Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Neonatus (Bayi Baru Lahir) dengan usia di bawah 10 hari memiliki fase
di mana terjadi peningkatan kadar bilirubin atau yang disebut
hiperbilirubin. Hiperbilirubin menyebabkan bayi baru lahir mengalami
penyakit kuning atau ikterik.1 Ikterik merupakan masalah yang biasa dialami
oleh bayi baru lahir pada minggu pertama kehidupan mereka.2,3 Sebanyak
60% bayi baru lahir aterm dan 80% bayi baru lahir preterm mengalami
ikterik. 2,3,4 Data dari 11 rumah sakit di wilayah California utara Kaiser
System Medis Permanente dan dari 18 Rumah Sakit Intermountain
Kesehatan System menunjukkan bahwa total kadar bilirubin adalah 20 mg
per desiliter (342 umol per liter) atau lebih tinggi pada sekitar 1 sampai 2%
bayi yang lahir pada usia kehamilan setidaknya 35 minggu. 5
Akibat yang membahayakan dari kasus ikterik/ hiperbilirubin pada bayi
baru lahir adalah munculnya kernicterus. Kondisi tersebut berakibat fatal
pada 75% kasus bayi baru lahir dengan kernicterus, sedangkan 80% di
antaranya tetap hidup dengan memperlihatkan adanya gangguan sistem
saraf. 3
Beberapa metode terapi telah sejak lama dikembangkan untuk
mengatasi ikterik pada bayi baru lahir, yaitu fototerapi, transfusi tukar,
pemanfaatan sinar matahari, masase, herbal, dll. Akan tetapi, metode
pengobatan yang lebih banyak digunakan untuk kondisi ikterik pada bayi
baru lahir pada masa pengobatan modern sekarang ini adalah fototerapi
dengan blue light. Sedangkan transfusi tukar mungkin dipertimbangkan
sebagai cara terakhir untuk menurunkan kadar bilirubin pada kasus di mana
ikterik tidak menunjukkan respon yang diinginkan pada penggunaan
metode pengobatan yang lain. 6 Penelitian berbasis rumah sakit di USA

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 1


menyimpulkan bahwa 5- 40 bayi dari 1000 bayi kelahiran cukup bulan dan
kurang bulan memperoleh fototerapi sebelum dipulangkan dari
perawatan.7
Menurut Kemenkes (2015), kejadian ikterus pada bayi baru lahir di
Indonesia menyumbangkan 9% kematian pada Angka Kematian Bayi di
Indonesia pada tahun 2014. Sedangkan insidensi ikterus di Indonesia pada
bayi cukup bulan di beberapa RS pendidikan antara lain RSCM, RS
Sardjito, RS Dr. Soetomo, RS Dr. Kariadi Semarang sebesar 13,7% hingga
85%. Insidensi ikterus non fisiologis di RSU Dr. Soetomo Surabaya 9,8%
(tahun 2002) dan 15,66% (Kosim, 2008). Data dari catatan rekam medik
RSUD Dr. Moewardi, diketahui bahwa insidensi ikterus di RSUD Dr.
Moewardi sebanyak 243 bayi yang dilakukan fototerapi pada tahun
2011.8
Berdasarkan latar belakang di atas, maka makalah ini akan mengkaji
tentang konsep dasar ikterus dan fototerapi pada bayi baru lahir.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep dasar ikterus?
2. Bagaimanakah konsep dasar fototerapi?

C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami konsep dasar ikterus
2. Mengetahui dan memahami konsep dasar fototerapi

D. Manfaat
1. Teoritis
Mengetahui konsep dasar ikterus dan fototerapi sebagai metode
pengobatan ikterus pada bayi baru lahir.

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 2


2. Praktis
Mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan ikterus dan
fototerapi saat ini dengan berbasis pada bukti, jurnal/artikel ilmiah, dll.

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 3


BAB II
KAJIAN TEORI

A. IKTERUS
1. Pengertian
Ikterus adalah kondisi umum di antara neonatus, yang disebabkan
oleh meningkatnya heme dan fisiologis hati yang belum matang dalam
konjugasi dan ekskresi bilirubin. Untuk bayi aterm yang paling sehat,
tingkat bilirubin tak terkonjugasi meningkat di atas 17 umol/L (10
mg/dL) antara hari ke-3 dan ke-6 kehidupan dan akan mengalami
penurunan pada hari – hari berikutnya.9 Ikterus neonatorum juga
didefinisikan sebagai keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak
pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.10
Sedangkan menurut IDAI (2013), ikterus adalah pewarnaan kuning
yang tampak pada sklera dan kulit yang disebabkan oleh penumpukan
bilirubin. Ikterus umumnya mulai tampak pada sklera (bagian putih
mata) dan muka, selanjutnya meluas secara sefalokaudal (dari atas ke
bawah) ke arah dada, perut dan ekstremitas. Pada bayi baru lahir,
ikterus seringkali tidak dapat dilihat pada sklera karena bayi baru lahir
umumnya sulit membuka mata. 11 Hiperbilirubinemia merujuk pada
tingginya kadar bilirubin terakumulasi dan ditandai dengan jaundice
atau ikterus, suatu pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan kuku. 12
Ikterus pada bayi baru lahir pada minggu pertama terjadi pada
60% bayi aterm dan 80% bayi preterm. Hal ini adalah keadaan yang
fisiologis. Walaupun demikian, sebagian bayi akan mengalami ikterus
yang berat sehingga memerlukan pemeriksaan dan tata laksana yang
benar untuk mencegah kesakitan dan kematian. 11

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 4


2. Macam-macam Ikterus Neonatorum
a. Ikterus Fisiologis
Kadar bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated bilirubin/ UCB)
pada neonatus aterm dapat mencapai 6-8 mg/dL pada usia 3 hari,
setelah itu berangsur turun. Pada bayi prematur, awitan ikterus
terjadi lebih dini, kadar bilirubin naik perlahan tetapi dengan kadar
puncak yang lebih tinggi, serta memiliki waktu yang lama untuk
menghilang, mencapai 2 minggu. Kadar bilirubin pada neonatus
prematur dapat mencapai puncak yaitu 10-12 mg/dL pada hari ke-5
dan masih dapat naik > 15mg/dL tanpa adanya kelainan tertentu.
Kadar bilirubin akan mencapai < 2mg/dL setelah usia 1 bulan, baik
pada bayi cukup bulan maupun prematur. 13 Hiperbilirubinemia
fisiologis dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme, yaitu
peningkatan produksi bilirubin (yang disebabkan oleh masa hidup
eritrosit yang lebih singkat, peningkatan eritopoiesis inefektif),
peningkatan sirkulasi enterohepatik, defek uptake bilirubin oleh hati,
defek konjugasi karena aktifitas uridine difosfat glukuronil transferase
(UDPG-T) yang rendah, penurunan ekskresi hepatik. 14 Sedangkan
menurut Pedoman Praktik Klinis Penatalaksaan Bayi Baru Lahir dengan
Ikterus di Malaysia, ikterus fisiologis disebabkan oleh produksi bilirubin
yang melebihi batas normal (karena kadar hemoglobin yang lebih
tinggi dan masa hidup eritrosit yang singkat) dan ketidakmampuan hati
untuk mengekskresi bilirubin (karena hati belum matang). Ikterus
fisiologis biasanya muncul 2-4 hari setelah lahir dan akan berangsur
hilang setelah 1-2 minggu pada bayi aterm dan 3 minggu pada bayi
preterm serta tidak terkait dengan adanya penyakit tertentu dan
biasanya bersifat jinak. 15

