Anda di halaman 1dari 25

Case Report Session

Prolonged Jaundice

Oleh:
Mawaddatul Husna 1740312430

Pembimbing
Dr. dr. Finny Fitry Yani, Sp.A(K)

BAGIAN ILMI KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP. DR. M. DJAMIL
PADANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikterus atau jaundice adalah suatu keadaan yang ditandai dengan kulit dan
sklera berwarna kuning, yang disebabkan oleh akumulasi bilirubin pada kulit
dan membrana mukosa, karena kadar bilirubin pada tubuh tinggi atau disebut
juga hiperbilirubinemia. Ikterik terlihat secara kasat mata apabila konsentrasi
bilirubin dalam darah pada bayi atau anak >5 mg/L. Ikterik terjadi pada 60%
bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan pada minggu pertama kehidupan.
Pada sebagian besar bayi, kondisi ini merupakan suatu hal yang fisiologis.1
Pada bayi baru lahir terjadi kenaikan fisiologis kadar bilirubin dan 60% bayi
>35 minggu akan terlihat ikterik. Namun, 3%-5% dari kejadian ikterik tersebut
tidaklah fisiologis dan berisiko untuk terjadinya kerusakan neurologis bahkan
kematian.2 Prolonged jaundice adalah suatu keadaan jaundice menetap hingga
melebihi 2 minggu pada bayi cukup bulan dan 3 minggu pada bayi kurang bulan.
Hal ini dapat terjadi pada kurang lebih 15% bayi baru lahir.3
Penyebab kematian bayi baru lahir usia 0-8 hari di Indonesia adalah
gangguan pernafasan (36,9%), prematuritas (32,4%), sepsis (12%), hipotermi
(6,8%), ikterus (6,6%) dan lain-lain. Infeksi bakteri pada neonatal yang
berhubungan dengan ikterus telah lama dilaporkan dan umumnya berhubungan
dengan infeksi saluran kemih (ISK).4 Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi
yang sering menyerang pria maupun wanita dari berbagai usia dengan berbagai
tampilan klinis dan episode. ISK sering menyebabkan morbiditas dan dapat
secara signifikan menjadi mortalitas.5

1.2 Batasan Penulisan


Penulisan case report ini dibatasi mengenai Prolonged Jaundice ec. ISK
mencakup definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi dan faktor risiko,
manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis.

2
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan case report ini adalah membahas mengenai Prolonged
Jaundice ec. ISK mencakup definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi dan
faktor risiko, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan case report ini adalah berdasarkan tinjauan kepustakaan
dari berbagai literatur

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Ikterus adalah suatu keadaan BBL dimana kadar bilirubin serum total lebih
dari 10mg% pada minggu pertama ditandai dengan ikterus, dikenal ikterus
neonatorum yang bersifat patologis atau hiperbilirubinemia. Ikterus adalah suatu
gejala diskolorasi kuning pada kulit, konjungtiva dan mukosa akibat
penumpukan bilirubin.6
Prolonged jaundice adalah suatu keadaan jaundice menetap hingga melebihi
2 minggu pada bayi cukup bulan dan 3 minggu pada bayi kurang bulan.3-7 Hal
ini dapat terjadi pada kurang lebih 15% bayi baru lahir. 3 Ikterus persisten pada
neonatus didefinisikan sebagai ikterus yang berlangsung lebih dari 14 hingga 21
hari. Ini dapat terjadi hingga 15% dari semua bayi baru lahir.7

2.2 Epidemiologi
Penyebab utama kematian bayi di Indonesia disebabkan karena BBLR
26%, ikterus 9%, hipoglikemia 0,8% dan infeksi neonatorum1,8%.
Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup
bulan dan 80% bayi kurang bulan. Angka kejadian Ikterus pada bayi sangat
bervariasi, di RSCM persentase ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan
sebesar 32,1% dan pada bayi kurang bulan sebesar 42,9%, sedangkan di
Amerika Serikat sekitar 60% bayi menderita ikterus baru lahir menderita ikterus,
lebih dari 50%. Bayi-bayi yang mengalami ikterus itu mencapai kadar bilirubin
yang melebihi 10 mg.8
Saat ini angka kelahiran bayi di Indonesia diperkirakan mencapai 4,6 juta
jiwa per tahun, dengan angka kematian bayi sebesar 48/1000 kelahiran hidup
dengan ikterus neonatorum merupakan salah satu penyebabnya sebesar 6,6%.9

