Anda di halaman 1dari 24

DISUSUN OLEH :

ALDI RIFAI RAHMAN


MARSELINI OROSOMNA
RIDHA A. MOCHTAR
SAKINAH SARNIA IRIANI
Therapeutic Drug Monitoring (TDM) sering
disebut juga Drug Therapy Monitoring merupakan
suatu cara untuk mengukur konsentrasi obat dalam
plasma sekaligus mengetahui interpretasinya.
Metode ini diperkenalnakan pertama kali sekitar
pada tahun 1970 dengan asumsi bahwa konsentrasi obat
dalam cairan tubuh (darah atau plasma) merupakan
prediktor yang lebih baik untuk memperkirakan efek
obat daripada dosis obat.
 Hasildari TDM ini dimanfaatkan untuk mengevaluasi
derajat respon terapi suatu obat, memberikan
informasi yang bermanfaat mengenai kesesuaian
terapi obat, evaluasi kepatuhan pasien terhadap dosis
yang diberikan, mendeteksi kemungkinan efek
samping dan toksisitas suatu obat, mengkonfirmasi
kemungkinan adanya interaksi obat, serta untuk
penyesuaian dosis obat.
A. Definisi Therapeutic Drug Monitoring (TDM)
Pemantauan kadar obat (TDM) adalah praktik klinis yang melibatkan pengukuran
kadar obat dalam darah atau plasma pasien pada waktu yang ditentukan untuk.
Memberikan panduan tentang rejimen. Dosis yang diperlukan untuk mempertahankan
kadar rentang terapi.

B. Proses Therapeutic Drug Monitoring (TDM)

Proses TDM terdiri dari empat komponen utama yang dimulai dan diakhiri
dengan pelayanan pasien (patient care). Komponen tersebut meliputi pre
analisis, analisis, post analisis dan pengaturan lingkungan. Pengaturan
lingkungan merupakan kondisi dan atmosfer disekitar proses analisis. Pre
analisis terdiri dari empat tahap.
C.Fungsi Therapeutic Drug Monitoring (TDM)
TDM memiliki beberapa fungsi antara lain dalam hal
pemilihan obat, perancangan aturan dosis, penilaian respon penderita,
pemantauan konsentrasi obat dalam serum, penilaian secara
farmakokinetik kadar obat, penyesuaian kembali aturan dosis, dan
adanya persyaratan khusus

D. Faktor Yang Mempengaruhi Therapeutic Drug Monitoring (TDM)


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dilakukannya TDM, antara lain :
1. Faktor yang berhubungan dengan profil obat dalam darah
2. Faktor yang berhubungan langsung dengan dasar farmakokinetik
3. Farktor yang berhubungan dengan data laboratorium
A. Target Therapeutic Drug Monitoring (TDM)

Beberapa hal yang menjadi target dilakukannya TDM antara lain :

