Anda di halaman 1dari 10

Reading assignment Divisi Peny. Tropis dan Infeksi Departeman Ilmu Peny.

Dalam

Acc Supervisor

Dr Yosia Ginting, SpPD, KPTI

PERANAN BIOMARKER DALAM MEMBEDAKAN DEMAM KARENA INFEKSI DAN NON-INFEKSI


Andri Iskandar Mardia

Dr Yosia Ginting, SpPD, KPTI

Pendahuluan Demam merupakan keluhan yang sering dijumpai pada pasien baik berobat jalan maupun dirawat. Demam menempati urutan ketiga sebagai keluhan utama pasien yang datang IGD di amerika serikat, dan sekitar 10% pasien-pasien yang datang ke IGD mendapat antibiotik. Demam adalah peningkatan suhu tubuh (suhu oral > 37,8 oc atau suhu rectal >38,2oc) atau adanya peningkatan diatas nilai normal harian. Banyak pasien menggunakan kata demam dengan salah, mereka mengatakan demam untuk kondisi seperti telalu hangat, terlalu dingin, atau berkerringat banyak tanpa melakukan pengukuran suhu tubuh yang sebenarnya. Selain infeksi bakteri, virus atau parasit, demam dapat juga disebabkan kondisi noninfeksi seperti sistemik lupus eritematosus, rheumatoid arthritis, inflammatory bowel disease, sindroma auto-inflamatory, paraneoplastik sindroma pada keganasan atau febril neutropenia atau setelah kemoterapi, kerusakan jaringan seperti iskemik atau proses tromboemboli, kelainan endokrin ataupun akibat obat-obatan. 1 Dekade terakhir banyak diteliti biomarker yang dapat membedakan antara demam akibat infeksi atau non-infeksi. Hal ini akan sangat berperan dalam pemilihan terapi terhadap pasien dengan demam. Pada tulisan ini akan dibahas biomarker-biomarker yang dapat membedakan demam akibat infeksi atau non-infeksi. Biomarker tersebut berupa biomarker yang nilainya meningkat pada kondisi inflamasi dan/atau infeksi. 1
1

Patofisiologi Demam Selama 24 jam suhu tubuh bervariasi dari yang paling rendah pada pagi hari dan paling tinggi pada sore hari. Variasi maksimum suhu tubuh adalah 0,6oc. Suhu tubuh merupakan keseimbangan dari produksi panas oleh jaringan (terutama hati dan otot) dan pengeluaran panas dari perifer. Dalam keadaan normal, thermoregulator di hipothalamus mempunyai peranan utama menjaga suhu tubuh antara 37-38oc. Demam terjadi akibat adanya vasokonstriksi yang mengakibatkan aliran darah keperifer berkurang dengan tujuan mengurangi kehilangan panas, kadang sampai menggigil, proses ini akan berlangsung sampai suhu tubuh sama dengan set point yang baru. Pengaturan kembali set point kearah normal (misalnya dengan antipiretik) akan mengakibatkan kehilangan panas melalui keringat dan vasodilatasi. Kemampuan tubuh untuk menurunkan suhu tubuh akan menurun pada beberapa kondisi seperti peminum alcohol dan usia tua.2,3 Pirogen adalah zat yang menyebabkan demam. Pirogen yang berasal dar luar disebut pirogen eksogen. Pirogen eksogen ini umumnya mikroba dan produknya. Pirogen ini biasanya menyebabkan demam dengan menginduksi pelepasan pirogen endogen (seperti IL-1, Tumor necrosis factor (TNF), interferin- dan IL-5) yang akan meningkatkan set point di hipotalamus. Sistesis prostaglandin juga memiliki peranan utama dalam proses ini. 2,3

