Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

Neonatus Hiperbilirubinemia

Disusun oleh :
Nur Ainaa Athirah binti Zainudin
112018114

Pembimbing :
dr. Aulia Fitri SpA(K)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


RSUD Tarakan Jakarta
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta
2020
Pendahuluan

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan
pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu
pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Bayi dengan hiperbilirubinemia tampak kuning
akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna kuning pada sklera dan kulit. Pada janin, tugas
mengeluarkan bilirubin dari darah dilakukan oleh plasenta, dan bukan oleh hati. Setelah bayi
lahir, tugas ini langsung diambil alih oleh hati, yang memerlukan sampai beberapa minggu untuk
penyesuaian.1

Selama selang waktu tersebut, hati bekerja keras untuk mengeluarkan bilirubin dari
darah. Walaupun demikian, jumlah bilirubin yang tersisa masih menumpuk di dalam tubuh. Oleh
karena bilirubin berwarna kuning, maka jumlah bilirubin yang berlebihan dapat memberi warna
pada kulit, sklera, dan jaringan-jaringan tubuh lainnya. Pada setiap bayi yang mengalami ikterus
harus dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologik atau non-
fisiologik. Selain itu, perlu dimonitor apakah keadaan tersebut mempunyai kecenderungan untuk
1
berkembang menjadi hiperbilirubinemia berat yang memerlukan penanganan optimal.

Pembahasan

Hiperbilirubinemia dan Ikterus

Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin dalam


darah > 5mg/dL, yang secara klinis ditandai oleh adanya ikterus, dengan faktor penyebab
fisiologik dan non-fisiologik. Ikterus adalah pewarnaan kuning yang tampak pada sklera dan
kulit yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin. Ikterus umumnya mulai tampak pada sklera
(bagian putih mata) dan muka, selanjutnya meluas secara sefalokaudal (dari atas ke bawah) ke
arah dada, perut dan ekstremitas. Secara klinis, ikterik dapat dilihat pada kulit dan sklera apabila
terjadi peningkatan kadar bilirubin lebih dari 5mg/dl. Secara fisiologis, kadar bilirubin akan
meningkat setelah lahir, lalu menetap dan selanjutnya menurun setelah usia 7 hari. Meskipun
demikian, 3%-5% neonatus yang mengalami hiperbilirubinemia merupakan proses patologis
yang berisiko tinggi terhadap terjadinya kernikterus. Ikterus pada bayi baru lahir pada minggu
pertama terjadi pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. Hal ini adalah keadaan
yang fisiologis. Walaupun demikian, sebagian bayi akan mengalami ikterus yang berat sehingga
memerlukan pemeriksaan dan tata laksana yang benar untuk mencegah kesakitan dan kematian.1-
3

Ikterus fisiologik

Bentuk ikterus ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar bilirubin tak
terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang diberi susu formula,
kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dl pada hari ke-3 kehidupan dan
kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan lambat sebesar 1 mg/dL
selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI, kadar bilirubin puncak
akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat, bisa
terjadi selama 2-4 minggu, bahkan dapat mencapai 6 minggu.1

Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan terjadi peningkatan kadar
bilirubun dengan kadar puncak yang lebih tinggi dan bertahan lebih lama, demikian pula dengan
penurunannya bila tidak diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan kadar billirubin sampai
10-12 mg/dl masih dalam kisaran fisiologik, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan
1
metabolism bilirubin.

Frekuensi ikterus pada bayi cukup bulan dan kurang bulan ialah secara berurut 50-60%
dan 80%. Umumnya fenomena ikterus ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Ikterus
fisiologik tidak disebabkan oleh faktor tunggal tetapi kombinasi dari berbagai faktor yang
berhubungan dengan maturitas fisiologik bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak
terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan
1
bilirubin dan penurunan klirens bilirubin.

Ikterus non-fisiologik

Jenis ikterus ini dahulu dikenal sebagai ikterus patologik, yang tidak mudah dibedakan
dengan ikterus fisiologik. Terdapatnya hal-hal di bawah ini merupakan petunjuk untuk tindak
lanjut, yaitu: ikterus yang terjadi sebelum usia 24 jam; setiap peningkatan kadar bilirubin serum
yang memerlukan fototerapi; peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dL/jam; adanya
tanda-tanda penyakit yang mendasar pada setiap bayi (muntah, letargis, malas menetek,
penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil); ikterus yang
bertahan setelah delapan hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang
bulan.1

Metabolisme Bilirubin

Sel darah merah pada neonatus berumur sekitar 70-90 hari, lebih pendek dari pada sel
darah merah orang dewasa, yaitu 120 hari. Secara normal pemecahan sel darah merah akan
menghasilkan heme dan globin. Heme akan dioksidasi oleh enzim heme oksigenase menjadi
bentuk biliverdin (pigmen hijau). Biliverdin bersifat larut dalam air. Biliverdin akan mengalami
proses degradasi menjadi bentuk bilirubin. Satu gram hemoglobin dapat memproduksi 34 mg
bilirubin. Produk akhir dari metabolisme ini adalah bilirubin indirek yang tidak larut dalam air
dan akan diikat oleh albumin dalam sirkulasi darah yang akan mengangkutnya ke hati.4

