Anda di halaman 1dari 7

CONTOH KASUS

MARASMUS

Pasien anak, laki-laki, usia 6 bulan, BB 4,4 kg, PB 61 cm datang ke RSAM pada tanggal 8
Agustus 2014 dengan keluhan sesak napas dan batuk berdahak yang memberat sejak 1 minggu.
Sesak terjadi sepanjang hari. Keluhan sesak dan batuk pada pasien sudah dirasakan sejak pasien
berusia 40 hari. Pasien sering berobat ke bidan dan puskesmas, namun membaik sesaat dan
kambuh kembali. Berat badan dikeluhkan tidak mengalami penambahan sejak 2 bulan terakhir,
bahkan cenderung menurun. Pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, nadi 144
x/menit, pernafasan 62 x/menit, suhu 36,2ºC, rambut sedikit dan jarang, berwarna coklat
kekuningan. Perut tampak tonjolan di umbilikus, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+),
auskultasi paru vesikuler +/+, ronki basah halus +/+. Terdapat tanda gizi buruk berupa wajah
orang tua, mata cekung, baggy pants dan wasting, tidak ada edema maupun kelainan kulit. Status
imunisasi dasar pasien sampai usia 6 bulan tidak lengkap. Pasien hanya mendapatkan imunisasi
BCG (umur 2 bulan), DPT 1 kali (umur 2 bulan), polio 1 kali (umur 2 bulan), dan hepatitis B 2
kali (umur 0 dan 2 bulan). Status sosial ekonomi dan lingkungan pasien kurang baik. Riwayat
nutrisi kesan asupan nutrisi kurang. Sejak usia 0-6 bulan pasien hanya diberikan Air Susu Ibu
(ASI). Ibu menyusui tergantung permintaan bayi. Dalam keadaan sehat, pasien biasa menyusu
10-12 kali sehari selama 15 menit setiap kali menyusu. Sejak mengalami sesak napas, pasien
malas menyusu sehingga seringkali hanya sanggup menyusu 6-7 kali sehari selama 5-10 menit
setiap kali menyusu. Frekuensi dan durasi menyusu yang berkurang tersebut menyebabkan
pemenuhan kecukupan kalori pasien berkurang yaitu hanya sekitar 60% dari kecukupan kalori
sebelum sakit. Riwayat tumbuh kembang kesan pertumbuhan terlambat serta perkembangan
motorik halus dan kasar terlambat. Status gizi berdasarkan WHO Growth Chart Standart 2006,
BB/U berada di bawah garis -3SD dengan kesan severely underweight (gizi buruk), PB/U berada
di bawah garis -3SD dengan kesan severely stunted (perawakan pendek), dan BB/PB berada di
bawah garis -3SD dengan kesan severely wasted. Diagnosis pasien ini adalah gizi buruk tipe
marasmus kondisi V dengan bronkopneumonia. Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien
ini yaitu infus dextrose 10%, asupan F75 dilanjutkan dengan F100, injeksi cefotaxim
200mg/12jam, injeksi gentamisin 20mg/hari, injeksi ranitidin 5mg/12jam, paracetamol drop
0,5cc/6jam jika demam, zink 20mg’hari, probiotik 2x½ sachet, nebulisasi dengan ¼ ampul
ventolin, vitamin A 1x50000 IU, dan asam folat 1x5mg. Pemeriksaan penunjang pada pasien ini
didapatkan laboratorium hemoglobin (Hb) 9,5gr/dL, kalsium 8,5mg/dL. Foto thoraks kesan
bronkopneumonia dan kardiomegali (CTR >60%).