Gambar 1. Patofisiologi Demam2,3

Biomarker Infeksi : 1. Leukosit Leukosit merupakan salah satu sel dalam system imun yang berperan dalam melawan infeksi dan material asing lainnya. Nilai normalnya 4000-11.000 sel/L. Leukositosis adala peningkatan jumlah leukosit diatas normal. Leukositosis (dengan sebagian besar neutropil) dapat dijumpai pada keadaan inflamasi non-spesific seperti pada infeksi, trauma, neoplasma, myocard infaction, obat-obatan dan lainnya. Leukositosis yang disertai bacterimia hanya dijumpai pada 60% kasus. Lawrence et al, adanya leukositosis >25.000 sel/L umumnya berhubungan dengan infeksi bacteria dan 31% case fatality rate dibandingkan dengan leukositosis 10.000-25.000 sel/L. 13 2. CRP C-Reactive Protein (CRP) merupakan protein fase akut. CRP pertama kali ditemukan oleh Tillet dan Francis tahun 1930. CRP dihasilkan oleh sel hepatosit akibat rangsangan citokin anti-inflamasi ketika terjadi proses inflamasi. CRP meningkat setelah 4-6 jam, nilainya menjadi dua kali lipat setelah 8 jam dan mencapai puncaknya pada 36-50 jam dengan waktu paruh 19 jam. 5 Peningkatan CRP dapat juga dijumpai pada kondisi selain akibat infeksi seperti tertera dalam tabel :

Tabel 1. Kondisi yang mengakibatkan peningkatan CRP6

Adapun kadar CRP dan kemungkinan kondisi yang menyertainya : Tabel 2. Kadar CRP6 CRP (mg/L) 10 40 40 100 100 200 > 200 Mild Inflammation, viral or bacterial infection Moderate Inflammation, viral or bacterial infection Marked inflammation, bacterial infection Severe bacterial infection or extensive trauma

Gibot et al, membandingkan dari 47 pasien SIRS dengan infeksi dan 29 pasien SIRS tanpa infeksi, dengan cut off kadar CRP 70 mg/L memiliki sensiyivitas 76% , spesificitas 67%.7
4

Hausfater et al, pada pasein dengan pneumonia (infeksi parenkim paru) CRP dengan cut off 100 mg/L untuk memprediksi hasil radiologi sesuai pneumonia memiliki specipiciti 91,2%. Sedangkan untuk identifikasi Comonity aquared pneumonia (CAP) memiliki sensitivitas 73% dan spesipicitas 65%. 8 3. Procalcitonin PCT dihasilakan oleh sel monosit yang berlekatan dengan jaringan dan tidak dihasilkan dari monosit yang bersirkulasi). PCT bermanfaat sebagai kemotaktik terhadap sel monosit lainnya. PCT terstimulasi terutama oleh endotoksin bacteria. Peningkatan terjadi 2-4 jam, mencapai nilai puncak 8-24 jam dan nilainya menetap selama proses inflamasi. 9 Tabel 3. Kadar PCT Normal subjects Chronic inflammatory processes < 0,5 (ng/mL) and < 0,5(ng/mL)

autoimmune diseases Viral infections Mild to moderate localized < 0,5(ng/mL) bacterial < 0,5(ng/mL)

infections SIRS, multiple trauma, burns 0,5 -2(ng/mL)

Severe bacterial infections, sepsis, multiple >2 (often 10-100) organ failure (ng/mL)

Procalcitonin > 2(ng/mL) merupakan indikasi kuat adanya sepsis. Inferksi gram negative memberikan hasil PCT yang lebih tinggi dari pada gram pasotive. PCT kadarnya rendah pada infeksi akibat virus. 9

Gibot et al, membandingkan dari 47 pasien SIRS dengan infeksi dan 29 pasien SIRS tanpa infeksi, dengan cut off kadar spesificitas 70%.7 Hausfer et al, untuk cut off kadar PCT 0,5 ng/mL memiliki sensitivitas 35% , spesificitas 99% dalam mendiagnosa adanya infeksi. 8 PCT 0,6 ng/mL memiliki sensitivitas 84% ,

