Anda di halaman 1dari 9

Pengaruh Polimorfisme Genetik Terhadap Efek Terapeutik Obat Clopidogrel

Cheche Okke Dewi Nurpatimah (102017021)


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
Email: Cheche.2017fk021@civitas.ukrida.ac.id
Abstrak

Penyakit atherothrombotic cardiovascular diseases (CVD), seperti coronary artery disease


(CAD), dan stroke iskemik merupakan sumber utama morbiditas dan mortalitas dunia. Obat
antiplatelet clopidogrel, prasugrel dan ticagrelor digunakan untuk mengobati dan mencegah
peristiwa atherothrombotik. Mereka menghambat aktivasi platelet dengan menghalangi
platelet P2Y12 adenosine reseptor difosfat (ADP). Dengan mekanisme ini, mengurangi
aktivasi dan agregasi trombosit. Keberhasilan pengobatan pada suatu individu bervariasi.
Salah satunya karena adanya faktor genetik. Polimorfisme genetik adalah kondisi dimana
variasi urutan DNA dalam urutan genom berubah sehingga mempengaruhi hasil suatu
pengobatan. Farmakogenomik merupakan sebuah studi bagaimana gen dapat mempengaruhi
respon individu terhadap obat.

Kata kunci : Stroke iskemik, clopidogrel, polimorfisme genetik, farmakogenomik

Abstract

Atherothrombotic cardiovascular diseases (CVD), such as coronary artery disease (CAD)


and ischemic stroke are major sources of morbidity and mortality worldwide. The
antiplatelet drugs clopidogrel, prasugrel and ticagrelor are used to treat and prevent
atherothrombotic events. They inhibit platelet activation by blocking the platelet P2Y12
adenosine diphosphate receptor (ADP). With this mechanism, it reduces platelet activation
and aggregation. Treatment success in an individual varies. One of them is due to genetic
factors. Genetic polymorphism is a condition in which variations in the DNA sequence in the
genome sequence change so that it affects the outcome of a treatment. Pharmacogenomics is
a study of how genes can influence individual responses to drugs.

Key words: ischemic stroke, clopidogrel, genetic polymorphism, pharmacogenomics


Pendahuluan
Platelet atau trombosit merupakan salah satu jenis sel darah. Platelet berukuran kecil, kira-
kira sepertiga dari ukuran sel darah merah. Platelet tidak memiliki inti dan berasal dari
megakariosit pada sumsung tulang dan hanya berumur 8-10 hari. Platelet memiliki peranan
penting dalam proses pengumpulan darah dan menjaga integritas sirkulasi sistemik. Platelet
dapat diaktivasi oleh senyawa biologis dan nonbiologis. Ketika diaktivasi platelet akan
memberikan respon seperti perubahan bentuk, agregasi, proses sekresi.1 Antiplatelet
merupakan obat yang dapat menghambat agregasi platelet sehingga dapat menghambat
agregasi platelet sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan thrombus yang terutama
sering ditemukan pada system arteri dan stroke iskemik. Pada beberapa kasus agregasi
trombosit sukar untuk ditangani meskipun telah diberikan pengobatan yang tepat. Hal ini
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah kondisi genetik yang menyebabkan
suatu obat sulit untuk dimetabolisme oleh tubuh. Maka dari itu studi farmakogenomik
penting untuk dipelajari guna menciptakan hasil pengobatan yang optimal.
1. Clopidogrel
Clopidogrel adalah obat golongan thienopyridine, bersama dengan tiklopidin dan prasugrel,
dan sebagai agen antiplatelet. Clopidogrel adalah obat antiplatelet/inhibitor agregasi platelet
yang digunakan untuk membantu mencegah stroke. Hal ini dilakukan dengan mengurangi
kemampuan darah untuk menggumpal.2,3
Mekanisme kerja clopidogrel yaitu menghambat jalur dari adenosin difosfat (ADP) pada
agregasi platelet yang merupakan stimulasi untuk agregasi platelet. Ini Efek menyebabkan 27
perubahan membran platelet dan gangguan dengan membran interaksi fibrinogenic yang
mengarah ke pemblokiran trombosit glikoprotein reseptor IIb / IIIa. Clopidogrel adalah
prodrug, yang diserap dalam usus dengan bantuan dari transporter ABCB1 / protein MDR1.
Selanjutnya, dikonversi menjadi aktif metabolit oleh beberapa isoform dari sitokrom P450 di
hati, terutama CYP2C19. Konversi clopidogrel menjadi metabolit aktif membutuhkan dua
langkah oksidatif berurutan.2,3
Langkah pertama menyebabkan pembentukan 2-okso-clopidogrel, kemudian menjadi
metabolit aktif. Ketika 2-oxo-clopidogrel digunakan sebagai substrat, enzim CYP3A4,
CYP2C9, CYP2C19, dan CYP2B6 menghasilkan metabolit aktif. CYP2C19 kontribusi besar
untuk kedua langkah oksidatif dan CYP3A4 kontribusi besar ke langkah oksidatif kedua.
Metabolit aktif dari clopidogrel berisi kelompok thiol yang berikatan dengan sistein bebas
pada reseptor P2RY12 dan memblok ikatan ADP dan aktivasi reseptor secara ireversibel
sehingga tidak terbentuk gumpalan.4
Dosis clopidogrel yang digunakan untuk antiplatelet yaitu 75 mg sehari dan memiliki efek
samping gastrointestinal lebih dari 10% termasuk mual, muntah, dispepsia, gastritis, nyeri
perut dan konstipasi.5 Sehingga Beberapa kondisi yang menjadi kontraindikasi pemberian
clopidogrel yakni pasien yang mengalami hipersensitivitas terhadap bahan obat atau
komponen produk apapun dan perdarahan patologis aktif seperti tukak lambung atau
6-9
perdarahan intrakranial. Kinerja CYP2C19 sebagai enzim, juga dapat dihambat dan
diinduksi oleh berbagai jenis obat. Beberapa inhibitor CYP2C19 yaitu citalopram, felbamate,
fluoxetine, fluvoxamin, modafinil, oxcarbazepine, topiramate, chloramphenicol, cimetidine,
indomethacine, ketoconazole, lansoprazole, omeprazol, probenecid dan ticlopidine,
fluconazole, dan voriconazole.10,11

