Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Kolangitis biliar primer (primary biliary cholangitis, PBC) merupakan penyakit hati
autoimun yang bersifat kronik progresif. Pertama kali dideskripsikan pada tahun 1851 sebagai
sirosis biliar primer dikarenakan manifestasi klinis yang ditemukan pada pasien pada masa
tersebut menunjukkan sirosis hepatis, menunjukkan prognosis buruk dari penyakit ini.
Sekarang, dengan alat diagnostik dan kesadaran pasien yang baik, penyakit ini dapat dideteksi
lebih awal, sehingga gambaran klinis sirosis sudah jarang ditemukan.1-2

EPIDEMIOLOGI

Kolangitis biliar primer merupakan penyakit yang jarang terjadi. Laju insidensi
tahunannya berkisar dari 0,7 – 49 : 1.000.000, sedangkan prevalensi berkisar dari 6,7 sampai
402 kasus per juta penduduk. Prevalensi tertinggi terdapat di negara Eropa utara dan Amerika.1

Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, dengan perbandingan wanita : pria sekitar
10:1 dan umur rerata saat terdiagnosis 52 tahun. Ras Kaukasia memiliki prevalensi tertinggi
terkena penyakit tersebut, diikuti oleh ras Hispanik dan Afrika-Amerika.1

Secara geografis, insidensi dan prevalensi kolangitis biliar primer bervariasi. Oleh
karena itu, beberapa penelitian melaporkan adanya daerah-daerah spesifik dengan insidensi
dan prevalensi tinggi kolangitis biliar primer seperti di Estonia, Swedia, Inggris utara, dan
Yunani, menggambarkan peran penting faktor lingkungan dalam perkembangan penyakit ini.
Faktor-faktor lingkungan juga berpotensi meningkatkan risiko terjadinya kolangitis biliar
primer.1,3

Faktor predisposisi yang cukup kuat dari penyakit ini adalah riwayat keluarga. Kerabat
tingkat-pertama dari pasien dengan kolangitis biliar primer mempunyai prevalensi tinggi untuk
menderita penyakit tersebut. Beberapa faktor risiko independen lainnya yang teridentifikasi
adalah riwayat tonsilektomi, infeksi saluran kemih, infeksi vagina, herpes zoster, atau
kolesistektomi dan riwayat merokok.1

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Penyebab pasti dari kolangitis biliar primer masih belum ditemukan, namun beberapa
bukti mendukung adanya proses autoimun. Kebanyakan pasien dengan kolangitis biliar primer

14
mempunyai AMA (anti-mitochondrial antibody) yang menyerang kompleks multienzim 2-oxo
acid dehydrogenase (2-OADC).1,3

PDC-E2 secara patologis terekspresikan pada permukaan sel, terutama pada kolangiosit
saluran empedu kecil. Akibatnya terjadi apotosis sel epitel biliar sebagai mekanisme reaktivitas
autoimun spesifik-jaringan yang khas pada PBC.1,3

Ketika terjadi ketidakseimbagan antara apoptosis kolangiosit dan kemampuan


kolangiosit untuk berproliferasi, terjadilah duktopenia. Fagositosis sel apoptotik oleh
kolangiosit lain dapat menimbulkan ekspresi autoantigen endogen, dimana dapat mencetus
autoreaktivitas, penghancuran kolangiosit progresif, dan duktopenia.1,3

Akumulasi asam empedu terjadi setelah terjadi kerusakan kolangiosit progresif, dan
duktopenia, bersifat toksik. Pada PBC, kolestasis juga terjadi akibat defek regulasi dari
cholangiocyte anion exchanger (AE2), menyebabkan hilangnya perlindungan sel terhadap
bikarbonat (bicarbonate umbrella). Asam empedu menjadi molekul sinyal yang memodulasi
respons imun.1,3

Beberapa penelitian juga mengajukan hipotesis bahwa terjadi reaksi silang (cross-
reactivity) dari bakteri-bakteri seperti Escherichia coli, Chlamydia pneumoniae, Lactobacillus
delbrueckii, Helicobacter pylori, Novosphingobium aromaticivorans melalui mimikri
molekuler. Selain bakteri, beta-retrovirus juga teridentifikasi pada hepar dan limfonodus pada
pasien dengan PBC. Diketahui juga bahwa asam 2-oktinoat, senyawa yang berada pada cat
kuku dapat menyebabkan peningkatan drastis titer AMA.1-3