Pembahasan

Pasien didiagnosis sebagai marasmus kondisi V dengan bronkopneumonia. Diagnosis ini


ditegakkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.1,3,7 Gizi buruk
merupakan akibat dari konsumsi makanan yang tidak memadai dari protein dan energi, baik
karena kekurangan asupan makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan normal atau karena
kebutuhan untuk pertumbuhan lebih besar daripada yang disediakan. Gizi buruk dibagi dalam
tiga bentuk. Marasmus (nonedematous) akibat kekurangan energi, kwashiorkor (edematous),
karena kekurangan protein, dan marasmus kwashiorkor karena kekurangan energi dan
protein.1,5,8,9 Marasmus ditandai dengan penurunan berat badan dan iritabilitas. Kulit
kehilangan turgor dan berkerut serta longgar akibat kehilangan lemak subkutan. Perut buncit atau
datar, dengan pola usus mudah terlihat. Terjadi hipotrofi dan atrofi otot, suhu biasanya menjadi
di bawah normal dan denyut nadi melambat.5,8 Pasien mengalami penurunan berat badan sejak
2 bulan. Pasien tampak kurus. Perhitungan gizi berdasarkan growth chart WHO pada pasien ini,
didapatkan hasil pengukuran BB/U, TB/U, dan BB/TB <-3SD (zscore WHO 2006). 1,8
Pemeriksaan fisik didapatkan rambut coklat kekuningan, mata cekung, konjungtiva anemis,
muscles wasting (+), dan baggy pants (+). Jika dilihat berdasarkan tipe gizi buruknya, yang
dialami pasien ini adalah tipe marasmus. 5,8 Ketika datang ke RSAM, pasien ini tidak
mengalami keadaan syok, letargi, maupun muntah/ diare/ dehidrasi, sehingga pasien ini
dikategorikan sebagai gizi buruk tipe marasmus kondisi V.1,5,8 Pasien tidak pernah menderita
diare sebelumnya. Riwayat minum ASI pasien sebelum sakit cukup baik yaitu 10-12 kali sehari.
Namun, setelah mengalami batuk berdahak dan sesak napas sejak usia 40 hari, frekuensi
menyusunya menurun menjadi 6-7 kali sehari. Berat badan pasien mengalami penurunan.
Keluarga sudah membawa pasien untuk berobat ke puskesmas dan bidan. Keluarga mendapatkan
edukasi mengenai penanganan kondisi pasien. Namun, menurut pengakuan ibu pasien, keluarga
tidak melakukan upaya penanganan tersebut sesuai dengan yang diedukasikan. Dari informasi
tersebut diduga penyebab gizi buruk dari pasien ini adalah kurangnya intake asupan gizi
(frekuensi menyusu pasien sangat kurang sejak mengalami sesak napas dan batuk berdahak),
dalam hal ini ASI.10 Dalam rangka mempermudah akses asupan gizi ke dalam tubuh pasien,
maka dilakukan pemasangan Orogastric Tube (OGT). Secara teori, ada 10 langkah tata laksana
gizi buruk, yaitu (1) mencegah dan mengatasi hipoglikemia, (2) mencegah dan mengatasi
hipotermia, (3) mencegah dan mengatasi dehidrasi, (4) memperbaiki gangguan elektrolit, (5)
mengobati infeksi, (6) memperbaiki kekurangan zat gizi mikro, (7) memberikan makanan untuk
stabilisasi (8) memberikan makanan untuk transisi dan rehabilitasi, (9) stimulasi sensorik dan
dukungan emosional pada anak, dan (10) tindak lanjut di rumah.7,11,12,13 Pada pasien ini
dilakukan pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dan pemberian Dextrose 10% sejak hari
pertama perawatan. Hal ini bertujuan untuk mencegah dan mengatasi hipoglikemi.7,11,12,13
Pengukuran suhu badan berkala juga dilakukan setiap 3 jam. Apabila terjadi hipotermia pada
pasien, langkah awal untuk menghangatkan tubuh pasien adalah dengan mendekap pasien di
dada lalu ditutupi selimut (metode kanguru) dengan memastikan pasien dapat bernapas.1,11,13
Untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi harus diamati tandatanda seperti riwayat diare, pasien
tampak sangat kehausan, mata cekung, nadi lemah, akral dingin atau pasien tidak buang air kecil
dalam waktu cukup lama. Pada pasien ini tidak ditemukan tanda-tanda tersebut. 11,14 Selain itu,
untuk mencegah terjadinya dehidrasi, perlu diberikan nutrisi sesuai dengan fase penatalaksanaan
gizi buruk, yakni fase stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi.5,7,11,14 Fase stabilisasi