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 5


b. Ikterus Patologis
TSB (Total Serum Bilirubin) dianggap sebagai suatu keadaan
patologis apabila kadarnya melebihi 5 mg/ dl pada hari pertama
kehidupan pada bayi baru lahir aterm, 10 mg/ dl pada hari kedua, atau
12-13 mg/ dl setelahnya. Beberapa peningkatan kadar bilirubin yang
melebihi 17 mg/ dl seharusnya sudah diduga sebagai suatu kondisi
patologis dan memerlukan pengkajian tentang penyebab dan
intervensi yang mungkin dilakukan, seperti fototerapi. Adanya ikterik
dalam 24 jam, kadar puncak TSB di atas kadar TSB normal, ikterik yang
menetap selama 3 minggu dan adanya bilirubin terkonjugasi harus
dipertimbangkan akan menjadi kasus ikterus patologis.13
Secara sederhana, keadaan-keadaan yang menandakan
kemungkinan hiperbilirubinemia non fisiologis yang membutuhkan
pemeriksaan lebih lanjut, yaitu: 14
1) Awitan ikterus terjadi sebelum usia 24 jam
2) Peningkatan bilirubin serum yang membutuhkan fototerapi
3) Peningkatan bilirubin serum > 5mg/dL/24 jam
4) Kadar bilirubin terkonjugasi > 2mg/dL
5) Bayi menunjukkan tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum,
penurunan berat badan, apnea, takipnea, instabilitas suhu)
6) Ikterus yang menetap > 2 minggu
3. Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan salah satu hasil pemecahan hemoglobin yang
disebabkan oleh kerusakan sel darah merah (SDM). Ketika SDM
dihancurkan, hasil pemecahannya terlepas ke sirkulasi, tempat hemoglobin
terpecah menjadi 2 fraksi yaitu: heme dan globin. Bagian globin (protein)
digunakan lagi oleh tubuh, dan bagian heme diubah menjadi bilirubin tidak
terkonjugasi yaitu suatu zat tidak larut yang terikat oleh albumin. 12
Di hati bilirubin dilepas dari molekul albumin dan dengan adanya

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 6


enzim glukuronil transferase, dikonjugasikan dengan asam glukoronat
menghasilkan larutan dengan kelarutan tinggi, bilirubin glukuronat
terkonjugasi, yang kemudian diekskresi dalam empedu. Di usus kerja
bakteri mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinogen, pigmen
yang memberi warna khas pada tinja. Sebagian besar bilirubin tereduksi
diekskresikan ke feses, sebagian kecil dieliminasi ke urin. Normalnya tubuh
dapat mempertahankan keseimbangan antara dekstruksi SDM dan
penggunaan atau ekspresi produk tinja. Tetapi bila keterbatasan
perkembangan atau proses patologis mempengaruhi keseimbangan ini,
bilirubin akan terakumulasi dalam jaringan dan mengakibatkan jaundice/
ikterus. 12

Gambar 2.1. Metabolisme Bilirubin10

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 7


4. Penyebab ikterus
Secara umum penyebab hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir
adalah faktor fisiologis (perkembangan – prematuritas), berhubungan
dengan pemberian ASI, produksi bilirubin berlebihan (misal penyakit
hemolitik, defek biokimia, memar), gangguan kapasitas hati untuk
menyekresi bilirubin terkonjugasi (misal defisiensi enzim, obstruksi duktus
empedu), kombinasi kelebihan produksi dan kurang sekresi (misal sepsis),
beberapa keadaan penyakit (misal hipotiroidisme, galaktosemia, bayi dari
ibu diabetes), predisposisi genetik terhadap peningkatan produksi
(penduduk asli Amerika, Asia). 12
Pedoman Praktik Klinis Penatalaksaan Bayi Baru Lahir dengan Ikterus
di Malaysia menyebutkan faktor resiko pada beberapa ikterus berat, antara
lain: prematuritas, BBLR, ikterus pada 24 jam pertama kehidupan, ibu
dengan golongan darah O. Rh –, defisiensi Glucose-6-phosphate
dehydrogenase (G6PD), kenaikan TSB yang cepat, sepsis, kegagalan
memberikan ASI Eksklusif, tingkat bilirubin predischarge yang tinggi,
cephalohematom, bayi yang lahir dari ibu diabetes, riwayat keluarga
dengan ikterus pada saudara kandung. 15
Ikterus fisiologis biasanya jinak dan terjadi pada sebagian besar bayi.
Akan tetapi kondisi tersebut dapat diperburuk oleh beberapa kondisi lain
seperti tidak adekuatnya asupan bayi, cephalohematom, dan memar.
Tingginya kadar bilirubin dapat mengarah pada kondisi bilirubin
encephalopathy. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi kondisi
bayi apakah berada pada resiko hiperbilirubinemia berat dan gangguan
perkembangan syaraf. Bayi beresiko mengalami hiperbilirubinemia berat
jika memiliki faktor resiko, yaitu: 15
a. Preterm Akhir
Ikterus biasa terjadi pada bayi yang lahir <37 minggu umur kehamilan.
Bayi yang lahir dengan umur kehamilan 38-39 minggu lebih beresiko

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 8


mengalami ikterus berat daripada bayi yang lahir dengan umur
kehamilan ≥40 minggu .
b. BBLR
Pada BBLSR, peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi
meningkatkan mortalitas dan resiko gangguan sistem saraf (rata-rata
berupa cerebral palsy berat, gangguan pusat pendengaran bilateral
berat, keterlambatan perkembangan mental atau indeks
perkembangan psikomotorik)
c. Terjadinya ikterus pada 24 jam pertama kehidupan
Ikterus yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kelahiran
merupakan suatu faktor resiko terjadinya hiperbilibunemia berat.
d. Ibu dengan golongan darah O/ Rh –
Bayi dengan ketidakcocokan rhesus dengan ibunya telah meningkatkan
resiko terjadinya bilirubin encephalopathy. Bayi dengan ABO
inkompitibilitas dan positif tes Coombs direct memiliki resiko yang lebih
besar untuk mengalami ikterus berat dibandingkan dengan hasil tes
yang negatif.
Inkompatibilitas Rhesus adalah penyakit hemolitik isoimun yang
menyebabkan anti bodi IgG melawan anti gen sel darah merah fetus.
Kira-kira 15% orang kulit putih, 7% orang kulit hitam dan 1% orang Cina
tidak mempunyai antigen D (Rh negatif atau d/d). Inkompatibilitas Rh
terjadi jika ibu Rh negatif dan anak Rh positif. Sepertiga dari bayi
dengan penyakit hemolitik yang tidak mendapat pengobatan dan kadar
bilirubin serum yang lebih dari 20 mg/dl akan mengalami kern ikterus.
Kira-kira 5% primipara rhesus negatif akan mengalami respon anti bodi
yang ringan. Proses terjadinya hemolisis pada penyakit isoimun akibat
inkompatibilitas Rh adalah sebagai berikut; 1) Ibu golongan Rh negatif,
2) Fetus golongan Rh positif, 3) Masuknya eritrosit fetus ke sirkulasi
maternal melalui proses perdarahan fetomaternal, 4) Terjadi sensitisasi

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 9


maternal oleh antigen D dari eritrosit fetus, 5) Terbentuk anti D
maternal sebagai respon terhadap anti gen D fetus, 6) Kemudian anti D
maternal secara transplasental masuk kedalam sirkulasi fetus, 7) Anti
bodi tersebut melekat pada eritrosit fetus dan 8) Menyebabkan
aglutinasi kemudian eritrosit tersebut menjadi lisis. Penyakit hemolitik
karena inkompatibilitas Rh jarang terjadi pada kehamilan pertama
tetapi resikonya menjadi lebih tinggi pada kehamilan berikutnya.
ABO incompatibility / incompatibilitas ABO adalah kondisi medis
dimana golongan darah antara ibu dan bayi berbeda sewaktu masa
kehamilan. Pada kebanyakan kasus inkompatibilitas ABO, ibu memiliki
golongan darah O dan janin memiliki golongan darah A, mungkin juga
terjadi bila janin memiliki golongan darah A atau AB. Pada
Inkompatibilitas ABO, hemolisis tidak selalu terjadi sampai dengan
kelahiran. Respons hemolitik pada inkompatibilitas ABO biasanya mulai
pada waktu lahir dengan mengakibatkan ikterus bayi baru lahir (Stright,
2004). Golongan darah yang berbeda menghasilkan antibodi yang
berbeda-beda. Ketika golongan darah yang berbeda tecampur, suatu
respon kekebalan tubuh terjadi dan antibody terbentuk untuk
menyerang antigen asing di dalam darah. Ibu dengan golongan darah O
menghasilkan antibody anti-A dan anti-B yang cukup kecil untuk
memasuki sirkulasi tubuh bayi, menghancurkan sel darah merah janin.
Penghancuran sel darah merah menyebabkan peningkatan produksi
bilirubin yang merupakan produk sisa. Apabila terlalu banyak bilirubin
yang dihasilkan, maka akan menyebabkan ikterus pada bayi. Hal ini juga
yang akhirnya terjadi pada inkompatibilitas Rh.
Inkompatibilitas ABO adalah salah satu penyebab penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir yang merupakan factor resiko tersering kejadian
hiperbilirubinemia (Dharmayani, 2009). Inkompatibilitas ABO berbeda
dengan inkompatibilitas Rh (antigen CDE) karena penyakit ABO sering