PATOLOGI

Pada PBC, hanya saluran empedu dengan diameter kurang dari 100 µm yang terserang.
Lesi khas pada PBC berupa kerusakan asimetris saluran empedu pada trias porta. Terdapat
empat derajat kerusakan saluran empedu secara histologi. Pada derajat I, terdapat peradangan
lokal pada trias porta disertai dengan infiltrat yang berisi limfosit, sel plasma, eosinofil, dan sel
mast. Granuloma epiteloid terbentuk pada daerah dekat dengan saluran empedu yang rusak,
membentuk florid duct lesion. Pada derajat ini terjadi duktopenia. Pada derajat II, peradangan
meluas sampai pada parenkim hepar, dapat terjadi proliferasi duktal. Adanya fibrosis septum
mengindikasikan kerusakan sudah mencapai derajat III, dan sirosis dan nodul regeneratif
menunjukkan kerusakan derajat IV. Gambaran dari setiap derajat dapat tumpang-tindih.1-2

15
MANIFESTASI KLINIS

Penyakit asimtomatik

Saat ini banyak ditemukan pasien asimtomatik. Pasien PBC asimtomatik secara umum
didefinisikan sebagai pasien yang tidak mempunyai gejala spesifik terkait-hepar ataupun
komplikasinya. Namun, gejala yang paling menonjol adalah kelelahan (fatigue).1

Penyakit simtomatik

Kelelahan dan pruritus merupakan gejala paling umum yang dilaporkan oleh pasien
PBC. Ikterus ditemukan pada tahap lanjut penyakit dan menandakan prognosis buruk. Nyeri
perut kuadran kanan atas dialami sekitar 10% dari pasien.1

Fatigue

Pasien PBC yang mengalami kelelahan, dengan atau tanpa sirosis, mempunyai denyut
jantung yang rendah dan cenderung lebih hipotensi. Lebih lanjut lagi, pasien-pasien ini
mengalami percepatan reduksi fungsi otot pada aktivitas penahanan berulang (repeated
sustained activity) yang berkorelasi dengan tingkat keparahan dari kelelahan.1,3

Kelelahan melibatkan proses sentral dan perifer. Abnormalitas struktur pada daerah di
otak dihubungkan dengan regulasi otonomik terlihat pada pasien PBC dengan kelelahan, dan
terdapat korelasi antara luas lesi, derajat gangguan kognitif, dam hilangnya otoregulasi otak.
Dengan adanya disregulasi otonomik terdapat kecenderungan untuk jatuh dan peningkatan
risiko gangguan kognitif progresif. Disregulasi otonomik juga mempengaruhi peredaran darah
ke otot-otot perifer dan fungsi dari transporter proton dan/atau laktat terlibat dalam adaptasi
terhadap metabolisme anerobik, sehingga menyebabkan kelelahan. Beberapa faktor yang juga
berperan dalam menyebabkan kelelahan antara lain depresi, kekurangan tidur, efek samping
pengobatan, anemia dan hipotiroidisme.1,3

Pruritus

Pruritus dilaporkan terjadi pada 70% pasien PBC. Gejala pruritus tidak selalu muncul
pada awal penyakit. Tidak ada korelasi langsung antara petanda biokimiawi kolestasis atau
derajat penyakit dengan munculnya pruritus. Pruritus dapat menghilang atau membaik setelah
gagal hati terjadi pada beberapa pasien.1,4

Substansi pruritogenik dalam kolestasis diperkirakan dibentuk dalam hepar dan


disekresikan pada empedu. Diperkirakan pula substansi tersebut terakumulasi dalam sirkulasi

16
sistemik, dan akhirnya mempengaruhi sistem opioidergik endogen. Spekulasi awal dimana
akumulasi asam empedu di dalam plasma dan jaringan pada pasien PBC menyebabkan pruritus
masih belum dapat dibuktikan. Teori bahwa asam empedu berperan sebagai substansi
pruritogenik mulai ditinggalkan karena kurangnya korelasi antara konsentrasi asam empedu
plasma dengan intensitas pruritus. Neurosteroid dapat juga menstimulasi TGR5 pada sistem
saraf pusat dan mempunyai potensi dalam menyebabkan pruritus. Terdapat beberapa jaras dan
substansi pruritogenik endogen telah diteliti, antara lain peptida opioid, serotonin, asetilkolin,
endotelin, substansi P, kalikrein, leukotrien, prostaglandin, dan asam lisofosfatidat
(lysophosphatidic acid, LPA).1,4,5

