Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS ILMU KESEHATAN ANAK

ANAK LAKI-LAKI USIA 4 BULAN 11 HARI DENGAN


PNEUMONIA, CAVSD, SEVERE UNDERWEIGHT, FAIL TO
THRIVE, GIZI BURUK, ALAGILE SYNDROME

Pembimbing:
dr. Hendy Halim, MSc, Sp.A

Penyusun:
Rana Rick Winotho G
406171002

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT SUMBER WARAS
PERIODE 13 AGUSTUS 2018 – 21 OKTOBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA

1
Anak Laki-laki Usia 4 Bulan 11 Hari dengan Pneumonia, CAVSD,
Severe Underweight, Fail to Thrive, Gizi Buruk, Alagile Syndrome
Rana Rick Winotho G

Fakultas Kedokteran, Universitas Tarumanagara

Abstrak

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim pari. Sebagian besar


disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh
hal lain (aspirasi, radiasi dll). Pada anamnesis, didapatkan pasien batuk dan pilek
sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Batuk dirasakan setiap hari namun tidak
dapat dikeluarkan. Batuk tidak disertai muntah. Batuk semakin memberat disertai
sesak. Pasien juga demam sejak malam SMRS dengan suhu 37,6 - 39,0 oC. Selain itu,
pasien tidak mau makan dan minum. Pasien pernah dirawat di Rumah sakit pada usia
1 bulan dengan keluhan yang sama yaitu batuk dan didiagnosis pneumonia. Pasien
juga pernah dirawat sebelumnya akibat sakit yang berat dengan diagnosis allagile
syndrome, kolestasis dan CHF. Saat ini pasien sedang menjalani pengobatan untuk
penyakit jantung bawaan nya yaitu CAVSD yang terdiagnosis pada usia 5 bulan.
Pemeriksaan fisik ditemukan anemis pada konjungtiva dan membran mukosa, keilitis
angular, bibir yang kering, dan peningkatan bising usus. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan pasien pucat, konjungtiva anemis, didapatkan bunyi jantung 2 mengeras,
bising sistolik di sela iga parasternal kiri, terdengar suara murmur grade V-VI di
katup mitral, tricuspid dan pulmonal. Pemeriksaan paru didapatkan suara nafas
bronkovesikuler pada kedua lapang paru, Rhonki kasar pada kedua lapang paru
disertai retraksi intercostal. Pemeriksaan penunjang darah lengkap didapatkan
eosinofilia, neutropenia, dan peningkatan limfosit. Pemeriksaan rontgen thoraks
didapatkan kesan gambaran gambaran congenital heart disease dengan gambaran
cardiomegaly dengan pembesaran ventrikel kanan dan pneumonia. Diagnosis kerja
pasien adalah Pneumonia, CAVSD, Gizi buruk dan pasien diberikan tatalaksana
farmakologis cefotaxime, Dexamethason, Paracetamol, dan terapi inhalasi. Terhadap
pasien dilakukan pengaturan cairan dan perhitungan kalori serta energi protein, dan
pemantauan TTV per harinya.