2.3 Klasifikasi
1. Ikterus Fisiologis
Umumnya terjadi pada baru lahir, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada
minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula
kadar bilirubin akan mencapi puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3

4
kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan
penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi
cukup bulan yang mendapat ASI, kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar
yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat. Bisa terjadi
dalam waktu 2-4 minggu, bahkan dapat mencapai waktu 6 minggu. Pada bayi
kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan
dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih lama, begitu juga dengan
penurunannya jika tidak diberi fototerapi pencegahan. Peningkatan 10-12 mg/dL
masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan
metabolism bilirubin.10

2. Ikterus non Fisiologis


Dulu disebut dengan ikterus patologis, tidak mudah dibedakan dengan
ikterus fisiologis. Keadaan di bawah ini merupakan petunjuk untuk tindak
lanjut:10
- Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam.
- Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi.
- Peningkatan kadar bilirubin total serum >0,5 mg/dL/jam.
- Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah,
letargis, malas menyusu, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea,
atau suhu yang tidak stabil).
- Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari
pada bayi kurang bulan.

2.4 Etiologi dan Faktor Resiko


Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat disebabkan oleh faktor/
keadaan, antara lain:10,11
1. Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi
Rhesus(Rh), defisiensi Glukosa 6 phosphate dehidrogenase (G6PD),
sferositosis herediter dan pengaruh obat. Infeksi bakteri pada neonatal yang
berhubungan dengan ikterus telah lama dilaporkan dan umumnya
berhubungan dengan infeksi saluran kemih (ISK). Infeksi saluran kemih

5
(ISK) merupakan infeksi ekstrahepatik yang paling sering menyebabkan
koletasis intrahepatik pada bayi
2. Polisitemia.
3. Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma
lahir.
4. Ibu diabetes.
5. Asidosis.
6. Hipoksia/asfiksia.
7. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat
faktor intrahepatik dan ekstra hepatik yang bersifat fungsional atau
disebabkan oleh obstruksi mekanik.
8. Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan
sirkulasi enterohepatik.

2.5 Metabolisme bilirubin dan Patofisiologi Ikterus


1. Metabolisme Bilirubin
Sel darah merah pada neonatus berumur sekitar 70-90 hari, lebih pendek
dari pada sel darah merah orang dewasa, yaitu 120 hari. Secara normal
pemecahan sel darah merah akan menghasilkan heme dan globin. Heme akan
dioksidasi oleh enzim heme oksigenase menjadi bentuk biliverdin (pigmen
hijau). Biliverdin bersifat larut dalam air. Biliverdin akan mengalami proses
degradasi menjadi bentuk bilirubin. Satu gram hemoglobin dapat memproduksi
34 mg bilirubin. Produk akhir dari metabolisme ini adalah bilirubin indirek yang
tidak larut dalam air dan akan diikat oleh albumin dalam sirkulasi darah yang
akan mengangkutnya ke hati. Bilirubin indirek diambil dan dimetabolisme di
hati menjadi bilirubin direk. Bilirubin direk akan diekskresikan ke dalam sistem
bilier oleh transporter spesifik. Setelah diekskresikan oleh hati akan disimpan di
kantong empedu berupa empedu. Proses minum akan merangsang pengeluaran
empedu ke dalam duodenum. Bilirubin direk tidak diserap oleh epitel usus tetapi
akan dipecah menjadi sterkobilin dan urobilinogen yang akan dikeluarkan
melalui tinja dan urin. Sebagian kecil bilirubin direk akan didekonjugasi oleh
beta-glukoronidase yang ada pada epitel usus menjadi bilirubin indirek.