1. Jika penderita tidak memberikan reaksi terhadap terapi obat seperti yang
diharapkan, maka obat dan aturan dosis hendaknya ditinjau kembali dari segi
kecukupan, ketelitian, dan kepatuhan penderita. Dokter hendaknya
menentukan perlu atau tidak konsentrasi obat dalam serum penderita diukur,
karena tidak semua respon penderita dikaitkan dengan konsentrasi obat dalam
serum. Contoh : alergi dan rasa mual ringan.
2. Bila “therapeutic window” suatu obat sempit, maka individualisasi dosis
menjadi sangat penting, karena perbedaan dosis yang kecil saja sudah dapat
menimbulkan perbedaan nyata dalam respon pasien.
3. Dalam beberapa kasus, patofisiologi penderita mungkin tidak stabil, apakah
membaik atau memburuk, misalnya klirens ginjal terhadap obat
4. Pasien dengan penyakit tertentu yang dapat mempengaruhi kadar obat di
dalam darah.
5. Jika pasien menggunakan obat tertentu.
A. Obat Yang Perlu Therapeutic Drug Monitoring (TDM)
1. Punya Indeks terapi sempit
2. Ada kegagalan terapi (tidak efektif, toksik)
3. Ada variasi individu yang besar
4. Kadar obat dalam plasma dapat diukur dan Teknik analitik yang tepat,
mudah, tersedia dan murah
5. Dugaan non compliance
6. Obat non limier / saturasi
7. Ada gangguan fungsi organ
Seorang pria 42 tahun dengan diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi dirujuk ke
klinik untuk assassment (penilaian) mixed hyperlipidemia yang ditemukan dalam
pemeriksaan rutinnya. Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan di klinik menunjukan
hasil yang biasa. Pasien tidak memiliki xanthomatous. Riwayat keluarga ada yang
menderita diabetes melitus tipe 2. Pengobatan saat ini ramipril, glyburide, dan
hydroclorthiazide. Hasil analisis sampel darah (puasa) kolesterol total 356,34 mg/dL,
total trigliserida 5927,4 mg/dL, HDL-c 23,4 mg/dL, TSH 0,94 mIU/L. Urea,
kreatininm elektrolit, bilirubin, AST, ALT normal. HbA1c 9,5%. Kemudian dokter
meresepkan fenofibrate, metformin, dan rosuvastatin termasuk ramipril, glyburide,
dan hydroclorothiazide. Empat minggu kemudian lipid profil pasien mengalami
peningkatan. Hasil laboratorium menunjukkan kadar kolesterol total 213,45 mg/dL,
trigliserida 825,5 mg/dL, HDL-c 37,05 mg/dL. Dengan terus dilakukan follow up, 3
bulan kemudian kolesterol total 145,9 mg/dL, trigliserida 330,4 mg/dL, HDL-c 27,84
mg/dL.
Penyelesaian
 A. Subjek
 Pria berusia 55 tahun
 1. Past Medical History
  Diabetes melitus tipe 2
  Hipertensi
 2. Medication History (Dosis tidak dicantumkan di dalam jurnal
  Ramipril
  Glyburide
  Hydrochlorothiazide
 3. Physical Examination
  Results of our physical examination were unremarkable
B. Objek
Data Laboratorium (Puasa)
Saat pertama Nilai uji Nilai normal
Kolestrol Total 536.34 mg/dL 146.94 - 201.08 mg/dL
Trigliserida 5927.4 mg/dL 31.15 - 151.3 mg/dL
HDL-c 23.4 mg/dL 35.1 - 93.6 mg/dL
TSH 0.94 mIU/L 0.49 - 4.67 mIU/L
HbA1c 9.5% < 6,5%
Urea, kreatininm elektrolit,
bilirubin, AST, ALT normal
4 minggu kemudian
Kolestrol Total 213.45 mg/dL 146.94 - 201.08 mg/dL
Trigliserida 825.5 mg/dL 31.15 - 151.3 mg/dL
HDL-c 37.05 mg/dL 35.1 - 93.6 mg/dL
3 minggu kemudian
Kolestrol Total 145.9 mg/dL, 146.94 - 201.08 mg/dL
