual
karena kerusakan bagian-bagian otak yang menginterpretasikan informasi vis-
ual. Penyebab gangguan ini diantaranya karena kekurangan oksigen saat lahir
(anoxia), cedera kepala, perkembangan otak yang buruk seperti hidrosefalus,
dan infeksi sistem saraf pusat (Heward, 2017).

3.5.3 Pendekatan untuk visual impairment

Anak dengan low vision dalam proses pembelajarannya tidak perlu di-
batasi pada indra nonvisual dan mereka umumnya dapat belajar membaca
cetak. Beberapa pendekatan pembelajaran untuk low vision diantaranya: (1)
efisiensi visual, yang meliputi keterampilan menyadari secara visual keberadaan
objek atau gerakan, membedakan dan mengurutkan, memperbaiki atau mene-
mukan, mengalihkan pandangan dan melacak obyek; (2) penggunaan alat optik
yang sesuai berdasarkan pemeriksaan profesional; (3) penggunaan tiga pen-
dekatan dasar untuk membaca cetak : (a) pendekatan (mengurangi jarak antara

!56
mata dan halaman hasil cetak, (b) perangkat optik, dan (c) memperbesar uku-
ran huruf yang dicetak; dan (4) adaptasi kelas, misalnya dengan pencahayaan
ruangan yang tepat, meja yang dapat disesuaikan posisi anak sehingga dapat
membaca dengan jarak dekat tanpa harus membungkuk (Heward, 2017).
Selain keterampilan komunikasi dan sensorik, keterampilan penglihatan
fungsional, dan teknologi bantu, kurikulum inti perlu diperluas untuk siswa den-
gan gangguan penglihatan termasuk orientasi dan mobilitas, keterampilan
mendengarkan, keterampilan interaksi sosial, keterampilan hidup mandiri, dan
pendidikan karir (Allman & Heward 2017). Selain itu, keterampilan menden-
garkan merupakan komponen penting dari program pendidikan setiap anak
dengan gangguan penglihatan. Ketrampilan ini meliputi kemampuan menyadari
suara, membedakan suara, mengidentifikasi sumber suara, dan memberikan
makna pada suara. Penggunaan kemampuan mendengar dan indra peraba se-
cara bersama-sama dapat membantu anak dengan low vision untuk terhubung
dan memahami lingkungan mereka (Ferrel & Heward 2017).
Pada pasien didapatkan dengan gangguan penglihatan, hal tersebut
disadari oleh orang tua dari anak tidak fokus pada benda yg ada didepannya.
Setelah dikonsulkan kepada TS Mata, untuk pemerisaan visus dan lapang pan-
dang memeng sulit dilakukan oleh karena usia, namun dari pemeriksaan optal-
mologi didapatkan kerusakan pada nervus optikus sehingga pasien akan
dievaluasi kembali untuk lapang pandang 3 bulan lagi. Saat ini dari klinis dan
pemeriksaan optalmologi didiagnosis sebagai low vision dan direncanakan
menggunakan alat bantu penglihatan dan fisioterapi untuk mata.

!57
BAB 4

RINGKASAN

Seorang anak lelaki berusia 20 bulan yang sebelumnya dirawat di Rumah


Sakit Saiful Anwar yang awalnya menderita memar di tangan dan kaki setelah
beberapa hari kemudian robekan lecet dan mengeluarkan cairan. Jari tangan
kanan mereka menghitam sejak tampak memar di kulit. Ada juga demam dan
penurunan kesadaran. Dari kultur darah dengan hasil Elizabethkingia, pasien
mendapatkan terapi antibiotik sesuai dengan sensitifitas dan biakan tersebut.
Pasien diduga menderita penyakit meningokokus yang kemudian didiagnosis
dengan infeksi meningoseptica elizabeth. Kasus kami berhasil merespons terapi
kombinasi cefepime dan trygecyclin sesuai dengan kultur darah. Keterlibatan
otak memiliki prognosis yang buruk.
Pada kasus ini, pasien kami dapatkan dengan global developmental delay,
dimana dari pemeriksaan denver didapatkan keterlambatan pada aspek personal
sosial, bahasa, motorik halus dan motorik kasar. Pasien telah dilakukan fisioter-
api di bagian rehabilitasi medis.