Bilirubin indirek diambil dan dimetabolisme di hati menjadi bilirubin direk. Bilirubin
direk akan diekskresikan ke dalam sistem bilier oleh transporter spesifik. Setelah diekskresikan
oleh hati akan disimpan di kantong empedu berupa empedu. Proses minum akan merangsang
pengeluaran empedu ke dalam duodenum. Bilirubin direk tidak diserap oleh epitel usus tetapi
akan dipecah menjadi sterkobilin dan urobilinogen yang akan dikeluarkan melalui tinja dan urin.
Sebagian kecil bilirubin direk akan didekonjugasi oleh β-glukoronidase yang ada pada epitel
usus menjadi bilirubin indirek. Bilirubin indirek akan diabsorpsi kembali oleh darah dan
diangkut kembali ke hati terikat oleh albumin ke hati, yang dikenal dengan sirkulasi
enterohepatik.4

Bayi baru lahir dapat mengalami hiperbilirubinemia pada minggu pertama kehidupannya
berkaitan denga meningkatnya produksi bilirubin (hemolisis, kurangnya albumin sebagai alat
pengangkut, penurunan uptake oleh hati, penurunan konjugasi bilirubin oleh hati, penurunan
ekskresi bilirubin dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.4

Anamnesis

Anamnesis yang dilakukan pada anak terutama anak yang kecil bergantung pada
alloanamnesis. Anamnesis meliputi identitas pasien, keluhan utama, riwayat perjalanan penyakit,
riwayat penyakit dahulu, riwayat kehamilan ibu, riwayat persalinan, riwayat makanan, riwayat
imunisasi, riwayat pertumbuhan dan perkembangan, riwayat keluarga, dan data perumahan. Pada
ikterus neonatum, perlu diketahui dengan pasti pada saat timbul icterus yaitu hari ke berapa.
Pada umumnya icterus yang timbul pada hari pertama adalah icterus patologis. Pada neonatus,
perlu ditanyakan apakah terdapat kejang, demam, tidak mau minum, muntah, dan tinja berwarna
dempul. Pada riwayat penyakit ibu, tanyakan mengenai keadaan kesehatan ibu selama hamil, ada
tidaknya penyakit, serta upaya untuk mengatasi penyakit tersebut, kunjungan antenatal yang
dilakukan, obat yang diminum pada saat kehamilan, dan kebiasaan seperti merokok dan minum
alkohol pada ibu saat hamil. Golongan darah dari ibu perlu ditanyakan untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya hemolisis disebabkan oleh inkompatibilitas ABO atau rhesus. Riwayat
kelahiran yang dapat ditanyakan yaitu tanggal dan tempat kelahiran, siapa yang menolong, cara
kelahiran, keadaan bayi setelah lahir, serta masa kehamilan dikarenakan bayi premature
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terjadinnya hiperbilirubinemia yang membutuhkan
intervensi. Riwayat makanan pada bayi apakah diberikan air susu ibu, susu formula bayi atau
keduanya serta cara pemberiannya apakah bila bayi ingin menyusu atau dengan jadwal tertentu
dikarenakan breastfeeding yang kurang mengakibatkan jaundice. Riwayat penyakit keluarga
untuk mengetahui faktor resiko dari penyakit keturunan. 5,6

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan umum dilakukan untuk membuat penilaian umum berdasarkan hasil observasi
yang dilakukan terhadap pasien. Dalam pemeriksaan fisik juga terdapat pemeriksaan tingkat
kesadaran pasien. Tingkat kesadaran tersebut antara lain yaitu compos mentis adalah kesadaran
penuh dengan menunjukan respon kuat terhadap stimulus yang diberikan, somnolen adalah
kesadaran lebih rendah ditandai dengan keadaan mengantuk, ingin tidur, tidak menunjukkan
respon terhadap stimulus ringan namun masih memberikan respon ketika diberi stimulus yang
kuat, sopor adalah tidak memberi respon terhadap stimulus ringan atau sedang namun masih
memberikan respon terhadap rangsangan kuat seperti refleks pupil terhadap cahaya masih positif,
koma adalah tidak dapat bereaksi terhadap stimulus apapun, refleks pupil terhadap cahaya
lambat.6,7

Pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi : tekanan darah, suhu badan, denyut nadi, dan laju
pernafasan. Tekanan darah pada neonatus berkisar 80/45 mmHg, denyut nadi pada neonatus
berkisar 100-180 kali per menit saat bangun dan 80-160 kali per menit saat tidur, laju pernafasan
pada neonatus berkisar 30-60 kali per menit dengan rata-rata pada saat tidur yaitu 35 kali per
menit, dan suhu tubuh berkisar antara 36,5oC sampai dengan 37,5oC. 5

Pemeriksaan fisik thoraks dan abdomen meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Pada palpasi abdomen, untuk mengurangi ketegangan dinding abdomen dilakukan fleksi pada
sendi panggul dan sendi lutut, abdomen diraba dengan telapak tangan mendatar dengan jari II,
III, dan IV yang merapat. Pengukuran besar organ hati dilakukan melalui dua garis yaitu garis
yang menghubungkan pusat dengan titik potong garis mid-klavikularis kanan dengan arcus costa
dan garis yang menghubungkan pusat dengan prosesus xifoideus. Besarnya limpa diukur
menurut Schuffner, jarak maksimum dari pusat ke garis singgung pada arkus kosta kiri dibagi
menjadi 4 bagian yang sama yang diteruskan ke bawah sehingga memotong lipat paha yang
dibagi menjadi 4 bagian yang sama.5

