Anda di halaman 1dari 18

Kepada Yth :

TUGAS PENDAHULUAN
Rencana Baca :
Tempat : Online Zoom Meeting

HEMOLISIS (INTRAVASKULAR DAN EKSTRAVASKULAR)


Riskullah Makmur, Fierna Darmawanti Hanafi, Darwati Muhadi
Program Studi Ilmu Patologi Klinik
Program Pendidikan Dokter Spesialis
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin / RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo

I. PENDAHULUAN
Hemolisis adalah pemecahan atau penghancuran eritrosit secara
abnormal yang menyebabkan hemoglobin sebagai pigmen pembawa oksigen
dibebaskan ke dalam plasma. Saat eritrosit mengalami destruksi secara patologis,
pada umumnya pasien akan mengalami gejala anemia seperti nyeri dada, nafas
pendek dan kelelahan.1,2
Hemolisis terbagi menjadi dua yaitu hemolisis intravaskular dan
hemolisis ekstravaskular. Hemolisis intravaskular adalah lisisnya eritrosit di
dalam pembuluh darah yang terjadi bila komplemen teraktivasi dengan cepat
biasanya oleh Immunoglobulin M (IgM). Hemolisis ekstravaskular adalah
lisisnya eritrosit yang terjadi hampir selalu di dalam organ biasanya oleh antibodi
IgG, seperti hepar dan lien, bukan di dalam vaskular.2,3
Hemolisis ekstravaskular (fagositosis eritrosit oleh makrofag) hampir
selalu terjadi pada anemia hemolisis yang mengakibatkan gambaran klinis pasien
anemik. Hemolisis intravaskular tidak selalu ditemukan pada kasus anemia
hemolitik. Beberapa penyebab yang dapat menimbulkan anemia hemolitik
adalah cedera oksidatif seperti Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA).4

II. PATOFISIOLOGI
1. HEMOLISIS INTRAVASKULAR
Proses hemolisis intravaskular secara klinis biasa lebih berat, mekanisme
yang mendasari terjadinya hemolisis intravaskular ada tiga, yaitu :5

Tugas Pendahuluan 1
a) Aktivasi Komplemen Jalur Klasik
Patofisiologi hemolisis intravaskular akibat aktivasi komplemen
terjadi melalui tiga jalur, yaitu jalur klasik, alternatif dan lektin yang
bertujuan mengaktivasi komplemen C3 yang merupakan komplemen sentral
dalam respon imun. Aktivasi komplemen pada jalur klasik memerlukan reaksi
antigen antibodi sebagai pemicunya, sedangkan jalur alternatif merupakan
bentuk tahanan nonspesifik yang dipicu oleh bakteri. Jalur lektin yang diawali
oleh stimulus dari kompleks Manosa Binding Lectin (MBL) pada permukaan
patogen seperti pada (Gambar 1).5
Aktivasi komplemen melalui jalur klasik dimulai dengan dibentuknya
kompleks antigen-antibodi pada adaptive immunity. Ikatan antibodi dengan
antigen eritrosit menyebabkan terjadinya aktivasi komplemen umumnya
melalui jalur klasik.5

Gambar 1. Jalur Aktivasi Komplemen 6

Tugas Pendahuluan 2
Hemolisis intravaskular terjadi di jalur klasik dimana sejumlah besar
komplemen teraktivasi dengan cepat biasanya oleh IgM, menyebabkan
aktivasi lengkap kaskade komplemen dan berakhir dengan terbentuknya
Membran Attack Complex (MAC). Kompleks ini akan berpolimerisasi
membentuk lubang dalam membran eritrosit sehingga cairan ekstraselular
dapat masuk ke dalam sel, menyebabkan pembengkakan dan pecah akibat
lisis osmotik.1,6
Peran komplemen dalam proses hemolitik yaitu opsonisasi,
pembentukan anfilaktoksin dan lisis eritrosit. Pada aktivasi komplemen jalur
klasik diperlukan antibodi Immunoglobulin G (IgG) dan IgM untuk memulai
aktivasi C1, selanjutnya terjadi pemecahan C3 dan pengikatan C3b pada
membran eritrosit, lalu terbentuk MAC yang akan menghancurkan eritrosit
(Gambar 2). Aktivasi komplemen melalui jalur klasik akan menyebabkan: 5
a. Opsonisasi : hal ini terjadi akibat kompleks ikatan membran dan
komplemen dibersihkan oleh fagosit mononuklear.5
b. Anafilatoksin : Substansi yang dengan kuat dapat menginduksi inflamasi,
dilepaskan dalam plasma. Bahan ini akan beraksi pada sel mast, sel otot
polos dan neutrofil. Complement 5a (C5a) yang bekerja pada otot polos
akan mengakibatkan kontraksi sehingga menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah dan bronkospasma. Komplemen C3a dan C5a juga
menyebabkan amin vasoaktif (serotonin dan histamin) dilepaskan oleh sel
mast dan basofil serta degranulasi neutrofil. Efek sistemik pelepasan
serotonin dan histamin adalah meningkatnya permeabilitas selular
sehingga dapat terjadi hipotensi.5
c. Tahap akhir aktivasi komplemen adalah terbentuknya MAC yang
menyebabkan lisisnya eritrosit. Hemoglobin yang dilepaskan akan diikat
oleh haptoglobin plasma. Bila kapasitas peningkatan haptoglobin dalam
plasma terlampaui akan ditemukan hemoglobinemia dan
hemoglobinuria.5