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 10


dijumpai pada bayi yang lahir pertama, penyakitnya hampir selalu lebih
ringan dari isoimunisasi Rh dan jarang menyebabkan anemia bermakna,
sebagian besar isoantibodi A dan B adalah immunoglobulin M, yang
tidak dapat menembus plasenta dan melisiskan eritrosit janin. Oleh
karena itu, meskipun dapat menyebabkan penyakit hemolitik pada
neonates, namun isoimunisasi ABO tidak menyebabkan hidrops fetalis
(Leveno, 2009).
e. Defisiensi G6PD
Dalam suatu studi, dari beberapa bayi dengan TSB >20 mg/ dl (>340
μmol/L), defisiensi G6PD terjadi pada bayi dengan puncak TSB yang
lebih tinggi dan lebih mungkin memerlukan fototerapi atau transfusi
tukar dan memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan
dengan bayi yang tidak mengalami defisiensi G6PD.
f. Peningkatan kadar TSB
Bayi dengan peningkatan kadar TSB >6mg/dl/hari (103 μmol/L/day)
lebih beresiko untuk mengalami hiperbilirubinemia berat.
g. Sepsis
Sebuah studi pada bayi >34 minggu, yang lebih mudah mengalami
sepsis juga lebih beresiko mengalami keracunan bilirubin.
h. Kehilangan berat badan berlebihan
Berat badan yang menurun drastis pada 3 hari pertama kelahiran
merupakan indikasi terjadinya hiperbilirubinemia yang signifikan.
i. Tingginya kadar bilirubin predischarge
Kadar bilirubin predischarge yang tinggi merupakan prediktor
terjadinya hiperbilirubinemia dengan rentang AUC antara 0.86-0.88.
j. ASI Eksklusif
Dengan analisis multivariat, ASI Eksklusif merupakan prediktor
signifikan dari TSB ≥25 mg/dL (425 μmol/L).
k. Cephalohematom

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 11


Bayi dengan cephalohematom beresiko mengalami ikterus
l. Bayi dengan ibu diabetes
Bayi yang mengalami makrosomia dari ibu dengan DM merupakan
faktor resiko terjadinya ikterus.
m. Riwayat keluarga dengan saudara kandung yang mengalami ikterus
Meskipun tidak signifikan, riwayat keluarga dengan saudara kandung
yang mengalami ikterus merupakan faktor resiko terjadinya ikterus
pada bayi yang lahir selanjutnya.
5. Metode penilaian Ikterus15
TSB merupakan gold standard untuk menilai dan menentukan derajat/
level hiperbilirubinemia. Penilaian secara visual menggunakan aturan
Kramer masih dipraktikan secara luas. Metode non invasif yang lebih baru
seperti TcB (Transcutaneous Bilirubinometry) telah diperkenalkan dan
diterima secara luas.15
a. TcB (Transcutaneous Bilirubinometry)
TcB (Transcutaneous Bilirubinometry) adalah suatu alat yang
digunakan untuk mengukur jumlah bilirubin di kulit dengan cara
digenggam. Beberapa studi yang melibatkan suatu penilaian teknologi
kesehatan secara luas menunjukkan suatu korelasi signifikan (r=0.75-
0.95) pada hasil pengukuran kadar bilirubin yang diukur menggunakan
TcB dan TSB baik pada bayi aterm maupun preterm. Akan tetapi, hasil
pengukuran dengan TcB cenderung overestimate atau underestimate
jika dibandingkan dengan TSB. Hasil pengukuran yang overestimate
dapat menyebabkan tenaga kesehatan melakukan pemeriksaan dan
pengobatan invasif yang tidak perlu. Sedangkan hasil pengukuran yang
underestimate dapat menyebabkan bayi yang beresiko mengalami
hiperbilirubinemia tidak terdeteksi.
Pengukuran TcB memiliki korelasi yang baik (r=0.85-0.97) dengan
TSB melalui tipe analisa kimia yang berbeda, namun rata-rata

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 12


perbedaan hasil pengukuran bilirubin dengan TcB dan TSB bervariasi
menurut setiap metode yang digunakan. Rata-rata perbedaan hasil
pengukuran TcB dan TSB nampak lebar ketika kadar bilirubin melebihi
205 μmol/L (12 mg/dL). Tidak ada efek samping utama yang terkait
dengan penggunaan BiliCheck dan JM-103. Jm-103 jika dibandingkan
dengan Bilicheck memiliki beberapa kelebihan secara klinis karena tidak
memerlukan bahan habis pakai dan memiliki tingkat akurasi dalam
mengidentifikasi kadar TSB >12 mg/dL (205 μmol/L) dan tidak
menghabiskan banyak waktu. Fototerapi mempengaruhi keakuratan
TcB dalam mendeteksi ikterus. Korelasi yang lebih baik antara hasil
pengukuran TSB dan TcB diperoleh pada daerah yang tidak terpapar
fototerapi dibandingkan dengan daerah yang terpapar. Oleh karena itu,
TcB seharusnya tidak digunakan untuk memonitor kadar bilirubin pada
bayi yang mendapatkan fototerapi. Jika kadar TcB >200 μmol/L (12
mg/dl), sebaiknya dilaukan pengukuran kadar bilirubin menggunakan
TSB.
b. Icterometer
Icterometer merupakan suatu instrumen non invasif yang dapat
digunakan sebagai alat skrining ikterus. Akan tetapi belum terdapat
bukti yang berkualitas baik untuk membuktikan tingkat kereliabilitasan
dari alat tersebut.
c. Penilaian Visual
Penilaian visual dari ikterus berdasarkan pada penilaian dari tingkat
keluasan dan keparahan perubahan warna kuning pada kulit. Hal ini
dilakukan dengan cara blanching kulit dengan memeberikan tekanan
menggunakan jari dan mencatat warna yang mendasari kulit. Ikterus
biasanya akan terlihat ketika kadar bilirubin mencapai 5 - 7 mg / dL (86-
120 umol / L) dan dimulai dari kepala sampai kaki yang menunjukkan
kadar bilirubin. Kramer’s rule menggambarkan hubungan antara kadar

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 13


bilirubin serum dan perkembangan perubahan warna kulit. Penilaian
secara visual tidak dapat diandalkan pada bayi ikterus yang
mendapatkan fototerapi. Berikut tabel yang menampilkan kadar
bilirubin dan kategori ikterus menurut Kramer,s Rule.

Tabel 2.1 Level Bilirubin dan Kadar Bilirubin menurut Kramer’s Rule15

Gambar 2.2 Penilaian Visual Ikterus Bayi Baru Lahir menurut Kramer’s
Rule15

Keterangan:
1) Ikterus derajat I : kepala dan leher (10 mg/dl)

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 14


2) Ikterus derajat II : kepala, leher, sampai umbilicus (15 mg/dl)
3) Ikterus derajat III : kepala, leher, sampai lutut (20 mg/ dl)
4) Ikterus derajat IV : kepala, leher, lengan, kaki (25 mg/ dl)
5) Ikteus derajat V : kepala, leher, lengan, kaki, ekstremitas
(>25 mg/ dl)

Penilaian Visual memberikan hasil yang mendekati hasil


pengukuran bilirubin dengan TSB apabila digunakan pada bayi ikterus
berkulit terang. Akan tetapi, bukti tersebut tampak lemah jika
digunakan pada bayi yang lahir dengan umur kehamilan <38 minggu.
TcB lebih akurat dibandingkan penilaian ikterus secara visual pada bayi
yang lahir dengan umur kehamilan >34 minggu.