Hipertensi portal

Hanya sedikit penderita PBC mempunyai tanda-tanda dan gejala hipertensi portal pada
saat diagnosis. Pada salah satu penelitian dengan populasi besar, 3% pasien mengalami asites,
1,3% mengalami perdarahan varises esofagus, dan 1,4% mengalami ensefalopati hepatik.
Diestimasikan bahwa 10 tahun kemudian 20% pasien akan mengalami asites, 10% akan
mengalami perdarahan varises esofagus, dan 12,6% akan mengami ensefalopati hepatik. Gejala
klinis dari hipertensi porta pada PBC sama seperti pasien dengan penyakit hati kronik.1,3

Komplikasi ekstrahepatik

Kelainan tulang

Osteoporosis terjadi pada 20-40% pasien dengan PBC.1,3

Defisiensi vitamin larut lemak

Saat PBC berkembang dan kolestasis memburuk, kurangnya garam-garam empedu


yang dibutuhkan untuk absorpsi vitamin larut lemak akan menyebabkan malabsorpsi vitamin
A, D, E, dan K. Risiko defisiensi vitamin larut lemak lebih tinggi dengan menurunnya tingkat
kolesterol dan albumin.1,3

Hiperlipidemia

Sekitar 85% pasien PBC akan mengalami hiperlipidemia. Hiperkolesterolemia khas


terjadi pada stadium dini dan menengah, dengan peningkatan bermakna dari lipoprotein
densitas tinggi (HDL) dan sedikit peningkatan pada lipoprotein densites rendah dan sangat
rendah (LDL dan VLDL). Saat penyakit ini berkembang, tingkat HDL menjadi rendah dan
LDL tetap meningkat karena terjadi penurunan progresif reseptor LDL hepatosit yang rusak

17
dan diikuti oleh penurunan bersihan LDL. Konsentrasi trigliserida normal atau sedikit
meningkat pada stadium lanjut. Xanthelasma dan xanthoma sering didapati pada pasien dengan
PBC.1,3

Penyakit autoimun terkait

Beberapa penyakit autoimun dapat terjadi bersama dengan PBC, antara lain sindrom
Sjögren, tiroiditis, skleroderma/sindrom CREST, artritis rheumatoid, celiac disease, dan lupus
eritrematosus sistemik.1,3

Keganasan

Beberapa data mendukung adanya peningkatan risiko karsinoma hepatoseluler pada


pasien dengan PBC stadium sirosis. Faktor risiko yang paling konsisten untuk karsinoma
hepatoseluler adalah tingkat histologik lanjut, meskipun usia tua, jenis kelamin laki-laki,
adanya hipertensi portal dan riwayat transfusi darah juga mempunyai peranan. Kurangnya
respons kimiawi terhadap asam ursodeoksikolat merupakan faktor risiko signifikan terhadap
perkembangan karsinoma hepatoseluler.1,3

DIAGNOSIS

Diagnosis PBC ditegakkan berdasarkan kombinasi dari penemuan pemeriksaan


penunjang berupa peningkatan persisten kadar ALP serum selama sekurang-kurangnya 6 bulan
dan adanya AMA pada titer 1 : 40 atau lebih atau kadar lebih dari 0,1 unit. Adanya gambaran
khas dari biopsi hepar dapat menguatkan diagnosis. Pada pasien positif-AMA, biopsi hepar
dibutuhkan ketika kadar ALP serum kurang dari 1,5 kali batas atas normal dan/atau konsentrasi
transaminase serum meningkat lebih dari 5 kali batas normal. Sedangkan untuk pasien dengan
negatif-AMA harus dilakukan biopsi hepar.1,3

Pasien dengan AMA-negatif mempunyai gejala klinis, biokimiawi dan gambaran


histologis yang sama dengan pasien AMA positif. Pasien asimtomatik dengan titer AMA 1:40
atau lebih atau kadar AMA melebihi 0,1 unit dan biokimiawi hati normal diobservasi sampai
30 tahun dan kecenderungan pasien tersebut akan mengalami PBC simtomatik sangat tinggi.1-
3
Antinuclear antibodies (ANA) dapat ditemukan pada sekitar setengah dari semua pasien PBC,
dan sekitar 85% pasien tersebut adalah AMA-negatif.1