Tugas Pendahuluan 3
Gambar 2. Aktivasi Komplemen Jalur Klasik5

b) Mekanik
Patofisiologi hemolisis intravaskular akibat faktor mekanik adalah
lisisnya eritrosit akibat gesekan, yakni hemolisis intravaskular yang tidak
berhubungan dengan reaksi imun. Faktor mekanik dapat dibagi menjadi 2,
yaitu makroangiopati dan mikroangiopati. Makroangiopati meliputi
gangguan katup jantung seperti kalsifikasi katup atau stenosis, yang membuat
eritrosit yang melewati katup jantung terdestruksi sehingga lisis.
Mikroangiopati meliputi Hemolytic Elevated Liver Enzyme Low Platelet
Syndrome (HELLP), Disseminated Intravascular Coagulation (DIC),
Thrombotic Thrombocytopenic Purpura (TTP), Hemolytic Uremic Syndrome
(HUS).7,8

Tugas Pendahuluan 4
c) Gangguan Membran atau Hemoglobin
Hemolisis intravaskular karena gangguan membran atau hemoglobin
contohnya antara lain adalah sferositosis herediter, luka bakar derajat berat,
sickle cell anemia, defisiensi enzim Glucose-6-Phospate Dehydrogenase
(G6PD).
1) Sferositosis herediter (SH)
Merupakan salah satu jenis anemia hemolitik yang disebabkan oleh
kerusakan pada membran eritrosit. Kerusakan terjadi akibat defek pada
komponen sitoskeleton eritrosit. Sitoskeleton pada membran eritrosit
terutama disusun oleh spektrin, protein perifer yang melekat pada
membran eritrosit bagian dalam, yang membentuk jaringan kerangka
untuk menyokong bentuk dan fleksibilitas eritrosit. Kelainan genetik yang
menyebabkan abnormalitas dari spektrin dapat menimbulkan manifestasi
kelainan bentuk eritrosit, yang mengarah pada terjadinya anemia
hemolitik.9
2) Luka Bakar
Luka bakar meningkatkan permeabilitas dari sistem mikrovaskular
dengan hilangnya dari plasma protein, yang mengakibatkan adanya
gangguan hemokonsentrasi. Hancurnya eritrosit di jam pertama setelah
luka bakar mencapai 30-46% dan dimanifestasikan oleh hemolisis yang
mendadak, mikrositosis, anisositosis, poikilositosis, hemoglobinuria,
timbulnya tanda dari bayangan eritrosit, sekuestrasi dan deposisi di
jaringan yang terbakar akibat dari statis kapiler. Keadaan anemia pada
luka bakar ini digambarkan dengan anomali morfologi eritrosit
(spherocytes, schistocytes).10
3) Sickle Cell Anemia
Merupakan suatu keadaan perubahan asam amino ke-6 pada rantai protein
globin beta dari asam glutamat menjadi valin menyebabkan perubahan
morfologi eritrosit. Perubahan asam amino tersebut menyebabkan
Hemoglobin Sickle Cell (HbS) memiliki kecenderungan untuk berikatan