6. Komponen Penilaian15
Identifikasi faktor resiko terjadinya ikterus dan tingkat keparahan
hiperbilirubinemia penting dilakukan ketika bayi mulai tampak kuning agar
dapat menilai kondisi bayi secara umum dan memeriksa serta memastikan
terjadinya tanda keracunan bilirubin. Penilaian yang tepat dibutuhkan
untuk menentukan penanganan selanjutnya, sebagai beikut: 15
a. Penurunan BB secara drastis
Penurunan BB ≥7% meningkatkan resiko terjadinya
hiperbilirubinemia secara signifikan. Pada bayi yang memperoleh ASI
Eksklusif, penurunan BB ≥8% pada dua hari pertama kehidupan dan
>11% pada hari ketiga kehidupan mengindikasikan bahwa bayi
selanjutnya akan mengalami hiperbilirubinemia. Sedangkan penurunan
BB ≥7% merupakan faktor resiko yang dapat mengarah pada terjadinya
hiperbilirubinemia yang berat (TSB >20mg/dL (342 umol/l) sehingga
perlu dimonitor lebih lanjut. Asupan ASI yang adekuat, BB, status
dehidrasi harus dinilai selama minggu pertama kehidupan.

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 15


Parameter yang digunakan untuk menilai asupan ASI yang adekuat
ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 2.2 Penilaian Asupan ASI yang Adekuat15

b. Penilaian ABE (Acute Bilirubin Encephalopathy)


1) Bayi Aterm
Dampak serius dari ikterus yaitu terjadinya ABE, choreoathetoid
cerebral palsy, gangguan pendengara, hingga terjadinya kematian.
Kriteria penilaian ABE ditunjukkan pada tabel berikut ini:
Tabel 2.3 BIND (Bilirubin-Induced Neurologic Dysfunction) Score15

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 16


2) Bayi preterm
Pada bayi preterm, penilaian ABE dilakukan dengan
menggunakan ABR (Auditory Brainstem Response). Bayi preterm
dengan ABE cenderung akan mengalami apneu.
c. Tes Darah
1) Yield of Test
Pemeriksaan laboratorium lengkap diperlukan untuk
memastikan penyebab utama terjadnya hiperbilirubinemia pada
kondisi – kondisi tertentu meliputi:
a) Uji G6PD
b) Golongan darah ibu dan bayi
c) Direct Coombs Test
d) Pemeriksaan darah lengkap
e) Jumlah retikulosit
f) Pemeriksaan infeksi

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 17


2) Pengukuran G6PD
Semua bayi baru lahir seharusnya dilakukan skrining defisiensi
Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) yang hasilnya harus
ditinjau dalam 24 jam. Uji enzym G6PD mungkin perlu
dipertimbangkan pada bayi yang dicurigai mengalami defisiensi
G6PD tetapi memiliki hasil tes Fluorescent Spot yang normal.
3) Bilirubin/ albumin ratio (B/A Ratio)
Belum ada cukup bukti yang mendukung penggunaan bilirubin/
albumin ratio.
4) Unbound Bilirubin (UB)/ bilirubin Bebas
Konsentrasi UB lebih baik daripada TSB dalam memprediksi bilirubin
yang terinduksi neurotoxicity. Akan tetapi sekarang ini, pengukuran
UB tidak tersedia secara komersial sehingga konsentrasi UB
neurotoxic tidak dapat diketahui.
7. Breastfeeding Jaundice (BFJ)
Bayi yang memperoleh ASI Eksklusif memiliki pola fisiologis ikterus
yang berbeda dibandingkan dengan bayi yang yang tidak diberi ASI
Esklusif. Ikterus pada bayi dengan ASI Ekslusif biasanya akan tampak
pada 24-72 jam pertama kehidupan, mencapai puncaknya pada hari ke-5
sampai dengan hari ke- 15 dan akan menghilang setelah 3 minggu. Ketika
bayi mendapatkan sedikit ASI, buang air besar cenderung menjadi sedikit
dan jarang karena bilirubin yang berada di usus bayi terserap kembali ke
dalam darah dan bukannya dibuang saat buang air besar. Hasil
metaanalisis dari 25 studi menunjukkan bahwa 13% bayi yang diberi ASI
Eksklusif memiliki kadar puncak TSB 12 mg/ dL atau lebih tinggi
dibandingkan dengan 4% bayi yang tidak diberi ASI Eksklusif. Sepertiga
dari seluruh bayi yang mendapat ASI Eksklusif diketahui berada pada
level ikterus menengah dalam 3 minggu kehidupan, yang akan menetap
dalam 2-3 bulan pertama kehidupan.16

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 18


Peningkatan jumlah BFJ tersebut tidak berkaitan dengan karakteristik
ASI tetapi tergantung dari pola menyusui ibu. Penurunan frekuensi
menyusui berhubungan dengan semakin meningkatnya kemungkinan
terjadinya ikterus fisiologis. Memotivasi ibu untuk menyusui setidaknya
12x/ hari akan membantu dalam mengatasi ikterus pada bayi aterm yang
sehat. 16
8. Breast Milk Jaundice (BMJ)
Sekitar 2-4% dari bayi aterm yang mendapatkan ASI Ekslusif
mengalami ikterus dengan kadar TSB melebihi 10 mg/ dL dalam 3 minggu
pertama kehidupan. Diagnosis BMJ seharusnya sudah dipertimbangkan
ketika TSB banyak didominasi oleh bilirubin tidak terkonjugasi dan
penyebab lain dari menetapnya ikterus dalam waktu yang lama telah
dikeluarkan dan bayi dalam keadaan sehat. Jika bayi mengalami kenaikan
berat badan yang baik, hanya dengan menyusu, buang air besarnya
banyak dan sering, urinnya jernih, dan secara umum dalam keadaan
baik, maka bayi dikatakan sakit kuning karena ASI, walaupun, kadang,
infeksi pada urin atau kelenjar tiroidnya tidak berfungsi dengan baik,
seperti halnya sedikit. Untuk mendiagnosa hal ini, bayi paling tidak sudah
berusia satu minggu, yang menarik adalah, banyak bayi yang mengalami
breastmilk jaundice juga mengalami kuning fisiologis yang berlebihan.
Breastmilk jaundice mempunyai karakteristik kadar bilirubin indirek
yang masih meningkat setelah 4-7 hari pertama. Kondisi ini berlangsung
lebih lama daripada hiperbilirubinemia fisiologis dan dapat berlangsung
3-12 minggu tanpa ditemukan penyebab hiperbilirubinemia lainnya.
Breastmilk jaundice mengalami puncaknya pada hari ke 10-21, namun
dapat berlanjut hingga dua sampai tiga bulan. Breastmilk jaundice
merupakan sesuatu yang normal. Jarang, kalaupun pernah, yang
menyebabkan menyusui harus dihentikan. Ibu sebaiknya tetap
disarankan untuk menyusui dengan interval yang sering dan TSB

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 19


biasanya akan menurun setelah periode waktu tertentu. Adanya
gangguan menyusui tidak direkomendasikan kecuali jika kadar TSB
melebihi 20 mg/dL. 16
Penyebab BMJ berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang ibu
tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang disusukannya.
Semua bergantung pada kemampuan bayi tersebut dalam
mengkonjugasi bilirubin indirek (bayi prematur akan lebih berat
ikterusnya). Penyebab BMJ belum jelas, beberapa faktor diduga telah
berperan sebagai penyebab terjadinya BMJ. Breastmilk jaundise
diperkirakan timbul akibat terhambatnya uridine diphosphoglucoronic
acid glucoronyl transferase (UDPGA) oleh hasil metabolisme progesteron
yaitu pregnane-3-alpha 20 beta-diol yang ada dalam ASI ibu-ibu tertentu.
Pendapat lain menyatakan hambatan terhadap fungsi glukoronid
transferase di hati oleh peningkatan konsentrasi asam lemak bebas yang
tidak di esterifikasi dapat juga menimbulkan BMJ. Faktor terakhir yang
diduga sebagai penyebab BMJ adalah peningkatan sirkulasi
enterohepatik. Kondisi ini terjadi akibat (1) peningkatan aktifitas beta-
glukoronidase dalam ASI dan juga pada usus bayi yang mendapat ASI, (2)
terlambatnya pembentukan flora usus pada bayi yang mendapat ASI
serta (3) defek aktivitas uridine diphosphateglucoronyl transferase
(UGT1A1) pada bayi yang homozigot atau heterozigot untuk varian
sindrom Gilbert.