6
Bilirubin indirek akan diabsorpsi kembali oleh darah dan diangkut kembali ke
hati terikat oleh albumin ke hati, yang dikenal dengan sirkulasi enterohepatik.12
2. Patofisiologi Ikterus
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur
eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasi enterohepatik.10
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang
atau pada keadaan proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada
bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang
memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan
konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang
menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau
sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.10
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut
kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan
pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin
indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak
ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung
pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar
daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah,
hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang
terjadi karena trauma atau infeksi.10

2.6 Diagnosis

7
Ikterus dapat timbul saat lahir atau setiap saat selama masa neonatus, tergantung
pada etiologinya. Ikterus biasanya dimulai pada daerah wajah dan ketika kadar
serum bilirubin bertambah akan turun ke abdomen dan selanjutnya ke ekstremitas.
Untuk menegakkan diagnosis diperlukan langkah-langkah mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.13
Hal – hal penting yang menunjang diagnosis meliputi: 14
1. Waktu terjadinya onset ikterus. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti
penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat
timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan etiologinya.
2. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)
3. Usia gestasi
4. Riwayat persalinan dengan tindakan atau komplikasi
5. Riwayat ikterus, kernikterus, kematian, defisiensi G6PD, terapi sinar, atau
transfusi tukar pada bayi sebelumnya
6. Inkompatibilitas darah (golongan darah ibu dan janin)
7. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.
8. Munculnya gejala-gejala abnormalitas seperti apnu, kesulitan menyusu,
intoleransi susu, dan ketidakstabilan temperatur.
9. Bayi menunjukkan keadaan lesu, dan nafsu makan yang jelek
10. Gejala-gejala kernikterus
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan cahaya sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat
dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap.
Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan
jaringan subkutan. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang
mendapatkan terapi sinar. 15
Pemeriksaan fisis penting yang menunjang diagnosis meliputi:15
1. Kondisi umum, penentuan usia gestasi neonatus, berat badan, tanda-tanda
sepsis, status hidrasi.
2. Tanda-tanda kern ikterus seperti letargi, hipotonia, kejang, opistotonus, high
pitch cry.

8
3. Pucat, plethora, sefalhematom, perdarahan subaponeurotik.
4. Tanda-tanda infeksi intrauterin, peteki dan splenomegali.
5. Progresi ikterus sefalo-kaudal pada ikterus berat.

4 4
2

Gambar 1. Derajat ikterus neonatal menurut Kramer15

Penilaian klinis derajat ikterus neonatal menurut Kramer, yaitu: 15


1. Kramer I pada Daerah kepala (Bilirubin total ± 5 – 7 mg)
2. Kramer II pada Daerah dada – pusat (Bilirubin total ± 7 – 10 mg%)
3. Kramer III pada Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total ± 10 – 13 mg)
4. Kramer IV pada Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai
pergelangan kaki (Bilirubin total ± 13 – 17 mg%)
5. Kramer V pada hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg
%)
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-
bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada
bayi yang mengalami ikterus berat, dilakukan terapi sinar sesegera mungkin tanpa
menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin.14,15

9
Transcutaneous bilirubinometer (TcB) digunakan untuk menentukan kadar
serum bilirubin total dengan cara yang non-invasif tanpa harus mengambil sampel
darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257
μmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar.
Alat ini digunakan untuk menyaring bayi yang berisiko. Pemeriksaan tambahan
yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain : 14,15
1. Golongan darah dan Coombs test
2. Darah lengkap dan hapusan darah tepi
3. Hitung retikulosit, skrining G6PD
4. Bilirubin total, direk, dan indirek. Pemeriksaan serum bilirubin total harus
diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin.
Kadar albumin serum juga perlu diukur.

