Anda di halaman 1dari 10

BAB IV

PEMBAHASAN

Stunting adalah stunted (perawakan pendek) dengan panjang/tinggi badan menurut usia

di bawah -2 standar deviasi yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronik. Stunting biasanya

berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah, kesehatan dan nutrisi ibu yang buruk,

sering mengalami sakit, dan atau kurangnya konsumsi makanan yang bergizi bagi anak.16

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis

sehingga anak menjadi terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi dapat terjadi sejak bayi

dalam kandungan dan sejak lahir, tetapi biasanya baru terlihat setelah anak berusia lebih dari 2

tahun. Keadaan gizi ibu dan anak merupakan faktor penting dari pertumbuhan anak.12

Penegakan diagnosis pasien stunting dilakukan dengan pemeriksaan tinggi badan yang

kemudian dimasukkan kedalam kurva WHO dengan indikator TB/U dengan nilai skor-Z (Z-

score) di bawah minus 2. Kemudian harus disingkirkan variasi normal pada perawakan pendek

seperti variasi normal tinggi orangtua, kelainan genetik (sindrom turner), skeletal dysplasia,

hypothyroid, defisiensi growth hormone, IUFD tanpa tumbuh kejar, kelainan sistem imun,

infeksi sistem pencernaan.12,13

Hasil anamnesis, orangtua pasien mengeluhkan anaknya terlihat lebih kurus

dibandingkan teman-temanya, berat badan anaknya sulit bertambah, nafsu makan pasien

menurun dengan jumlah makanan yang dikonsumsi kurang. Ibu pasien juga mengeluhkan leher

anaknya yang muncul benjolan. Pada pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan berat badan

menurut usia dibawah minus 3 standar deviasi yang berarti berat badan sangat kurang, tinggi

badan menurut usia dibawah minus 3 standar deviasi yang berarti perawakan sangat pendek dan

berat badan menurut tinggi badan dibawah minus 2 standar deviasi yang berarti gizi kurang. Usia
berat badan lebih kecil dari usia tinggi badan sehingga dapat dikatakan probable stunting.

Perkembangan pasien ini masih didapatkan perkembangan sesuai usia.13,14

Pada pasien dilakukan perhitungan tinggi potensial genetik yang dinilai dari perawakan

pada keluarga untuk membedakan variasi normal ataupun tidak. Tinggi badan ayah pasien yaitu

172 cm dan ibu pasien yaitu 154 cm. Tinggi potensial anak yaitu 161-178 cm sehingga

didapatkan kemungkinan perawakan pendek akibat familial dapat disingkirkan. Penilaian

keterlambatan pertumbuhan dapat dilakukan pemeriksaan bone age untuk menilai kedewasaan

tulang atau ukuran tingkat kematangan kerangka seseorang. Pada pasien ini belum dilakukan

pemeriksaan bone age.

Asupan nutrisi berdasarkan food recall pada pasien ini belum mencukupi kebutuhan

kalori harian. Kebutuhan kalori pada pasien ini yaitu 1000 kkal/hari sedangkan asupan yang

didapatkan yaitu 303-355 kkal/hari. Intake yang kurang pada pasien ini dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan pasien. Hal ini terjadi secara terus menerus dan tidak

ditatalaksana dengan baik maka pasien akan kehilangan berat badan yang akan menyebabkan

gizi kurang atau gizi buruk dan akan berujung pada kejadian stunting. Etiologi stunting pada

pasien ini yaitu asupan nutrisi yang tidak adekuat dimana asupan harian pasien tidak mencukupi

kebutuhan kalorinya.12,13

Tatalaksana pada stunting dilakukan pendekatan dalam pemenuhan nutrisi yaitu denngan

intervensi nutrisi spesifik dan intervensi nutrisi sensitif. Intervensi nutrisi spesifik berupa

pemberian nutrisi yang adekuat saat periode remaja, preeklamsi, kehamilan dan saat menyusui,

pemberian ASI ekslusif, pemberian MPASI sampai usia 2 tahun, pemberian fortifikasi atau

