Anda di halaman 1dari 8

RADIOFREQUENCY ABLATION PADA NYERI SENDI SACROILIAC

Sendi sacroiliac/sacroiliac joint (SIJ) merupakan sendi axial terbesar pada


manusia. Sendi ini merupakan sendi yang sering menyebabkan terjadinya nyeri
punggung bawah kronis. Diketahui bahwa 15-25% pasien dengan nyeri punggung
bawah disebabkan oleh nyeri pada SIJ.

Anatomi dan Inervasi dari Sacroiliac Joint


SIJ merupakan sendi axial terbesar pada manusia. Sendi ini dibentuk oleh
artikualsi dari sisi medial Ilium dan sisi lateral segmen sacrum S1, S2, dan S3
(Gambar 1). SIJ memiliki struktur yang rigid dengan ligament yang kuat yang
penting untuk transfer beban anatar tulang belakang dan ekstremitas bawah.
Inervasi dari SIJ bersifat variable, kompleks, dan kontroversial. Plexus
lumbosacral menginervasi SIJ secara sensoris. Studi terakhir menemukan bahwa
SIJ posterior diinervasi oleh cabang lateral dari ramus posterior L5-S4. Penelitian
lain mengatakan bahwa cabang medial dari L4 dan L5 mungkin juga
menginervasi SIJ posterior.
SIJ anterior diinervasi oleh ramus posterior dari L1-S2 dan juga oleh saraf
gluteal superior dan obturator. Perlu diketahui bahwa tidak ada SIJ-spesifik RFA
target untuk saraf obturator dan gluteal superior.

Gambar 1. Anatomi dari sacroiliac joint (SIJ)


Patologi, Gejala Klinis, dan Diagnosis dari Nyeri Sendi Sacroiliac
Beban berlebih secara axial ataupun rotasional secara akut dan kronis
dapat menyebabkan trauma pada SIJ. Patologi pada intraartikuler, kerusakan pada
ligament ekstraartikuler, dan inflamasi dapat menyebabkan nyeri pada SIJ.
Penyebab lain dari nyeri pada SIJ adalah osteoarthritis, stress repetitif pada sendi,
dan psoriatic arthritis. Nyeri SIj juga didapati pada pasien pre dan post partum.
Nyeri pada area gluteal dan/atau area paraspinal dibawah vertebra lumbalis kelima
merupakan keluhan yang biasa dialami pasien. Nyeri SIJ dapat menjalar ke area
paha, dan diketahui seperempat pasien mengalami penjalaran nyeri hingga ke
lutut.
Karakteristik unik, yang biasanya tidak terlihat pada sendi diarthrodial
lainnya, membuat diagnosis patologi SIJ sulit dan sulit dipahami. Kelainan
anatomis mungkin tidak ada pada pencitraan (radiologis). Penelitian sebelumnya
telah menunjukkan bahwa tidak ada tes tunggal yang dapat mengidentifikasi
patologi SIJ dengan tepat. Oleh karena itu, beberapa penelitian telah dilakukan
untuk memperbaiki akurasi diagnosis nyeri SIJ termasuk blok anestesi lokal,
kombinasi manuver fisik, dan teknik pencitraan. Klinisi biasanya mendaignosis
nyeri SIJ dengan satu atau dua blok anestesi lokal intra articular dengan hilangny
rasa nyeri hingga lebih dari 50%. Metode lain yang dapat dilakukan untuk tujuan
diagnostik adalah dengan melakukan blok selektif pada S1, S2, dan S3 cabang
lateral.