Tugas Pendahuluan 5
dengan HbS lain membentuk suatu rantai spiral (polimerisasi) ketika
eritrosit mengalami deoksigenasi, sehingga eritrosit tidak lagi berbentuk
bikonkaf tetapi menyerupai sickle (sabit).11
4) Defisiensi Glucose-6-Phospate Dehydrogenase (G6PD).
G6PD adalah enzim yang sangat penting untuk menjaga sel eritrosit agar
tetap berfungsi dengan normal. G6PD mengkatalisis langkah pertama dari
jalur fosfat pentosa, sejumlah reaksi sampingan dari jalur utama glikolisis
dalam eritrosit dan dalam semua sel tubuh. Peran G6PD pada
metabolisme eritrosit adalah menyebabkan terjadinya metabolisme
glukosa untuk menghasilkan Adenosine Triphosphate (ATP), yang
digunakan untuk kerja pompa ionik dalam rangka mempertahankan
lingkungan ionik yang cocok bagi eritrosit. Pembentukan ATP ini
berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof yang melibatkan sejumlah
enzim seperti glukosa fosfat isomerase dan piruvat kinase, sebagian kecil
glukosa mengalami metabolisme dalam eritrosit melalui jalur heksosa
monofosfat dengan bantuan enzim G6PD untuk menghasilkan glutasi
yang penting untuk melindungi hemoglobin dan membran eritrosit dari
oksidan. Defisiensi enzim piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan
G6PD dapat mempermudah dan mempercepat hemolisis. Yang paling
sering mengalami defisiensi adalah G6PD.12

2. HEMOLISIS EKSTRAVASKULAR
Mekanisme utama hemolisis ekstravaskular melalui sekuestrasi dan
fagositosis eritrosit oleh makrofag dalam limpa, liver dan sumsum tulang akibat
deformabilitas yang buruk (ketidakmampuan mengubah bentuk yang cukup
untuk melewati limpa). Pada hemolisis extravaskular, eritrosit didegradasi dalam
makrofag, sehingga hemoglobin tidak dilepaskan bebas ke dalam sitoplasma.
Sehingga tidak ditemukan hemoglobinemia atau hemoglobinuria kecuali terjadi
bersamaan dengan hemolisis intrvaskular. Terjadi proses eritrofagositosis (EP)
yang mencegah terlepasnya komponen eritrosit yang berbahaya. 13

Tugas Pendahuluan 6
Destruksi ekstravaskular dapat terjadi dengan masuknya eritrosit ke
dalam jaringan atau cairan (contohnya pada tumor, otak pada stroke pendarahan,
atau plak atheromatosa hemoragik). Destruksi ekstravaskular dari ekstravasasi
eritrosit tersebut dapat disebut juga hemolisis intra-jaringan. Terjadinya
perubahan eritrosit spesifik selama eryptosis, destruksi utama eritrosit dicapai
melalui proses EP (menelan dan degradasi intrasel), terutama oleh makrofag lien,
namun sel lain yang ada dalam jaringan hemoragik dapat berkontribusi. Pada
kondisi patologis yang memengaruhi kehidupan eritrosit dengan akselerasi
proses eryptosis, seperti penyakit sel sabit, anemia hemolitik akibat defisiensi
enzim G6PD, atau pada diabetes dengan glikasi eritrosit, eritrosit lebih rapuh dan
rentan terhadap destruksi baik intravaskular maupun extravaskular. Pada kondisi
diatas, EP dapat terjadi dalam monosit atau neutrofil yang terdapat dalam
sirkulasi, yang kemudian bermigrasi ke dalam liver. 13,14
Hemolisis ekstravaskular adalah mekanisme destruksi eritrosit yang
paling sering dan dimediasi oleh makrofag jaringan dalam sistem retikuloendotel
(RES). Mekanisme ini disebut sebagai fagositosis eritrosit (EP), yang terdiri dari
pengenalan dan engulfment eritrosit yang sudah tua atau rusak oleh makrofag
dalam limpa, liver (sel Kupffer) dan sumsum tulang. Pencetus EP utama adalah
eryptosis. Eryptosis merupakan mekanisme apoptosis spesifik eritrosit, proses ini
dapat dicetuskan oleh beberapa stimulus seperti stres oksidatif, deplesi energi dan
syok osmotik. Eryptosis terdiri berbagai perubahan dalam eritrosit seperti
pengkerutan (ybshrinkage) sel, penggelembungan membran dan paparan
fosfatidilserin pada leaflet membran luar (remodelling membran). Perubahan
pada membran dan komposisi ion menjadikan eritrosit lebih padat. Karakteristik
ini memungkinkan separasi eritrosit muda dan tua. Asimetri fosfolipid juga
diketahui sebagai pencetus kunci untuk pengenalan dan penyingkiran eritrosit
senescent extravaskular oleh makrofag jaringan.14
Destruksi fisiologis dan klirens eritrosit eryptotik terutama dilakukan oleh
makrofag lien. Secara anatomis, lien dibagi menjadi pulpa merah yang
bertanggungjawab terhadap fungsi filtering dan pulpa putih yang terbagi oleh