suplementasi nutrisi sesuai rekomendasi Permenkes no.29/2019 tentang pemberian pangan

olahan untuk keperluan medis khusus pasal 12 untuk gagal tumbuh, gizi kurang dan gizi buruk
berupa suplemen nutrisi oral dengan kandungan energi lebih besar dari 0,9kkal/mL. intervensi

nutrisi sensitive berupa penyediaan kecukupan bahan pangan yang terjangkau, penyedeiaan air

bersih dan sanitasi untuk menurunkan infeksi, edukasi yang benar cara pemberian makan pada

bayi terutama saat dimulai makanan pendamping ASI dan sarana kesehatan yang memadai. 10,11

Kebutuhan kalori pada pasein ini adalah 1000 kkal/hari. Pemberian nutrisi untuk memenuhi

kebutuhan kalori per hari diberikan makanan keluarga sebanyak 700 kkal berupa nasi, sayur dan

lauk, 2 kali sneck dan 1 kali buah. Selain itu, pasien diberikan susu pediasure complete dengan

jumlah kalori dalam sehari yaitu 300 kkal diberikan 3 kali. Diharapkan dengan pemberian susu

sesuai Permenkes no 29/2019 dapat memenuhi kebutuhan kalori pada pasien ini.

Hasil anamnesis, orang tua pasien mengeluhkan anaknya muncul benjolan sebesar

kelereng di leher dan di belakang telinga sejak 1 tahun. Benjolan tidak nyeri, pada pemeriksaan

fisik didapatkan adanya pembesaran kelenjar getah bening pada belakang telinga dan leher,

berjumlah masing-masing 1 buah konsistensi kenyal, mobile dengan ukuran 1,5x1,5x2 cm dan

tidak terdapat nyeri tekan. Hasil dari pemeriksaan penunjang berupa FNAB kelenjar getah

bening didapatkan hasil limfadenitis kronis non spesifik dengan hiperplasia reaktif kelenjar getah

bening.

Limfadenitis kronis adalah peradangan yang terjadi pada kelenjar limfe atau getah

bening. Peradangan tersebut menimbulkan hiperplasia kelenjar getah bening yang pada

pemeriksaan fisik akan teraba benjolan sesuai lokasi kelenjar getah bening yang mengalami

hiperplasia. Fungsi utama kelenjar getah bening adalah menyaring mikroorganisme dan sel

abnormal yang terkumpul dalam cairan getah bening. Kebanyakan kasus merupakan respon jinak

terhadap infeksi lokal maupun sistemik. Pembesaran pada kelenjar geteh bening sesuai dengan

daerah yang dialiri. Infeksi lokal yang dapat terjadi yaitu infeksi saluran napas atas, infeksi pada
gigi dan telinga untuk kelenjar getah bening pada leher dan belakang telinga. Penyebab yang

dapat menyebabkan limfadenitis yaitu Group A strepcococcal pharyngitis, Rhinovirus,

Parainfluenza virus, Influenza virus, Atypical mycobacterium, Streptococcus pneumoniae,

Mycobacterium tuberculosis, Toxoplasma, Ebstein-barr virus,Ccytomegalovirus, fungal dan

parasit seperti Toxoplasma gondii dan Histoplasmosis. Pada limfadenitis kronis, pembesaran

ditandai dengan tanda radang yang sangat minimal dan tidak nyeri.14,15

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan berupa tes tuberkulin atau mantoux test. Tes

tuberkulin merupakan salah satu tes diagnostik tuberculosis untuk mendeteksi adanya infeksi M.

tuberculosis. Tes tuberkulin hingga saat ini masih memiliki nilai tes diagnostik yang sangat

tinggi. Tes ini dilakukan berdasarkan adanya hipersensitivitas tubuh akibat adanya infeksi oleh

M. tuberculosis sebelumnya. Tes ini dilakukan dengan menginjeksikan tuberkulin dengan dosis

0,1 cc secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Reaksi tuberkulin mulai muncul 5-6 jam

setelah penyuntikan dan indurasi maksimal terjadi setelah 48 – 72 jam dan akan berkurang

selama beberapa hari. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran

dilakukan pada indurasi yang timbul, bukan pada bagian yang hiperemis atau eritemanya. Hasil

pembacaan diukur dan ditulis dalam ukuran millimeter. Hasil interpretasi yaitu 0 – 4 mm berarti
14
negatif, 5 – 9 mm berarti ragu-ragu, dan ≥ 10 mm berarti positif. Hasil test tuberculin pada

pasien ini yaitu 0 mm.