Semua bayi baru lahir harus secara rutin dilakukan pemeriksaan visual untuk timbulnya
gejala ikterik. Evaluasi ikterik dikerjakan setiap hari sejak lahir dan dengan cara menekan bagian
dahi, midsternum, atau di lutut atau pergelangan kaki untuk memperlihatkan warna kulit dan
jaringan subkutan. Ikterik akan terlihat pada awalnya di bagian muka dan akan menyebar secara
kaudal ke badan dan ekstremitas. Hasil pemeriksaan dapat dikuantifikasi menjadi grade 1 hingga
5 dengan metode Kramer. Pemeriksaan ini perlu dilakukan dalam ruangan yang terang atau di
siang hari dengan membuka jendela. Apabila ditemukan bayi kuning secara visual, dianjurkan
untuk melakukan konfirmasi kadar bilirubin, baik secara invasif, non invasif, maupun kurang
invasif seperti yang dipaparkan di bawah ini. Keparahan ikterus ditentukan berdasarkan usia bayi
dan bagian tubuh yang tampak kuning. 1,2

Gambar 1. Metode Kramer2


Tabel 1. Korelasi metode visual dengan estimasi nilai bilirubin2

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium untuk melihat kadar bilirubin total, bilirubin
direk dan indirek dalam darah serta pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis diperlukan.
Coomb’s test untuk hemolisis autoimun diindikasikan bagi ibu dengan rhesus positif atau
bergolongan darah O sedangkan bayi bergolongan darah A, B, atau AB. Hitung retikulosit dapat
berguna pada anemia hemolitik. Pemeriksaan kadar serum thyroid-stimulating hormone (TSH)
dan tiroksin dapat dilakukan karena jaundice dapat merupakan manifestasi awal dari hipotiroid.
Apabila neonatus mempunyai keadaan umum sakit berat, letargi, penurunan nafsu makan,
temperatur tidak stabil, dan kesulitan dalam bernapas maka evaluasi sepsis dapat diindikasikan.
Neonatus dengan peningkatan bilirubin direk, perlu dilakukan urinalisis atau kultur urin.8

Etiologi

Jaundice yang timbul <24 jam kehidupan biasa disebabkan karena adanya hemolisis. Hal
ini ditandai dengan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi/indirek. Pada penyakit dengan
gangguan hemolisis seperti gangguan hemolisis rhesus, inkompatibilitas ABO, defisiensi enzim
G6PD, sferositosis, dan infeksi kongenital. Pada inkompatibilitas ABO, antibodi ABO yang
dominan adalah IgM tidak melewati plasenta tetapi beberapa wanita dengan golongan darah O
mempunyai IgG anti-A-hemolisin dalam darah yang dapat melewati plasenta dan melisiskan sel
darah merah bayi dengan golongan darah A sedangkan bayi dengan golongan darah B akan
dilisiskan oleh anti-B-hemolisin. Defek pada sel darah merah seperti sferositosis dan eliptositosis
mengakibatkan abnormalitas bentuk dari sel darah merah sehingga mudah dihancurkan dalam
limpa. Jaundice dikarenakan infeksi kongenital yang meningkat adalah bilirubin terkonjugasi
dengan gambaran klinis restriksi pertumbuhan, hepatosplenomegali, dan trombositopenia
purpura. 9,10
Jaundice yang timbul hari kedua sampai dua minggu kehidupan dapat disebabkan oleh
icterus fisiologis, breast milk jaundice, dehidrasi, dan infeksi. Penyebab dari breast milk jaundice
multifactorial namun faktor-faktor tersebut meningkatkan sirkulasi enterohepatik bilirubin.
Jaundice dapat muncul dikarenakan bayi kekurangan intake dari susu atau disebut breast feeding
jaundice. Infeksi dapat mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi dikarenakan intake cairan
menjadi sedikit, hemolisis, fungsi hati menurun, dan peningkatan sirklasi enterohepatik. 9

Etiologi hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi/indirek:11

Umum : Ikterus fisiologis, ikterus ASI, inkompatibilitas golongan darah (ABO, Rh), perdarahan
interna, polisitemia, penyakit metabolik Diabetes.

Jarang : Defek enzim eritrosit, gangguan membrane eritrosit (sferositosis, ovalositosis),


thalassemia, mutasi enzim glukoronil transferase, hipotiroidisme, trombositopenia imun.

Etiologi hiperbilirubinemia terkonjugasi/direk:11

Umum : Kolestasis hiperalimentasi, infeksi CMV, infeksi TORCH, hepatitis neonatus, sepsis

Jarang : infark hati, atresia biliaris, kista koledokus.

Grafik 1. Normogram Resiko Hiperbilirubinemia pada Neonatus Masa


Kehamilan > 35 Minggu12

Beberapa hari setelah dipulangkan, bayi perlu kontrol kembali untuk melihat keadaannya
baik dan ada tidaknya jaundice. Untuk bayi yang dipulangkan sebelum berusia 48 jam, perlu
adanya 2 kali pertemuan yaitu antara usia 24 sampai 72 jam dan 72 sampai 120 jam. Follow up
berisikan berat badan bayi, persentase perubahan berat badan, intake adekuat atau tidak, pola
buang air besar dan buang air kecil, dan ada tidaknya jaundice.12

Tabel 2. Jadwal Follow Up untuk Bayi dengan Hiperbilirubinemia10


Patofisiologi

Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari


katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada langkah pertama oksidasi,
biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja heme oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan
karbon monoksida. Besi dapat digunakan kembali, sedangkan karbon monoksida diekskresikan
melalui paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin yang hampir tidak
larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan hidrogen intramolekul). Bilirubin tak
terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam plasma, terikat erat pada albumin. Bila terjadi
gangguan pada ikatan bilirubin tak terkonjugasi dengan albumin baik oleh faktor endogen
maupun eksogen (misalnya obat obatan), bilirubin yang bebas dapat melewati membran yang
mengandung lemak (double lipid layer), termasuk penghalang darah otak, yang dapat mengarah
1
ke neuro toksisitas.

Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit, dimana bilirubin terikat
ke ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan meningkat sejalan dengan Konsentrasi
ligandin ditemukan rendah pada saat lahir namun akan meningkat pesat selama beberapa minggu
kehidupan. Bilirubin terikat menjadi asam gluku- ronat di retikulum endoplasmik retikulum
melalui reaksi yang dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil transferase (UDPGT). Konjugasi
bilirubin mengubah molekul bilirubin yang tidak larut air menjadi molekul yang larut air. Setelah
diekskresikan kedalam empedu dan masuk ke usus, bilirubin direduksi dan menjadi tetrapirol
yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Sebagian dekonjugasi terjadi di dalam usus kecil
proksimal melalui kerja B-glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali
dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin plasma total. Siklus absorbsi,
konjugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorbsi ini disebut sirkulasi enterohepatik. Proses ini
berlangsung sangat panjang pada neonatus, oleh karena asupan gizi yang terbatas pada hari-hari
1
pertama kehidupan.

Gejala Klinis pada Hiperbillirubinemia

Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang- kadang kadar
bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (Kern icterus). Gejala klinis yang
tampak ialah rasa kantuk, tidak kuat menghisap ASI/susu formula, muntah, opistotonus, mata
terputar-putar keatas, kejang, dan yang paling parah bisa menyebabkan kematian. Efek jangka
panjang Kern icterus ialah retardasi mental, kelumpuhan serebral, tuli, dan mata tidak dapat
1
digerakkan ke atas.

Ikterus dengan pemberian ASI

Ikterus yang berhubungan dengan pemberian ASI disebabkan oleh peningkatan bilirubin
indirek. Ada 2 jenis ikterus yang berhubungan dengan pemberian ASI, yaitu:

1. Jenis pertama: ikterus yang timbul dini (hari kedua atau ketiga) dan disebabkan oleh
asupan makanan yang kurang karena produksi ASI masih kurang pada hari pertama.

2. Jenis kedua: ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama, bersifat familial disebabkan
oleh zat yang ada di dalam ASI.3

Ikterus dini

Bayi yang mendapat ASI eksklusif dapat mengalami ikterus. Ikterus ini disebabkan oleh
produksi ASI yang belum banyak pada hari hari pertama. Bayi mengalami kekurangan asupan
makanan sehingga bilirubin direk yang sudah mencapai usus tidak terikat oleh makanan dan
tidak dikeluarkan melalui anus bersama makanan. Di dalam usus, bilirubin direk ini diubah
menjadi bilirubin indirek yang akan diserap kembali ke dalam darah dan mengakibatkan
peningkatan sirkulasi enterohepatik. Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan dan jangan
diberi air putih atau air gula. Untuk mengurangi terjadinya ikterus dini perlu tindakan sebagai
berikut :

 Bayi dalam waktu 30 menit diletakkan ke dada ibunya selama 30-60 menit
 Posisi dan perlekatan bayi pada payudara harus benar
 Berikan kolostrum karena dapat membantu untuk membersihkan mekonium dengan
segera. Mekonium yang mengandung bilirubin tinggi bila tidak segera dikeluarkan,
bilirubinnya dapat diabsorbsi kembali sehingga meningkatkan kadar bilirubin dalam
darah.
 Jayi disusukan sesuai kemauannya tetapi paling kurang 8 kali sehari.
 Jangan diberikan air putih, air gula atau apapun lainnya sebelum ASI keluar karena akan
mengurangi asupan susu.
 Monitor kecukupan produksi ASI dengan melihat buang air kecil bayi paling kurang 6-7
kali sehari dan buang air besar paling kurang 3-4 kali sehari.3

Ikterus karena ASI

Ikterus karena ASI pertama kali didiskripsikan pada tahun 1963. Karakteristik ikterus
karena ASI adalah kadar bilirubin indirek yang masih meningkat setelah 4-7 hari pertama,
berlangsung lebih lama dari ikerus fisiologis yaitu sampai 3-12 minggu dan tidak ada penyebab
lainnya yang dapat menyebabkan ikterus. Ikterus karena ASI berhubungan dengan pemberian
ASI dari seorang ibu tertentu dan biasanya akan timbul ikterus pada setiap bayi yang
disusukannya. Selain itu, ikterus karena ASI juga bergantung kepada kemampuan bayi
mengkonjugasi bilirubin indirek (misalnya bayi prematur akan lebih besar kemungkinan terjadi
ikterus).3

Diagnosis
Semua penyebab ikterus harus disingkirkan. Orangtua dapat ditanyakan apakah anak
sebelumnya juga mengalami ikterus. Sekitar 70% bayi baru lahir yang saudara sebelumnya
mengalami ikterus karena ASI akan mengalami ikterus pula. Beratnya ikterus bergantung pada
kematangan hati untuk mengkonyugasi kelebihan bilirubin indirek ini. Untuk kepastian diagnosis
apalagi bila kadar bilirubin telah mencapai di atas 16 mg/dl selama lebih dari 24 jam adalah
dengan memeriksa kadar bilirubin 2 jam setelah menyusu dan kemudian menghentikan
pemberian ASI selama 12 jam (tentu bayi mendapat cairan dan kalori dari makanan lain berupa
ASI dari donor atau pengganti ASI dan ibu tetap diperah agar produksi ASI tidak berkurang).
Setelah 12 jam kadar bilirubin diperiksa ulang, bila penurunannya lebih dari 2 mg/dl maka
diagnosis dapat dipastikan.3