dilakukan pada hari ke-1 – ke-7. Pada fase stabilisasi pasien ini diberikan formula WHO 75
sebanyak 10 – 30 cc/3 jam. Seharusnya pada fase stabilisasi, pasien ini dengan berat badan 4,4
kg memperoleh formula WHO 75 sebanyak 50 cc/2 jam, setelah 10 jam bila kondisi baik
dilanjutkan dengan 70 cc/3 jam dan selanjutnya menjadi 95 cc/4 jam. Lakukan pemantauan TTV
dan asupan F75.7,11,13 Fase transisi dilakukan pada hari ke 8-14 dengan pemberian F100. Pada
pasien ini diberikan F100 sebanyak 60 cc tiap 3 jam dinaikkan bertahap hingga mencapai 75-90
cc tiap 3 jam selama seminggu. Pada pasien ini seharusnya diberikan F100 sebanyak 95 cc tiap 4
jam selama 2 hari. Selama pemberian F100, dilakukan pemantauan TTV tiap 4 jam. Pada hari
ketiga pemberian F100 sebanyak 110cc/ 4 jam dan dilakukan peningkatan volume F100
sebanyak 10cc/ 4 jam sampai anak tidak mampu menghabiskan F100 dengan catatan tidak
melebihi dosis maksimal. Pada hari keempat diberikan F100 sebanyak 130-140 cc tiap 4 jam dan
dipertahankan sampai hari ke 7-14.7,11,13 Fase rehabilitasi dilakukan setelah fase transisi
selesai. Fase rehabilitasi ini dilakukan dengan melanjutkan pemberian F100 sebanyak 130-140cc
tiap 4 jam. Pada fase rehabilitasi pasien diberikan F100 + makanan lumat dan sari buah.
Pemberian makanan pada tahap rehabilitasi dilakukan sampai tercapai BB/TB >-2SD. Fase
rehabilitasi seharusnya dilakukan pada minggu ke 2- 6.7,11,13 Gangguan elektrolit juga sering
terjadi pada pasien dengan gizi buruk. Pada pasien ini kadar natrium, kalium, dan klorida berada
pada kadar normal. Namun kadar kalsium pasien hanya 8,5 mg/dL. Koreksi kadar elektrolit
dilakukan dengan pemberian F75 dan F100.1,14 Pasien juga mengalami infeksi pada saluran
pernapasan. Diagnosis banding kasus pasien ini adalah tuberculosis (TB) paru dan
bronkopneumonia. Pemilihan diagnosis banding didasarkan pada keluhan pasien. Pasien
mengalami batuk berdahak sejak usia 40 hari yang disertai sesak napas. Pada pasien yang
dicurigai mengalami TB paru, perlu dilakukan scoring. Pada pasien ini dilakukan skoring TB,
riwayat kontak TB (skor 2), uji tuberkulin belum dilakukan (skor 0), status gizi tampak sangat
kurus gizi buruk (skor 2), demam tanpa sebab jelas sering dialami namun tidak pernah lebih dari
2 minggu (skor 0), batuk sejak usia 40 hari (skor 1), pembesaran kelenjar limfe tidak ditemukan
(skor 0), pembengkakan sendi tidak ditemukan (skor 0), foto thorax menunjukkan gambaran
bronkopneumonia (skor 0). Hasil skor dikatakan positif TB apabila jumlah scoring ≥6. Jumlah
skor pada pasien ini adalah 5 sehingga pasien ini dikatakan belum memenuhi syarat untuk
didiagnosa dengan TB.15,16 Berdasarkan pembahasan, saat ini penyulit gizi buruk yang dialami
pasien mengarah kepada diagnosa bronkopneumonia. Gambaran klinis bronkopneumonia pada
bayi bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum terbagi menjadi gejala infeksi
umum dan gejala gangguan respiratori. Pada pasien ini ditemukan keluhan sesak napas, batuk,
retraksi dada, napas cuping hidung, demam dan penurunan napsu makan. Pemeriksaan fisik
menunjukkan tanda klinis berupa pekak perkusi dan adanya ronki basah halus.3,17,18 Dasar
tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta
tindakan suportif. Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak
tersedianya uji mikrobiologis yang cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih berdasarkan
pengalaman empiris. Antibiotik yang biasa digunakan pada pasien dengan kisaran usia 2 bulan –
5 tahun adalah beta laktam amoksisillin, amoksisillinamoksisillin klavulanat, golongan
sefalosporin, kotrimoksazol, dan makrolid (eritromisin). Penelitian mengatakan pemberian
antibiotik dapat menurunkan angka kematian pada pasien malnutrisi akut berat dengan
komplikasi.11,17 Antibiotik yang digunakan pada pasien ini adalah Cefotaxim 200mg/12 jam IV
(dosis cefotaxim 100-150 mg/kg/hari). Penggunaan cefotaxim sudah tepat sesuai berat badan.