Ultrasonografi biasanya menjadi modalitas pertama yang dilakukan untuk


mengeksklusi obstruksi biliar ekstrahepatik, yang menjadi salah satu diagnosis diferensial

18
PBC. Pemeriksaan lebih lanjut menggunakan ultrasonografi Doppler, CT atau MRI dapat
menyediakan informasi penting mengenai ukuran dan morfologi hepar dan lien, tanda-tanda
karsinoma hepatoseluler, derajat sirkulasi kolateral, adanya asites, arah dan kecepatan aliran
vena prota, dan adanya trombosis vena porta dan/atau limfadenopati. Limfadenopati telah
dilaporkan pada sekitar 62-88% pada semua pasien PBC, terutama pada daerah periportal.
Meskipun risiko limfoma dilaporkan kurang dari 1%, limfadenopati besar perlu diidentifikasi
untuk mengeksklusi keganasan.1

PENATALAKSANAAN

Asam Ursodeoksikolat

Asam ursodeoksikolat (UDCA) dengan dosis 12 sampai 15 mg/kgBB/hari


menunjukkan perbaikan. Asam ursodeoksikolat juga mengurangi nekroinflamasi periporta dan
meningkatkan proliferasi duktus, meskipun tidak dapat mengurangi gejala kelelahan, pruritus
maupun kelainan tulang pada PBC. 1-3

Terdapat empat macam cara kerja asam ursodeoksikolat dalam PBC. Pertama, asam
ursodeoksikolat merupakan asam empedu hidrofilik dan mengurangi efek sitotoksik pada
membran sel yang merupakan karakteristik dari asam empedu hidrofobik. Kedua, asam
ursodeoksikolat dikenal mempunayi efek koleretik. Ketiga, asam ursodeoksikolat dapat
menstabilisasi membran mitokondria dan mencegah depolarisasinya, sehingga mengurangi
produksi spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species, ROS) dan mencegah apoptosis.
Terakhir, asam ursodeoksikolat mempunyai efek imunomodulator yang telah ditunjukkan pada
pasien PBC. Asam ursodeoksikolat mengubah ekspresi abnormal molekul HLA kelas I pada
hepatosit dan memodulasi sekresi sitokin pleh monosit perifer secara in vitro. 1-3

Agen baru

Asam obetikolat

Asam obetikolat (obeticholic acid, OCA) merupakan turunan dari asam


kenodeoksikolat dan merupakan ligan dan aktivator poten dari reseptor farsenoid X (farsenoid
X receptor, FXR). FXR meregulasi homeostasis asam empedu dan mempunyai efek anti-
inflamasi dan antifibrotik. Efikasi dari OCA pada pasien yang mempunyai respons inadekuat
terhadap UDCA telah dilaporkan pada beberapa penelitian. Efek samping yang dihasilkan
adalah pruritus dan efek ini bersifat terkait-dosis.1,6

19
Fibrat

Beberapa penelitian telah menunjukkan perbaikan marka biokimiawi hati pada pasien
PBC yang ditangani dengan fibrat. Mekanisme fenofibrat dalam terapi PBC diperkirakan
melalui aktivasi jalur reseptor peroksisom terkativasi-proliferator α (peroxisome proliferator-
activated receptor α, PPAR- α), dengan efek antiinflamasi, modulasi sintesis asam empedu,
dan meningkatkan koleresis.1

Transplantasi sel punca

Transplantasi sel punca mesenkim turunan-tali pusat telah dilakukan pada 10 pasien.
Meskipun terdapat perbaikan signifikan pada kadar ALP serum, namun petanda biokimiawi
hati tidakmengalami perbaikan. Efek jangka panjang dari transplantasi sel punca pada PBC
masih belum diketahui.1,3

Penatalaksanaan pada Gejala dan Kondisi Terkait

Pruritus

Kolestiramin merupakan terapi lini pertama untuk pruritus. Dosis awal 4 gram/hari,
yang dapat ditingkatkan sampai empat kali sehari. Kolestiramin merupakan resin pengikat
asam empedu, harus diberikan sekurang-kurangnya 2 sampai 4 jam terpisah dari asam
ursodeoksikolat ddan medikasi lain untuk mencegah penurunan efikasi.1-3