Kata kunci: Pneumonia, CAVSD, Gizi buruk

2
PENDAHULUAN

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pada pemeriksaan
histologis terdapat pneumonitis, atau reaksi inflamasi berupa alveolitis dan
pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai penyebab dan
berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi.1
Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas
pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah
pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak
mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin
A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri pathogen di nasofaring, dan tingginya
pajanan terhadap polusi udara.2
Berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu:
1) pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia), bila infeksinya terjadi di
masyarakat, dan 2) pneumonia RS atau pneumonia nosocomial (hospital –acquired
pneumonia) bila infeksinya didapat di rumah sakit.2 Di Amerika Serikat, pneumonia
komunitas terjadi 12 kasus per 1000 orang per tahunnya, namun insidensi meningkat
sampai 12-18 kasus untuk pasien anak-anak dibawah 4 tahun dan mencapai 20 kasus
per 1000 orang untuk pasien diatas 60 tahun.3 Untuk pasien-pasien dengan rawatan
ICU, sekitar 10% akan mengalami pneumonia dari kebanyakan penelitian yang
dilakukan, dimana ratio hazard tertinggi adalah saat 5 hari pertama pemasangan
ventilator.3
Atrioventricular Septal Defect (AVSD) adalah tidak terbentuknya struktur
septum atrio-ventrikuler yang normal sehingga atrioventricular junction menyatu.
Biasa disebut juga sebagai malformasi atrioventricular canal atau defek "endocardial
cushion", kemudian dikenal sebagai Atrioventricular Septal Defect (AVSD).4 Pada
Atrioventricular Septal Defect (AVSD), gejala timbul dalam minggu-minggu pertama,
dan gagal jantung terjadi pada bulan-bulan pertama. Sering terjadi hipertensi
pulmonal dengan bunyi jantung ke 2 keras dan tunggal. Terdapat bising sistolik di
daerah katup pulmonal dan bising pansistolik di apeks karena terdapat regurgitasi
katup yang menghubungkan atrium dan ventrikel kiri. Biasanya pasien dengan

3
Atrioventricular Septal Defect (AVSD) memerlukan operasi korektif pada umur
dibawah 1 tahun.5
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan
menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight
(Kemenkes RI, 2011), sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang gizi
tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan
marasmus-kwashiorkor.6
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah
Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas menunjukkan
bahwa jumlah balita yang BB/U <-3SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989
meningka tdari 6,3% menjadi 7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6 %
padatahun 1995. Upaya pemerintahan antara lain melalui Pemberian Makanan
Tambahan dalam Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan peningkatan pelayanan gizi
melalui pelatihan-pelatihan Tatalaksana Gizi Buruk kepada tenaga kesehatan, berhasil
menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1 % pada tahun 1998; 8,1% tahun 1999 dan
6,3 % tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali menjadi 8%
dan pada tahun 2003 menjadi 8,15 %. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
anak gizi buruk dengan gejala klinis (marasmus, kwashiorkor, marasmus-
kwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit infeksi seperti diare, Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA). Tuberkulosis (TB) serta penyakit infeksi lainnya. Data dari
WHO menunjukkan bahwa 54 % angka kesakitan pada balita disebabkan karena gizi
buruk, 19 % diare, 19% ISPA, 18% perinatal, 7% campak, 5% malaria dan 32 %
penyebab lain.7,8

KASUS

Seorang anak laki-laki,F, berusia 4 bulan 28 hari datang ke poliklinik RS Sumber


Waras dengan keluhan utama batuk dan pilek sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Batuk dirasakan setiap hari namun tidak dapat dikeluarkan. Batuk tidak disertai
muntah. Batuk semakin memberat sehingga Ibu pasien mengatakan anaknya terlihat
sesak karena tampak cekungan di dada pasien dan membuat anaknya lemas. Ibu
pasien mengatakan, keluhan sesak muncul terus menerus dan tidak membaik pada
saat istirahat. Pasien juga demam sejak malam SMRS dengan suhu 37,6 - 39,0 oC
yang diukur dengan termometer. Demam membaik ketika ibu pasien memberikan

4
paracetamol syrup. Ibu pasien mengaku sejak anaknya batuk dan pilek, anaknya
kurang mengonsumsi ASI dan susu formula sejak dua hari sebelum masuk rumah
sakit, sehingga pasien terlihat lemas dan kurang beraktivitas. Keluhan muntah, kejang
dan mencret disangkal. BAB dan BAK masih dalam batas normal.