Hasil uji tuberkulin 0 mm dapat diartikan sebagai seseorang tersebut tidak terinfeksi

dengan basil TB. Hasil negative juga didapatkan pada saat kurang dari 10 minggu sebelum

terbentuknya imunologi seseorang terhadap basil TB terbentuk. Jika terjadi hasil yang negatif

maka uji tuberkulin dapat diulang 3 bulan setelah suntikan pertama. Selain itu juga dapat terjadi

false negatif yang dapat terjadi pada keadaan anergi atau rendahnya status protein pasien, pada
anak usia <6 bulan, tuberculin yang terkontaminasi, injeksi bersamaan dengan antigen lain,

metode penyuntikan yang salah dan pembacaan hasil yang salah.16

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan sedikit peningkatan jumlah leukosit

(17.190 /uL), penurunan kadar hemoglobin (11,3 g/dl), peningkatan kadar TSH (5.76 mlU/L)

dan didapatkanya nitrit positif pada pemeriksaan urin. Leukositosis yaitu peningkatan jumlah

leukosit di dalam sirkulasi darah, diakibatkan dari stimulasi maturase leukosit yang diperantarai

oleh sitokin. Leukositosis terjadi karena adanya inflamasi atau infeksi yang terjadi pada tubuh.

Pada pasien hanya terjadi sedikit peningkatan jumlah leukosit dimana nilai normal yaitu

17.000 /uL. Hal ini bias terjadi karena proses infeksi bersifat kronis yang sudah berlangsung

lama sehingga pada saat ini infeksi atau inflamasi sudah reda. Diperkuat dengan tidak adanya

gejala atau tanda inflamasi yang sedang berlansung dengan tidak adanya keluhan demam dan

nyeri pada kelenjar getah bening.14,15

Penurunan kadar hemoglobin (Hb) yaitu 11,3 g/dl dengan kadar mean corpuscular

volume (MCV) dan mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) yang rendah yaitu

75,9 fL dan 32,4 g/dL dapat disimpulkan pasien mengalami anemia mikrositik hipokrom. Untuk

menentukan penyebab anemia mikrositik hipokrom dapat dilakukan pemeriksaan serum iron.

Kadar serum iron pada pasien didapatkan menurun yaitu 29 ug/dL sehingga dapat disimpulkan

penyebab anemia yaitu adanya defisiensi besi. Anemia terjadi jika jumlah hemoglobin dalam

darah tidak mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh. Menurut WHO dan pedoman Kemenkes,

batasan anemia disesuaikan dengan kelompok usia, yaitu untuk usia 12-59 bulan bila dibawah

11,0 g/dL sedangkan 6-12 tahun bila Hb< 12,0 g/dL.17

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kurangnya penyediaan besi

untuk eritropoeisis. Pada eritropoeisis diperlukan besi untuk mensintesis hemoglobin oleh sel
induk eritroid sumsum tulang. Apabila cadangan besi berkurang akan mengakibatkan

pembentukan hemoglobin juga berkurang. Besi merupakan elemen yang sangat penting untuk

pembentukan hemoglobin, meoglobin dan berbagai enzim. Pasien dengan anemia defisiensi besi

dapat diberikan zat besi dengan dosis 3 mg/kgBB sebelum makan atau 5 mg/kgBB setelah

makan dibagi dalam 2 dosis, diberikan samppai 2-3 bulan sejak hb kembali normal, pemberian

asam folat 2 x 5-10 mg/hari dan vitamin C 2 x 50 mg/hari. 17 Pada pasien ini diberikan zat besi

syrup 1 x 0,8 cc (8 mg).