!58
Daftar Pustaka

Alpsoy E. Behcet’s disease : a comphrehensive review with a focus on epidemi-


ology, etiology and clinical features, and management of mucocutaneous
lesions. Journal of Dermatology. 2016; 43: 620-632
Amerr et al. 2011 Elizabethkingia meningoseptica in Saudi Arabia. J Infect Dev C
tries 2011; 5(10):745-747. 747
BellJM,ShieldsMD,AgusA,DunlopK, BourkeT,KeeF,etal. 2015. Clinicaland Cost
Effectiveness of Procalcitonin Test for Prodromal Meningococcal Disease–
A Meta-Analysis. PLoS ONE 10(6): 1271–1278
Chang et al, 2012. Meningococcal disease: changes in epidemiology and preven-
tion Clinical Epidemiology 2012:4 237–245
Charmandari E, Kino T, Chrousos GP. Glucocorticoids. Neonatal and Pediatric
Pharmacology;760-72
De Kegel A., Maes L., Dhooge I., van Hoecke H., De Leenheer E., Van
Waelvelde H. 2015. Early motor development of children with a congenital
cytomegalovirus infection. Research in Developmental Disabilities; 48:
253–61.
Evangelia C, Nicholas C. Nicolaides, and George P Chrousos. 2014. Adrenal In-
sufficiency. Lancet 2014(383);2152-67
Gordijn MS, Gemke RJ, van Dalen EC. 2012. Hypotalamic-pitiutary-adrenal
(HPA) axis suppression after treatment with glucocorticoid therapy for
childhood. Cochrane Databes Syst Rev(5):CD008727
Hallahan, D.P., Kauffman, J. & Pullen, P.C. (2006). Exceptional learners: An
introduction to special education. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Heward, W.L.(2017). Exceptional Children: An Introduction to Special Educa-
tion 8th Edition. New Jersey: Merrill Prentice Hall - Pearson Education,
Inc
Helmuth G. Dorr, Birgit Odenwald, and Uta Nennstiel Ratzel. 2015. Eraly diagno-
sis og Children with Classic Congenital Adrenal Hyperplasia. Int. J. Neona-
tal Screen.1(1):36-44
Hsu, et al. 2011. Clinical features, antimicrobial susceptibilities, and outcomes of
Elizabethkingia meningoseptica (Chryseobacterium meningosepticum) bac-
teremia at a medical center in Taiwan, 1999–2006.(10):1271–1278
Jane et al, 2013. Meningococcemia: the Pediatric Orthopedic Sequale. AORN
Journal 97(5):560-575