Tugas Pendahuluan 7
zona marginal. Pada organ ini, eritrosit dibawa menuju pembuluh darah berbagai
ukuran, dimana mereka akan bertemu dengan makrofag lien lokal. Di dalam lien,
eritrosit harus memanjang untuk bergerak ke depan dan melewati pembuluh
darah yang diameternya mengecil. Ketika eritrosit rusak atau terlalu kaku dan
kehilangan deformabilitasnya, mereka tidak mampu melewati celah interendotel
dari pulpa merah lien, sehingga akan menetap dalam area tersebut dan dikenali
oleh makrofag pulpa merah, yang telah dikhususkan untuk menyingkirkan
eritrosit dari pembuluh darah. Pulpa merah lien sangat poten dalam menetralisir
efek toksik hemoglobin dengan kadar reseptor scavanger Hb CD163 dan enzim
heme-oksigenase 1 (HO-1) yang tinggi. Ketiadaan enzim HO-1 dapat
menyebabkan apoptosis makrofag dan lepasnya heme yang tidak termetabolisme.
Di limpa, hal ini dapat menyebabkan fibrosis pulpa merah, atrofi, hingga aspleni
fungsional.15
Ketika eritrosit rusak atau terdapat defek intrinsik yang mempercepat
proses eryptosis dan mempersingkat masa hidupnya, monosit dari sirkulasi
berperan penting dalam proses klirens eritrosit oleh EP. Migrasi sel ini ke dalam
liver dengan diferensiasinya menjadi makrofag menunjukkan bahwa liver
merupakan lokasi utama eliminasi eritrosit patologis serta daur ulang besi. 15

Gambar 3. Hemolisis eritrosit dan daur ulang heme besi.13

Tugas Pendahuluan 8
Ketika berada di dalam vakuol fagositik, eritrosit dicerna oleh enzim
hidrolitik dan ROS, menyebabkan pelepasan Hb kemudian heme di dalam
vakuol. Heme kemudian ditransport melalui membran fagosomal melalui Heme
Transporter HRG1 untuk mencapai sitosol. Heme Oxygenase-1 (HMOX1)
mendegradasi heme menjadi biliverin, CO, dan besi. Besi disimpan sebagai
ferritin atau ditransport keluar sel melalui eksporter besi yaitu ferroportin.
Hepcidin yang disebut juga hormon besi, terutama diproduksi dan disekresikan
hepatosit dalam liver, namun juga oleh organ lain seperti monosit dan makrofag.
Ferroportin merupakan target hepcidin, mendukung internalisasi dan degradasi
transporter melalui proses ubiquitinasi.13
Klirens eritrosit dapat dilihat sebagai 2 proses komponen. Di satu sisi,
retensi mekanik dan deformabilitas eritrosit menentukan apakah eritrosit
disingkirkan dari sirkulasi; di sisi lain, faktor biologis sel terlibat dalam
penyingkiran eritrosit melalui eritrofagositosis dalam limpa. Sinyal “eat me”
terakumulasi dalam membran sel eritrosit dan sinyal ini mencetuskan klirens
eritrosit oleh makrofag, namun belum ada konsensus mengenai sinyal ini.
Beberapa mekanisme klirens yang diajukan adalah band 3, protein transmembran
yang banyak, yang merupakan target utama Neutralizing Antibody (NABs).
NABs adalah antibodi dalam serum individu sehat yang terbentuk tanpa paparan
antigen. Imunoglobulin lebih condong ke isotipe IgM, dan produksinya telah
dimulai sebelum lahir oleh sel B dari tipe B1 dalam zona marginal limpa. Selain
melindungi dari patogen, NABs juga regulator penting dalam membersihkan sel
apoptotik dan nekrotik. Seiring waktu, band 3 dipercaya dipengaruhi kerusakan
oksidatif, yang menyebabkan formasi epitope untuk ikatan NABs. Diduga
kerusakan oksidatif Hb mendukung formasi hemikrom, yang mengikat band 3
dan mengakibatkan clustering. Terbentuknya kompleks antara NABs dan
fragmen komplemen C3 merupakan opsonin poten yang segera dikenali oleh
reseptor komplemen dalam makrofag.16