Peningkatan sedikit kadar TSH pada pasien namun kadar FT4 yang normal berarti

mengarah kepada suspek hipotiroid dimana TSH tinggi sedangkan kadar FT4 normal, dapat

dikatakan bahwa hipotiroid dalam tahap awal dimana tubuh masih mengkompensasi atau

hipotiroid ringan. Untuk memastikan dapat dilakukan pemeriksaan ulang kadar TSH dan FT 4.

Selain itu juga dilakukan observasi keluhan pada pasien, fungsi kognitif termasuk defisit IQ,

perilaku, daya ingat dan perhatian, kemudian sensori motor termasuk motorik halus, dan

gangguan pendengaran. Hipotiroid pada masa anak dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan,

perkembangan dan kematangan tulang. Hipotiroid juga dapat menyebabkan gangguan pubertas

dan fertilitas.18

Didapatkanya nitrit positif pada pemeriksaan urinalisis pada pasien. Uji nitrit merupakan

pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri dalam urin. Dalam keadaan normal, nitrit tidak

terdapat dalam urin, tetapi dapat ditemukan jika nitrat diubah menjadi nitrit oleh bakteri.

Sebagian besar kuman Gram negatif dan beberapa kuman Gram positif dapat mengubah nitrat

menjadi nitrit, sehingga jika uji nitrit positif berarti terdapat kuman dalam urin. Akan tetapi

untuk menegakkan adanya infeksi saluran kemih diperlukan pemeriksaan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemerksaan penunjang. Gejala klinis pada bayi sampai satu tahun, gejala
klinik dapat berupa demam, penurunan berat badan, gagal tumbuh, nafsu makan berkurang,

cengeng, kolik, muntah, diare, ikterus, dan distensi abdomen. Pada palpasi ginjal anak merasa

kesakitan. Demam yang tinggi dapat disertai kejang. Pada umur lebih tinggi yaitu sampai 4

tahun, dapat terjadi demam yang tinggi hingga menyebabkan kejang, muntah dan diare bahkan

dapat timbul dehidrasi. Pada anak besar gejala klinik umum biasanya berkurang dan lebih ringan,

mulai tampak gejala klinik lokal saluran kemih berupa polakisuria, disuria, urgency, frequency,

ngompol, sedangkan keluhan sakit perut, sakit pinggang, atau pireksia lebih jarang ditemukan.

Namun sebagian ISK pada anak juga dapat berupa ISK asimtomatik, umumnya ditemukan pada

anak umur sekolah, terutama anak perempuan. Dari pemeriksaan penunjang dapat dilakukan

darah rutin dimana dapat terjadi leukositosis. Kemudian pemeriksaan urinalisis.19

Pada pasien belum dapat ditegakkan infeksi saluran kemih (ISK). Dari anamnesis pasien

tidak mengalami keluhan buang air kecil. Pasien juga tidak mengalami demam yang dapat

menjadi pertanda adanya proses infeksi pada tubuh dan tidak mengalami keluhan lain. Hasil

nitrit positif pada urinalisis berarti terdapat kuman dalam urin. Akan tetapi kemungkinan pada

pasien ini kadar kuman dalam jumlah kecil sehingga tidak sampai menyebabkan adannya infeksi.

Untuk memastikan ISK dan bakteri penyebab ISK dapat dilakukan biakan/kultur urin.19

Prognosis pada pasien ini adalah dubia, karena pasien mulai dilakukan terapi sebelum

usia dua tahun sehingga diharapkan masih dapat dikejar ketertinggalan pertumbuhan dan

perkembangan anak. Kepatuhan terhadap terapi yang diberikan akan menjadi hal yang berperan

penting bagi keberhasilan terapi anak. Akan tetapi jika kekurangan gizi kronik tetap berlangsung

dapat menimbulkan efek dalam jangka pendek yaitu terganggunya perkembangan otak,

gangguan pertumbuhan fisik dan komposisi masa otot tubuh, gangguan pengaturan metabolisme

dalam tubuh seperti metabolism glukosa, lipid, protein dan hormon. Kemudian dapat
menyebabkan efek jangka panjang yaitu menurunya kemampuan kognitif dan prestasi belajar,