!59
Jean et al, 2014, Elizabethkingia meningoseptica an important emerging
pathogen causinghealthcare associationinfection. Journal of Hospital Infec-
tion 86(14):244-249
John W. Ely, and Mary Seabury Stone, 2010. The Generalized Rash: Part I. Dif-
ferential Diagnosis, American Family Physician. 81(6):125-32
Kristen Tee, Jerry Dang. 2017. The SIADH. The Royal Australian College of
General Practitioners. 46(9):125-36
Mathieau, et al., 2013. Pathogenesis of Meningococcemia. Cold Spring Harb
Perspect Med 2013(3):12393
Mehmet Ceyhan and Melda Celik, 2011. Elizabethkingia meningosepticu (Chry-
seobacterium meningosepticum) Infections in Children Hindawi Publishing
Corporation International Journal of Pediatrics 2011(7):1155-37
MP Simon Diaz, A Tirado Sancez and RM Ponce Olivera, 2015., Dermatologic
emergencies, Rev Med Hosp Gen Mex, 2016 ;79 (1) 33-39
Neary N, Nieman L. 2010. Adrenal Insufficiency:etiology, diagnosis and treat-
ment. Curr Opin Endocrinol Diabetes Obes.17(0):217-23
Per Olcén, Orvar Eeg-Olofsson, Aril Frydén, Anna Kernell & Steffan Ånséhn,
2016. Benign Meningococcemia in Childhood: A Report of Five Cases with
Clinical and Diagnostic Remarks, Scandinavian Journal of Infectious Dis-
eases. 2016(10):107-111
Perry R, Kecha O, Paqquette J, Hout C, Van Vilet G, Deal C. 20015. Primary
adrenal insufficiency in children: twenty years experience at the sainte-jus-
tine Hospital, Montreal. J Chin Endocrinol Metab. 90:3243-50
Rainey, L., Elsman, E. B. M., van Nispen, R. M. A., van Leeuwen, L. M., & van
Rens, G. H. M. B. (2016). Comprehending The Impact Of Low Vision On

The Lives Of Children And Adolescents: A Qualitative Approach. Quality of


Life Research, 25(10), 2633-2643.
Raff H. 2009. Utility of salivary cortisol measurements in chushing’s syndrome
and andrenal insufficiency. J Clin Endocrinol Metab.(94):3647-55
Sabra A, Benger J. Meningococcal disease in children: a clinical review. Turk J
Pediatr 2011(53): 477-488
Salim et al, 2013., Rare Elizabethkingia meningosepticum meningitis case in an
immunocompetent adult., Emerging Microbes and Infections. 2013(2):1038/
emi.2013.16;1017-27
Sarma S, Kumar N, Jha A, Baveja U, Sharma S. 2011. Elizabethkingia
meningosepticum  : An Emerging Cause of Septicemia in Critically III Pa-
tients. Journal of Laboratory Physician. 3(1):62-63

!60
Shah Z, Soodhana D, Kalathia M, Parikh Y. 2017. Elizabethkingia meningosepti-
ca: an emerging threat. Int J Contemp Pediatr 2017(4):190910
Silverman MN, Sternberg EM. 2012. Glucocorticoid regulation of inflammation
and its functional correlates: from HPA axis to glucocorticoid receptor dys-
function. Ann N Y Acad Sci 2012; 1261: 55–63.
Soedjatmiko. 2001. Deteksi Dini Gangguan Tumbuh Kembang Balita. Sari Pedi-
atri; 3 (3): 175-88.
Speiser PW. Adrenal Krisis in : Pediatric Endocrinology.; Schhiner Children`s
Hospital ; New York School of Medicie ; New York City, 2003; avilable at:
http://www.caresfoundation.org/news-letter/sping 03
Tjandrajani A., Dewanti A., Burhany AA., Widjaja JA. 2012. Keluhan Utama pada
Keterlambatan Perkembangan Umum di Klinik Khusus Tumbuh Kembang
RSAB Harapan Kita. Sari Pediatri; 13 (6): 373-77.
Vittorio Panetta, et al. 2017. Elizabethkingia meningosepticum : an emerging
nosocomial pathogenin a critical patient with septicaemia. Microbiologia
Medica 42(32):5009
WillacyH, Bonsal A. Addisonian Crisis in :Patient Plus original by doctoro-
line.nhs.uk,EMIS 2006 ; available at: http://www.patient.co uk/showdoc/
40001340
Smita Sarma, Navin Kumar, Arun Jha, Usha Baveja, and Sunil Sharma. 2011.
Elizabethkingia meningosepticum : An Emerging Cause of Septicemia in
Critically III Patient. J Lab Physicians. 3(1): 62–63
Yee AH, Burns JD, Wijdicks EFM. Cerebral salt wasting: pathophysiology, diag-
nosis, and treatment. Neurosurg Clin N Am. 2010;21:339-52

!61

Anda mungkin juga menyukai