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 20


9. Penatalaksanaan BBL Ikterus
Gambar 2.3 Algoritma Managemen BBL dengan Ikterus di RS15

10. Penatalaksanaan BBL Ikterus Sesuai dengan Kewenangan Bidan


Sebelum memberikan asuhan pada bayi baru lahir dengan ikterus,
seorang bidan harus mampu mengklasifikasikan apakah bayi benar
mengalami ikterus atau tidak, jika bayi benar mengalami ikterus, maka
bidan juga harus mampu menetapkan pada kategori apa ikterus yang
dialami oleh bayi. Hal tersebut penting dilakukan agar penatalaksanaan
yang diberikan tepat. Pedoman yang digunakan oleh bidan untuk

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 21


memeriksa ada tidaknya ikterus pada bayi baru lahir, ditunjukkan pada
bagan berikut: 17

Gambar 2.4 Algoritma Memeriksa Ikterus17

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 22


Adapun hal-hal yang perlu dilaakukan bidan pada saat kunjungan
ulang pada kasus BBL dengan Ikterus, ditunjukkan pada bagan sebagai
berikut: 17

Gambar 2.5 Algoritma Kunjungan Ulang Ikterus17

B. FOTOTERAPI
1. Mekanisme Kerja Fototerapi
Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi
bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau
urin. Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia
yaitu isomerisasi. Juga terdapat konversi ireversibel menjadi isomer
kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari
plasma melalui empedu. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi
bilirubin akibat terapi sinar pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin
plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole
yang diekskresikan lewat urin. Fotoisomer bilirubin lebih polar
dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa dieksreksikan
melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa
diekskresikan lewat urin. 8

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 23


Bilirubin menyerap cahaya yang paling kuat dalam spektrum biru
dekat dengan panjang gelombang 460 nm, daerah di mana penetrasi
jaringan oleh peningkatan cahaya nyata dengan meningkatnya panjang
gelombang. Laju pembentukan photoproducts bilirubin sangat
tergantung pada intensitas dan panjang gelombang dari cahaya yang
digunakan, hanya panjang gelombang yang menembus jaringan dan
diserap oleh bilirubin memiliki efek phototherapeutic. Menanggapi
faktor-faktor ini, lampu dengan output terutama di 460-490 nm daerah
biru dari spektrum dianggap paling efektif untuk mengobati
hiperbilirubinemia. Kesalahan yang umum terjadi yaitu cahaya
ultraviolet (UV) (<400 nm) digunakan untuk fototerapi. Lampu
fototerapi digunakan saat ini tidak signifikan memancarkan radiasi UV
erythemal. Selain itu, penutup plastik lampu dan, dalam kasus bayi
prematur, inkubator, menyaring sinar UV.18

Gambar 2 .6 Mekanisme Phototherapy18

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 24


a. Tipe Fototerapi15
1) Fototerapi LED
Berdasarkan studi metaanalisis, fototerapi menggunakan sinar
LED atau non LED menunjukkan efektivitas klinis yang sama
yang diukur berdasarkan lamanya waktu fototerapi dan
kecepatan penurunan TSB pada bayi aterm dan preterm akhir.
2) Fototerapi Fibreoptic
Fototerapi fibreoptic jarang digunakan jika dibandingkan
dengan fototerapi konvensional/ LED. Berdasarkan hasil
sistematik review, diketahui bahwa fototerapi fibreoptic
menunjukkan efektivitas yang sama dengan fototerapi
konvensional yang dilihat berdasarkan durasi fototerapi dan
persentase penurunan TSB dalam 24 jam. Pada bayi aterm,
fototerapi fibreoptic juga efektif dalam mengurangi kadar
serum bilirubin, namun kurang efektif jika dibandingkan dengan
fototerapi konvensional. Sedangkan kombinasi dari fototerapi
fibreoptic dan konvensional lebih efektif jika dibandingkan
penggunaan fototerapi konvensional saja.
b. Jenis Lampu
Beberapa studi menunjukkan bahwa lampu flouresen biru
lebih efektif dalam menurunkan bilirubin. Akan tetapi karena
cahaya biru dapat mengubah warna bayi, maka yang lebih
disukai adalah lampu flouresen cahaya normal dengan spektrum
420 – 460 nm sehingga asuhan kulit bayi dapat diobservasi baik
mengenai warnanya (jaundice, palor, sianosis) atau kondisi lainnya.
Agar fototerapi efektif, kulit bayi harus terpajan penuh terhadap
sumber cahaya dengan jumlah yang adekuat. Bila kadar bilirubin
serum meningkat sangat cepat atau mencapai kadar kritis,
dianjurkan untuk menggunakan fototerapi dosis ganda atau

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 25


intensif, teknik ini melibatkan penggunaan lampu overhead
konvensional, sementara bayi berbaring dalam selimut fiberoptik.
Warna kulit bayi tidak mempengaruhi efisiensi pemberian
fototerapi. Hasil terbaik terjadi dalam 24 sampai 48 jam pertama
fototerapi.12
Fototerapi konvensional adalah fototerapi menggunakan LED

yang membutuhkan daya 15 uW/cm2 yang dapat digunakan pada


kasus ikterik non hemolitik dan peningkatan kadar bilirubin terjadi
secara lambat. Sedangkan fototerapi intensif adalah fototerapi
dengan sinar bluegreen spectrum (panjang gelombang 430-490 nm)

dengan kekuatan paling kurang 30 uW/cm2 (diperiksa dengan radio


meter atau diperkirakan dengan menempatkan bayi langsung di
bawah sumber sinar dan kulit bayi yang terpajan lebih luas. Bila
konsentrasi bilirubin tidak menurun atau cenderung naik pada bayi
– bayi yang mendapat fototerapi intensif, kemungkinan besar
terjadi proses hemolisis. 1 0
ambar 2.5 Faktor Penting dalam Kemanjuran Phototherapy.

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 26


Gambar 2.7 Faktor Penting dalam Keefektivan Fototerapi
Absorbansi spektrum bilirubin terikat albumin serum manusia
(garis putih) ditunjukkan ditumpangkan pada spektrum cahaya
tampak. Jelas, cahaya biru adalah yang paling efektif untuk
fototerapi, tetapi karena transmitansi kulit meningkat dengan
meningkatnya panjang gelombang, panjang gelombang terbaik
untuk digunakan mungkin di kisaran 460-490 nm. Bayi harus
diperlakukan dalam keranjang dalam jangka pendek, bukan
inkubator, untuk memungkinkan sumber cahaya untuk dibawa ke
dalam waktu 10 hingga 15 cm dari bayi (kecuali bila halogen atau
lampu tungsten yang digunakan), meningkatkan radiasi dan
kemanjuran. Untuk fototerapi intensif, sumber cahaya tambahan
(serat optik pad, light-emitting diode [LED] kasur, atau khusus
tabung neon biru) dapat ditempatkan di bawah bayi atau keranjang.
Jika bayi dalam inkubator, sinar cahaya harus tegak lurus terhadap
permukaan inkubator untuk meminimalkan hilangnya khasiat akibat
pantulan.

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 27


Jenis-jenis lampu yang digunakan untuk fototerapi adalah:19
1) Tabung neon biru, dapat bekerja dengan baik jika digunakan
untuk fototerapi namun dapat menyebabkan ketidaknyamanan
pada anggota staf rumah sakit.
2) Tabung neon putih, kurang efisien daripada lampu biru, namun
mengurangi jarak antara bayi dan lampu dapat
mengkompensasi efisiensi yang lebih rendah.
3) Lampu kuarsa putih merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari beberapa penghangat cerah dan inkubator. Lampu
tersebut memiliki komponen biru signifikan dalam spektrum
cahaya.
4) Lampu kuarsa ganda, lampu 3-4 melekat pada sumber panas
overhead dari beberapa penghangat bercahaya.
5) Light-emitting diode (LED), konsumsi daya rendah, produksi
panas rendah, dan masa hidup lebih lama.
6) Cahaya serat optik, memberikan tingkat energi yang tinggi,
tetapi untuk luas permukaan terbatas.
c. Jarak
Dosis dan kemanjuran dari fototerapi biasanya dipengaruhi
oleh jarak antara lampu (semakin dekat sumber cahaya, semakin
besar irradiasinya) dan permukaan kulit yang terkena cahaya,
karena itu dibutuhkan sumber cahaya di bawah bayi pada
fototerapi intensif.7 Jarak antara kulit bayi dan sumber cahaya.
Dengan lampu neon, jarak harus tidak lebih besar dari 50 cm (20
inchi). Jarak ini dapat dikurangi sampai 10-20 cm jika homeostasis
suhu dipantau untuk mengurangi resiko overheating.19