menurunya imunitas tubuh, timbulnya penyakit akibat gangguan metabolisme tubuh seperti

diabetes, obesitas, gangguan jantung, tekanan darah tinggi, kanker.4 Anak yang mengalami

stunting pada 2 tahun pertama kehidupan berpeluang memiliki IQ < 89 dibandingkan anak yang

tidak stunting. Menurut data penelitian yang dilakukan oleh Aurora et al bahwa anak stunting

mendapatkan nilai IQ lebih rendah 4,57 kali dibandingkan IQ anak normal.20,21


1. DAFTAR PUSTAKAXDeonis M, Branca F. Childhood stunting: a global perspective.
Matern Child Nutr. 2018;12 Suppl 1:12-26.
2. Casale D, Desmond C. Recovery from stunting and cognitive outcomes in young
children: evidence from the South African Birth to Twenty Cohort Study. J Dev Orig
Health Dis. 2019;7:163-171.
3. Black RE, Victora CG, Walker SP. Maternal and child undernutrition and overweight in
low-income and middle-income countries. Lancet. 2018;382:427-451.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan nasional. Riskesdas 2018. Jakarta:
Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2019.
5. Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Panduan praktik
klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia. perawakan pendek pada anak dan remaja di
Indonesia. Jakarta: Badan penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2018:1.
6. Millward DJ. Nutrition, infection and stunting: the roles of deficiencies of individual
nutrients and foods, and of inflammation, as determinants of reduced linear growth of
children. Nutr Res Rev. 2017;30:50-72.
7. Nkurunziza S, Meessen B, Vangerertruyden JP, Korachais C. Determinants of stunting
and severe stunting among Burunsian children aged 6-23 months: evidence from a
national cross-sectional household survey. BMC Pediatrics. 2017;17:176.
8. Casedei K, Kiel J. Anthropometric measurement. StatPearls. 2021:1.
9. World Health Organization. Training Course on Child Growth Assessment. Geneva,
WHO, 2018.
10. Putri R, Nuzuliana R, Kurniawati HF. Management of stunting to improved children
nutritional status and cognitive. 1st Int Respati Heal Conf. 2019;490–500.

Permenkes RI.2019. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2019.
Tentang Penanggulanagan Masalah Gizi Anak Akibat Penyakit.
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No__29_Th_2019_ttg_Penanggulanga
n_Masalah_Gizi_Bagi_Anak_Akibat_Penyakit.pdf. Diakses 6 November 2021.

11.
12. Rahayu A, Yulidasari F, Putri AO. Stunting dan upaya pencegahan. 2018. CV Media.
Jakarta
13. Syarif DR. Stunting is a silent emergency: what the pediatrician should do to identify and
prompt treatment in daily practice. 2021. FKUI: Jakarta.
14. Alexander, Davis L. Cervical Lymphadenitis: Etiology, Diagnosis, and Management.
2017.
15. Partridge E. Lymphadenitis. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/960858-clinical. Published 2019. Diakses: 28
Oktober 2021
16. Amiruddin. Keterampilan prosedur pemeriksaan dan interpretasi tes tuberculin.
Makassar. 2018.
17. Abdulsalam, M., & Daniel, A. (2018). Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia
Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4(2), 2–5.
18. Yati NP. Utari A, Tridjaya B. Diagnosis dan tatalaksana hipotiroid kongenital. 2017.
Jakarta.
19. Sudung OP, Taralan T, Husein A, Partini PT, Eka LH. Konsensus Infeksi Saluran Kemih
Pada Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016. Jakarta
20. Sandjaja S, Poh BK, Rojroonwasinkul N, Le Nyugen BK, Budiman B, Ng LO, et al.
Relationship between anthropometric indicators and cognitive performance in Southeast
Asian school-aged children. Br J Nutr. 2013;110(SUPPL.3).
21. Aurora WID, Sitorus RJ, Flora R. Perbandingan Skor IQ (Intellectual Question) Pada
Anak Stunting dan Normal. JAMBI Med J “Jurnal Kedokt dan Kesehatan.”
2020;8(1):19–25.

Anda mungkin juga menyukai