Ibu pasien mengatakan pasien pernah mengalami hal yang sama sebelumnya.
Pasien pernah dirawat di Rumah sakit pada usia 1 bulan dengan keluhan yang sama
yaitu batuk dan didiagnosis pneumonia. Pasien juga pernah dirawat sebelumnya
akibat sakit yang berat dengan diagnosis allagile syndrome, kolestasis dan CHF. Saat
ini pasien sedang menjalani pengobatan untuk penyakit jantung bawaan nya yang
terdiagnosis pada usia 5 hari. Di keluarga pasien, tidak ada anggota keluarga yang
sedang mengalami keluhan yang sama.

Riwayat perinatal pasien didapatkan pasien merupakan anak pertama. Pasien


lahir cukup bulan (37 minggu) dengan persalinan normal, KPD 11 jam, lilitan tali
pusat, Apgar score 7/9, downes score < 4 , berat badan lahir 2665 gram dan panjang
lahir 46 cm. Selama kehamilan, ibu kontrol ANC di puskesmas sesuai jadwal yang
ditentukan. Tidak ada penyulit selama kehamilan maupun persalinan. Keadaan bayi
saat lahir cukup bulan, sesuai masa kehamilan, tonus otot baik, dan bayi langsung
menangis. Riwayat imunisasi berupa hepatitis B pada usia 0,2,3,4 bulan. BCG 1 bulan
dengan scar positif pada lengan kanan atas. DPT/Hib dan 2,3,4 bulan dan polio pada
usia 1,2,34 bulan.

Anamnesis mengenai riwayat pertumbuhan anak didapatkan dalam gizi buruk


tidak sesuai usia, dengan berat badan pasien 4,1 kg dan tinggi 63 cm. Plotting
didapatkan gizi buruk (BB/U<3SD, TB/U di antara 0 dan -2 SD, BB/TB <3SD WHO
2010) berat badan ideal adalah 7 kg dan waterlow 59%). Riwayat perkembangan anak
sesuai dengan usia. Anak dapat mengangkat kepala 45 derajat pada saat ini. Penilaian
KPSP 4-6 bulan pada anak ini didapatkan jawaban “ya” sebanyak 10 buah.

Asupan nutrisi anak per 24 jam adalah 840 kkal didapatkan dari ASI dan susu
formula. Perkiraan kebutuhan energi harian anak sebesar 840 kkal/hari, protein
sebesar 15 gram, dan kebutuhan cairan sebesar 1150 mL per hari. Anak menjalani
ASI sampe saat ini dan mendapatkan tambahan susu formula.

5
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 6 september 2018,
didapatkan keadaan umum tampak lemas, pGCS E4V5M6 (compos mentis), frekuensi
napas 48x/menit dengan pola pernapasan abdominotorakal, cepat, kedalaman dangkal
, nadi 148x/menit reguler isi cukup kuat angkat, suhu aksila 36,9oC, dan SpO2 92%
dengan udara bebas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan anemis pada konjungtiva,
sclera tidak ikterik. Telinga, hidung, tenggorokan tidak ada kelainan, kelenjar getah
bening tidak teraba membesar. Pemeriksaan jantung didapatkan bunyi jantung 2
mengeras, bising sistolik di sela iga parasternal kiri, terdengar suara murmur grade V-
VI di katup mitral, tricuspid dan pulmonal. Pemeriksaan paru didapatkan suara nafas
bronkovesikuler pada kedua lapang paru, Rhonki kasar pada kedua lapang paru
disertai retraksi interkostal. Pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus 6 kali per
menit, supel, tidak teraba pembesaran organ. Turgor kulit cepat. Pemeriksaan sistem
lain dan neurologis dalam batas normal.

Pemeriksaan penunjang tanggal 6/9/2018 pemeriksaan darah lengkap


menunjukkan hasil eritrosit 4,20 (juta/uL), hemoglobin 10,4 (g/dL), hematokrit 31,7
(%), trombosit 163 (x103/mm3) , leukosit 9,3 (x103/mm3), basofil 0(%) eosinofil 6(%)
batang 2(%) segmen 28(%) limfosit 61(%) monosit 3(%). Pemeriksaan penunjang
rontgen thoraks didapatkan kesan gambaran congenital heart disease dengan
gambaran cardiomegaly dengan pembesaran ventrikel kanan dan pneumonia.

Pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan


keluhan batuk dan pilek tiga hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk dirasakan setiap
hari namun tidak dapat dikeluarkan. Batuk tidak disertai muntah. Batuk semakin
memberat, tampak cekungan di dada pasien dan tidak membaik pada saat istirahat.
Keluhan disertai demam yang menetap. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien
pucat, konjungtiva anemis, didapatkan bunyi jantung 2 mengeras, bising sistolik di
sela iga parasternal kiri, terdengar suara murmur grade V-VI di katup mitral, tricuspid
dan pulmonal. Pemeriksaan paru didapatkan suara nafas bronkovesikuler pada kedua
lapang paru, Rhonki kasar pada kedua lapang paru disertai retraksi intercostal.
Pemeriksaan penunjang darah lengkap didapatkan eosinofilia, neutropenia, dan
peningkatan limfosit. Pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan kesan gambaran
gambaran congenital heart disease dengan gambaran cardiomegaly dengan
pembesaran ventrikel kanan dan pneumonia.

6
Pasien dirawat dan diberikan antibiotik cefotaxime 3x150 mg, paracetamol
drop 0,5 mL, dan terapi inhalasi NaCl 3% 4 ml tiap 12 jam. Kebutuhan cairan per 24
jam berjumlah 410 mL, dengan cairan infus intravena RL 10 tpm mikrodrip dan
pemberian cairan secara oral on demand. Perhitungan kebutuhan kalori anak ini
adalah 840 kkal, dengan kebutuhan protein 15 gram. Pengaturan diet diberikan ASI
disertai pemberian infantrini 60% dari kebutuhan kalori sebesar 504 kkal dengan
pemberian 60ml tiap 3 jam, ini dilakukan karena pasien tidak dapat mengonsumsi
kebutuhan kalori sebesar 100%, dikarenakan muntah. Observasi TTV dakukan tiap
tiga jam, dan pemeriksaan H2TL dilakukan tiap 24 jam.

Pada perawatan hari kedua 9/9/2018 pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
didapatkan keluhan muntah sebanyak 8 kali sebanyak 50 cc tiap muntah, berisi
makanan disertai BAB cair sebanyak 2 kali berbau busuk disertai lendir. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan pasian sadar, tampak lemas, konjungtiva anemis. Pada
pemeriksaan paru didapatkan suara nafas bronkovesikuler pada kedua lapang paru,
rhonki kasar sudah mengurang. Pada pemeriksaaan abdomen didapatkan bising usus
15 kali per menit. Turgor kulit baik. Pasien mendapatkan tambahan dexamethasone
3x0,8 mg dan apialis 1x0,3 mg.

Pada perawatan hari ketiga 10/9/2018 pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
didapatkan keluhan batuk keras namun tidak disertai dahak disertai BAB cair dengan
frekuensi 2 kali, tiap BAB sebanyak 100 cc dan muntah sebanyak 10 kali, tiap muntah
± 50 cc. Pasian sadar, tampak lemas, konjungtiva anemis. Pada pemeriksaan paru
didapatkan suara nafas bronkovesikuler pada kedua lapang paru, rhonki sudah tidak
ada. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus 12 kali per menit. Turgor
kulit baik. Pasien mendapatkn tambahan puyer batuk 3x1(triamnisolon 0,8 mg,
salbutamol 0,4 mg, heptasan 0,4 mg), liprolac 1x1/2 sachet, dan zinc 1x1/2 tablet.