Rifampisin merupakan agonis prengnane X receptor (PXR) dan penginduksi enzim,


dan telah digunakan sebagai agen lini kedua untuk mengatasi pruritus. Direkomendasikan
memulai dosis awal 150 mg/hari dan titrasi hingga mencapai maksimal 300 mg dua kali
sehari.1-3

Penggunaan naltrekson sebagai lini ketiga penanganan pruritus, dapat diberikan 25-50
mg/hari. Pemakaiannya seringkali dihindari akibat efek samping termasuk reaksi putus zat,
nyeri dan linglung. Pemberian preload nalokson intravena dosis tinggi dapat mencegah gejala
lepas obat tersebut. Penggunaan sertralin dapat juga menggantikan naltrekson. Dosis optimal
sertralin berkisar pada 75 – 100 mg/hari, dan biasanya ditoleransi dengan baik.1-3

Kelelahan

Langkah pertama dalam penatalaksanaan kelelahan adalah mengeksklusi dan/atau


menangani kondisi, seperti anemia, hipotiroidisme, insufisiensi adrenal dan depresi, yang dapat
berkontribusi terhadap manifestasi klinis. Obat-obatan seperti penghambat-beta dan

20
penghambat kanal kalsium yang dapat mengeksaserbasi disfungsi otonom perlu disesuaikan.
Untuk pasien dengan somnolen siang hari berlebih dan kelelahan dapat diberikan modafinil
100 – 200 mg/hari. Fluoksetin, ondansetron dan fluvoxamin gagal mengatasi kelelahan pada
pasien PBC.1

Defisiensi vitamin larut lemak

Pasien dengan PBC stadium lanjut perlu diuji per tahun untuk gejala defisiensi vitamin
A, D, E dan K, dan pengobatan perlu disesuaikan dengan indikasi, diikuti dengan dosis
pemeliharaan. Dosis penggantian dan pemeliharaan sebagai berikut: vitamin A, 50.000 U/hari
selama tiga hari dan 10.000 U/hari; vitamin D, 50.000 U/minggu untuk 8 sampai 12 dosis dan
1.000 U/hari; vitamin E, 10 Unit/kgBB per hari dan 30 U/hari; vitamin K, 50 mg/hari dan 5
mg/hari.1

Penyakit Metabolik Tulang

American Association for the Study of Liver Disease (AASLD) merekomendasikan


pengukuran densitas tulang dilakukan saat diagnosis PBC pertama kali dibuat, lalu diukur
setiap 2 sampai 3 tahun. Suplementasi dengan kalsium 1.000-1.500 mg/hari dan vitamin D 800
sampai 1.000 U/hari biasanya direkomendasikan untuk pencegahan penyakit tulang pada
populasi ini. Kadar vitamin D perlu dicek setiap tahun pada pasien dengan penyakit hati lanjut
dan penggantian dengan 50.000 U diberikan dua sampai tiga kali per minggu pada kasus
defisiensi.1

Terapi sulih hormon (hormone replacement therapy) pada pasien PBC efektif dalam
meningkatkan densitas mineral tulang (bone mineral density, BMD), meskipun kolestasis
memberat pada beberapa pasien. Penggunaan raloxifene, sebuah modulator reseptor estrogen
selektif, berhasil meningkatkan BMD tanpa efek samping berarti. Kalsitonin justru tidak
memberikan efek pada PBC. Penggunaan alendronat 70 mg/minggu secara signifikan
meningkatkan BMD.1

Transplantasi hati

Karena transplantasi hati merupakan penatalaksanaan definitif pada pasien dengan


PBC lanjut, transplantasi dilakukan pada pasien yang mengalami gagal hati meskipun telah
dilakukan pengobatan. Indikasi transplantasi sama seperti etiologi lain penyebab penyakit hati
kronik. Model for End-Stage Liver Disease (MELD) score digunakan untuk menilai keperluan

21
transplantasi hati. Skor ini menggunakan parameter kadar bilirubin, kadar kreatinin, dan INR,
serta indikasi diperlukannya dialisis. 1