Trigliserida 330.4 mg/dL 31.15 - 151.3 mg/dL
HDL-c 27.84 mg/dL 35.1 - 93.6 mg/dL
C. Assassment
Pasien mempunyai riwayat penyakit diabetes melitus tipe 2 dan
hipertensi. Glyburide (dosis tidak dicantumkan) digunakan untuk
terapi diabetes pasien. Ramipril dan hydroclorothiazide (dosis
tidak dicantumkan) digunakan untuk terapi hipertensi pasien.
Berdasarkan data diatas, kolesterol total dan trigliserida pasien
sangat tinggi sementara kadar HDL-c dibawah normal.
Menurut NCEP (National Cholestrol Education Program)
kolesterol total normal < 200 mg/dL, trigliserida normal < 150
mg/dL, dan HDL-c 35-93 mg/dL. Hal ini mengindikasikan bahwa
pasien menderita hiperlipidemia (mixed hyperlipidemia).
Diabetes melitus tipe 2 yang diderita pasien merupakan salah satu
penyebab terjadinya hiperlipidemia sekunder karena kondisi
tersebut dapat menyebabkan meningkatnya level VLDL dan
menurunkan HDL (Rader & Hobbs, 2012).
Menurut Koda-Kimble et al (2005), pemakaian obat hipertensi
golongan tiazid juga menyebabkan peningkatan kolestrol 5-7% dan
peningkatan trigliserida 30-50%. Sementara menurut Martin et al.
2009, pasien dengan kadar trigliserida > 2001,77 mg/dL semuanya
hampir memiliki hiperlipidemia sekunder dan primer. Dokter
meresepkan fenofibrate (dosis tidak dicantumkan) untuk mengatasi
hiperlipidemia. Saat pemeriksaan HbA1c pasien sebesar 9,5% maka
dokter memberi metformin (dosis tidak dicantumkan) tambahan obat
untuk diabetes pasien. Rusovastatin (dosis tidak dicantumkan) untuk
terapi mixed hyperlipidemia.
D. Plan
Tujuan terapi yang ingin dicapai dalam pengobatan adalah penurunan kadar
kolesterol total dan trigliserida, meningkatkan kadar HDL-c, menormalkan kadar
gula darah dan tekanan darah tinggi serta mengurangi resiko pertama atu berulang
dari infark miokardiak, angina, gagal jantung, stroke iskemia, dan kejadian lain
pada penyakit arterial (karotid stenosis atau aortik abdominal)
 1. Terapi hiperlipidemia
  Fenofibrate
 Dosis inisial yang biasa digunakan dalam terapi mixed hyperlipidemia yaitu
sebesar 300 mg per hari dan dapat ditingkatkan menjadi 400 mg perhari. Dosis
pemeliharan 200 mg per hari. Obat diminum setelah makan.
  Rusovastatin
 Dosis inisial yang biasa digunakan yaitu 20 mg per hari. Range dosis 5 – 40 mg
per hari dan tidak lebih dari 40 mg perhari. Obat sebelum atau setelah makan.
Drug Related Problem dalam Kasus 1
Pasien dengan mixed hyperlipidemia , diabetes metitus tipe 2 dan
hipertensi dalam kasus ini menerima 6 macam obat dalam
pengobatannya. Walaupun dokter tetap melakukan follow up terhadap
pasien tersebut, analisis DRP tetap harus dilakukan untuk mencegah
pasien mengalami kegagalan terapi dan kejadian DRP yang dapat
merugikan pasien. Adapun analisis DRP antara lain: indikasi tanpa
obat, obat tanpa indikasi, ketidaktepatan pemilihan obat, kelebihan
dosis obat, interaksi obat, efek samping obat, dan kegagalan pasien
menerima terapi.
1. Indikasi tanpa obat
 Pasien menderita mixed hyperlipidemia, diabetes melitus tipe 2, dan hipertensi. Dari data
hasil laboratorium dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya indikasi penyakit lain.