2.7 Tatalaksana
a. Pengelolaan bayi ikterus yang mendapat ASI10
1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang
pengeluaran jika feses tidak keluar dalam waktu 24 jam.
2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui yang sering
dengan waktu yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui
yang lama dengan frekuensi yang jarang walaupun total waktu yang
diberikan adalah sama.
3. Tidak dianjukan pemberian air, dekstrosa atau formula pengganti.
4. Observasi berat badan, BAK dan BAB yang berhubungan dengan pola
menyusui.
5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, tingkatkan pemberian minum,
rangsang pengeluaran/produksi ASI dengan cara memompa, dan
menggunakan protocol penggunaan fototerapi yang dikeluarkan AAP.
6. Tidak dapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan
abnormalitas ASI, sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya
hanya diindikasikan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat
di atas 20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena
kuning.

10
b. Farmakoterapi10
1. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi-bayi dengan Rh
yang berat dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolysis isoimun
dan menurunkan tindakan tranfusi ganti.
2. Fenobarbital telah memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang
aktivitas, dan konsentrasi UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan
jumlah tempat ikatan bilirubin.
3. Protoporphyrin telah terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif dari
heme oksigenase, enzim ini diperlukan untuk katabolisme heme menjadi
biliverdin.
4. Pada penelitian terhadap bayi kurang dan cukup bulan, bayi dengan atau
tanpa penyakit hemolitik, tin-protoporphyrin (Sn-PP) dan tin-
mesoporphyrin (SN-MP) dapat menurunkan kadar bilirubin serum.
5. Pemberian inhibitor beta-glukoronidase pada bayi sehat cukup bulan
yang mendapat ASI, seperti asam L-aspartik dan kasein hoidrolisat
dalam jumlah kecil (5 ml/dosis – 6 kali/hari) dapat meningkatkan
pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang.

c. Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.
Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru
mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi
bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin
menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk
isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah
diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer
dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke
dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat
meninggalkan usus halus.12,13

11
Gambar 2. Prinsip Fototerapi.13
Fototerapi tetap menjadi standar terapi hiperbilirubinemia pada bayi.
Fototerapi yang efisien dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum secara
cepat. Pembentukan lumirubin yang merupakan isomer bilirubin, komponen
yang larut air merupakan prinsip eliminasi bilirubin dengan fototerapi. Faktor
yang menentukan pembentukan lumirubin antara lain: spektrum dan jumlah
dosis cahaya yang diberikan.13
Fototerapi yang intensif dapat membatasi kebutuhan akan transfusi tukar.
Fototerapi (penyinaran 11-14 μW/cm2/nm) dan pemberian asupan sesuai
kebutuhan (feeding on demand) dengan formula atau ASI dapat menurunkan
konsentrasi bilirubin serum > 10 mg/dl dalam 2-5 jam. Saat ini, banyak bayi
mendapatkan fototerapi dalam dosis di bawah rentang terapeutik yang optimal.
Tetapi terapi ini cukup aman, dan efeknya dapat dimaksimalkan dengan
meningkatkan area permukaan tubuh yang terpapar dan intensitas dari sinar.13
Bayi yang diterapi dengan fototerapi ditempatkan di bawah sinar (delapan
bohlam lampu fluoresense) dan lebih baik dalam keadaan telanjang dengan mata
tertutup. Temperatur dan status hidrasi harus terus dipantau. Fototerapi dapat
sementara dihentikan selama 1 – 2 jam untuk mempersilahkan keluarga
berkunjung atau memberikan ASI atau susu formula. Waktu yang tepat untuk

12
memulai fototerapi bervariasi tergantung dari usia gestasi bayi, penyebab
ikterus, berat badan lahir, dan status kesehatan saat itu. Fototerapi dapat
dihentikan ketika konsentrasi bilirubin serum berkurang hingga sekitar 4-5
3mg/dl.10