Bila kadar bilirubin telah mencapai < 15 mg/dl, maka ASI dapat diberikan kembali.
Kadar bilirubin diperiksa ulang untuk melihat apakah ada peningkatan kembali. Pada sebagian
besar kasus penghentian ASI untuk beberapa lama akan memberi kesempatan hati
mengkonyugasi bilirubin indirek yang berlebihan tersebut, sehingga apabila ASI diberikan
kembali kenaikannya tidak akan banyak dan kemudian berangsur menurun. Apabila kadar
bilirubin tidak turun maka penghentian pemberian ASI dilanjutkan sampai 18-24 jam dengan
mengukur kadar bilirubin setiap 6 jam. Apabila kadar bilirubin tetap meningkat setelah
penghentian pemberian ASI selama 24 jam maka jelas penyebabnya bukan karena ASI. ASI
boleh diberikan kembali sambil mencari penyebab ikterus lainnya.3

Masih terdapat kontroversi untuk tetap melanjutkan pemberian ASI atau dihentikan sementara
pada keadaan ikterus karena ASI. Biasanya kadar bilirubin akan menurun drastis bila ASI
dihentikan sementara

Hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan pemberian ASI

Keberhasilan proses menyusui ditentukan oleh faktor ibu dan bayi. Hambatan pada
proses menyusui dapat terjadi karena produksi ASI yang tidak cukup, atau ibu kurang sering
memberikan kesempatan pada bayinya untuk menyusu. Pada beberapa bayi dapat terjadi
gangguan menghisap. Hal ini mengakibatkan proses pengosongan ASI menjadi tidak efektif. ASI
yang tertinggal di dalam payudara ibu akan menimbulkan umpan balik negatif sehingga produksi
ASI menurun. Gangguan menyusui pada ibu dapat terjadi preglandular (defisiensi serum
prolaktin, retensi plasenta), glandular (jaringan kelenjar mammae yang kurang baik, riwayat
keluarga, post mamoplasti reduksi), dan yang paling sering gangguan postglandular
(pengosongan ASI yang tidak efektif).4

Hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan pemberian ASI dapat berupa breastfeeding


jaundice (BFJ) dan breastmilk jaundice (BMJ). Perbedaannya dapat dilihat pada Tabel 1. Bayi
yang mendapat ASI eksklusif dapat mengalami hiperbilirubinemia yang dikenal dengan BFJ.
Penyebab BFJ adalah kekurangan asupan ASI. Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada
waktu ASI belum banyak. Breastfeeding jaundice tidak memerlukan pengobatan dan tidak perlu
diberikan air putih atau air gula. Bayi sehat cukup bulan mempunyai cadangan cairan dan energi
yang dapat mempertahankan metabolismenya selama 72 jam. Pemberian ASI yang cukup dapat
mengatasi BFJ. Ibu harus memberikan kesempatan lebih pada bayinya untuk menyusu.
Kolostrum akan cepat keluar dengan hisapan bayi yang terus menerus. ASI akan lebih cepat
keluar dengan inisiasi menyusu dini dan rawat gabung.4

Breastmilk jaundice mempunyai karakteristik kadar bilirubin indirek yang masih


meningkat setelah 4-7 hari pertama. Kondisi ini berlangsung lebih lama daripada
hiperbilirubinemia fisiologis dan dapat berlangsung 3-12 minggu tanpa ditemukan penyebab
hiperbilirubinemia lainnya. Penyebab BMJ berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang ibu
tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang disusukannya. Semua bergantung pada
kemampuan bayi tersebut dalam mengkonjugasi bilirubin indirek (bayi prematur akan lebih berat
ikterusnya). Penyebab BMJ belum jelas, beberapa faktor diduga telah berperan sebagai penyebab
terjadinya BMJ.4

Breastmilk jaundise diperkirakan timbul akibat terhambatnya uridine


diphosphoglucoronic acid glucoronyl transferase (UDPGA) oleh hasil metabolisme progesteron
yaitu pregnane-3-alpha 20 beta-diol yang ada dalam ASI ibu-ibu tertentu. Pendapat lain
menyatakan hambatan terhadap fungsi glukoronid transferase di hati oleh peningkatan
konsentrasi asam lemak bebas yang tidak di esterifikasi dapat juga menimbulkan BMJ. Faktor
terakhir yang diduga sebagai penyebab BMJ adalah peningkatan sirkulasi enterohepatik. Kondisi
ini terjadi akibat (1) peningkatan aktifitas beta-glukoronidase dalam ASI dan juga pada usus bayi
yang mendapat ASI, (2) terlambatnya pembentukan flora usus pada bayi yang mendapat ASI
serta (3) defek aktivitas uridine diphosphateglucoronyl transferase (UGT1A1) pada bayi yang
homozigot atau heterozigot untuk varian sindrom Gilbert.4

Diagnosa utama

Hiperbilirubinemia neonatorum ec Breast Feeding Jaundice


Breast feeding jaundice bermanifestasi pada hari ketiga pertama kelahiran dengan
puncaknya pada 5-15 hari kehidupan dan menghilang pada minggu ketiga yang disebabkan
karena produksi ASI atau intake ASI yang kurang. Bayi dengan breast feeding jaundice terdapat
gambaran dehidrasi ringan dan penurunan berat badan pada hari-hari pertama kehidupan.13