2. Farmakokinetik/farmakodinamik

Farmakokinetik menjelaskan secara kuantitatif bagaimana tubuh menangani obat. Beberapa


berbeda proses terjadi dalam perjalanan obat melalui tubuh: penyerapan, distribusi,
metabolisme, dan pengeluaran. Hubungan dosis obat dan konsentrasinya di berbagai jaringan
dan titik waktu tergantung pada proses farmakokinetik ini. Efek suatu obat biasanya terkait
dengannya konsentrasi di tempat aksi. Oleh karena itu, farmakokinetik memiliki peran
penting dalam terapi penggunaan dan kemungkinan toksisitas obat. Farmakodinamik adalah
subdisiplin farmakologi yang memelajari efek biokimiawi, fisiologi obat serta mekanisme
kerjanya. Tujuan memelajari mekanisme kerja obat adalah untuk meneliti efek utama obat,
mengetahui interaksi obat dengan sel dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek
dan respons yang terjadi.12
Metabolisme obat merupakan bagian penting dari farmakokinetik. Hepar dan usus adalah
situs terpenting untuk metabolisme obat. Obat hidrofilik seringkali diekskresikan tanpa
perubahan. Namun,sebagian besar obat perlu dimetabolisme menjadi hidrofilik dan untuk
memfasilitasi ekskresinya. Metabolisme obat dapat dibagi menjadi reaksi fase I dan fase II.
Tahap I reaksi, termasuk oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, memperkenalkan atau mengekspos
gugus fungsi dalam molekul obat. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya fungsi terapeutik,
atau dalam kasus obat, keuntungan fungsi. Enzim fase I termasuk enzim sitokrom P450
(CYP), aldehida dehidrogenase, karboksilesterase, dan lainnya. Pada reaksi fase II, gugus
fungsi suatu obat atau metabolit obat dikonjugasikan dengan zat hidrofilik, seperti asam
glukuronat, sulfat, atau glutathione. Beberapa obat mengalami beberapa jalur metabolisme,
sementara yang lain hanya reaksi fase I atau fase II, dan beberapa diekskresikan sama sekali
tidak berubah. Interaksi farmakokinetik dapat terjadi ketika obat diberikan bersama dengan
obat lain atau zat yang mampu mempengaruhi beberapa bagian dari proses farmakokinetik.
Relevansi interaksi tergantung pada besarnya perubahan konsentrasi plasma obat yang
terpengaruh dan apakah hal ini menyebabkan perubahan penting secara klinis dalam efek
terapeutik dan / atau toksisitas. Interaksi dapat berkisar dari ringan hingga serius, atau bahkan
mengancam nyawa.12

