Anda di halaman 1dari 4

Drug-induced Liver Injury (DILI) pada infeksi Tuberkulosis

DILI adalah suatu kondisi kerusakan hepar akibat paparan terhadap obat-obatan yang bersifat hepatotoksik.
DILI didiagnosis melalui diagnosis eksklusi, dengan mempertimbangkan penyebab-penyebab lain seperti
hepatitis viral.1,2

Pada umumnya hepar bersifat sebagai pusat metabolisme obat-obatan melalui beberapa mekanisme. Setelah
diabsorbsi di usus halus, obat-obatan akan melalui sirkulasi splanknik menuju ke hepar yang umumnya
mengakibatkan metabolisme obat-obatan yang dikenal sebagai “first pass metabolism” dimana terjadi
oksidasi, reduksi, atau hidrolisis yang umumnya dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (CYP450). Pada fase
2, obat-obatan juga dapat membentuk senyawa glukoronat, sulfat, asetil, ataupun glutathione untuk
membantu ekskresi dari tubuh. Pada fase 3, terdapat senyawa transporter yang membawa zat-zat metabolit
keluar dari tubuh. Mekanisme ekskresi hepar umumnya melalui cairan empedu.1,2

Saat terpapar dengan zat-zat hepatotoksik, pada hepar akan terjadi proses adaptasi. Proses ini umumnya
bersifat asimptomatik dan dapat disertai dengan peningkatan enzim transaminase yang bersifat sementara
dan rendah. Pada kondisi gagal adaptasi, akan terjadi gejala-gejala dari DILI seperti mual-muntah dan kulit
tampak kuning (jaundice). DILI pada umumnya dibagi menjadi dua pola, yaitu hepatoselular, kolestatik,
atau campuran. Untuk menilai pola DILI, umumnya digunakan rumus sebagai berikut:2

𝑆𝐺𝑃𝑇
𝑹𝒂𝒔𝒊𝒐 = 𝑈𝐿𝑁
𝐴𝑃𝐻
𝑈𝐿𝑁

Dimana,
SGPT = serum glutamic pyruvic transaminase,
dikenal juga sebagai alanine transaminase (ALT)
APH = alkaline phosphatase
ULN = upper limit of normal (batas normal atas)

Pada kondisi DILI hepatoselular, ditemukan peningkatan ALT yang tidak seimbang dengan peningkatan
APH, dengan umumnya ditemukan peningkatan ALT hingga 3 kali ULN dan peningkatan rasio SGPT/APH
hingga di atas 5. Gejala yang umum ditimbulkan pada DILI hepatoselular adalah fatigue, anoreksia, mual-
muntah, dan nyeri pada kuadran kiri atas. Obat-obatan yang dapat menimbulkan DILI hepatoselular pada
pengobatan tuberkulosis antara lain isoniazid dan pyrazinamide. Obat-obatan lain yang dapat berhubungan
dengan DILI hepatoselular adalah penggunaan nevirapine, efavirenz, dan penggunaan asetaminofen kronik
atau berlebih. Diagnosis banding dari DILI hepatoselular adalah hepatitis viral dan IRIS. Pada penghentian
obat-obatan yang menyebabkan DILI, fungsi hepar akan kembali ke batas normal dalam waktu 2-4
minggu.1,2
Pada DILI kolestatik, peningkatan lebih tinggi terjadi pada ALP dibandingkan ALT, sehingga ditemukan
peningkatan ALP lebih dari 2 kali ULN dan rasio ALT/ALP di bawah 2. DILI dengan pola kolestatik dapat
menyebabkan adanya hiperbilirubinemia terkonjugasi. DILI dengan pola kolestatik umumnya menunjukan
manifestasi berupa lesu, mual-muntah, urine bewarna teh, dan jaundice. Obat-obatan yang dapat
menyebabkan DILI kolestatik antara lain rifampicin, ko-amoksiklav, sefalosporin, dan obat-obatan
golongan sulfonilurea. DILI kolestatik memiliki periode penyembuhan yang lebih lama dibandingkan DILI
hepatoselular, yaitu sekitar 4-12 minggu.1,2