Pasien dipulangkan pada perawatan hari ke empat 11/9/2018 dan mendapatkan


cefixime pulvus 2x20 mg, puyer batuk 3x1(triamnisolon 0,8 mg, salbutamol 0,4 mg,
heptasan 0,4 mg), liprolac 1x1/2 sachet, dan zinc 1x1/2 tablet dan diberikan jadwal
kontrol pada tanggal 13 september 2018.

Pada tanggal 12/9/2018 pasien datang kembali ke IGD rumah sakit sumber
waras. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan keluhan kejang 1-2 menit
disertai demam tinggi. Pasien tidak sadar, tampak lemas, konjungtiva anemis. Pada

7
pemeriksaan paru didapatkan suara nafas melemah pada kedua paru, tampak retraksi
pada intercostal dan subcostal. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus 4-
kali per menit. Akral dingin, CRT <5’, tidak ada edema tungkai. Hasil dari
pemeriksaan penunjang didapatkan eritrosit 4,10 (juta/uL), hemoglobin 10,1 (g/dL),
hematokrit 31,5 (%), trombosit 256 (x103/mm3) , leukosit 5,8 (x103/mm3), basofil
0(%) eosinofil 6(%) batang 2(%) segmen 49(%) limfosit 46(%) monosit 2(%). LED 5
mm/jam, Kalium 6,0 (mmol/L), Natrium darah 150 (mmol/L), Cl- darah 116
(mmol/L), Ca Ion 1,04 (mmol/L), GDS 19 mg/Dl, pH 7,06, pCO2 50 (mmHg), pO2 39
(mmHg), HCO3- 13 (mmol/L), Total CO2 14 (mmol/L), base excess -16 (mmol/L).
Pasien mendapat terapi RL 80 cc IO habis dalam 30 menit dan pemasangan feeding
tube. KDN 1 diberikan dengan tindakan vena sectie dan pemberian dopamin 5
mcg/kgBB. Namun pada hasil pemeriksaan fisik selanjutnya didapatkan pasien koma
(E1M2V1) dengan nafas kusmaul. Pasien diberikan atropine sulfat 1 amp dan injeksi
metropenem 3 amp dan epinefrin 1 amp dan dilakukan resusitasi jantung paru.
Pemeriksaan fisik didapatkan pupil midriasis total, respon cahaya negative pada
kedua mata dan pasien dinyatakan meninggal.

PEMBAHASAN

Pada pasien ini, keluhan yang dialami (Batuk dan pilek sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit ) dan hasil pemeriksaan fisik ( napas 52x/menit dengan pola
pernapasan abdominotorakal, cepat, kedalaman dangkal disertai retraksi interkostal)
dan penunjang (rontgen thoraks kesan pneumonia) menandakan adanya kondisi
infeksi pada paru. Diagnosis pneumonia dapat ditegakkan berdasarkan gambaran
klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis.
Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis dan lebih dari satu
gejala respiratori yaitu takipnea, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki dan suara
napas melemah. Adapun pedoman WHO untuk membantu diagnosis pneumoni dibagi
atas klasifikasi sebagai berikut: 1) pneumonia berat (bila ada sesak napas, harus
dirawat dan diberikan antibiotik) 2) pneumonia (bila tidak ada sesak napas, ada napas
cepat dengan laju napas >50x/m untuk anak usia 2 bulan-1 tahun, 40x/m untuk anak
usia >1-5 tahun, tidak perlu dirawat dan diberikan antibiotk oral. 3) bukan pneumonia

8
(bila tidak ada napas cepat dan sesak napas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu
antibiotik, hanya diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas.2,8