Tugas Pendahuluan 9
Gambar 4. Persinyalan dalam interaksi antar makrofag dan eritrosit.16

Selain limpa, liver juga merupakan depot eritrosit yang penting dan
berperan penting pula dalam klirens eritrosit dan daur ulang besi. Dalam liver,
makrofag residen (sel Kupffer) bukan merupakan satu-satunya yang bertanggung
jawab terhadap klirens eritrosit, dimana populasi sel liver lain juga
bertanggungjawab pada sekuestrasi eritrosit, seperti Hepatic Sinusoid Endotel
Cell (HSEC), yang dapat mengikat eritrosit yang rusak namun tidak dapat
memfagositnya. HSEC membantu proses EP dengan mempresentasikan eritrosit
rusak kepada makrofag. Keberadaan eritrosit yang rusak mempercepat rekrutmen
monosit. Monosit ini dapat berubah menjadi makrofag sementara dengan
kemampuan lengkap untuk memfagositos eritrosit dan mendaur ulang besi.
Populasi makrofag spesifik ini hanya ditemukan di liver, dimana peneliti

Tugas Pendahuluan 10
mengatakan bahwa liver beradaptasi sebagai respon peningkatan permintaan
fagositosis eritrosit. Sel mast terlibat dalam pertahanan adaptif dan innate
melawan patogen dengan sekresi dan pelepasan molekul pro-inflamasi. Pada
kondisi tertentu, sel mast dapat bertindak seperti fagosit profesional untuk klirens
patogen dan mikromolekul. Baru-baru ini, sel mast terbukti memiliki kemampuan
fagositik untuk eritrosit yang mengalami kerusakan oksidatif, namun tidak untuk
eritrosit normal. Sel endotel dapat berinteraksi dengan eritrosit yang rusak dan
teroksidasi, yang kemudian diikuti dengan EP. 17

III. MANIFESTASI KLINIS


1. HEMOLISIS INTRAVASKULAR
Patofisologi hemolisis intravaskular yang disebabkan antara lain karena
reaksi komplemen-IgM, defisiensi enzim G6PD, makroangiopati dan
mikroangiopati anemia hemolitik. Hemoglobin merupakan molekul yang terdiri
dari kandungan heme (zat besi) dan rantai polipeptida globin. Heme adalah gugus
prostetik yang terdiri dari atom besi. Protoporfirin diubah menjadi bilirubin tak
terkonjugasi. Peningkatan kadar bilirubin dapat terjadi karena peningkatan
katabolisme hemoglobin (terjadi peningkatan bilirubin indirek) atau karena
penurunan klirens hepatik (terjadi peningkatan bilirubin direk). Pada kasus
hemolisis, eritrosit yang terpecah akan meningkatkan produksi bilirubin indirek
akibat pelepasan hemoglobin yang meningkat. Hal ini bermanifestasi ikterik pada
pasien.1
Lactate Dehydrogenase (LDH) juga dilepaskan saat eritrosit mengalami
degradasi. LDH adalah enzim intraselular yang terdapat hampir di semua sel
hidup. LDH adalah enzim yang dibutuhkan untuk mengkatalisasi perubahan dari
asam piruvat menjadi asam laktat pada kondisi glikolisis anaerob. Saat eritrosit
lisis, disebabkan oleh meningkatnya kadar Hb bebas dalam plasma dan oleh
karena itu akan berujung pada terbentuknya banyak kompleks Haptoglobin-
Hemoglobin (Hp-Hb).1 Pemantauan kadar LDH dapat menjadi salah satu
petunjuk untuk membedakan kasus hemolisis intravaskular dan ekstravaskular,

