PEMBAHASAN
Stunting adalah stunted (perawakan pendek) dengan panjang/tinggi badan menurut usia
di bawah -2 standar deviasi yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronik. Stunting biasanya
berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah, kesehatan dan nutrisi ibu yang buruk,
sering mengalami sakit, dan atau kurangnya konsumsi makanan yang bergizi bagi anak.16
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis
sehingga anak menjadi terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi dapat terjadi sejak bayi
dalam kandungan dan sejak lahir, tetapi biasanya baru terlihat setelah anak berusia lebih dari 2
tahun. Keadaan gizi ibu dan anak merupakan faktor penting dari pertumbuhan anak.12
Penegakan diagnosis pasien stunting dilakukan dengan pemeriksaan tinggi badan yang
kemudian dimasukkan kedalam kurva WHO dengan indikator TB/U dengan nilai skor-Z (Z-
score) di bawah minus 2. Kemudian harus disingkirkan variasi normal pada perawakan pendek
seperti variasi normal tinggi orangtua, kelainan genetik (sindrom turner), skeletal dysplasia,
hypothyroid, defisiensi growth hormone, IUFD tanpa tumbuh kejar, kelainan sistem imun,
dibandingkan teman-temanya, berat badan anaknya sulit bertambah, nafsu makan pasien
menurun dengan jumlah makanan yang dikonsumsi kurang. Ibu pasien juga mengeluhkan leher
anaknya yang muncul benjolan. Pada pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan berat badan
menurut usia dibawah minus 3 standar deviasi yang berarti berat badan sangat kurang, tinggi
badan menurut usia dibawah minus 3 standar deviasi yang berarti perawakan sangat pendek dan
berat badan menurut tinggi badan dibawah minus 2 standar deviasi yang berarti gizi kurang. Usia
berat badan lebih kecil dari usia tinggi badan sehingga dapat dikatakan probable stunting.
Pada pasien dilakukan perhitungan tinggi potensial genetik yang dinilai dari perawakan
pada keluarga untuk membedakan variasi normal ataupun tidak. Tinggi badan ayah pasien yaitu
172 cm dan ibu pasien yaitu 154 cm. Tinggi potensial anak yaitu 161-178 cm sehingga
keterlambatan pertumbuhan dapat dilakukan pemeriksaan bone age untuk menilai kedewasaan
tulang atau ukuran tingkat kematangan kerangka seseorang. Pada pasien ini belum dilakukan
Asupan nutrisi berdasarkan food recall pada pasien ini belum mencukupi kebutuhan
kalori harian. Kebutuhan kalori pada pasien ini yaitu 1000 kkal/hari sedangkan asupan yang
didapatkan yaitu 303-355 kkal/hari. Intake yang kurang pada pasien ini dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan pasien. Hal ini terjadi secara terus menerus dan tidak
ditatalaksana dengan baik maka pasien akan kehilangan berat badan yang akan menyebabkan
gizi kurang atau gizi buruk dan akan berujung pada kejadian stunting. Etiologi stunting pada
pasien ini yaitu asupan nutrisi yang tidak adekuat dimana asupan harian pasien tidak mencukupi
kebutuhan kalorinya.12,13
Tatalaksana pada stunting dilakukan pendekatan dalam pemenuhan nutrisi yaitu denngan
intervensi nutrisi spesifik dan intervensi nutrisi sensitif. Intervensi nutrisi spesifik berupa
pemberian nutrisi yang adekuat saat periode remaja, preeklamsi, kehamilan dan saat menyusui,
pemberian ASI ekslusif, pemberian MPASI sampai usia 2 tahun, pemberian fortifikasi atau
olahan untuk keperluan medis khusus pasal 12 untuk gagal tumbuh, gizi kurang dan gizi buruk
berupa suplemen nutrisi oral dengan kandungan energi lebih besar dari 0,9kkal/mL. intervensi
nutrisi sensitive berupa penyediaan kecukupan bahan pangan yang terjangkau, penyedeiaan air
bersih dan sanitasi untuk menurunkan infeksi, edukasi yang benar cara pemberian makan pada
bayi terutama saat dimulai makanan pendamping ASI dan sarana kesehatan yang memadai. 10,11
Kebutuhan kalori pada pasein ini adalah 1000 kkal/hari. Pemberian nutrisi untuk memenuhi
kebutuhan kalori per hari diberikan makanan keluarga sebanyak 700 kkal berupa nasi, sayur dan
lauk, 2 kali sneck dan 1 kali buah. Selain itu, pasien diberikan susu pediasure complete dengan
jumlah kalori dalam sehari yaitu 300 kkal diberikan 3 kali. Diharapkan dengan pemberian susu
sesuai Permenkes no 29/2019 dapat memenuhi kebutuhan kalori pada pasien ini.