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 28


d. Metode penerapan fototerapi15
1) Penggunaan tirai pemantul
Tirai pemantul putih secara signifikan diketahui mampu
menurunkan kadar TSB setelah 4 jam fototerapi dan
memperpendek durasi fototerapi.
2) Perubahan posisi selama fototerapi
Tidak ada perbedaan perubahan kadar TSB pada posisi
terlentang dan telungkup, namun posisi terlentang lebih dipilih
karena adanya kemungkinan terjadinya sudden infant death
syndrome pada posisi telungkup.
3) Fototerapi Ganda VS Triple
Tidak ada perbedaan signifikan yang tampak dari penurunan
kadar TSB dan masa rawat di RS antar fototerapi ganda dan
triple. Efektivitas fototerapi ditentukan dari kekuatan daya dan
luasnya area yang terpapar secara adekuat dan bukan
berdasarkan jumlah unit fototerapi.
4) Overhead vs underneath LED phototherapy
Durasi fototerapi lebih singkat dan penurunan kadar TSB
lebih cepat pada fototerapi overhead LED dibandingkan
underneath LED dengan catatan tidak ada erythema atau
komplikasi yang lain pada bayi.
5) Aggressive vs conservative phototherapy
Terdapat pengurangan gangguan perkembangan saraf pada
penggunaan fototerapi agresif pada bayi BBLSR terutama
dengan berat ≥750 g, ketika bayi mulai dilakukan fototerapi
pada TSBm 85 umol / L (5 mg / dL) pada minggu pertama
kehidupan dan 120 umol / L (7 mg / dL) selama minggu kedua
kehidupan. Meskipun demikian, masih dibutuhkan
kewaspadaan yang lebih pada bayi dengan BB lahir <750 gr

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 29


karena adanya resiko kehilangan cairan secara transepidermal
yang tinggi.
e. Berat badan dan usia
Tabel 2.4 Petunjuk Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia Berdasarkan
Berat Badan Dan Bayi Baru Lahir Yang Relative Sehat Menurut BB10

Untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 1000 gram, memulai
fototerapi sebesar 5 - 6 mg / dL pada usia 24 jam, kemudian
meningkat secara bertahap sampai usia 4 hari. Efisiensi fototerapi
tergantung pada jumlah bilirubin yang diradiasi. Penyinaran area
kulit permukaan besar lebih efisien daripada penyinaran daerah
kecil, dan efisiensi meningkat fototerapi dengan konsentrasi
bilirubin serum.

Tabel 2.5 Petunjuk Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia Pada Bayi

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 30


Sehat Cukup Bulan Menurut Usia10

Ikterus yang timbul pada usia 25-48 jam pasca kelahiran,


fototerapi dianjurkan bila kadar bilirubin serum total > 12 mg/dl
(170mmol/L). Fototerapi harus dilaksanakan bila kadar bilirubin
serum total ≥ 15 mg/dl (260mmol/L). Bila fototerapi 2x24 jam gagal
menurunkan kadar bilirubin serum total <20 mg/dl (340 mmol/L),
dianjurkan untuk dilakukan tranfusi tukar. Bila kadar TSB 20 mg/dl
(>340 mmol/L) dilakukan fototerapi dan mempersiapkan tindakan
tranfusi tukar. Bila kadar bilirubin serum total >15 mg/dl (>260
mmol/L) pada 25-48 jam pasca kelahiran, mengindikasikan perlunya
pemeriksaan laboratorium ke arah penyakit hemolisis.
Usia 49-72 jam pasca kelahiran, fototerapi dianjurkan bila
kadar bilirubin serum total > 15 mg/dl (260mmol/L). Fototerapi
harus dilaksanakan bila kadar bilirubin serum total 18 mg/dl
(310mmol/L). Bila fototerapi 2x24 jam gagal menurunkan kadar
bilirubin serum total < 25 mg/dl (430 mmol/L), dianjurkan untuk
dilakukan tranfusi tukar. Bila kadar bilirubin serum total > 18
mg/dl (> 310 mmol/L) fototerapi dilakukan sambil mempersiapkan
tindakan tranfusi tukar. Bila kadar bilirubin serum total > 25 mg/dl
(>430 mmol/L) pada 49-72 jam pasca kelahiran, mengindikasikan
perlunya pemeriksaan laboratorium ke arah penyakit hemolisis.
Selanjutnya pada usia >72 jam pasca kelahiran, fototerapi harus

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 31


dilaksanakan bila kadar bilirubin serum total > 17 mg/dl
(290mmol/L). Bila fototerapi 2 x 24 jam gagal menurunkan kadar
bilirubin serum total < 20 mg/dl (340 mmol/L), dianjurkan untuk
dilakukan tranfusi tukar. Bila kadar bilirubin serum total sudah
mencapai > 20 mg/dl (>340 mmol/L) dilakukan fototerapi sambil
mempersiapkan tindakan tranfusi tukar. Bila kadar bilirubin serum
total > 25 mg/dl (> 430 mmol/L) pada usia > 72 jam pasca
kelahiran, masih dianjurkan untuk pemeriksaan laboratorium ke
arah penyakit hemolisis.
Tabel 2.6 Pedoman Fototerapi dan Transfusi Tukar pada bayi
dengan umur kehamilan ≥35 minggu Menurut Pedoman Praktik
Klinis Penatalaksaan Bayi Baru Lahir dengan Ikterus15

f. Luas Permukaan Fototerapi


Hal penting dalam pelaksanaan praktis dari fototerapi
termasuk pengiriman energi dan memaksimalkan luas permukaan
yang tersedia harus mempertimbangkan bahwa bayi harus
telanjang kecuali popok dan mata harus ditutup untuk mengurangi
resiko kerusakan retina. Bila menggunakan lampu sorot, pastikan
bahwa bayi ditempatkan di pusat lingkaran cahaya, karena
photoenergy tetes dari arah perimeter lingkaran. Amati bayi erat

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 32


untuk memastikan bahwa bayi tidak bergerak jauh dari daerah
energi tinggi. Lampu sorot mungkin lebih tepat untuk bayi
prematur kecil daripada yang lebih besar jangka dekat bayi
(Judarwanto, 2012).
Secara umum penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi
berat lahir rendah digambarkan grafik sebagai berikut:

Gambar 2.8 Panduan Fototerapi Pada Bayi Dengan Usia


Kehamilan >35 Minggu10

1) Sebagai patokan gunakan kadar bilirubin total


2) Faktor resiko : isoimune hemolytic disease, defisiensi
G6PD, asfiksia, letargi, suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis,
asidosis, atau kadar albumin < 3mg/dL
3) Pada bayi dengan usia kehamilan 35 – 37 6/7 minggu

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 33


diperbolehkan untuk melakukan fototerapi pada kadar
bilirubin total sekitar medium risk line. Merupakan pilihan
untuk melakukan intervensi pada kadar bilirubin totak serum
yang lebih rendah untuk bayi – bayi yang mendekati usia 35
minggu dan dengan kadar bilirubin total serum yang lebih
tinggi untuk bayi yang berusia mendekati 37 6/7 minggu
4) Diperbolehkan melakukan fototerapi baik dirumah sakit atau di
rumah pada kadar bilirubin total 2 -3 mg/dL dibawah garis
yang ditunjukan, namun pada bayi – bayi yang memiliki faktor
resiko fototerapi sebaiknya tidak dilakukan dirumah.