Gambar 3.Panduan foto terapi pada bayi usia kehamilan ≥ 35 minggu10

Tabel 2. Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berdasarkan usia dan berat


badan bayi.10

13
d. Transfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang
dilanjutkan dengan pemasukan darah dari donor dalam jumlah yang sama.
Teknik ini secara cepat mengeliminasi bilirubin dari sirkulasi. Antibodi yang
bersirkulasi yang menjadi target eritrosit juga disingkirkan. Transfusi tukar
sangat menguntungkan pada bayi yang mengalami hemolisis oleh sebab apapun.
Satu atau dua kateter sentral ditempatkan, dan sejumlah kecil darah pasien
dikeluarkan, kemudian ditempatkan sel darah merah dari donor yang telah
dicampurkan dengan plasma. Prosedur tersebut diulang hingga dua kali lipat
volume darah telah digantikan. Selama prosedur, elektrolit dan bilirubin serum
harus diukur secara periodik. Jumlah bilirubin yang dibuang dari sirkulasi
bervariasi tergantung jumlah bilirubin di jaringan yang kembali masuk ke dalam
sirkulasi dan rata-rata kecepatan hemolisis. Pada beberapa kasus, prosedur ini
perlu diulang untuk menurunkan konsentrasi bilirubin serum dalam jumlah
cukup. Infus albumin dengan dosis 1 gr/kgBB 1 – 4 jam sebelum transfusi tukar
dapat meningkatkan jumlah total bilirubin yang dibuang dari 8,7 – 12,3
mg/kgBB, menunjukkan kepentingan albumin dalam mengikat bilirubin.12

2.8 Komplikasi
Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan
kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi.
Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta  mengganggu sintesis
DNA.  Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf
(terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli
saraf. 16
Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan
konsentrasi bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi
ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan.16
Komplikasi ikterus neonatorum adalah Ensefalopati bilirubin atau kernikterus,
yaitu ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditatalaksana dengan benar dan dapat

14
menimbulkan komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya
asam bilirubin bebas dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak
dan serebellum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia
dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak. Dengan adanya
ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke dalam cairan
ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar bilirubin serum dengan
ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan
nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia
non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau
kerusakan neurologik yang disebabkannya.16
Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir
sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain:
konsentrasi albumin serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke
dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi efek toksik bilirubin.
Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan
sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya
diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena ensefalopati
bilirubin. Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan
mengalami kerusakan otak permanen dengan manifestasi berupa cerebral palsy,
epilepsi dan keterbelakangan mental atau hanya cacat minor seperti gangguan
belajar dan perceptual motor disorder.16

2.9 Prognosis
Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan)
yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dl,
akan mengalami kernikterus. Kernikterus didapatkan pada 8% bayi dengan
hemolisis Rh yang memiliki konsentrasi bilirubin serum 19-24 mg/dl, 33% pada
bayi dengan konsentrasi bilirubin 25-29 mg/dl, dan 73% pada bayi dengan
konsentrasi bilirubin 30-40 mg/dl.16
Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 75%
atau lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80% yang bertahan hidup
menderita koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental,

15
tuli, dan kuadriplegia sapstis lazim terjadi. Bayi yang berisiko harus menjalani
skrining pendengaran.11,16

BAB 3
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : FF
MR : 01045501
Umur : 1 bulan 17 hrari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Ayah/ Ibu : J/YF
Anak ke : 4 (empat)
Suku Bangsa : Indonesia
Alamat : Lubuk Basung, Agam
Tanggal Masuk : 22 Mei 2019

Keluarga
Ibu Ayah
Umur 35 th 38 th
Pendidikan S1 STM
Pekerjaan PNS Petani
Perkawinan ke 1 1

Anamnesis
Keluhan Utama
Bayi masih tampak kuning sampai perut sejak hari kedua setelah lahir.
Riwayat Penyakit Sekarang:
- Bayi masih tampak kuning sampai perut, bayi mulai kuning sejak usia dua
hari dan sudah mulai fototerapi pada usia 3 hari
- Bayi tidak ada demam, tidak ada kejang, tidak ada sesak napas, tidak ada
kebiruan, tidak ada mual dan muntah.
- Bayi telah ASI OD atau ASI 40cc tiap kali pemberian per 2 jam
- BAK dan BAB ada

16
- Bayi sebelumnya telah dirawat dengan Hyaline Membrane Disease +
Thymus Hiperplasia + Neonatal Jaundice + NBBLR 1700gr.
- Telah dilakukan kultur urin, hasilnya keluar tanggal 20 Mei 2019 dengan
hasil terinfeksi Klebsiella pneumonia spp. Pneumoniae, sensitive dengan
Amikasin.
- Tidak ada riwayat keluarga yang menderita kuning lama, tidak ada riwayat
ibu demam selama atau menjelang persalinan, tidak ada riwayat nyeri buang
air kecil pada ibu, tidak ada keputihan pada ibu selama hamil atau menjelang
persalinan.