Diagnosa banding

Hiperbilirubinemia neonatorum ec Ikterus Fisiologis

Ikterus fisiologis disebabkan oleh banyak faktor yang merupakan sifat fisiologis normal
pada bayi baru lahir berupa peningkatan produksi bilirubin akibat peningkatan massa eritrosit,
pemendekan rentang hidup eritrosit dan imaturitas ligandin dan glukoronil transferase hati.
Gambaran klinis pada bayi cukup bulan yaitu puncak kadar bilirubin indirek tidak lebih dari 12
mg/dL pada usia hari ketiga namun pada bayi dengan ASI, puncak kadar bilirubin indirek lebih
tinggi yaitu 15-17 mg/dL karena akibat penurunan asupan cairan bayi ASI.11

Hiperbilirubinemia neonatorum ec Breast milk jaundice

Breast Milk Jaundice adalah salah satu tipe dari jaundice neonatorum yang berkaitan
dengan breast feeding dengan karakteristik hiperbilirubinemia indirek pada bayi baru lahir yang
sehat dan minum ASI serta muncul pada hari 4-7 kehidupan, lebih lama dibandingkan jaundice
fisiologis dan tidak ada penyebab yang dapat diidentifikasi.13

Hiperbilirubinemia neonatorum ec Penyakit hemolitik

Pada penyakit dengan gangguan hemolisis seperti gangguan hemolisis rhesus,


inkompatibilitas ABO, defisiensi enzim G6PD, sferositosis, dan infeksi kongenital. Pada
gangguan hemolisis rhesus, dapat timbul anemia, hidrops, dan hepatosplenomegali dengan
jaundice. Pada inkompatibilitas ABO, antibodi ABO yang dominan adalah IgM tidak melewati
plasemta tetapi beberapa wanita dengan golongan darah O mempunyai IgG anti-A-hemolisin
dalam darah yang dapat melewati plasenta dan melisiskan sel darah merah bayi dengan golongan
darah A sedangkan bayi dengan golongan darah B akan dilisiskan oleh anti-B-hemolisin.
Hemolisis ini akan mengakibatkan jaundice berat tetapi tidak seberat kelainan rhesus. Tidak ada
gambaran klinis hepatosplenomegali dan coomb’s test direk positif. Defek pada sel darah merah
seperti sferositosis dan eliptositosis mengakibatkan abnormalitas bentuk dari sel darah merah
sehingga mudah dihancurkan dalam limpa, coomb’s test negatif dikarenakan mekanisme yang
terjadi adalah kerusakan dari sel darah merah dan bukan karena reaksi dari antibodi.9,10

Hiperbilirubinemia neonatorum ec Infeksi

Berdasarkan penelitian Maamouri G et al, infeksi tersering yang terjadi pada neonatus yaitu
infeksi saluran kemih atas, sepsis, dan pneumonia. Sepsis dapat mengakibatkan jaundice dengan
kemungkinan dikarenakan peranan dari hati terhadap infeksi dan hemolisis meskipun
mekanismenya belum diketahui.14

Komplikasi

Bahaya penumpukan bilirubin

Bilirubin indirek yang larut dalam lemak bila menembus sawar darah otak akan terikat
oleh sel otak yang terdiri terutama dari lemak. Sel otak dapat menjadi rusak, bayi kejang,
menderita kernikterus, bahkan menyebabkan kematian. Bila kernikterus dapat dilalui, bayi dapat
tumbuh tapi tidak berkembang. Selain bahaya tersebut, bilirubin direk yang bertumpuk di hati
akan merusak sel hati menyebabkan sirosis hepatik (pengerutan hati).3

Hiperbilirubinemia (kadar bilirubin tinggi) pada bayi kurang bulan lebih sering terjadi,
lebih cepat terlihat, dan berlangsung lebih lama. Kadar bilirubin di dalam darah bayi kurang
bulan juga lebih tinggi dibanding bayi cukup bulan. Hal ini disebabkan oleh sel hati yang masih
imatur (belum matang), uptake dan konyugasi bilirubin lambat dan sirkulasi enterohepatik yang
meningkat.3

Pencegahan

Pencegahan primer berupa menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12
kali perhari untuk beberapa hari pertama dan tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti
dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi karena tidak
akan mencegah hiperbilirubinemia atau menurunkan bilirubin total di darah. Intake kalori yang
rendah dan dehidrasi yang terkait dengan pemberian breast feeding yang inadekuat berkontribusi
terhadap timbulnya hiperbilirubinemia.12
Pencegahan sekunder berupa semua bayi baru lahir perlu diperiksa secara sistematik
untuk mengetahui resiko terjadinya hiperbilirubinemia berat. Semua wanita hamil harus
diperiksa golongan darah ABO dan rhesus. Jika golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh
negatif, dilakukan pemeriksaan antibodi direk (tes coombs), golongan darah dan tipe Rh darah
pada tali pusat bayi sedangkan apabila golongan darah ibu O, Rh positif maka pemeriksaan pada
darah tali pusat bayi menjadi pilihan tetapi tidak wajib dilakukan. Tenaga medis harus
memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan
menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital
bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam, setiap bayi harus dinilai terhadap resiko
berkembangnya hiperbilirubinemia berat terutama sebelum dipulangkan. Pemeriksaan jaundice
dilakukan di tempat dengan penerangan yang baik atau menggunakan cahaya alami. Jaundice
biasa terlihat pertama kali di wajah dan menyebar ke batang tenggorok hingga ekstremitas. 1,12

Tatalaksana

Fototerapi

Fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan transfusi pengganti untuk
menurunkan bilirubin. Bila neonatus dipapar dengan cahaya berintensitas tinggi, tindakan ini
dapat menurunkan bilirubin dalam kulit. Secara umum, fototerapi harus diberikan pada kadar
bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram
harus difototerapi bila konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa pakar mengarahkan untuk
memberikan fototerapi profilaksis 24 jam pertama pada bayi berisiko tinggi dan berat badan lahir
1
rendah.