PBC berulang

Primary biliary cholangitis dapat kambuh pada 11% sampai 34% pada semua pasien
yang menerima transplantasi hati. PBC kambuhan didiagnosis terutama melalui kriteria
histologik, karena serum tetap positif untuk AMA setelah transplatasi dan kadar ALP serum
dapat meningkat untuk beberapa alasan. Oleh karena itu, diagnosis rekurensi PBC hanya dapat
didiagnosis dengan biopsi. Waktu median terjadinya rekurensi antara 36-61 bulan.1

PROGNOSIS

Sejumlah prediktor prognosis telah dievaluasi pada PBC, namun hanya beberapa yang
telah divalidasi dan telah digunakan dalam praktik klinis. Yang umum digunakan adalah model
matematika dan beberapa lainnya yang sedang diteliti lebih lanjut.1

Pemeriksaan laboratorium

Bilirubin total merupakan tes kimiawi tunggal terbaik untuk memprediksi survival;
namun, ikterus hanya terjadi pada stadium lanjut penyakit. Skor AST to platelet ratio index
(APRI) telah digunakan sebagai prediktor hasil tak langsung pada penyakit hati lain dan sedang
dievaluasi pada pasien dengan PBC dewasa ini. APRI digunakan untuk memperkirakan
dekompensasi klinis, kematian, atau transplatasi hati pada PBC terlepas dari respons
biokimiawi terhadap UDCA. Skor APRI lebih besar dari 0,54 saat awal pemeriksaan dan
setelah satu tahun pemberian UDCA berhubungan dengan prognosis yang buruk.1-3

Histologi

Meskipun biopsi hati sekarang sudah jarang dilakukan, pemeriksaan histologi intensif
dapat menyediakan informasi penting terkait prognosis dimana dapat membantu
mengidentifikasi pasien yang memerlukan terapi tambahan. Adanya nekrosis piecemeal
limfositik yang sedang atau berat menandakan risiko tinggi terbentuknya sirosis. Adanya gejala
yang menandakan sindrom tumpang-tindih, seperti hepatitis berat lainnya, berhubungan
dengan buruknya survival.1-3

Elastografi

Vibration-controlled transient elastography (VCTE) merupakan pemeriksaan


ultrasonografi yang menggunakan teknologi pulse-echo ultrasound untuk menilai kekakuan

22
hati dalam kiloPascal (kPa). Teknik ini dapat menilai kekakuan hati dalam volume sekitar 100
kali lebih besar dari yang dapat dicapai oleh biopsi hati. 1-3

Model matematika

Beberapa model matematika telah dibuat dan divalidasi dengan baik, dan diantaranya
skor risiko Mayo yang secara luas dipakai. Pada skor ini, umur pasien, kadar bilirubin total dan
albumin serum, waktu protrombin, dan adanya edema dan asites dan penggunaan diuretik
merupakan variabel independen yang dimasukan dalam model ini untuk menilai prediksi. Skor
risiko Mayo digunakan pula untuk mengoptimalkan waktu dilakukannya transplantasi hati dan
menetukan pasien yang mempunyai risiko tinggi mengalami varises esofagus dan yang dapat
dilakukan screening endoskopi saluran cerna bagian atas. Meskipun keakuratan skor risiko
Mayo dalam memprediksi survival jangka panjang tanpa transplantasi hati, model ini
cenderung menilai terlalu tinggi survival pada pasien dengan keluaran jangka-pendek yang
buruk.1-3

23
PEMBAHASAN

Penetapan diagnosis koledokolitiasis dan kolelithiasis didasarkan pada penemuan hasil


anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis ditemukan
pasien mengalami kuning sejak dua bulan. Ditemukan pula dari pemeriksaan penunjang berupa
sklera dan kulit pasien ikterik dan terdapat nyeri tekan pada regio hipokondrika kanan dan
epigastrium. Ditemukan pula dari pemeriksaan radiologik berupa dilatasi duktus koledokus
disertai dengan beberapa batu dengan ukuran terbesar ± 1,4 cm dari hasil USG. Ditemukan
pula batu dengan ukuran ± 1,1 cm pada kantong empedu. Meskipun pasien tidak mengalami
gejala nyeri klasik, namun diketahui bahwa terdapat beberapa kasus batu saluran empedu tanpa
nyeri.7 Koledokolithiasis tanpa nyeri dapat disebabkan oleh usia lanjut ataupun ukuran batu
yang kecil.