4. Soluble The Triggering Receptor Expressed on Myeloid Cells-1(sTREM-1). Triggering Receptor Expressed on Myeloid Cells-1 (TREM-1) merupakan

immunoglobulin superfamily. Pertama kali ditemukan tahun 2000 oleh bouchon. Pada kondisi infeksi akan terjadi upregulasi dari TREM-1 pada permukaan monosit dan neutropil. Kemudian TREM-1 akan terlepas dari permukaan sel dan terlarut diplasma dan disebut soluble The triggering receptor expressed on myeloid cells-1(sTREM-1). Sebuah Meta-analisis tahun 2009, memperoleh hasil sensitivitas sTREM-1 untuk mendiagnosis infeksi bakteri 82% dengan spesifisitas 86% dan sTREM-1 memiliki Sensitivitas 59,5% dengan spesifisitas 93,3% untuk diagnosis sepsis berat. 10, 12 Gibot et al, membandingkan dari 47 pasien SIRS dengan infeksi dan 29 pasien SIRS tanpa infeksi, dengan cut off kadar sTREM-1 60 ng/mL memiliki sensiyivitas 96% , spesificitas 89%.7

5. Soluble Urokinase-type plasminogen activator receptor (suPAR) Urokinase-type plasminogen activator receptor dihasilkan dari beberapa sel seperti neutropil, lymposit, magrofag, endotel, dan sel malignant. Pernannya dalam infeksi bacteri belum jelas diketahui. Dan setelah bereaksi akan terlarut dalam plasma yang disebut Soluble Urokinase-type plasminogen activator receptor (suPAR).4,11 Wittenhagen et al, dari penelitian multicenter, suPAR significant lebih tinggi pada kondisi dengan bacterimia akibat pneumococus dibandiingkan control. Dan pasien dengan kadar suPAR lebih tinggi memiliki kematian akibat infeksi yang lebih tinggi. 4

Tabel 4. Perbandingan beberapa biomarker dalam mendiagnosa infeksi bacteri pada pasien dengan SIRS9

Beberapa kondisi non-infeksi yang sering mengakibatkan demam : 1 1. Keganasan Sekitar 7-20% demam yang tidak diketahui penyebabnya diakibatkan keganasan. Keganasan yang sering mengakibatkan demam seperti non-Hodgkin lymoma, leukemia, renal cell carcinoma, dan hepatoseluler carcinoma. Fatogenesis demam pada keganasan belum diketahui sepenuhnya namun diperkirakan diperantarai sitokin seperti IL-1, IL-6, TNF, dan interferon. Penelitian yang menilai perbedaan kadar CRP akibat infeksi atau non-infeksi dengan neuropenia menemukan bahwa CRP tidak dapat menentukan adanya infeksi pada kondisi non-infeksi dengan neuropenia. Dari sebuah metaanalisis, diperoleh bahwa PCT dapat menentukan demam pada keganasan akibat adanya infeksi. Penelitian lain yang membandingkan PCT, neopterin, CRP, IL-6 dan IL-8 sebagai marker diagnostic infeksi pada keganasan diperoleh bahwa PCT significant membedakan demam akibat infeksi pada keganasan dengan demam akibat keganasan dan tidak significant dengan biomarker lainnya.
7