Cefotaxim merupakan antibiotika beta-laktam dan termasuk golongan sefalosporin generasi ke-
III. Penggunaan antibiotik golongan sefalosporin biasanya dikombinasikan dengan antibiotik
golongan aminoglikosida. Hal ini bertujuan memperluas dan memperkuat aktivitasnya. Pada
pasien ini terapi antibiotik lain yang diterima adalah Gentamicin 20mg/24 jam (dosis gentamicin
3- 5mg/kg/hari). Gentamicin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida.19,20 Pasien juga
mendapatkan terapi berupa nebulisasi menggunakan ventolin (salbutamol) sebanyak ¼ ampul
(0,625 mg). Salbutamol merupakan salah satu agen bronkodilator golongan agonis beta-2 kerja
singkat.20 Pasien ini datang dengan keadaan sesak napas. Pemberian salbutamol inhalasi
ditujukan untuk mengurangi keluhan sesaknya. Dosis salbutamol inhalasi untuk anak adalah 0,05
mg/kgBB/kali. Pada pasien ini juga diberikan terapi berupa ranitidin 5 mg/12 jam (dosis ranitidin
2-4 mg/kg/hari). Indikasi ranitidin adalah untuk ulkus gaster ringan, ulkus duodenum ringan,
keadaan yang menimbulkan hipersekresi lambung, dan refluks gastro esofageal. Ranitidin pada
kasus ini digunakan untuk menghindari timbulnya stress ulcer akibat bronkopneumonia dan gizi
buruk yang diderita. Paracetamol sebagai obat simtomatik juga diberikan pada pasien ini. Dosis
pemberiannya 0,5 cc/6jam hanya jika timbul keluhan demam. Dosis ini sudah tepat mengingat
dosis paracetamol pada anak dan bayi adalah sebesar 0,6 cc 3-4 kali sehari.20 Pasien juga
mengeluhkan diare beberapa hari setelah di rawat. Pasien kemudian diberi zink dan probiotik.