Riwayat Kehamilan Sekarang : G4P4A0H4


HPHT : 7 November 2018
Taksiran Persalinan : 4 Juni 2019
Penyakit Selama Hamil : Tidak ada
Komplikasi Kehamilan : Tidak ada

Kebiasaan Ibu Waktu Hamil


Kualitas dan kuantitas makan cukup, tidak ada minum alkohol, merokok dan
narkoba.

Riwayat Persalinan
Ditolong oleh dokter Sp.OG di RSUP Dr. M. Djamil Padang, SC ai G 4P3A0H3 gravid
preterm 30-31 minggu dengan PPROM lam (32 jam) dan letak sunsang, kondisi
ketuban jernih. Saat lahir anak tidak langsung menangis, berat badan 1700 gram,
panjang badan 41 cm.

Apgar Score : 6/8

Kondisi Bayi Saat Lahir:


Lahir tanggal : 5 April 2019
Jenis kelamin : Laki-laki
Kondisi saat lahir : Hidup

17
Pemeriksaan Fisik:
Kesan Umum
Keadaan : Cukup aktif
Berat badan : 2380 gram
Panjang badan : 41 cm
Frekuensi jantung : 148 kali per menit
Frekuensi nafas : 45 kali per menit
Sianosis : tidak ada
Ikterus : ada
Suhu : 37,20 C
Kulit : teraba hangat, tampak kuning sampai dengan perut (membayang)
tidak pucat, tidak sianosis.
Kepala : bulat, simetris, normocephal, ubun-ubun besar 2,5 x 2,5 cm, ubun-
ubun kecil 1x1 cm, jejas persalinan tidak ada
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : nafas cuping hidung tidak ada
Mulut : sianosis sirkum oral tidak ada
Leher : tidak ada kelainan, tidak ada pembesaran KGB
Thoraks : rongga dada asimetris
Paru
Inspeksi : normochest, simetris, retraksi dinding dada tidak ada.
Palpasi : sulit dilakukan
Perkusi : sulit dilakukan
Auskustasi : bronkovesikuler, ronki tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : sulit dilakukan
Perkusi : sulit dilakukan
Auskultasi : irama teratur, bising tidak ada
Abdomen

18
Inspeksi : distensi tidak ada
Palpasi : supel, hepar teraba 1/4 -1/4 permukaan rata, pinggir tumul, lien
tidak teraba.
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus positif normal
Tali pusat : tidak ada kelainan
Umbilikal : tidak hiperemis
Punggung : tidak ada kelainan
Alat kelamin: tampak penis, kedua testis sudah turun
Anus : anus ada
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, CRT <2 detik

Refleks : Moro : ada Isap : ada


Rooting : ada Pegang : ada

New Ballard Score : 31

Diagnosis Kerja
Prolonged Jaundice ec ISK
ISK ec Klebsiella pneumonia spp pneuminiae
Diagnosis Banding
Kolestasis
Tatalaksana
- ASI OD atau ASI/SF 12 x 40 cc (200cc/kgBB/hari)
- Amikasin 3 x 20 mg (IV)
Rencana
- Pantau vital Sign
Hasil Pemeriksaan
Hb : 11,1 gr/dL
Leukosit : 7.620/mm3
Trombosit : 20.000/mm3
Diff. count : 0/8/3/16/69/4
Hematokrit : 34%