2. Efek Samping Fisioterapi


Efek samping ringan yang harus diwaspadai, meliputi: feses encer
kehijauan, ruam kulit transien, hipertermia, peningkatan kecepatan
metabolisme, seperti hipokalsemia dan priaspismus. Untuk mencegah
atau meminimalkan efek tersebut, suhu dipantau untuk mendeteksi
tanda awal hipotermia atau hipertermia, dan kulit diobservasi
mengenai dehidrasi dan kekeringan, yang dapat menyebabkan
ekskoriasi dan luka.12
Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, sangat jarang terjadi dan
reversibel. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya yaitu :8
a. Bronze baby sindrom
Mekanisme berkurangnya ekresi hepatik hasil penyinaran bilirubin.
Bronze baby syndrome merupakan kondisi di mana terjadi
pigmentasi warna coklat keabuan gelap pada kulit, membran
mukosa, dan urin setelah fototerapi. Hal ini terjadi arena adanya
akumulasi fotoisomer bilirubin yang abnormal. Ketidaknormalan
fungsi hati juga mengarah pada terjadinya kompleks tembaga
porpyhrin yang mengalami “photodestroyed” sehingga terjadi

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 34


pigmentasi coklat. Akumulasi biliverdin juga dianggap sebagai
penyebab terjadinya pigmentasi.
b. Diare
Bilirubin indirek menghambat laktase.
c. Hemolisis
Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit.

d. Dehidrasi
Insesible Water Loss ↑ (30-100%) karena menyerap energi foton.
e. Ruam kulit
Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan pelepasan
histamin.
Pelumas minyak atau losion tidak boleh dioleskan ke kulit
untuk menghindari kulit menjadi cokelat atau efek ―gosong. Bayi
aterm yang mendapat fototerapi mungkin perlu tambahan volume
cairan untuk mengompensasi kehilangan caian isensibel dan
intestinal. Karena fototerapi meningkatkan ekskresi bilirubin yang tak
terkonjugasi melalui usus, feses cair menunjukkan peningkatan
pengeluaran bilirubin. Sering defekasi menyebabkan iritasi perianal,
sehingga pentng dilakukan asuhan kulit yang teliti terutama menjaga
kulit bersih dan kering.12

3. Asuhan pada Bayi yang Mendapatkan Fototerapi15


a. Memonitor VS bayi termasuk status hidrasi bayi
b. Memastikan bayi terpapar sinar secara adekuat
c. Menutup mata bayi untuk mencegah kerusakan retina
d. Meminta ibu untuk tetap melanjutkan pemberian ASI
4. Follow Up (Malay)15

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 35


Bayi sehat yang aterm dan bayi preterm akhir dengan hiperbilirubin
non hemolitik dan TSB <25 mg/dL (428 µmol/L) perlu di follow up pada
tingkat pelayanan kesehatan primer.

C. KAJIAN JURNAL

Comparison of Two phototherapy Methods for Reducing Bilirubin of


Neonates: Continuous vs. Intermittent

Mohammad Mehdi Houshmandi1, Rakhshaneh Goodarzi2*, Fatemeh


Yousefi1, Behnaz Khamesan1, Yaghoob Hamedi3, Darioush Fakhrai1

Tujuan dari pengobatan hiperbilirubinemia adalah utnuk mencegah


mengarahnya penyakit ke level neurotoxic. Ada beberapa macam cara
untuk mengobati hiperbilirubin, yang paling sering digunakan adalah
fototerapi. Fototerapi dapat dilakukan secara terus menerus maupun
sebentar-sebentar (intermitten). Beberapa penelitian telah dilakukan
untuk menentukan metode mana yang lebih efektif, beberapa studi
melaporkan hasil yang tidak jauh beda antara metode berkesinambungan
maupun intermitten, namun beberapa studi melaporkan bahwa metode
berkesinambungan lebih efektif. Sebagai metode yang standar. Biasanya
fototerapi dilakukan terus menerus hingga neonatus mencapai kadar
bilirubin yang normal, baru kemudian fototerapi dihentikan. Namun,
perlu kita pertmbangkan bahwa lamanya waktu yang dibutuhkan untuk

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 36


foto terapi dapat memisahkan bayi dengan ibunya sehingga
mempengaruh peberian ASI, serta efek perubahan genetik yang dapat
ditimbulkan dari fototerapi. Jika kita bisa mengurangi lamaya waktu
terpapar fototerapi, maka efek tersebut dapat dikurangi. Itulah yang
menjadi dasar dilakukannya penelitian ini. Tujuan penelitian adalah
membandingkan efektifitas 2 metode fototerapi yaitu berkesinambungan
dan idak berkesinambungan terhadap kadarbilirubin bayi di RS Bandar
Abbas.
Penelitian ini adalah penelitian RCT dengan sample neonatus dari bulan
Februari 2010 – Februari 2011. Kriteria inklusinya adalah neonatus
dengan usia kehamilan 37 minggu dan 6 hari, berat badan lebih dari
2500gr, usia lebih dari 24 jam, TSB 13-18mg/dL sedangkan kriteria
eksklusinya adalah hiperbilirubin karena hemolisis. Sample dibagi dalam 2
kelompok yaitu kelompok fototerapi berkelanjutan dan fototerapi
intermitten. Untuk fototerapi berkelanjutan dilakukan selama 2 jam 45
menit dan dihentikan selama 15 menit, sedangkan fototerapi intermiten
dilakukan selama 1 jam, dihentikan 1 jam. Proses ini diawasi oleh tenaga
perawat yang terlatih. Menurut teori, fototerapi dilakukan berdasarkan
usia bayi dan kadar bilirubinnya. Fototerapi dilakukan menggunakan alat
dari Tosan companies yang terdiri dari 4 lampu philips dengan cahaya
putih dengan panjang gelombang 425-475 nm. Bayi berjarak 30cm dari
lampu. Intensitas cahaya diukur menggunakan Lux Meter.
Perubahan posisi bayi, pelindung mata, kontrol dehidrasi dan asupan ASI
diawasi oleh perawat yang terlatih. TSB dipantau 12 jam sejak dimulai
fototerapi. Data dasar bayi juga tercatat dalam kuesionaire penelitian. 39
bayi (20 laki laki, 19 perempuan) di grup intermitten sedangkan 45 bayi
(27 laki laki, 18 perempuan) di grup continuous. Namun ada 26 kasus
yang loss to follow up. Penurunan serum bilirubin di grup continuous
menurun lebih signifikan dari intermitten grup; 1.9 ± 5.7 mg/dl di

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 37


intermittent group dan 2.0 ± 6.8 mg/dl di continuous group (p <0.01). rata
– rata durasi fototherapy di intermittent group adalah 53.8±21 .5 jam
(antara 24 -96jam) dan 48 .8± 22. 6jam (antara 12- 96jam) di continuous
group, tidk ada perbedaan statistik yang signifikan.

Phototherapy in transport for neonates with unconjugated


Hyperbilirubinaemia
Michelle Waterham,1 Risha Bhatia,1 Susan Donath,2 Charlotte
Molesworth,2 Kenneth Tan3 and Michael Stewart1
1Paediatric Infant Perinatal Emergency Retrieval Service, 2Clinical
Epidemiology and Biostatistics Unit, Royal Children’s Hospital and
3Monash Newborn, Monash

Sejak tahun 2005, The Paediatric, Infant, Perinatal Emergency


Retrieval
(PIPER) Victoria memperkenalkan fototerapi selama proses rujukan
neonatus dari faskes dasar ke RS tujuan. Tujuan penelitian adalah
mengetahui efektifitas penggunaan fototerapi selama proses transportasi
ke tempat rujukan terhadap hiperbilirubin.
Phototherapy dilakukan dengan menggunakan NeoBLUE Mini
(Natus Medical Inc, San Carlos, CA, USA) light-emitting diode (LED)
phototherapy system. Fototerapi portable ini dipasang di transport cot
dan diarahkan secara langsung ke neonatus. NeoBLUE Mini mengeluarkan
sinar blue light dengan spektrum 450–470 nm yang sesuai dengan puncak
penyerapan dengan spektrum 458nm dimana kadar bilirubin dapat
turun. Transport cot yang digunakan oleh PIPER berisi ventilator

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 38


mekanik,sistem pengontrol temperatur, supply daya, dengan
ketersediaan cairan obat yang terkoneksi dengan sistem pompa dengan
transport cot. NeoBLUE Mini phototherapy telah digunakan di Victoria
dan Ambulans PIPER serta ambulans helicopter di Victoria. Jarak antara
Transport Cot dan fototerapi unit sekitar 15-20 cm.
Total Serum Bilirubin diukur di faskes asal dan setelah tiba di faskes
rujukan kemudian dihitung selisihnya. Data demografi dikumpulkan dari
masing2 pasien serta usia bayi, usia kehamilan, berat lahir, dan jenis
kelamin dan waktu yang diperluka untuk transportasi rujukan. Namun
jenis dan jumlah cairan yang diberikan selama transportasi rujukan tidak
dicantumkan sebagai data di penelitian ini.