Hasil anamnesis, orang tua pasien mengeluhkan anaknya muncul benjolan sebesar
kelereng di leher dan di belakang telinga sejak 1 tahun. Benjolan tidak nyeri, pada pemeriksaan
fisik didapatkan adanya pembesaran kelenjar getah bening pada belakang telinga dan leher,
berjumlah masing-masing 1 buah konsistensi kenyal, mobile dengan ukuran 1,5x1,5x2 cm dan
tidak terdapat nyeri tekan. Hasil dari pemeriksaan penunjang berupa FNAB kelenjar getah
bening didapatkan hasil limfadenitis kronis non spesifik dengan hiperplasia reaktif kelenjar getah
bening.
Limfadenitis kronis adalah peradangan yang terjadi pada kelenjar limfe atau getah
bening. Peradangan tersebut menimbulkan hiperplasia kelenjar getah bening yang pada
pemeriksaan fisik akan teraba benjolan sesuai lokasi kelenjar getah bening yang mengalami
hiperplasia. Fungsi utama kelenjar getah bening adalah menyaring mikroorganisme dan sel
abnormal yang terkumpul dalam cairan getah bening. Kebanyakan kasus merupakan respon jinak
terhadap infeksi lokal maupun sistemik. Pembesaran pada kelenjar geteh bening sesuai dengan
daerah yang dialiri. Infeksi lokal yang dapat terjadi yaitu infeksi saluran napas atas, infeksi pada
gigi dan telinga untuk kelenjar getah bening pada leher dan belakang telinga. Penyebab yang
ditandai dengan tanda radang yang sangat minimal dan tidak nyeri.14,15
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan berupa tes tuberkulin atau mantoux test. Tes
tuberkulin merupakan salah satu tes diagnostik tuberculosis untuk mendeteksi adanya infeksi M.
tuberculosis. Tes tuberkulin hingga saat ini masih memiliki nilai tes diagnostik yang sangat
tinggi. Tes ini dilakukan berdasarkan adanya hipersensitivitas tubuh akibat adanya infeksi oleh
M. tuberculosis sebelumnya. Tes ini dilakukan dengan menginjeksikan tuberkulin dengan dosis
0,1 cc secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Reaksi tuberkulin mulai muncul 5-6 jam
setelah penyuntikan dan indurasi maksimal terjadi setelah 48 – 72 jam dan akan berkurang
selama beberapa hari. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran
dilakukan pada indurasi yang timbul, bukan pada bagian yang hiperemis atau eritemanya. Hasil
pembacaan diukur dan ditulis dalam ukuran millimeter. Hasil interpretasi yaitu 0 – 4 mm berarti
14
negatif, 5 – 9 mm berarti ragu-ragu, dan ≥ 10 mm berarti positif. Hasil test tuberculin pada
Hasil uji tuberkulin 0 mm dapat diartikan sebagai seseorang tersebut tidak terinfeksi
dengan basil TB. Hasil negative juga didapatkan pada saat kurang dari 10 minggu sebelum
terbentuknya imunologi seseorang terhadap basil TB terbentuk. Jika terjadi hasil yang negatif
maka uji tuberkulin dapat diulang 3 bulan setelah suntikan pertama. Selain itu juga dapat terjadi
false negatif yang dapat terjadi pada keadaan anergi atau rendahnya status protein pasien, pada
anak usia <6 bulan, tuberculin yang terkontaminasi, injeksi bersamaan dengan antigen lain,
(17.190 /uL), penurunan kadar hemoglobin (11,3 g/dl), peningkatan kadar TSH (5.76 mlU/L)
dan didapatkanya nitrit positif pada pemeriksaan urin. Leukositosis yaitu peningkatan jumlah
leukosit di dalam sirkulasi darah, diakibatkan dari stimulasi maturase leukosit yang diperantarai
oleh sitokin. Leukositosis terjadi karena adanya inflamasi atau infeksi yang terjadi pada tubuh.