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan


antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi
pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan
asam-basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan
analgetik/antipiretik. Pilihan antibiotic lini pertama dapat menggunakan antibiotic
golongan beta-laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif
terhadap beta-laktam dan kloramfenikol, dapat diberikan antibiotic lain seperti
gentamisin, amikasin atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang
ditemukan. Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan
pneumonia tanpa komplikasi. Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik
intraavena harus dimulai sesegera mungkin. Oleh karean pada neonatus dan bayi kecil
sering terjadi sepsis dan meningitis, antibiotic yang direkomendasikan adalah
antibiotik spectrum luas seperti kombinasi beta-laktam/klavulanat dengan
aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila keadaan sudah stabil, antibiotik
dapat diganti dengan antibiotic oral selama 10 hari. Pada balita dan anak lebih besar,
antibiotic yang direkomendasikan adalah antibiotik beta-laktam dengan/atau tanpa
klavulanat; pada kasus yang berat diberikan beta-laktam/klavulanat dikombinasikan
dengan makrolid baru intravena, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah
tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotic diganti dengan antibiotic oral dan
berobat jalan.2,8,9

Pada pasien telah diberikan terapi sesuai rekomendasi yaitu pemberian terapi
kausal serta tindakan suportif meliputi pemberian antibiotik cefotaxime 3x150 mg.
Cefotaxime adalah antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yang mempunyai
khasiat bakterisidal dan bekerja dengan menghambat sintesis mukopeptida pada
dinding sel bakteri. Cefotaxime sangat stabil terhadap hidrolisis beta laktamease,
maka Cefotaxime digunakan sebagai alternatif lini pertama pada bakteri yang resisten
terhadap Penisilin. Cefotaxime memiliki aktivitas spectrum yang lebih luas terhadap
organisme gram positif dan gram negatif. Aktivitas Cefotaxime lebih besar terhadap
bakteri gram negatif sedangkan aktivitas terhadap bakteri gram positif lebih kecil,
tetapi beberapa streptococci sangat sensitif terhadap Cefotaxime. Cefotaxime
diberikan dengan dosis 50-200 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 dosis.10 Mekanisme kerja

9
parasetamol yang utama adalah menghambat sintesis prostaglandin dalam jaringan
tubuh dengan menghambat 2 enzim cyclooksygenase yaitu cyclooksygenase-1 (COX-
1) dan cyclooksygenase-2 (COX-2). Namun efeknya lebih selektif terhadap COX-2
sehingga tidak menghambat pembentukan tromboksan yang bertanggung jawab
terhadap pembekuan darah. Walaupun memiliki efek analgesik dan antipiretik seperti
kebanyakan obat Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS), namun parasetamol tidak
termasuk golongan obat AINS karena efek anti radangnya yang sangat lemah. Selain
itu, obat ini juga bekerja di sistem syaraf pusat dengan mempengaruhi hipotalamus
untuk menurunkan sensitifitas reseptor nyeri dan termostat yang mengatur suhu
tubuh. Pada pasien ini diberikan PCT drop 0,5 ml dapat diulang tiap 4 jam apabila
suhu > 38oC. Ada beberapa jenis terapi inhalasi yang dapat diberikan pada pasien
dengan gangguan system pernapasan yaitu: a. Nebulizer, b. MDI (metered dose
inhaler), c. DPI (dry powder inhaler). Nebulizer adalah alat yang digunakan untuk
mengubah obat bentuk cair ke bentuk partikel aerosol. Bentuk aerosol ini sangat
bermanfaat apabila dihirup atau dikumpulkan dalam paru. Efek dari terapi ini adalah
untuk bertujuan mengembalikan kondisi spasme bronkus. Terapi inhalasi pada pasien
ini diberikan inhalasi NaCl 3% 4 ml tiap 12 jam.2,10