Radiofrequency Target In SI Joint Pain


Ablasi menggunakan frekuensi radio (RFA) sesuai untuk pasien dengan
diagnosis yang positif terhadap patologi SIJ sebagai etiologi ketika gejala dan
durasi hilangnya gejala yang tidak memadai setelah suntikan SIJ yang tidak
adekuat. Kontraindikasi terhadap RFA meliputi koagulopati, sepsis berkelanjutan,
dalam terapi antoagulan, atau adanya lesi invasif di area tersebut seperti tumor
atau infeksi. Kontraindikasi relatif termasuk RFA yang gagal sebelumnya pada
target area yang sama, kondisi kejiwaan yang tidak optimal, gangguan neuropatik
pada tungkai, perubahan anatomi target akibat intervensi bedah sebelumnya, dan
harapan hilangnya rasa sakit yang tidak realistis. Pasien dengan stimulator
sumsum tulang belakang dan alat pacemaker memerlukan perawatan khusus
karena perangkat RFA dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi alat-alat
tersebut. RFA terbatas pada neurotomi persarafan pada area SIJ posterior, namun
larutan anestesi lokal menyebar di dalam sendi dan berpotensi untuk menghalangi
sensasi dari permukaan intra-artikular dan permukaan yang diinervasi oleh saraf
ventral.
Elektroda dengan ukuran lebih besar (ukuran 14-16) memiliki
kemungkinan cedera mekanik, pendarahan, dan nyeri yang lebih tinggi. Namun,
target RFA SIJ tidak berdekatan dengan pembuluh darah utama atau saraf
fungsional yang penting. Oleh karena itu, elektroda dengan gauge yang lebih
besar dapat digunakan untuk SIJ RFA. Penting untuk memantau laju perubahan
suhu karena meningkatkan suhu terlalu cepat dapat berisiko terjadinya lesi dan
kavitasi yang tidak dapat diprediksi.
Beberapa penelitian melokalisir area RFA secara lateral terhadap
foramina saraf sakral dengan menggunakan stimulasi listrik provokatif.
Neurotomi dilakukan di tempat yang menghasilkan nyeri dengan stimulasi listrik
minimal. Yin et al. Melakukan Pemetaan stimulasi terpandu dari pleksus sakral
punggung dan neurotomi berikutnya. Pada tahun 2001, mereka menggunakan
stimulasi 50 Hz, stimulasi 1 ms pada 0,4-0,7 V yang disebut "tegangan
pencarian." Generator lesi RF dengan kemampuan stimulasi tingkat lanjut (model
RFG-3C +; Radionics, Burlington, MA) digunakan dengan 100- mm, 20-gauge,
ujung aktif 10 mm, elektroda RF lengket, tumpul (model RFK-100; Radionik).
Lesi RF diciptakan pada suhu 80 derajat celcius (C) selama 60 detik. Mereka
menyatakan blok yang berhasil dilakukan lebih besar dari 50% penurunan skor
nyeri integer visual secara konsisten, dan dapat bertahan setidaknya selama 6
bulan setelah prosedur. Pasien mungkin juga perlu diberikan premedikasi dengan
obat analgesik parenteral. Selanjutnya, setelah saraf sensorik ditemukan, anestesi
lokal harus diberikan agar pasien dapat mentolerir tindakan ablasi.

Radiofrekuensi Tradisional untuk Nyeri Sendi Sacroiliac


Gevargez dkk. merekrut 38 pasien dengan nyeri SIJ yang mengalami
50% peningkatan rasa sakit mereka dengan suntikan anestesi lokal. Lesi RF yang
dipandu CT monopolar dilakukan di satu lokasi ramus posterior L5 dan pada tiga
ligamen intra-artikular / sakral illiac interosseus posterior. CT digunakan untuk
memposisikan kanula dengan akses yang paling sesuai ke ligamen sacroilliac
posterior. digunakan Kanula RF 10 atau 15 cm, 23-G terisolasi dengan ujung tak
beraturan 5mm (Leibinger). Probe ditempatkan pada posisi yang tepat di
ventralportion komponen ligament SIJ, dan lokasi ini dikonfirmasi oleh CT. Tiga
lesi RFA yang tumpang tindih diproduksi dengan memberikan panas selama 90
detik dan menarik kanula 5 mm setiap kali. Mereka menggunakan suhu RFA
90°C, dan waktu koagulasi rata-rata total adalah 7,2 menit. Pada follow-up 1
bulan, sekitar 70% pasien tidak melaporkan adanya nyeri atau pengurangan rasa
sakit yang substansial. Pada follow up 3 bulan, sekitar 65% pasien tidak
melaporkan rasa sakit atau pengurangan rasa sakit yang substansial.