2. Obat tanpa indikasi


 Enam jenis obat yang digunakan (glyburide, ramipril, hydrochlortiazide, fenofibrate,
rusovostatin, dan metformin) diindikasikan untuk mengobati mixed hyperlipidemia, diabetes
melitus tipe 2, dan hipertensi. Tidak ditemukan obat tanpa indikasi dalam kasus ini.

3. Ketidaktepatan pemilihan obat


 Ketidaktepatan pemilihan obat pada pasien artinya ada pemberian obat yang tidak efektif,
seperti produk obat tidak efektif berdasarkan kondisi medisnya atau obat bukan paling efektif
untuk mengatasi penyakit. Rusovostatin efektif menurunkan kadar kolesterol total dan LDL
dan merupakan terapi utama untuk mayoritas pasien hiperlipidemik. Namun dalam kasus
tertentu dapat ditambahkan agen hipolipidemik lain untuk mencapai tujuan terapi yang lebih
agresif. Oleh sebab itu, Fenofibrate ditambahkan karena memiliki kemampuan menurunkan
kadar VLDL.
Mekanisme kunci obat golongan fibrat adalah dengan
meningkatkan lipolisis, meningkatkan asupan lemak hati dan menurunkan
produksi trigliserida hati, meningkankan asupan LDL oleh reseptor LDL,
dan menstrimulasi transpor balik sehingga meningkatkan HDL. Fibrat
utamanya digunakan pada pasien yang hanya mengalami peningkatan
trigliserida dan juga digunakan dalam terapi mixed hyperlipidemia, terutama
jika HDL rendah. Kombinasi golongan statin dan fibrat meningkatkan
resiko miopati bermakna, pertimbangan pemilihan obat baru seperti
ezetimid mungkin akan lebih tepat.
Glyburide golongan sulfonil urea dapat menurunkan HbA1C
sebesar ~ 1,5% dengan menstimulasi sekresi insulin. Metformin
memiliki efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic
glucose output” dan menurunkan kadar glukosa puasa.
Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan HbA1C
sebesar ~ 1,5%. Algoritma pengelolaan diabetes melitu tipe 2
menurut ADA/EASD yang pertama yaitu dengan intervensi pola
hidup dan metformin. Bila belum maksimal maka obat kedua
dapat
ditambahkan agar HbA1C pasien < 7%, konsensus menganjurkan penambahan
sulfonilurea atau insulin. Pemilihan kombinasi glyburide dan metformin sebagai
antidiabetes melitus tipe 2 dinilai cukup tepat.
Terapi hipertensi dalam kasus ini menggunakan ramipril dan hydrochlortiazide.
Ramipril adalah antihipertensi golongan ACEi yang merupakan vasodilator yang
menghambat angiotensin II (vasokonstriktor kuat). Penghambatan pembentukan
angiotensin II akan menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin-renin-
aldonsteron teraktivasi (misalnya pada keadaaan penurunan sodium, atau terapi
diuretik) efek antihipertensi ACEi akan lebih besar. Oleh karena itu dalam kasus itu
menggunakan kombinasi ramipril dengan hydrochlorothiazide. Pasien diabetes
memerlukan kombinasi antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah optimal.
ACEi merupakan terapi pilihan karena dapat mencegah progresi mikroalbuminoria
ke nefropati. Selain itu, penggunaan beta-blocker tidak lagi direkomendasikan oleh
NICE karena kurang efektif untuk mengurangi resiko diabetes terutama untuk
pasien yang mendapatkan diuretik tiazid.
4. Dosis obat kurang dan berlebih
Dalam kasus ini hanya terdapat data jenis kelamin dan usia pasien,
tidak dicantumkan berapa dosis yang digunakan dan juga tidak
tersedia data berat badan pasien. Penilaian apakah dosis yang
diberikan oleh dokter kurang atau berlebih sangat sulit dilakukan,
kerena perhitungan dosis tidak dapat dilakukan. Namun, apabila
dokter memberikan dosis obat-obat tersebut dalam jumlah dan range
dosis lazimnya maka dapat dikatakan tidak terjadi kekurangan dan
kelebihan dosis obat. Mengingat kondisi organ pasien dalam keadaan
baik (dilihat dari data laboratorium dan pernyataan dokter mengenai
pemeriksaan fisik) maka tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis.
1. Interaksi obat

Obat A Obat B Tingkat Interaksi


Fenofibrate Rosuvastatin Serius Meningkatkan efek karena
sinergisme farmakodinamik.
Fenofibrate dapat meningkatkan
risiko rhabdomyolysis ketika di
kombinasi dengan statin untuk
menurun trigliserida dan
meningkatkan HDL. Jika tetap
digunakan maka lakukan
monitoring dengan ketat. Gunakan
alternatif obat lain (ezetimibe).