Atrioventricular Septal Defect (AVSD) adalah tidak terbentuknya struktur


septum atrio-ventrikuler yang normal sehingga atrioventricular junction menyatu.
Mekanisme terjadinya AVSD masih belum diketahui dengan pasti. Beberapa
penelitian menunjukkan terdapat faktor familial atau genetik yang berperan terhadap
terjadinya AVSD karena AVSD sering terjadi berulang dalam satu keluarga, dan
pernikahan di antara anggota keluarga juga berperan meningkatkan risiko terjadinya
DSA. Faktor familial dapat disebabkan karena kelainan kromosom atau mutasi gen.
Sedangkan faktor nongenetik yang berpengaruh terhadap terjadinya AVSD adalah
penyakit pada ibu yaitu infeksi, kelainan metabolik, kelainan imunologik, obesitas,
penggunaan obat-obatan selama hamil, ras, dan usia pada saat hamil.4,5
Penatalaksanaan pada pasien dengan AVSD, dilakukan perencanaan terapi
medikamentosa dan intervensi bedah. Terapi medikamentosa dapat diberikan adalah
terapi gagal jantung, terapi antibiotik apabila disertai infeksi paru dan pencegahan
terhadap dari endokarditis infektif.5,11 Pasien ini sedang menjalani pengobatan jantung
di RSABHP. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil (bunyi jantung 2 mengeras,
bising sistolik di sela iga parasternal kiri, terdengar suara murmur grade V-VI di

10
katup mitral, tricuspid dan pulmonal). Pasien ini direncanakan akan melakukan
koreksi pada usia 6 bulan namun diberikan obat obatan berupa captopril 3x2 mg dan
furosemid 1x4 mg dikarenakan complete AVSD dengan gagal jantung, pasien harus
diberikan obat-obat gagal jantung dahulu (digitalis, diuretik. dan vasodilalor). Bila
gagal jantung tak teratasi dan keadaan umum pasien buruk, maka dilakukan
pulmonary artery banding (PAB) terlebih dahulu dan operasi koreksi dilakukan
setelah usia 5-9 bulan. PAB tidak dianjurkan bila terdapat regurgitasi katup AV yang
bemakna karena akan memperberat derajat regurgitasi.12,13
Terdapat beberapa parameter antropometri yang penting untuk mengetahui
status gizi bayi atau anak dengan penyakit jantung bawaan. Evaluasi status gizi
tersebut dapat dilakukan dengan mengukur berat badan, tinggi/panjang badan, rasio
berat badan terhadap tinggi badan, lingkar kepala dan lain-lain, kemudian
menggambarkannya dalam kurva pertumbuhan dari NCHS. Didiagnosis gizi buruk
apabila TB/BB:<-3SD, Terlihat sangat kurus/edema, LILA < 11,5 (6-59 bulan).
Penurunan berat badan tanpa disertai gangguan tinggi badan menurut umur
menunjukkan malnutrisi akut. Sedangkan penurunan berat badan dan tinggi badan
menurut umur menunjukkan malnutrisi kronik.6,7,8 Pada pasien ini dapat ditegakkan
status gizi buruk karena pada pemeriksaan fisik, pasien tampak kurus, berkulit kering
keriput, atrofi otot serta dari perhitungan status gizi menggunakan waterlow sebesar
58%.
Pasien ini didiagnosa pneumonia, CAVSD, dan gizi buruk. Diagnosis
ditegakkan dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan. Infeksi traktus respiratorius pada anak dengan PJB merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas meliputi gagal nafas, penggunaan ventilator dalam
jangka waktu yang lama, dan rawat inap.3,5 Pasien – pasien ini seringkali memiliki
faktor yang mengakibatkan mereka memiliki resiko terkena infeksi respiratorius. RSV
(respiratory syncytial virus), human metapneumovirus, dan influenza adalah
penyebab tersering pada kasus infeksi respiratorius.2,8 Pada PJB perubahan dalam
sirkulasi paru menyebabkan perubahan system pernapasan disertai penurunan
kekebalan seluler setempat yang memudahkan pasien terutama anak anak terserang
infeksi saluran pernafasan. PJB asianotik mengalami peningkatan beban volume dan
beban tekanan pada jantung dan membuat aliran darah ke jantung menjadi bertambah.
Bertambahnya volume darah dalam paru-paru menurunkan kelenturan pulmonal dan
menaikkan kerja pernafasan. Peningkatan tekanan intravaskuler pada kapiler paru