Mitchell dkk. melakukan penelitian observasional prospektif yang besar


terhadap 215 pasien yang menjalani radiofrekuensi konvensional. Hanya pasien
dengan respon positif terhadap blok SIJ dengan anestesi lokal yang direkrut untuk
penelitian ini. Dalam penelitian ini, cabang L5 descending dari ramus dorsal dan
cabang S1 sampai S3 menjadi target. Jarum RFA ditempatkan sejajar dengan saraf
cabang lateral S1 S3 yang ditargetkan. difasilitasi oleh C-Arm dari arah lateral.
Selanjutnya, lesi dibuat dari sudut inferolateral ke sudut superolateral foramen S1
sampai S3. Lesi RFA dibuat pada suhu 90 ° C selama 90 detik. Mereka
menunjukkan skor nyeri menurun, mengurangi penggunaan analgesik, dan
meningkatkan kapasitas kerja di sekitar 25% pasien dan kepuasan hasil pada dua
pertiga pasien.
Gambar 2. Radiofrekwensi konvensional memiliki bentuk relatif elips. Volume dari lesi
menyebar secara sirkumferensial sepanjang axis panjang di ujung dari probe. Gambar diatas
menunjukkan penyebaran dari lesi selama 90 detik.

Pulsed Radiofrequency untuk Nyeri Sendi Sacroiliac


Pulsed RFA memberikan semburan pendek arus radiofrekwensi. Hal ini
menyebabkan suhu maksimum yang jauh lebih rendah, yang memungkinkan
jaringan dalam keadaan dingin. Hal ini mengurangi risiko kerusakan jaringan
pada area sekitarnya. Hal ini juga mengurangi rasa sakit dibanding RF
konvensional karena tidak bergantung pada kerusakan jaringan. Pada RFA
‘pulsed’, jarum harus ditempatkan tegak lurus terhadap saraf karena medan listrik
terbesar dibuat di bagian depan jarum. Karena sifat anatomis SIJ, dan kesulitan
secara teknis untuk menempatkan probe sejajar dengan saraf sakral, RFA ‘pulsed’
memberikan keuntungan secara teoritis untuk menciptakan lesi yang lebih efisien
daripada RFA konvensional.
Vallejo dkk. memberikan rangkaian kasus pada pulsed RFA untuk
sindrom nyeri SIJ pada tahun 2006. Peneliti memilih melakukan RFA berdenyut
pada pasien yang mengalami penurunan rasa sakit setelah dilakunan setidaknya
satu blok anestesi lokal diagnostik. Lebih jauh lagi, hanya pasien yang gagal
dalam pengelolaan konservatif termasuk dua suntikan berturut-turut, terapi fisik,
suntikan SIJ berulang, dan / atau analgesik yang direkrut untuk RFA ‘pulsed’. 22
pasien menjalani RFA ‘pulsed’ pada cabang medial L4, rami posterior L5, dan
cabang lateral S1 dan S2. Jarum RFA 22-gauge, 10-cm-panjang, 10-mm aktif tip
(Radionics, Burlington, MA) digunakan. Parameter RFA berdenyut adalah 45 V
untuk 120 s dan suhu berkisar antara 39o sampai 42oC. Hasil primer mengunakan
skala analog visual (VAS) dan kualitas penilaian kehidupan. Dari pasien yang
diobati dengan RFA ‘pulsed’, 72,7% (16/22) pasien mengalami pengurangan 50%
pada VAS. 26,1% (6/22) pasien tidak mengalami perubag=han setelah dilakukan
RFA ‘pulsed’. Penelitian ini menetapkan bahwa RFA berdenyut aman dan
merupakan pengobatan yang efektif terhadap pasien dengan refraktori nyeri SIJ
terhadap perawatan lainnya.