Glyburide Signifikan Fenofibrate meningkatkan efek dari


glyburide dengan berkompetisi
membentuk ikatan protein plasma.
Signifikan interaksi dapat terjadi,
lakukan monitoring.
Rosuvastatin Glyburide Signifikan Glyburide meningkatkan toksisitas
rosuvastatin. Merupakan inhibitor
OATP1B1, dapat meningkatkan
risiko myopathy. Lakukan
monitoring.
Hydrochloro- Metformin Minor / Hydrochlorothiazide akan
thiazide tidak meningkatkan efek metformin
signifikan melalui mekanisme kompetisi
klirens tubular ginjal.
Ramipril Glyburide Signifikan Ramipril meningkatkan efek
interaksi glyburide melalui aksi sinergisme
mungkin farmakodinamik. Monitoring
terjadi dengan ketat.
6. Efek samping

Obat Efek samping Keterangan


Nyeri otot, myopathi, myositis, diare,
flatulance, pankreatitis, ulser peptik,
Fenofibrate kolelitiasis, depresi CNS, disarithmia,
pulmonari emboli, gangguan ginjal,
anemia, leukopenia.
Keluhan abdominal ringan, ruam kulit,
gatal, nyeri kepala, nyeri otot, kejang
otot, lelah, dan gangguan tidur. Kenaikan
Rosuvastatin
konsentrasi transminase. Efek samping
yang jarang terjadi: rhabdomiolisis dan
Pasien diingatkan
miopati.
tentang efek samping
Anafilaksis, aneroksia, kebingungan,
yang mungkin terjadi.
gangguan hematopoetik, pusing,
Efek yang mungkin
gangguan lambung, kelelahan, sakit
terjadi berbeda antar
Hydrochlorothiazide kepala, hiperkalemia, hiperkolestro,
invidu, tergantung
hiperurisemi, hipotensi, metabolik
dengan respon tubuh.
asidosis, nausea, pankreatitis, vertigo,
dan vomitting.
Batuk, hipotensi, pusing, angina pektoris,
Metformin sakit kepala, vomitting, vertigo,
abnormalitas fungsi ginjal, dan diare.
Gangguan saluran cerna, sakit kepala,
gejala hematologik, trombositopenia,
Glyburide agranulositosis, anemia aplastik (jarang).
Gangguan fungsi hati dan ginjal pada
pasien lanjut usia
7. Kegagalan terapi
Tidak ditemukan kegagalan terapi dalam kasus ini, sejauh follow up
yang dilakukan oleh dokter pasien terus mengalami perkembangan
peningkatan profil lipid. Kegagalan terapi dalam suatu pengobatan
dapat disebabkan oleh faktor psikososial, ketidakmampuan ekonomi,
kurangnya pemahaman pasien tentang terapi yang dia lakukan, dosis
yang tidak sesuai, dan pasien menggunakan obat lain tanpa
sepengetahuan dokter. Kegagalan terapi juga dapat disebabkan oleh
petugas kesehatan yang tidak memberitahu cara penggunaan obat
dengan benar.

A. Kesimpulan

Pemantauan kadar obat (TDM) adalah praktik klinis yang melibatkan pengukuran
kadar obat dalam darah atau plasma pasien pada waktu yang ditentukan untuk.
Memberikan panduan tentang rejimen. Dosis yang diperlukan untuk mempertahankan
kadar rentang terapi.
TDM memiliki beberapa fungsi antara lain dalam hal pemilihan obat,
perancangan aturan dosis, penilaian respon penderita, pemantauan konsentrasi obat
dalam serum, penilaian secara farmakokinetik kadar obat, penyesuaian kembali
aturan dosis, dan adanya persyaratan khusus.
Terima Kasih…

Anda mungkin juga menyukai