11
menyebabkan edema paru. Edema paru ini menyebabkan gejala infeksi pernafasan
pada pasien ini.4 Status gizi pada anak dengan PJB juga menjadi peranan penting
dalam terjadinya infeksi penyakit. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai
cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi
menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan
tubuh mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menurun. Pasien ini ditegakkan
diagnosis gizi buruk dari hasil pemeriksaan fisik yang telah dilakukan. Perawakan
sangat pendek, atrofi otot dan keluhan penurunan nafsu minum pasien menunjukkan
bahwa adanya penurunan intake makanan. Anak dengan penyakit jantung bawaan
dapat menunjukkan gangguan pertumbuhan. Gagal tumbuh terjadi sudah sejak masa
awal bayi. Beberapa keadaan yang dapat menerangkan gagal tumbuh pada anak
dengan penyakit jantung bawaan adalah keadaan hipoksia dan kesulitan bernapas
yang menyebabkan persoalan makan pada anak. Anoksia dan kongesti vena pada
saluran cerna dapat menyebabkan malabsorpsi makanan, anoksia perifer dan asidosis
menyebabkan ketidakcukupan nutrisi serta peningkatan laju metabolikmenunjukkan
ketidak cukupan masukan makanan untuk pertumbuhan. Anak dengan penyakit
jantung bawaan memerlukan pemantauan pertumbuhan untuk mempertahankan
pertumbuhan linier dan peningkatan berat badan agar berhasil dengan optimal.6,7

12
KESIMPULAN

Penyakit jantung bawaan dan pneumonia mempunyai keterkaitan yang cukup erat dan
saling mempengaruhi, oleh sebab itu diperlukan tatalaksana yang tepat pada kedua
penyakit tersebut. Pemilihan terapi yang tepat pada pneumonia dengan antibiotik yang
tepat sangat diperlukan dalam kaitan dengan PJB agar tidak memperburuk keadaan
pasien, selanjutnya pada penatalaksanaan PJB diperlukan penatalaksanaan secara
operatif dan tepat sesuai tingkat beratnya PJB dalam kasus ini adalah CAVSD.
Program peningkatan berat badan dengan pemberian susu formula untuk memenuhi
kebutuhan kalori pasien dan untuk meningkatkan pertumbuhan pasien perlu
diperhatikan dan observasi pertumbuhan dan perkembangan pasien.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Dahlan, F. 2000. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2012). Buku Ajar Respirologi anak, edisi
pertama. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
3. Mandell, LA. 2012. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 18th Edition.
Volume I. USA: Mc-GrawHill.
4. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners, edisi ke-5. Philadelphia: Mosby;
2007:181-188
5. Rahayoe AU. Indikasi dan pemilihan waktu yang tepat untuk intervensi penyakit
jantung bawaan. Dalam: Putra ST, Advani N, Rahayoe AU, penyunting. Dasar-
dasar diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung pada anak. Jakarta: Forum
Ilmiah Kardiologi Anak; 1998. h. 163-82.
6. Departemen Kesehatan. 2011. Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk: l 9-13,.
Jakarta: Depkes
7. Depkes RI. 2007. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta : Dirjen Bina
Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
8. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Ed 1. 2009.
Jakarta: WHO Indonesia. 131-42.
9. Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
10. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.2008.Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
11. Madiyono B, Rahayuningsih SE, Sukardi R. Penanganan penyakit jantung pada
bayi dan anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005.
12. Ontoseno, T., Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Yang Kritis
Pada Neonatus ( Diagnosis And Management Of Critical Congenital Heart
Disease In The Newborn), Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK
Unair – RSU
13. Bernstein, Daniel. 2003. Heart Failure dalam Nelson Textbook of Pediatrics 17th
edition. USA: Elsevier Science.

14

Anda mungkin juga menyukai