Cooled Radiofrequency untuk Nyeri Sendi Sacroiliac


RF berpendingin air mencegah jaringan proksimal mencapai suhu yang
berlebihan karena cannula yang didinginkan berfungsi sebagai heat sink untuk
menyerap energi. Hal ini memungkinkan jaringan distal mencapai suhu tinggi
sekaligus mencegah kerusakan jaringan proksimal yang berlebihan akibat suhu
ekstrim. Keuntungan keseluruhan dari RF berpendingin air adalah dapat
menghasilkan lesi yang lebih besar. SIJ adalah area yang paling cocok untuk RF
berpendingin air (Gambar 3).
Steltzer dkk. secara retrospektif mengevaluasi 126 pasien yang diobati
dengan RFA berpendingin air pada tahun 2013. Pasien dipilih berdasarkan
respons positif terhadap blok SIJ intra-artikular dengan penurunan nyeri 50% serta
dengan temuan pada pemeriksaan fisik yang sesuai dengan nyeri SIJ. Neurotomi
RFA berpendingin air pada ramus dorsal L5, dan cabang lateral S1 sampai S3
dilakukan setelah infiltrasi lidokain dan bupivakain. Impedansi jaringan optimal
dioptimalkan antara 300 dan 500 ohm. Sebanyak sembilan lesi diciptakan dengan
menggunakan Pain Management SInergy System (Kimberly Clark Corporation,
Roswell, GA, USA). Energi RFA diberikan selama 2 menit dan 30 detik pada
suhu target 60 ° C. Hasil pengukuran meliputi skala analog visual (VAS), kualitas
hidup, penggunaan obat, dan kepuasan pasien. Penulis mencatat peningkatan
kualitas hidup dan penurunan VAS 50% atau lebih di 86% pasien setelah 4-6
bulan follow-up dan 48% setelah follow-up 12 bulan.

Gambar 3. Perbedaan ukuran lesi antara RFA berpendingin dengan RFA konvensional

Radiofrekwensi Bipolar untuk Nyeri Sendi Sacroiliac


RFC bipolar terdiri dari dua ujung elektroda yang ditempatkan
berdampingan satu sama lain. Hal ini memungkinkan arus untuk berpindah dari
satu elektroda ke elektroda lainnya. Kerapatan arus dan medan listrik difokuskan
di antara dua elektroda, dan bila jarak diberikan secara optimal, hasilnya adalah
lesi yang lebih besar daripada yang diciptakan oleh dua elektroda monopolar saja.
Lesi bipolar optimal pada jarak interelectrode 4-6 mm. Faktor lain yang
mempengaruhi ukuran lesi meliputi komposisi jaringan, energi yang digunakan,
dan ukuran cannulae (Gambar 4).
Gambar 4. RFA bipolar terdiri dari dua electrode yang ditempatkan saling berdekatan. Hal ini
memungkinkan perpindahan arus dari electrode pertama ke electrode berikutnya. Dengan RFA
bipoar, maka dimungkinkan untuk membuat lesi yang lebih besar dibandingkan dengan RFA
monopolar. RFA bipolar memberikan hasil yang optimal pada electrode dengan jarak 4-6mm.

Radiofrekwensi Probe Multilesi untuk Nyeri Sendi Sacroiliac


Schmidt dkk. melakukan penelitian RFA SIJ retrospektif pertama
dengan probe multilesion pada tahun 2014. ‘Simplicity III’ (Neurotherm,
Middleton, MA) adalah probe melengkung dengan tiga elektroda. Probe memiliki
kemampuan untuk menghasilkan tiga lesi monopolar dan dua bipolar, yang
menciptakan lesi keseluruhan 9 × 52,5 mm. Keuntungan yang jelas dari
penggunaan multilesi (Simplisitas III) adalah memiliki satu lokasi penusukan
jarum suntik, yang dapat mengurangi ketidaknyamanan pasien dan meniadakan
kebutuhan akan cannula dan introduser (Gambar 5). Gilligan et al, menjelaskan
teknik seldinger untuk radiofrekwensi probe multilesi yang memungkinkan probe
untuk diletakkan secara presisi sepanjang traktus yang teranastesi dengan
penusukan tunggal secara perkutan. Teknik ini memiliki beberapa keterbatasan.
Mengarahkan probe multilesi pada sacral plate mungkin secara teknis cukup sulit
untuk dilakukan pada pasien dengan berat badan yang besar.

Anda mungkin juga menyukai