19
Follow Up
23/05/19
S/ - Anak cukup aktif
- Anak tidak ada demam, tidak ada kejang, tidak ada sesak napas
- Tubuh kuning membayang hingga tungkai
- Intake baik, toleransi baik
- BAK dan BAB ada
O/
KU HR RR Suhu
Cukup 146x/menit 42x/menit 37oC
Aktif
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
Kepala : UUB datar
Thoraks : retraksi tidak ada
Abdomen : supel, distensi tidak ada
Ekstremitas : Akral hangat, CRT ≤ 2 detik
A/ Prolonged Jaundice ec ISK
P/ - Pantau vital sign
- ASI OD atau ASI/SF 12 x 40 cc (200 cc/kgBB/hari)
- Amikasin 3 x 12 mg (iv)

24/05/19
S/ - Anak cukup aktif
- Anak tidak ada demam, tidak ada kejang, tidak ada sesak napas
- Tubuh kuning membayang hingga dada
- Intake baik, toleransi baik
- BAK dan BAB ada
O/
KU HR RR Suhu
Cukup 142x/menit 40x/menit 37oC
Aktif
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
Kepala : UUB datar

20
Thoraks : retraksi tidak ada
Abdomen : supel, distensi tidak ada
Ekstremitas : Akral hangat, CRT ≤ 2 detik

A/ Prolonged Jaundice ec ISK


P/ - Pantau vital sign
- ASI OD atau ASI/SF 12 x 40 cc (200 cc/kgBB/hari)
- Amikasin 3 x 12 mg (iv)

21
BAB 4
PEMBAHASAN
Telah dirawat seorang pasien laki-laki berumur 1 bulan 17 hari di SCN
bagian Anak RSUP dr. M. Djamil Padang, tanggal 22 Mei 2019 dengan diagnosa
Prolonged Jaundice ec ISK.
Dari anamnesis didapatkan pasien masih tampak kuning sejak usia dua hari
setelah lahir, pada riwayat oenyakit sekarang didapatkan bayi sudah mulai kuning
sejak hari kedua setelah lahir dan mendapatkan fototerapi sejak usia 3 hari. Bayi
telah ASI OD atau ASI 40cc tiap kali pemberian per 2 jam. Bayi sebelumnya telah
dirawat dengan Hyaline Membrane Disease + Thymus Hiperplasia + Neonatal
Jaundice + NBBLR 1700gr. Telah dilakukan kultur urin, hasilnya keluar tanggal 20
Mei 2019 dengan hasil terinfeksi Klebsiella pneumonia spp. Pneumoniae, sensitive
dengan Amikasin. Tidak ada riwayat keluarga yang menderita kuning lama, tidak
ada riwayat ibu demam selama atau menjelang persalinan, tidak ada riwayat nyeri
buang air kecil pada ibu, tidak ada keputihan pada ibu selama hamil atau menjelang
persalinan.
Kuning sejak usia dua hari hingga saat ini menunjukkan adanya peningkatan
kadar bilirubin pada pasien. Menurut teori jika dilihat dari usia, seharusnya pasien
sudah tidak mengalami kuning lagi setelah dua minggu, namun kuning masih
menetap hingga usia satu bulan lebih. Ini menandakan ada ikterus patologis pada
pasien. Hal ini diperkuat dengan keadaan pasien yang sebelumnya pernah dirawat
dengan diagnosa neonatal jaundice. Pada pasien dicurigai adanya factor lain yang
menyebabkan keadaan kuning (prolonged jaundice) yang menetap pada pasien.
Selanjutnya dari anamnesis didapatkan bahwa anak sudah melakukan pemeriksaan
kultur urin dan ditemukan ada Klebsiella pneumonia spp. Pneumoniae yang
menunjukan bahwa telah terjadinya infeksi saluran kemih pada pasien dan juga
merupakan salah satu penyebab ikterus pada bayi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup aktif, berat badan
2380 gram, panjang badan 41 cm, frekuensi jantung 148x / menit, frekuensi nafas
45x / menit dan suhu 37,2 oC, pada kulit tampak kuning sampai dengan perut
(membayang). Dari pemeriksaan tand-tanda vital tidak ditemukan adanya kelainan
pada pasien. Namun ditemukannya kuning pada perut yang jika diklasifikasikan