Pada DILI tipe campuran, terdapat peningkatan dari ALT dan ALP dengan nilai ALT di atas 3 kali ULN,
nilai ALP di atas 2 kali ULN, dan rasio ALT/ALP antara 2 hingga 5. Pada DILI pola campuran terdapat
manifestasi dari DILI pola kolestatik dan DILI pola hepatoselular.1,2

Alur Diagnosis dan Desensitasi DILI pada Tuberkulosis

Gambar 1 Alur diagnosis DILI pada pengobatan tuberkulosis2

Pada gambar 1 di atas dijelaskan bahwa bila terdapat gejala-gejala hepatitis pada pasien dalam pengobatan
tuberkulosis, perlu dilakukan pemeriksaan ALT dan bilirubin total. Bila terdapat peningkatan ALT hingga
di atas 100 IU/L atau bilirubin total di atas 34 umol/L, semua obat-obatan tuberkulosis perlu dihentikan
segera dan perlu ditentukan pola DILI pada pasien. Setelah semua obat-obatan tuberkulosis dihentikan,
dapat diberikan pemberian terapi lini dua tuberkulosis berupa ethambutol 800-1200 mg per hari,
moxiflocacin 400 mg per hari, dan amikacin atau kanamycin dengan dosis 15 mg per kgBB per hari. Perlu
juga dilakukan diagnosis eksklusi dari penyebab-penyebab lain gangguan fungsi hepar. Pemeriksaan ALT
dan bilirubin diulang setiap 2-3 hari, dipantau perkembangan terhadap obat-obatan.1,2

Gambar 2 Alur rechallenge regimen tuberkulosis2

Setelah obat-obatan dihentikan, penting diperhatikan bahwa pasien betul-betul mengalami kasus
tuberkulosis. Konfirmasi tuberkulosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan sputum BTA, TCM, dan kultur
resistensi. Bila pasien terkonfirmasi tuberkulosis dan terbukti sensitif terhadap terapi lini pertama
tuberkulosis (rifampisin dan isoniazid), dapat dilakukan rechallenge regimen tuberkulosis. Sebelumnya,
pasien telah diberikan regimen ethambutol, moxiflocacin, dan kanamycin atau amikacin. Regimen tersebut
dilanjutkan dengan penambahan rifampicin 10 mg per kgBB per hari apabila telah terjadi penurunan ALT
hingga di bawah 100 IU/L. Setelah penambahan rifampicin, apabila ALT di bawah 100 IU/L, dapat
ditambahkan isoniazid 5 mg per kgBB per hari, dan diperiksa ALT kembali 2-3 hari kemudian.
Pyrazinamide dapat dipertimbangkan untuk dilakukan rechallenge apabila terdapat kondisi infeksi berat.
Apabila tidak dilakukan rechallenge dan ALT pasien di bawah 100 IU/L, pasien dapat melanjutkan fase
intensif dengan regimen RHE mengikuti gambar 3 di bawah.1,2

Gambar 3 Alur tata laksana lanjutan dari rechallenge regimen tuberkulosis2

Gambar 3 menjelaskan bahwa pada kondisi-kondisi intoleransi pyrazinamide, dilakukan regimen RHE
selama 9 bulan, sementara pada kondisi intoleransi isoniazid pasien diberikan regimen RZE selama 6 bulan.
Apabila pasien telah resisten terhadap rifampisin, pasien dapat dipertimbangkan untuk diberikan tata
laksana sesuai dengan TB-RO.1,2

Referensi

1. National HIV and TB HCW Hotline. Management of suspected drug-induced rash, kidney injury
and liver injury in adult patients on TB treatment and/or antiretroviral treatment [Internet]. Cape
Town: Medicines Information Centre. Published 2017 Oct [accessed 2019 Dec 11]. Available from:
http://www.mic.uct.ac.za/sites/default/files/image_tool/images/51/ADR%20Booklet_final_28Nov
2017.pdf
2. Saukkonen JJ, Cohn DL, Jasmer RM, Schenker S, Jereb JA, Nolan CM, et al. An official ATS
statement: Hepatotoxicity of antituberculosis therapy. Am J Respir Crit Care Med. 2006;174:935-
52.

Anda mungkin juga menyukai