Pada pasien hanya terjadi sedikit peningkatan jumlah leukosit dimana nilai normal yaitu
17.000 /uL. Hal ini bias terjadi karena proses infeksi bersifat kronis yang sudah berlangsung
lama sehingga pada saat ini infeksi atau inflamasi sudah reda. Diperkuat dengan tidak adanya
gejala atau tanda inflamasi yang sedang berlansung dengan tidak adanya keluhan demam dan
Penurunan kadar hemoglobin (Hb) yaitu 11,3 g/dl dengan kadar mean corpuscular
volume (MCV) dan mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) yang rendah yaitu
75,9 fL dan 32,4 g/dL dapat disimpulkan pasien mengalami anemia mikrositik hipokrom. Untuk
menentukan penyebab anemia mikrositik hipokrom dapat dilakukan pemeriksaan serum iron.
Kadar serum iron pada pasien didapatkan menurun yaitu 29 ug/dL sehingga dapat disimpulkan
penyebab anemia yaitu adanya defisiensi besi. Anemia terjadi jika jumlah hemoglobin dalam
darah tidak mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh. Menurut WHO dan pedoman Kemenkes,
batasan anemia disesuaikan dengan kelompok usia, yaitu untuk usia 12-59 bulan bila dibawah
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kurangnya penyediaan besi
untuk eritropoeisis. Pada eritropoeisis diperlukan besi untuk mensintesis hemoglobin oleh sel
induk eritroid sumsum tulang. Apabila cadangan besi berkurang akan mengakibatkan
pembentukan hemoglobin juga berkurang. Besi merupakan elemen yang sangat penting untuk
pembentukan hemoglobin, meoglobin dan berbagai enzim. Pasien dengan anemia defisiensi besi
dapat diberikan zat besi dengan dosis 3 mg/kgBB sebelum makan atau 5 mg/kgBB setelah
makan dibagi dalam 2 dosis, diberikan samppai 2-3 bulan sejak hb kembali normal, pemberian
asam folat 2 x 5-10 mg/hari dan vitamin C 2 x 50 mg/hari. 17 Pada pasien ini diberikan zat besi
Peningkatan sedikit kadar TSH pada pasien namun kadar FT4 yang normal berarti
mengarah kepada suspek hipotiroid dimana TSH tinggi sedangkan kadar FT4 normal, dapat
dikatakan bahwa hipotiroid dalam tahap awal dimana tubuh masih mengkompensasi atau
hipotiroid ringan. Untuk memastikan dapat dilakukan pemeriksaan ulang kadar TSH dan FT 4.
Selain itu juga dilakukan observasi keluhan pada pasien, fungsi kognitif termasuk defisit IQ,
perilaku, daya ingat dan perhatian, kemudian sensori motor termasuk motorik halus, dan
gangguan pendengaran. Hipotiroid pada masa anak dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan,
perkembangan dan kematangan tulang. Hipotiroid juga dapat menyebabkan gangguan pubertas
dan fertilitas.18
Didapatkanya nitrit positif pada pemeriksaan urinalisis pada pasien. Uji nitrit merupakan
pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri dalam urin. Dalam keadaan normal, nitrit tidak
terdapat dalam urin, tetapi dapat ditemukan jika nitrat diubah menjadi nitrit oleh bakteri.
Sebagian besar kuman Gram negatif dan beberapa kuman Gram positif dapat mengubah nitrat
menjadi nitrit, sehingga jika uji nitrit positif berarti terdapat kuman dalam urin. Akan tetapi
untuk menegakkan adanya infeksi saluran kemih diperlukan pemeriksaan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemerksaan penunjang. Gejala klinis pada bayi sampai satu tahun, gejala
klinik dapat berupa demam, penurunan berat badan, gagal tumbuh, nafsu makan berkurang,
cengeng, kolik, muntah, diare, ikterus, dan distensi abdomen. Pada palpasi ginjal anak merasa
kesakitan. Demam yang tinggi dapat disertai kejang. Pada umur lebih tinggi yaitu sampai 4
tahun, dapat terjadi demam yang tinggi hingga menyebabkan kejang, muntah dan diare bahkan
dapat timbul dehidrasi. Pada anak besar gejala klinik umum biasanya berkurang dan lebih ringan,
mulai tampak gejala klinik lokal saluran kemih berupa polakisuria, disuria, urgency, frequency,
ngompol, sedangkan keluhan sakit perut, sakit pinggang, atau pireksia lebih jarang ditemukan.