22
termasuk Kramer III. Hal ini menunjukkan bahwa sudah terjadi peningkatan
bilirubin pada pasien.
Pada pasien diberikan tatalaksana dengan melanjutkan pemberian ASI untuk
membantu terjadinya pemecahan bilirubin dan mengurangi kuning pada pasien.
Kemudian diberikan antibiotik yaitu, Amikasin yang merupakan obat yang sensitive
terhadap Klebsiella pneumonia spp. Pneumoniae. Pasien akan dirawat 14-15 hari
dan akan dipulangkan jika pemberian antibiotic sudah tuntas, anak aktif, BB
bertambah dan ikterik berkurang.

23
DAFTAR PUSTAKA
1. Prasetyo D. Update Diagnostik dan Tatalaksana Ikterik pada Bayi. Pediatric
Update. Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Bandung: Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajran; 2015. 1p.
2. Amandito R, Rahsiswatmo R. Hiperbilirubinemia pada Neonatus >35 Minggu di
Indonesia: Pemeriksaan dan Tatalaksana Terkini. Sari Pediatri. 2018 Agustus 02;
20(2):115.
3. Prasetyo D. Prolonged Jaundice. . The 6th Child Health Annual Scientific
Meeting of Indonesia Pediatric Society. Departemen Ilmu Kesehatan Anak.
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajran; 2013. 1p.
4. Oswari H, Harijadi, Bisanto J, Purnawati. Infeksi Saluran Kemih sebagai
Penyebab Kolestasis Intrahepatik. Sari Pediatri. 2005 Maret; 6(4):166.
5. Seputra KP, Tarmono, Noegroho BS, et al. Guideline Penatalaksanaan Infeksi
Saluran Kemih dan Genitalia Pria. 2nd ed. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Jakarta:
IAUI; Oktober 2015. 1p.
6. Rohani S, Wahyuni R. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Ikterus
pada Neonatus. Aisyah; Jurnak Ilmu Kesehatan. 2017; 2(1):78.
7. Gilmour SM. Prolonged Neonatal Jaundice: When to Worry and What to do.
Paediatr Child Health. 2004 Dec; 9(10): 700.
8. Ritarwan, Kiking. Ikterus. Bagian Perinatologi Fakultas Kedokteran USU/RSU
H. Adam Malik. USU digital library. 2011.
9. TazamiRM, Mustarim, Syah S. Gambaran Faktor Risiko Ikterus Neonatorum
pada Neonatus di Ruang Perinatologi RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun
2013. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Jambi. 2013
10. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,Sarosa
GI, Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi. 1st ed. Jakarta: IDAI.
2008.147-69p.
11. Kliegman, Robert M. Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB Editors. Nelson Textbook Of
Pediatrics. 17Th Ed. Philadelphia: Saunders;2004. 592-8p.
12. Rohsiswatmo R. Indikasi Terapi Sinar pada Bayi Menyusui yang Kuning.
Indonesian Pediatric Society. 2013 Agustus 26. Diakses dari

24
(http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/indikasi-terapi-sinar-pada-bayi-
menyusui-yang-kuning)
13. Maisels M. J& Mcdonagh, Antony F.Phototherapy For Neonatal Jaundice. New
England Journal of Medicine;2008p.358:920-8.
14. Hassan R.Ikterus Neonatorum dalam :Hassan R, Alatas H, editors Ilmu
kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI. Jilid ke-2. Jakarta. 2007. h.519-
22,1101-23.
15. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia. In :
Management Of Hyperbilirubinemia The Newborn Infant 35 Or More Weeks
Of Gestation. Pediatrics; 2004. p.114, 297-316.
16. Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik, Sylviati M. Dalam :
Hiperbilirubinemia Pada Neonatus.Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu
Dr. Soetomo. Surabaya; 2015 Juli 11.

25

Anda mungkin juga menyukai