2. Inflammatory bowel disease (IBD) Terdapat dua bentuk IBD yaitu colitis ulseratif dan crohns disease. Keduanya diterapi dengan kortikosteroid dan immune modifying agents, dengan harapan kondisi immune stabil. Biomarker berupa cytokine dan biomarker akibat rangsangan sitokin seperti CRP akan meningkat selama exacerbasi IBD, sehingga tidak dapat membedakan demam akibat infeksi atau akibat IBD. Penelitian lain yang menilai kadar PCT pada 51 pasien IBD dan 25 pasien self limited colitis diperoleh. Semua pasien IBD memiliki kadar PCT yang rendah, tidak tergantung tingkat keparahan IBD nya, sedangkan pasien dengan infectious colitis mengalami peningkatan kadar PCT (positive predictive value 96%, negative predictive value 93%). 3. Autoimmune disease Kelainan autoimun yang sering mengakibatkan demam dapat berupa rheumatoid arthritis, sistemik lupus eritematosus, ankylosing spondilitis. Pada autoimun dapat terjadi demam baik akibat kelianan itu sendiri atau akibat infeksi. Pemeriksaan CRP untuk membedakan demam akibat infeksi atau autoimun disease tidak bermanfaat karena pada autoimun dijumpai peningkatan CRP. Sedangkan peningkatan kadar PCT dapat merupakan pertanda adanya infeksi pada pasien dengan autoimun. 4. Ischemic diasease Kelianan ischemic yang sering dengan kondisi demam adalah myocaldial infarction, stroke dan pulmonary embolism. Adanya demam pada keadaan ini diakibatkan kematian sel yang mengakibatkan dilepaskannya sitokin yang akan merangsang terjadinya demam. membedakan demam akibat infeksi pada Ischemic diasease atau akibat Ischemic diasease itu dengan menggunakan biomarker belum banyak dilaporkan.

Sedangkan pada pulmonary embolism, membandingkan 30 pasien pneumonia dan 10 pasien dengan PE, dijumpai kadar CRP yang tinggi pada kedua kelompok, sedangkan pada PE kadar PCT normal.

Daftar Pustaka 1. Limper et al, The Diagnostic Role of Procalcitonin and Other Biomarkers I Discriminating Infectious from non-infectious Fever, Journal of Infection, 2010; 60: 409-1 2. Fever, Biology of Infections Disease, Merk Manual of Diagnosis, and therapy. available from: http://www.merk.com 3. Dinarello C, Cytokines as Endogenous Pyrogens, The Journal of Infectious Diseases:1999;179:294304 4. Wittenhagen et al, The plasma level of soluble urokinase receptor is elevated in patients with Streptococcus pneumoniae bacteraemia and predicts mortality, Clin Microbiol Infect. 2004; 10: 409-15. 5. Hsiao A, Baker D, Fever in The New Millennium : a Review of recent studies of Marker of Serious Bacterial Infection in Febrile Children, Current Opinion in Pediatri, 2005;17:56-61 6. Nobre V et al, Use of Procalcitonin to Shorten Antibiotic Treatment Duration in Sepsis Patient, AM J Respiir Crit Care Med, 2008;117 :498-505 7. Gibot et al, Plasma Level of a Triggering Receptor Expressed on Myeloid Cells-1: Its Diagnostic Accuracy in Patients with Suspected Sepsis, Ann Intern Med, 2004;141:9-15 8. Hausfater et al, Usefulness of Procalcitonin as a Marker of Systemic Infection in Emergency Department Patients: A Prospective Study, Clinical Infectious Diseases 2002; 34:895901 9. Kofoed K et al, Use of plasma C-Reactive Protein, Procalcitonin, Neutrophils, Macrophage Migration Inhibitory Factor, Soluble Urokinase-type Plasminogen Activator Receptor, and Soluble Triggering Receptor Expressed on Myeloid Cells-1 in Combination to Diagnose Infections: a Prospective Study, Critical Care, Vol:11, 2007 10. Zhang J, Dynamic changes of serum soluble triggering receptor expressed on myeloid cells-1 (sTREM-1) reflect sepsis severity and can predict prognosis:a prospective study, BMC Infectious Diseases 2011; 11 11. Selberg et al, Discrimination of sepsis and systemic inflammatory response syndrome by determination of circulating plasma concentrations of procalcitonin, protein complement 3a, and interleukin-6, Critical Care Medicine, 2010:2793-8 12. Gibot et al, Soluble Form of the Triggering Receptor Expressed on Myeloid Cells-1 as a Marker of Microbial Infection, Clinical Medicine & Research, 2004; 3: 181-7
10

Anda mungkin juga menyukai