Tugas Pendahuluan 11
dimana pada kasus hemolisis ekstravaskular terjadi peningkatan yang ringan
(>1x-2x dari nilai batas atas), sedangkan pada hemolisis intravaskular,
peningkatan LDH dapat mencapai 4-5x dari nilai batas atas.1,3
Hemosiderin merupakan salah satu produk yang terbentuk dalam proses
degradasi eritrosit. Hemoglobin yang terlepas dari proses penghancuran eritrosit
akan membentuk kompleks Hb-Hp, namun apabila jumlah hemoglobin melebihi
kapasitas ikat haptoglobin, maka hemoglobin ini akan disaring di glomerulus dan
direabsorpsi di tubulus kontortus proksimal. Disini besi dalam cincin heme akan
dilepas dan disimpan dalam bentuk ferritin atau hemosiderin dan akan
diekskresikan di urin. Jumlah hemosiderin yang tinggi mengindikasikan
penghancuran eritrosit berlebih. Hemosiderinuria biasanya didapatkan pada
kasus Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH), transfusi sampel darah
yang inkompatibel, defisiensi G6PD, luka bakar derajat berat, dan infeksi berat.
Hemosiderinuria biasanya terlihat 3-4 hari setelah onset hemolisis dan dapat
bertahan hingga berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan setelah hemolisis
berhenti (Gambar 5).1

Gambar 5. Manifestasi Hemolisis Intravaskular 1

Tugas Pendahuluan 12
2. MANIFESTASI KLINIS HEMOLISIS EKSTRAVASKULAR
Hemolisis perlu dipertimbangkan bila pasien mengalami ikterik akut atau
hematuria pada anemia. Gejala hemolisis kronis dapat berupa limfadenopati,
hepatosplenomegali, kolestasis, dan koledokolithiasis. Gejala non-spesifik lain
adalah kelelahan, dyspnea, hipotensi, dan takikardi. Gejala hemolisis tergantung
pada etiologi yang mendasarinya. Beberapa keluhan dan temuan pemeriksaan
fisik yang dapat membantu mengarahkan pada diagnosis dapat dilihat sebagai
berikut: 3
 Diare: sindrom uremia hemolitik (HUS)
 Riwayat anemia hemolisis: penyakit sel sabit, sferositosis herediter,
thalassemia, defisiensi G6PD
 Demam: anemia hemolitik autoimun, koagulasi intrvaskular diseminata,
HUS, infeksi
 Hematuria: hemoglobinuria nokturnal paroksismal (PNH)
 Obat-obatan: anemia mikroangiopatik trombotik akibat obat, anemia
hemolitik akibat obat, defisiensi G6PD

Tabel 1. Obat Penyebab Hemolisis.8


MEKANISME OBAT
Obat yang menginduksi Anemia Beta lactam, Cefotetan, Ceftriaxone
Hemolitik
Obat yang menginduksi Anemia Ekstasi, Bupropion, Kemoterapi
mikroangiopati trombotik
Oksidasi Dapson, Nitrofurantoin,
Phenazopyridine

 Ikterus: anemia hemolitik apapun


 Riwayat kanker: anemia hemolitik autoimun hangat
 Riwayat infeksi mononukleosis atau Mycoplasma pneumoniae: anemia
hemolitik autoimun dingin
 Riwayat transfusi terbaru: reaksi transfusi hemolitik

Tugas Pendahuluan 13
Pemeriksaan awal dimulai dari hitung darah lengkap yang
menggambarkan MCV normositik atau makrositik. Ketika anemia teridentifikasi,
pemeriksaan dapat meliputi laktat dehidrogenase (LDH), haptoglobin, retikulosit,
dan bilirubin indirek, serta urinalisis. Haptoglobin berikatan dengan Hb bebas,
sehingga kadarnya berkurang pada kondisi hemolisis. Bilirubin indirek juga dapat
meningkat saat produksinya melebihi kemampuan eliminasinya. Hemolisis
umumnya menunjukkan retikulositosis yang menyebabkan makrositosis, kecuali
terdapat defisiensi besi atau supresi sumsum tulang. Kumpulan retikulosit,
peningkatan LDH, bilirubin indirek, dan penurunan haptoglobin mengkonfirmasi
hemolisis.18,19
Identifikasi etiologi spesifik dimulai dari pemeriksaan apusan darah tepi
untuk mencari abnormalitas eritrosit, seperti sferosit, schistocyte, atau sel bite
atau blister. Sferosit disebabkan oleh defisit membran atau kerusakan kecil
membran berulang oleh makrofag. Sel bite atau blister dapat terjadi akibat
fagositosis parsial, terjadi pada sebab oksidatif seperti defisiensi G6PD.
Pemeriksaan antiglobulin direk (DAT) dapat membedakan sebab hemolitik imun
atau non-imun.18