3. Farmakogenomik
Seiring proyek pemetaan genom manusia (The Human Genome Project) yang telah usai
dilakukan dan proses sekuensing DNA yang semakin mudah, menyebabkan fokus penelitian
farmakogenetik juga mengarah pada identifikasi segala potensi genetik yang lebih luas dan
berbasis genom untuk mengetahui gen – gen baru serta mekanisme biologis yang
memengaruhi respon tubuh terhadap obat.13 Dalam dunia pengobatan, penggabungan ranah
penelitian mengenai genom dan farmakologi telah menciptakan studi baru yaitu
farmakogenomik. Farmakogenomik merupakan sebuah studi bagaimana gen dapat
mempengaruhi respon individu terhadap obat. Farmakogenomik memiliki manfaat yang luar
biasa dalam bidang pengembangan obat dan terapeutik. Farmakogenomik akan menunjukkan
hasil klinis yang lebih baik penurunan biaya pengembangan obat, peningkatan efikasi obat,
pengurangan efek samping obat, dan meningkatkan keakuratan dalam diagnosis.12
Farmakogenetik merupakan kajian dan penelitian tentang variasi antar individu berdasarkan
latar belakang genetik dalam satu spesies, terkait dengan respon terhadap obat. Penelitian
yang mendalam terhadap farmakogenetik telah meningkatkan berbagai kemungkinan untuk
membawa konteks personalized medicine ke dalam dunia klinis. Personalized medicine
merupakan metode pengobatan kepada pasien yang tidak hanya menitikberatkan kepada
gejala klinis pasien, tetapi juga didasarkan pada latar belakang genetik pasien. Personalized
medicine menjadi sangat penting karena pada pengobatan dengan obat dan dosis yang sama,
beberapa individu tidak merasakan efek pengobatan bahkan mengalami reaksi penolakan
terhadap obat secara serius. Permasalahan ini menyebabkan kerugian yang besar dan
mengancam keselamatan individu.12
Berbagai enzim yang terlibat dalam metabolisme obat dan senyawa asing (xenobiotik), salah
satunya yaitu enzim Cytochrome P450. Faktor genetik telah dilaporkan menjadi penyebab
variasi antar individu dalam proses metabolisme obat dan senyawa xenobiotik lainnya. Faktor
2 genetik seperti polimorfisme yang terjadi pada gen enzim ini, akan memengaruhi
transkripsi gen, translasi protein dan dapat menyebabkan aktivitas enzim menjadi meningkat,
menurun atau bahkan tidak berfungsi. Namun secara klinis, variasi fenotip individu atau
kapasitas metabolisme dalam populasi dibagi menjadi empat, yaitu :5,13
1) Poor metabolizer (PM) atau individu dengan enzim yang tidak aktif atau mengalami
disfungsi.
2) Intermediate metabolizer (IM) atau individu dengan aktivitas enzim dibawah normal.
3) Extensive metabolizer (EM) atau individu dengan fenotip normal dan memiliki
aktivitas enzim yang normal.
4) Ultrarapid metabolizer (UM) yaitu individu yang memproduksi enzim lebih banyak
dan aktivitas enzim lebih tinggi dibandingkan extensive metabolizer.

Tabel 1. Korelasi kemungkinan fenotipe CYP2C19, berdasarkan genotipe.14

Kemungkinan Alel CYP2C19 / Aktivitas Enzim Contoh


Fenotip Genotipe Diplotide

Ultrarapid Terdiri dari dua Meningkatkan *17/*17


metabolizer (UM) alel peningkatan metabolisme
aktivitas (*17)
CYP2C19

Rapid metabolizer Terdiri dari satu Meningkatkan *1/*17


(RM) alel aktif (* 1) metabolisme
dan satu alel
peningkat
aktivitas (*17)
CYP2C19

Normal metabolizer Terdiri dari dua Normal *1/*1


(NM) alel CYP2C19
aktif

Normal/Intermediate Terdiri dari satu Cenderung *2/*17


metabolizer (NIM) alel CYP2C19 intermediate
yang tidak aktif (separuhnya dari *8/*17
dan satu alel aktivitas normal) *9/*17
peningkat
aktivitas

Intermediate Terdiri dari satu Intermediate *1/*2


metabolizer (IM) alel CYP2C19 (separuhnya dari
aktif (* 1) dan aktivitas normal)
*1/*3
satu tidak aktif.