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 39


Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 40
Hasil dari mean perbedaan Total Serum Bilirubin antara pre dan
post transport rujukan dijelaskan di tabel 3. Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara rata2 perbedaan total serum bilirubin pre dan post pada
neonatus yang diberi fototerapi saat transport rujukan dengan perbedaan
rata2 total serum bilirubin pre dan post pada neonatus yang tidak diberi
fototerapi saat transport rujukan .

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 41


Belum ada bukti yang menjadi dasar teori adanya perbedaan total
bilirubin serum pada neonatus yang diberi fototerapi saat rujukan dan
tidak diberi fototerapi saat rujukan. Hanya ada sedikit bukti yang
mendukung adanya perbedaan antara total SBR yang diberi fototerapi
dan yang tidak. Namun, pada neonatus yang diberi PTDT, kemungkinan
dilakukan transfusi darah lebih kecil daripada neonatus yang tidak diberi
PTDT.

Efektifitas Fototerapi 24 Jam Dan 36 Jam Terhadap Penurunan Bilirubin


Indirect Pada Bayi Ikterus Neonatorum
Harlina Yuhanidz1, Saryono2, Giyatmo3
1,3Jurusan keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong
2Jurusan Keperawatan Unsoed Purwokerto

Fototheraphy 36 jam lebih efektif untuk menurunkan kadar bilirubin


indirect jika dibandingkan dengan fototheraphy 24 jam. Ada berbagai
factor yang dapat mempengaruhi efektifitas foto diantaranya: Intensitas
radiasi, kurva spektrum emisi dan luas tubuh bayi yang terpapar.
Intensitas cahaya yang diperlukan 6-12 nm, usia bayi, umur gestasi, berat
badan dan etiologi ikterus. Terapi sinar paling efektif untuk bayi prematur
yang sangat kecil dan paling tidak efektif untuk bayi matur yang sangat
kecil (gangguan pertumbuhan yang sangat berat) dengan peningkatan
hematokrit. Selain itu, makin tinggi kadar bilirubin pada saat memulai
fototerapi, makin efektif. Efikasi terapi sinar meningkat dengan
meningkatnya konsentrasi bilirubin, tetapi tidak efektif untuk
menurunkan konsentrasi bilirubin di bawah 100 mol/l. Sedangkan faktor
yang mengurangi efikasi terapi sinar adalah paparan kulit yang tidak
adekuat, sumber cahaya terlalu jauh dari bayi (radiasi menurun secara
terbalik dengan kuadrat jarak), lampu fluoresens yang terlalu panas

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 42


menyebabkan perusakan fosfor secara cepat dan emisi spektrum dari
lampu yang tidak tepat. Idealnya, semua ruang perawatan perinatologi
memiliki peralatan untuk melakukan terapi sinar intensif.

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 43


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ikterus adalah kondisi umum di antara neonatus, yang disebabkan
oleh meningkatnya heme dan fisiologis hati yang belum matang dalam
konjugasi dan ekskresi bilirubin.
Ikterus dibagi menjadi 2 macam, yaitu Ikterus Fisiologis dan Patologis.
Ikterus Fisiologis terhadi dimana Kadar bilirubin tidak terkonjugasi
(unconjugated bilirubin/ UCB) pada neonatus aterm dapat mencapai 6-8
mg/dL pada usia 3 hari, setelah itu berangsur turun. Sedangkan ikterus
patologis yaitu keadaan dimana TSB (Total Serum Bilirubin) dianggap
sebagai suatu keadaan patologis apabila kadarnya melebihi 5 mg/ dl pada
hari pertama kehidupan pada bayi baru lahir aterm, 10 mg/ dl pada hari
kedua, atau 12-13 mg/ dl setelahnya.
Untuk penanganan terkini ikterus neonatorum, terapi sinar atau
fototerapi masih menjadi pilihan utama dalam mengatasi ikterus
neonatorum. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin
menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu
atau urin. Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia
yaitu isomerisasi. Juga terdapat konversi ireversibel menjadi isomer
kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari
plasma melalui empedu. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi
bilirubin akibat terapi sinar pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma
tak terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang
diekskresikan lewat urin.
B. Saran

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 44


Diharapkan bidan dapat memperluas pengetahuan dan wawasan melalui
evidence based terkini terutama mengenai ikterus neonatorum agar
dapat mengenali secara dini tanda dan gejala serta penanganannya yang
sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 45


DAFTAR PUSTAKA

1. Naufal AF. Pengaruh Stimulasi Terhadap Penurunan Kadar Biliburin pada


Neonatus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Naskah Publikasi. 2016 diakses
dari
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&c
ad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwji0JbzyPPLAhXhJaYKHdiyCwQQFggeMAA&url=
http%3A%2F%2Feprints.ums.ac.id%2F42142%2F1%2FNASKAH%2520PUBLIK
ASI_3.pdf&usg=AFQjCNGFRe9qzl6WlQMxFG8OU1J3cZQ1g&sig2
=vO3NvMCjyXn1cKknbYU-AQ . Diakses 24 September 2016
2. Karbandi S, dkk. The Effects of Field Massage Technique on Bilirubi Level and
The Number of Defecation in Preterm Infants. Evidence Based Care Journal.
2015: 5 (4) : 7-16
3. Moghadam MB, dkk. The Effect of Massage on Neonatal Jaundice in Stable
Preterm Newborn Infants: A Randomized Controlled Trial. 2015: 65 (6): 602-
606
4. Kianmehr M, dkk. The Effect of Massage on Serum Bilirubin Levels in Term
Neonates with Hyperbilirubinemia Undergoing Phototherapy. 2014: 128 (1):
36-41
5. Eggert LD WS, Wilson J,, RD C. The effect of instituting a prehospital-
discharge newborn bilirubin screening program in an 18-hospital health
system. Pediatrics. 2006:5:117
6. Kopaei M.R., Khoshdel A., Kheiri S, dan Shemian R., Cotoneaster: A Safe and
Easy Way to Reduce Neonatal Jaundice. Journal of Cinical and Diagnostic
Research. 2016: 10 (4): SC01-SC03
7. Maisels J., dan McDonagh, A. Phototherapy For Neonatal Jaundice‖. Journal
Nursing England Medical. 2008: 358: 920-928

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 46


8. Bunyaniah D. Pengaruh Fototerapi Terhadap Derajat Ikterik Pada Bayi Baru
Lahir di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Naskah Publikasi. 2013. Fakultas
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta 2013
9. Grohmanna, K., Roser, M., Rolinski, B., Kadow, I., Müller, C., Goerlach-Graw,
A., Nauck,M., Küster, H. Bilirubin Measurement for Neonates: Comparison
of 9 Frequently Used Methods. Journal of the American Academy
of Pediatrics. 2006:117(4):1174-1183
10. Kosim S., Yunanto A., Dewi R., Sarosa, G., Usman, A. 2012. Buku Ajar
Neonatologi. Edisi Cetakan 3. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
11. Suradi R dan Letupeirissa D. 2013. Air Susu Ibu dan Ikterus.
http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/air-susu-ibu-dan-ikterus. Diakses 24
September 2016
12. Wong D.L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Diterjemahkan oleh Agus
S., Neti J., Kuncoro., Vol. 1. Edisi 6. Cetakan 1., Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
13. Ishra S.M., Garwal R.A., Deorari A.K., dan Paul C.K., Jaundice in The
Newborns., Indian Journal of Pediatrics. 2008: 75: 157-163
14. Sudarmanto, B. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jilid 2. Cetakan 1., Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia
15. Lian A.W.S., dkk. 2015. Clinical Practice Guidelines Management of
Neonatal Jaundice. Second Edition. Malaysia: Putrajaya
16. Mishra S., Agarwal R., deorari A.K., Paul V.K. Jaundice in The Newborns.
Indian Journal of Pediatrics. 2008:75: 67-73
17. Kementerian kesehatan RI. 2010. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal
Esensial Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta
18. M. Jeffrey Maisels MB, B.Ch., and Antony F. McDonagh, Ph.D. Phototherapy
for Neonatal Jaundice. T h e new engl and journa l o f medicine. 2008
19. Judarwanto W. 2012. Penanganan Terkini Hiperbilirubinemia atau Penyakit
Kuning Pada Bayi Baru Lahir. http://childrengrowup.wordpre

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 47


ss.com/2012/05/07/. Jakarta : Children Grow Up Clinic., Diakses 24
September 2016

Konsep Ikterus dan Fototerapi Page 48

Anda mungkin juga menyukai