Gambar 6. Sel sabit, schistocyte, dan akantosit. Eritrosit polikromatik


menggambarkan retikulosit.18

Tugas Pendahuluan 14
Hemolitik autoimun dapat menyebabkan manifestasi bervariasi dari yang
anemia ringan sampai dengan anemia yang berat dan bisa mengancam jiwa.
Umumnya ditemukan ikterus dan hepatosplenomegali. Jika pasien mempunyai
penyakit dasar seperti LES atau leukemia limfositik kronik (LLK), gambaran
klinis pasien tersebut dapat terlihat. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan
kadar Hb yang bervariasi dari ringan sampai berat (HT<10%). Retikulositosis dan
fferositosis biasanya dapat dilihat pada apusan darah tepi. Pada kasus hemolysis
berat, penekanan pada sumsum tulang dapat mengakibatkan lisis eritrosit.20
Manifestasi klinik anemia defisiensi enzim beragam mulai dari anemia
hematolik neonatus berat sampai ringan, hemolisis yang terkompensasi dengan
baik dan tampak pertama pada dewasa. Polikromatofilia dan mikrositosis ringan
menggambarkan angka kenaikan retikulosit. Manifestasi klinis sangat beragam
tergantung dari jenis kekurangan enzim, defisiensi enzim glutation reductase
kadang disertai trombopenia dan leukopenia disertai kelainan neurologis.
Defisiensi piruvatkinase khasnya ada peningkatan kadar 2,3 difosfogliserat.
Defisiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI) gejala menyerupai sferositosis,
tetapi tidak ada peninggian fragilitas osmotik dan hapusan darah tepi tidak
ditemukan sferosit.20
Sferositosis herediter menyebabkan penyakit hematolik pada bayi baru
lahir dan tampak dengan anemia dan hyperbilirubinemia yang cukup berat.
Sebagian penderita tidak terdapat gejala sampai dewasa sedangkan sebagian
lainnya mungkin mengalami anemia berat yang pucat, icterus, lesu dan
intoleransi aktivitas. Hasil hemolisis yaitu retikulositosis dan hiperbirubinemia.
Kadar Hb biasanya 6-10g/dL. Angka retikulositosis sering meningkat sampai 6-
20% dengan nilai 10%. Eritrosit pada apus darah tepi berukuran bervariasi dan
terdiri dari retikulosit polikromatofilik dan sferosis.20
Anemia berat tipe mikrositik dengan hepatosplenomegali pada anak
biasanya disertai keadaan gizi yang buruk dan mukanya memperlihatkan fasies
mongoloid. Jumlah retikulosit dalam darah meningkat. Hasil laboratorium
thalasiemia-ß HbF >90% tidak ada HbA. Pada thalasiemia-α, anemia tidak

Tugas Pendahuluan 15
sampai memerlukan transfusi darah, mudah terjadi hemolisis akut pada serangan
infeksi berat, kadar Hb 7-10g/dL, sediaan apus darah tepi memperlihatkan tanda
hipokromia yang nyata dengan anisositosis dan poikilositosis.18

IV. RINGKASAN
Hemolisis dapat terjadi akibat hemolisis ekstravaskular bersamaan
dengan hemolitik intravaskular. Hemolisis intravaskular adalah lisisnya eritrosit
di dalam pembuluh darah yang terjadi bila komplemen teraktivasi dengan cepat
biasanya oleh Immunoglobulin M (IgM). Mekanisme utama hemolisis
intravaskular adalah aktivasi komplemen jalur klasik, mekanik dan gangguan
membran atau hemoglobin. Manifestasi dari hemolisis intravaskular adalah
peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi, peningkatan LDH dan
hemosiderinuria. Hemolisis intravaskular menyebabkan gejala klinis yang berat
dan kegagalan organ apabila tidak segera ditangani.

Hemolisis ekstravaskular adalah lisisnya eritrosit yang terjadi hampir


selalu di dalam organ biasanya oleh antibodi IgG, seperti hepar dan lien, bukan
di dalam vaskular. Mekanisme utama hemolisis ekstrvasakular adalah melalui
sekuestrasi dan fagositosis eritrosit oleh makrofag dalam limpa, liver dan
sumsum tulang akibat deformabilitas yang buruk. Destruksi utama eritrosit
dicapai melalui proses eritrofagositosis, terutama oleh makrofag lien. Selain
limpa, liver juga merupakan depot eritrosit yang penting dan berperan penting
pula dalam klirens eristrosit dan daur ulang besi. Dalam liver, makrofag residen
(sel Kupffer) bukan merupakan satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap
klirens eritrosit, dimana populasi sel liver lain juga bertanggungjawab pada
sekuestrasi eritrosit. Hemolisis perlu dipertimbangkan bila pasien mengalami
ikterik akut atau hematuria pada anemia. Gejala hemolisis kronis dapat berupa
limfadenopati, hepatosplenomegali, kolestasis, dan koledokolithiasis. Gejala
non-spesifik lain adalah kelelahan, dyspnea, hipotensi, dan takikardi.