Zink diberikan 20 mg/hari (dosis pada bayi usia 6 bulan yaitu 20 mg/hari selama 10 hari). Zink
merupakan salah satu zat gizi mikro yang penting untuk kesehatan dan pertumbuhan anak. Zink
meningkatkan sistem kekebalan tubuh sehingga mencegah resiko terulangnya diare selama 2-3
bulan setelah anak sembuh dari diare.21,22,23,24 Sementara itu probiotik diberikan 2x1/2
sachet. Probiotik menghasilkan asam organik yang menghambat bakteri merugikan, sehingga
dapat membantu memperbaiki ketidakseimbangan flora usus ketika diare terjadi.23,24 Selain
mengatasi infeksi, pada pasien ini perlu dilakukan koreksi kekurangan zat gizi mikro. Pasien
mendapatkan beberapa tambahan zat gizi mikro berupa vitamin A sebanyak 1x 50.000 IU, Asam
Folat 1 x 5 mg pada hari pertama kemudian dilanjutkan dengan pemberian asam folat 1 x 1 mg
per hari pada hari selanjutnya. Pemberian vitamin A dengan dosis 50.000 IU dirasa kurang
adekuat pada pasien ini. Pasien dengan gizi buruk dengan usia 6 bulan seharusnya mendapatkan
vitamin A dengan dosis 100.000 IU.14,23 Pada pasien dengan gizi buruk perlu diberi stimulasi
sensorik dan dukungan emosional berupa kasih sayang, terapi bermain terstruktur 15-30
menit/hari, peningkatan keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain). Selain itu,
harus dilakukan persiapan untuk tindak lanjut di rumah. Bila gejala klinis dan BB/TB-PB anak
sudah berada di garis warna kuning (≥-2 SD), anak dinyatakan sembuh dan dapat dirawat di
rumah dan dipantau oleh tenaga kesehatan puskesmas/bidan di desa.1,7 Pada pemeriksaan
penunjang, ditemukan tanda anemia ringan pada pasien ini. Kadar hemoglobin pada pasien ini
saat pertama kali diperiksa adalah 9,5 gr/dl. Ada banyak faktor resiko yang menyebabkan anemia
pada anak, yaitu karena adanya masalah yang timbul pada masa kehamilan, bayi lahir prematur,
perubahan pola makan dan kebutuhan jenis makanan, pemberian ASI dan bukan ASI yang tidak
tepat, faktor ekonomi dan bisa juga karena menderita penyakit tertentu. Pada kasus gizi buruk,
biasanya dilakukan penatalaksanaan berupa pemberian tablet besi (Fe ) dan transfusi darah.
Tatalaksana tersebut dilakukan apabila kadar hemoglobin pasien mencapai nilai 60%).
Kardiomegali pada pasien ini diduga terkait dengan penyakit jantung bawaan yang dialaminya.
Pasien telah melakukan echocardiografi pada 30 Agustus 2014 dan dikatakan mengalami Atrial
Septal Defect (ASD) sekundum kecil. Defek dengan ukuran 3-8 mm menutup pada usia 1 ½
tahun pada 80% pasien. Oleh karena itu, pasien dianjurkan untuk melakukan echocardiography
ulang 1 tahun lagi.25 Pasien ini juga mengalami gagal tumbuh. Gagal tumbuh didefinisikan
sebagai perpindahan posisi berat badan terhadap umur yang melewati lebih dari 2 persentil
utama atau 2 standar deviasi ke bawah jika diplot pada grafik BB menurut umur. Gagal tumbuh
bukanlah suatu diagnosis melainkan gejala yang harus dicari penyebabnya. Penyebab gagal
tumbuh pada pasien ini diduga akibat asupan kalori yang tidak mencukupi karena penyakit yang
dialaminya, yaitu gizi buruk+ bronkopneumonia + ASD sekundum kecil.1,3,7,25 Secara
keseluruhan, gizi buruk menyebabkan menurunnya jumlah sel-sel serebrum dan batang otak,
dimana penurunan terbanyak adalah pada serebrum. Gizi buruk yang terjadi pada 2 tahun
pertama kehidupan mengakibatkan hambatan tumbuh kembang serta terdapat bukti bahwa orang
dewasa yang mengalami gizi buruk pada masa awal kehidupan menunjukkan gangguan
kemampuan intelektual.1,7,26 Bronkopneumonia sendiri sebenarnya dapat sembuh total dengan
mortalitas kurang dari 1%. Namun, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak
dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan. Kedua-duanya
bekerja sinergi memberikan dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh
faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri. Namun, dengan penatalaksanaan yang cepat
dan tepat serta edukasi yang baik kepada orang tua, pasien gizi buruk dengan penyulit dapat
memperoleh prognosis yang lebih baik dan keluarga dapat mendukung proses pengobatan hingga
anak dapat mencapai tumbuh kembang yang optimal dengan kualitas hidup yang baik. Faktor
prognosis pada pasien ini ad vitam dubia ad bonam, ad functionam dubia ad bonam, ad
sanactionam dubia ad bonam.

Anda mungkin juga menyukai