Fototerapi adalah terapi utama untuk hiperbilirubinemia. Panjang gelombang paling


efektif yang digunakan untuk fototerapi adalah antara (460–490) nm dari spektrum biru. Untuk
memaksimalkan iradiasi dan efektivitas terapi, jarak sumber cahaya dan bayi harus dalam jarak
10-15 cm. Saat ini dikembangkan terapi sinar intensif menggunakan LED dengan panjang

gelombang >30 uW/cm2/nm (430- 490) nm. Terapi sinar intensif mempercepat proses penurunan
bilirubin sehingga terjadi pengurangan lama penyinaran maupun tindakan transfusi tukar yang
sangat bermakna. Waktu terapi sinar dapat berkurang hingga 12 jam, durasi perawatan di rumah
sakit dan durasi anak terpisah dengan ibu menjadi jauh berkurang. Di beberapa negara yang tidak
memiliki fasilitas memadai, telah dikembangkan metode alternatif untuk bayi dengan
hiperbilirubinemia ringan. Peneliti di Afrika telah mencoba melakukan terapi sinar menggunakan
paparan sinar matahari tidak langsung. Meskipun belum secara umum digunakan
dandirekomendasi oleh AAP, metaloporfirin, clofibrat dan immunoglobulin intravena juga telah
2
diteliti sebagai alternatif terapi sinar.

Transfusi tukar1,13

Transfusi tukar hanya boleh dilakukan oleh tenaga medis terlatih di bagian neonatal
intensive care unit dengan monitor dan kesiapan resusitasi. Pada penyakit hemolitik neonatal,
indikasi tranfusi antara lain adalah anemia (hematokrit <45%), direct Coombs’s test (+), dan
kadar bilirubin darah umbilikus >4 mg/dl, peningkatan kadar bilirubin serum >1 mg/dl/jam
selama lebih dari 6 jam. Kadang-kadang exchange tranfusion untuk kasus hemolisis dapat
dihindari dengan menggunakan imunoglobulin intravena dosis tinggi. Indikasi exchange
tranfusion atas hiperbilirubinemia sendiri adalah: (1) kadar bilirubin >15 mg/dl selama lebih dari
48 jam, (2) indeks saturasi salisilat >8,0 dan HABA binding <50% pada 2x pengambilan berjarak
4 jam, (3) rasio kadar bilirubin total serum (mg/dl) dibanding kadar protein total serum
(g/dl) >3,7, dan (4) rasio kadar bilirubin serum dibanding kadar protein total serum >0,7.
Walaupun banyak risiko exchange tranfusion yang telah dijabarkan, angka mortalitasnya masih
rendah (<0,6%) jika dilakukan dengan benar.

Darah yang ditransfusi tukar sebanyak dua kali lipat volume darah bayi .Bayi cukup
bulan mempunyai volume darah 80ml/kgBB, sedangkan bayi prematur 95ml/kgBB. Jumlah ini
dikali dua, menjadi jumlah darah yang harus ditransfusi tukar.
Teknik tranfusi tukar yaitu:1
- Simple double volume (push pull method),untuk keluar masuk darah hanya
diperlukan satu jalur transfusi (biasanya dari vena besar, seperti vena umbilikal).
Teknik ini digunakan untuk hiperbilirubinemia tanpa komplikasi (seperti
anemia,sepsis dll).Waktu rata-rata perkali untuk keluar masuk kira-kira 3-
5menit,sehingga total tranfusi akan berlangsung selama 90-120 menit.
- Isovolumetric double volume. Pada teknik ini,dilakukan pemasangan 2 jalur,bisa
arteri dan vena(pada umbilikal ataupun perifer) ataupun vena dan
vena,dibutuhkan dua operator untuk memasukan dan mengeluarkan darah.Jika
dipakai jalur arteri dan vena, darah dimasukkan dari vena serta di keluarkan
melalui arteri. Keuntungan dari metode ini adalah proses masuk dan keluar darah
bisa dilakukan pada waktu bersamaan sehingga gangguan hemodinamik
minimal,di samping itu waktu pelaksanaan tranfusi tukar juga lebih singkat (45-
60menit). Waktu pelaksanaan bisa di perpanjang sampai 4 jam untuk
memungkinkan ekuilibrasi di darah dan jaringan, hal ini akan meningkatkan kadar
bilirubin yang bisa dihilangkan.

Pemberian Asi

Pada hiperbilirubinemia, bayi harus tetap diberikan ASI dan jangan diganti dengan air
putih atau air gula karena protein susu akan melapisi mukosa usus dan menurunkan penyerapan
kembali bilirubin yang tidak terkonyugasi. Pada keadaan tertentu bayi perlu diberikan terapi
sinar. Transfusi tukar jarang dilakukan pada ikterus dini atau ikterus karena ASI. Indikasi terapi
sinar dan transfusi tukar sesuai dengan tata laksana hiperbilirubinemia.