Penetapan diagnosis pneumonia didasarkan pada pasien mengalami demam sejak dua
hari disertai dengan batuk berdahak. Dari pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi nadi 92 kali
per menit, frekuensi nafas 22 kali/menit, suhu 37,9 °C tidak ditemukan usaha otot pernapasan
tambahan dalam bernapas. Dari palpasi paru ditemukan fremitus raba kesan berkurang pada
paru bagian basal bilateral, dan perkusi paru ditemukan redup di kedua bagian basal paru,
ditemukan pula ronki pada kedua basal paru. Dari hasil ini dapat ditegakkan diagnosis
pneumonia pada pasien ini.

Penetapan diagnosis sirosis biliar didasarkan pada gejala gagal hati yang dialami pasien
berupa keluhan lemas dan badan terasa gatal sejak dua bulan lalu. Keluahan disertai pula
dengan kulit yang ikterik dan urin berwarna kuning kecoklatan. Dari hasil pemeriksaan
abdomen ditemukan adanya konjungtiva anemis, pembesaran hepar, dengan tepi tumpul,
permukaan licin dan konsistensi kenyal. Ditemukan pula splenomegali yang menandakan
kongesti dari aliran darah lien yang menuju hepar. Hal ini dapat menunjang diagnosis sirosis
biliar, meskipun tidak menjadikannya diagnosis definitif. Hal ini dikarenakan dalam
menegakkan diagnosis PBC diperlukan pemeriksaan AMA, pemeriksaan histologis dan gejala
yang dirasakan pasien. Gejala gagal hati lain seperti erithema palmaris dan flapping tremor
tidak ditemukan pada pasien ini. Gejala hipertensi porta seperti caput medusae, spider naevi
ataupun edema pretibia tidak ditemukan pada pasien ini.

Dalam penatalaksanaan pasien ini diberikan antibiotik (Cefoperazone) untuk


mengobati pneumonia. Ondansetron dan omeprazole digunakan dalam kasus ini untuk

24
mengatasi gejala mual dan muntah. Transfusi PRC diberikan untuk mengatasi anemia pasien.
Diberikan Metilprednisolon untuk mengatasi reaksi alergi saat diberikan transfusi PRC.

Dalam kasus ini sebaiknya pasien tetap diberikan asam ursodeoksikolat untuk
mengatasi gejala dari PBC. Dengan dosis 12 – 15 mg/kgBB/hari dapat menurunkan penanda
kerusakan hati dan perbaikan histologis jaringan hati. Dapat diberikan pula kolestiramin
dengan dosis 4 gram / hari dua sampai empat jam terpisah dari pemberian asam
ursodeoksikolat.

25
DAFTAR PUSTAKA
1. Sclair SN, Levy C. Primary biliary cholangitis. In: Sanyal AJ, Boyer TD, Lindor KD,
Terrault NA, editors. Zakim and Boyer’s Hepatology: A Textbook of Liver Disease. 7th
ed. Philadelphia: Elsevier; 2018. p. 610-25
2. Kaplan MM, Gershwin ME. Primary biliary cirrhosis. N Engl J Med. 2005;353:1261-
73
3. Bassendine MF. Primary biliary cirrhosis. In: Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK,
Heathcote EJ, editors. Sherlock’s Diseases of The Liver and Biliary System 12th ed.
Oxford: Wiley-Blackwell Publishing; 2011. p. 329-38
4. Trivedi HD, Lizaola B, Tapper EB, Bonder A. Management of pruritus in primary
billiary cholangitis: A narrative review. Am J Med. 2017 Jun; 130(6):744.e1-e7
5. Kremer AE, Namer B, Boller R, Fischer MJ, Elferink RPO, Beuers U. Pathogenesis
and management of pruritus in PBC and PSC. Dig Dis. 2015;33(2): 164-75
6. Nevens F, Andreone P, Mazzella G, Strasser SI, et al. A placebo-controlled trial of
obeticholic acid in primary biliary cholangitis. N Engl J Med. 2016; 375: 631-43
7. Akhtar AJ, Akhtar AA, Padda MS. Choledocholithiasis in african american and
hispanic patients: a comparison between painless presentation and classical biliary pain
with regards to clinical manifestations and outcomes. J Immigr Minor Health. 2014 Jun;
16(3): 373-6

26

Anda mungkin juga menyukai