Poor metabolizer Terdiri dari dua Menurunkan/bahkan *2/*2


(PM) alel CYP2C19 tidak ada aktivitas
*2/*3
tidak aktif metabolism (off)

*3/*3

Variasi genetik bawaan pada gen CYP2C19 dan variasi tingkat ekspresinya berkontribusi
pada keragaman fenotip antar individu dalam memetabolisme substrat. Penelitian mengenai
kelainan genetik gen CYP2C19 diawali ketika diketahui bahwa mutasi sepasang basa
menyebabkan ketidakmampuan dalam memetabolisme S-mephenytoin, dimana kondisi ini
disebut sebagai “poor metabolism” karena adanya alel yang mengalami polimorfisme
(Goldstein dan Blaisdell, 1996). Penyebab utama fenotip poor metabolism adalah substitusi
satu basa G menjadi A sehingga alel menjadi tidak berfungsi. Kondisi ini disebut
CYP2C19*2 (c.681G>A) dengan identitas SNP yaitu rs4244285. 11 Substitusi sepasang basa
G menjadi A pada alel CYP2C19*2 terjadi pada ekson 5 gen CYP2C19. Akibatnya,
terbentuk kodon stop yang lebih awal dan protein menjadi lebih pendek, hanya terdiri atas
234 asam amino.
Tabel.2 Rekomendari Terapi Antiplatelet Berdasarkan Status Fenotipe dari CYP2C19.15

Kesimpulan
Clopidogrel merupakan suatu obat yang diberikan untuk mencegah terjadinya agregasi
trombosit yang dapat menyebabkan stroke atau serangan jantung. Polimorfisme genetik pada
CYP2C19 mengakibatkan efek terapeutik clopidogrel sebagai anti platelet tidak konsisten
pada setiap individu.
Daftar Pustaka
1. Willoughby, S., Holmes, A., & Loscalzo, J. Platelets and Cardiovascular Disease.
European Journal of Cardiovascular Nursing. 2002;1(4): 273–288
2. Tselepis DA, Gerotziafa G, & Andrikopoulos G. Mechanisms of Platelet Activation
and Modification of Response to Antiplatelet Agents. Hellenic J Cardiol. 2011
3. Gund BM, Jagtap PN, Ingale VB, Patil RY (2013). Stroke: A Brain Attack. IOSR
Journal of Pharmacy. 2013;3(8): 1-23
4. Sangkuhl K, Klein TE, Altman RB. Clopidogrel Pathway. Pharmacogenet Genomics.
2010: 1-5
5. Jann MW, Penzak SR, Cohen LJ. Applied clinical pharmacokinetics and
pharmacodynamics of psychopharmacological agents. Adis. 2016.
6. Zeb I, Krim N, Bella J. Role of CYP2C12 genotype testing in clinical use of
clopidogrel: is it really useful? Journal Expert Review of Cardiovascular Therapy.
2018;16(5): 1-26.
7. Hartayu TS, Setyaningsih D. Efektivitas clopidogrel sebagai antitrombotik
dibandingkan terhadap ticlopidine dan aspirin (meta-analysis). Jurnal Farmasi Sains
Dan Komunitas. 2017;14(1): 65-73.
8. Farid NA, et al. metabolism and disposition of the thienopyridine antiplatelet drugs
ticlopidine, clopidogrel, prasugrel in humans. J Clin Pharmacol. 2010;50: 126-42.
9. Setiawati A, et al. seksi I Pengantar Farmakologi. Dalam Gunawan SG, et al.
Farmakologi Dan Terapi. Edisi 6. Departemen Farmakologi Dan Trapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2016. p. 1-28.
10. Samer CF, Lorenzini KI, Rollason V, Daali Y & Desmeules JA. Applications of
CYP450 testing in the clinical setting. Molecular diagnosis & therapy. 2013;17(3):
165-184.
11. Scott SA, Martis S, Peter I, Kasai Y, Kornreich R, & Desnick RJ. Identification of
CYP2C19* 4B: pharmacogenetic implications for drug metabolism including
clopidogrel responsiveness. The pharmacogenomics journal. 2012.;12(4): 297.
12. Rowland MTT. Clinical Pharmacokinetics and Pharmacodynamics. 4th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2011
13. Lee, et al. “The Emerging Era of Pharmacogenomics: 66 Current Successes, Future
Potential, and Challenges”. Clinical genetics. 2014:86(1); 21-28.
14. Bains RK. African variation at Cytochrome P450 genes: Evolutionary aspects and the
implications for the treatment of infectious diseases. Evol Med Public Heal.
2013;2013(1):118–134.
15. Scott SA, Sangkuhl K, Stein CM, Hulot JS et al. Clinical Pharmacogenetics
Implementation Consortium guidelines for CYP2C19 genotype and clopidogrel
therapy: 2013 update. Clin Pharmacol Ther. 2013;94(3):317-323.

Anda mungkin juga menyukai