Tugas Pendahuluan 16
DAFTAR PUSTAKA

1. Siddon AJ, Tormey CA. The chemical and laboratory investigation of


hemolysis. In: Advances in Clinical Chemistry. Academic Press Inc.; 2019. p.
215–58.
2. Hendrickson JE, Tormey CA. The RBC as a Target of Damage. In: Pathobiology
of Human Disease. Elsevier; 2016.
3. Barcellini W, Fattizzo B. Clinical Applications of Hemolytic Markers in the
Differential Diagnosis and Management of Hemolytic Anemia. Vol. 2015,
Disease Markers. Hindawi Limited; 2015.
4. Jameson et al. Harrison’s, Principles of Internal Medicine. 20 ed. Boston; The
McGraw-Hill Companies; 2018.
5. Hermening, Denise. Modern Blood Banking and Transfusion Practices, 7th
edition. In Hartwell, B (Eds) Apheresis. Philadelphia; F.A. Davis Company;
2019.
6. Risitano AM, et al. Anti-complement Treatment for Paroxysmal Nocturnal
Hemoglobinuria: Time for Proximal Complement Inhibition? A Position Paper
From the SAAWP of the EBMT. J Front. Immunol. 2019; 10(1157). Diakses di
: https://www.frontiersin.org/article/10.3389/fimmu.2019.01157
7. Elaine M. Keohane, Catherine N. Otto JMW. Rodak’s Hematology: Clinical
Principles And Applications. Sixth. Canada: Elsevier; 2021. 374 p.
8. Jokiranta TS. HUS and atypical HUS. Blood. 2017 May;129(21):2847–56.
9. Sari TT, Ismail IC. Sferositosis Herediter: Laporan Kasus. Jurnal Sari Pediatri.
2016;11(4):298.
10. Spiridonova TG, Zhirkova EA. Etiology and pathogenesis of burn anemia. The
role of the blood transfusion in the treatment of patients with burns.
Sklifosovsky J Emerg Med Care. 2018;7(3):244–52.
11. Kato GJ, et al. Intravascular hemolysis and the pathophysiology of sickle cell
disease. J Clin Invest. 2017;127(3):750–60.
12. Adewoyin AS, et al. Erythrocyte Morphology and Its Disorders. Erythrocyte.
IntechOpen; 2019. Diakses di : https://www.intechopen.com/chapters/67667
13. Turpin C, et al. Erythrocytes: Central Actors in Multiple Scenes of
Atherosclerosis. International Journal of Molecular Sciences. 29 Mei
2021;22:5843.
14. Li H, et al. How the spleen reshapes and retains young and old red blood cells:
A computational investigation. PLOS Computational Biology. 1 November
2021;17(11):e1009516.

Tugas Pendahuluan 17
15. Klei TRL, et al. Hemolysis in the spleen drives erythrocyte turnover. Blood. 1
Oktober 2020;136(14):1579–89.
16. Klei TRL, et al. From the Cradle to the Grave: The Role of Macrophages in
Erythropoiesis and Erythrophagocytosis. Frontiers in Immunology [Internet].
2017 [dikutip 14 Maret 2022];8. Diakses di :
https://www.frontiersin.org/article/10.3389/fimmu.2017.00073
17. De Back D, et al. Of macrophages and red blood cells; a complex love story.
Frontiers in Physiology [Internet]. 2014 [dikutip 14 Maret 2022];5. Tersedia
pada: https://www.frontiersin.org/article/10.3389/fphys.2014.00009
18. Phillips J, Henderson AC. Hemolytic Anemia: Evaluation and Differential
Diagnosis. AFP. 15 September 2018;98(6):354–61.
19. Michalak SS, et al. Autoimmune hemolytic anemia: current knowledge and
perspectives. Immun Ageing. 20 November 2020;17:38.
20. Hill A, Hill QA. Autoimmune hemolytic anemia. Hematology Am Soc Hematol
Educ Program. 30 November 2018;2018(1):382–9.

Tugas Pendahuluan 18

Anda mungkin juga menyukai