Namun sebagian ISK pada anak juga dapat berupa ISK asimtomatik, umumnya ditemukan pada
anak umur sekolah, terutama anak perempuan. Dari pemeriksaan penunjang dapat dilakukan
Pada pasien belum dapat ditegakkan infeksi saluran kemih (ISK). Dari anamnesis pasien
tidak mengalami keluhan buang air kecil. Pasien juga tidak mengalami demam yang dapat
menjadi pertanda adanya proses infeksi pada tubuh dan tidak mengalami keluhan lain. Hasil
nitrit positif pada urinalisis berarti terdapat kuman dalam urin. Akan tetapi kemungkinan pada
pasien ini kadar kuman dalam jumlah kecil sehingga tidak sampai menyebabkan adannya infeksi.
Untuk memastikan ISK dan bakteri penyebab ISK dapat dilakukan biakan/kultur urin.19
Prognosis pada pasien ini adalah dubia, karena pasien mulai dilakukan terapi sebelum
usia dua tahun sehingga diharapkan masih dapat dikejar ketertinggalan pertumbuhan dan
perkembangan anak. Kepatuhan terhadap terapi yang diberikan akan menjadi hal yang berperan
penting bagi keberhasilan terapi anak. Akan tetapi jika kekurangan gizi kronik tetap berlangsung
dapat menimbulkan efek dalam jangka pendek yaitu terganggunya perkembangan otak,
gangguan pertumbuhan fisik dan komposisi masa otot tubuh, gangguan pengaturan metabolisme
dalam tubuh seperti metabolism glukosa, lipid, protein dan hormon. Kemudian dapat
menyebabkan efek jangka panjang yaitu menurunya kemampuan kognitif dan prestasi belajar,
menurunya imunitas tubuh, timbulnya penyakit akibat gangguan metabolisme tubuh seperti
diabetes, obesitas, gangguan jantung, tekanan darah tinggi, kanker.4 Anak yang mengalami
stunting pada 2 tahun pertama kehidupan berpeluang memiliki IQ < 89 dibandingkan anak yang
tidak stunting. Menurut data penelitian yang dilakukan oleh Aurora et al bahwa anak stunting
Permenkes RI.2019. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2019.
Tentang Penanggulanagan Masalah Gizi Anak Akibat Penyakit.
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No__29_Th_2019_ttg_Penanggulanga
n_Masalah_Gizi_Bagi_Anak_Akibat_Penyakit.pdf. Diakses 6 November 2021.
11.
12. Rahayu A, Yulidasari F, Putri AO. Stunting dan upaya pencegahan. 2018. CV Media.
Jakarta
13. Syarif DR. Stunting is a silent emergency: what the pediatrician should do to identify and
prompt treatment in daily practice. 2021. FKUI: Jakarta.
14. Alexander, Davis L. Cervical Lymphadenitis: Etiology, Diagnosis, and Management.
2017.
15. Partridge E. Lymphadenitis. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/960858-clinical. Published 2019. Diakses: 28
Oktober 2021
16. Amiruddin. Keterampilan prosedur pemeriksaan dan interpretasi tes tuberculin.
Makassar. 2018.
17. Abdulsalam, M., & Daniel, A. (2018). Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia
Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4(2), 2–5.
18. Yati NP. Utari A, Tridjaya B. Diagnosis dan tatalaksana hipotiroid kongenital. 2017.
Jakarta.
19. Sudung OP, Taralan T, Husein A, Partini PT, Eka LH. Konsensus Infeksi Saluran Kemih
Pada Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016. Jakarta
20. Sandjaja S, Poh BK, Rojroonwasinkul N, Le Nyugen BK, Budiman B, Ng LO, et al.
Relationship between anthropometric indicators and cognitive performance in Southeast
Asian school-aged children. Br J Nutr. 2013;110(SUPPL.3).
21. Aurora WID, Sitorus RJ, Flora R. Perbandingan Skor IQ (Intellectual Question) Pada
Anak Stunting dan Normal. JAMBI Med J “Jurnal Kedokt dan Kesehatan.”
2020;8(1):19–25.