Yang perlu diperhatikan pada bayi yang mendapat terapi sinar adalah sedapat mungkin
ibu tetap menyusui atau memberikan ASI yang diperah dengan menggunakan cangkir supaya
bayi tetap terbangun dan tidak tidur terus. Bila gagal menggunakan cangkir, maka dapat
diberikan dengan pipa orogastrik atau nasogastrik, tetapi harus segera dicabut sehingga tidak
mengganggu refleks isapnya. Kegiatan menyusui harus sering (1-2 jam sekali) untuk mencegah
dehidrasi, kecuali pada bayi kuning yang tidur terus, dapat diberikan ASI tiap 3 jam sekali. Jika
ASI tidak cukup maka lebih baik diberikan ASI dan PASI bersama daripada hanya PASI saja.

Ikterus dini yang menetap lebih dari 2 minggu ditemukan pada lebih dari 30% bayi, sehingga
memerlukan tata laksana sebagai berikut :

1. Jika pemeriksaan fisik, urin dan feses normal hanya diperlukan observasi saja.
2. Dilakukan skrining hipotiroid.
3. Jika menetap sampai 3 minggu, periksa kadar bilirubin urin, bilirubin direk dan total.3
Penghentian ASI

Pada hiperbilirubinemia akibat pemberian ASI, penghentian ASI selama 24-48 jam akan
menurunkan bilirubin serum. Mengenai pengentian pemberian ASI (walaupun hanya sementara)
1
masih terdapat perbedaan pendapat.

Intravena immunoglobulin (IVIG)

Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan faktor imunologik.
Pada hiperbilirubinemia yang disebab- kan oleh inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi,
1
pemberian IVIG dapat menurunkan kemungkinan dilakukannya transfusi tukar.

Penutup

Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin >5 mg/dL
pada darah, yang sering ditandai oleh adanya ikterus. Pada bayi baru lahir, hiperbilirubinemia
sering terjadi oleh karena kemampuan hati bayi yang masih kurang untuk mengekskresikan
bilirubin yang terus diproduksi. Etiologi hiperbilirubunemia perlu dideteksi secara pasti,
fisiologik atau non-fisiologik, sebagai dasar pemeriksaan dan tindak lanjut penanganan neonatus.
Pengobatan hiperbilirubinemia bertujuan untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.
Pemantauan dan pemeriksaan yang tepat sangat dibutuhkan untuk menentukan jenis pengobatan
yang akan dipergunakan. Hiperbilirubinemia dapat terjadi pada bayi cukup bulan sehat yang
menyusui. Hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan pemberian ASI dapat berupa
breastfeeding jaundice (BFJ) dan breastmilk jaundice (BMJ). Penyebab BFJ adalah kekurangan
asupan ASI, biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu ASI belum banyak. Penyebab
BMJ belum begitu jelas. The American Academy of Pediatrics (AAP) tidak menganjurkan
penghentian ASI dan merekomendasikan pemberian ASI terus menerus (minimal 8-10 kali
dalam 24 jam).
Daftar Pustaka

1. Mathindas Stevry, Wilar Rocky, Wahani Audrey. Hiperbilirubinemia pada neonatus.


Jurnal Biomedik Anak. 2018, Vol 5 (1). Hal 4-8.
2. Rohsiswatmo Rinawati, Amandito Radhian. Hiperbilirubinemia pada neonatus >35
Minggu di Indonesia: pemeriksaan dan tatalaksana terkini. Jurnal Sari Pediatri. 2018, Vol
2 (2). Hal 116-20.
3. Air susu ibu dan ikterik. 2013. Diambil http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/air-susu-
ibu-dan-ikterus, 5 Februari 2020.
4. Indikasi terapi sinar pada bayi menyusui yang kuning. 2013. Diakses dari
http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/indikasi-terapi-sinar-pada-bayi-menyusui-yang-
kuning, 5 Februari 2020.
5. Marcdante KJ, Kliegman RM. Nelson essentials of pediatrics. Philadelphia: Elseivers;
2014. p. 216-22.
6. Bickley LS, Szilangyi. Bates guide to physical examination and history taking. 11 th
edition. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins; 2013. p. 6-10, 118-26.
7. Hidayat AA. Asuhan neonates, bayi, & balita. Jakarta : Penerbit EGC; 2007. h. 27
8. Adams JG, Barton ED, Collings J, Deblieux PMC, Gisondi MA, Nadel ES. Emergency
medicine e-book: clinical essential. Second Edition. Philadelphia: Elseiver; 2012. p. 127-
8.
9. Lissauer T, Clayden G. Illustrated textbook of paediatrics. Fourth Edition. Oxford:
Elseiver; 2012. p. 168-70.
10. Flannigan C. A practical guide to managing paediatrics problems on the postnatal words.
London: Radcliffe Publishing; 2011. p. 65-8.
11. American Academy of Pediatrics. Management of hyperilirubinemia in the newborn
infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 (114) 1:297-316.
12. Deshpande PG, Wagle S, Windle ML, Carter BS, Aslam M, Itani O. Breast milk
jaundice. Diakses dari http://emedicine.medscape.com, 5 Februari 2020.
13. International journal of pediatrics. Hyperbilirubinemia and neonatal infection. Diakses
dari http://ijp.mums.ac.ir/aerticle_2026.html, 5 Februari 2020.
14. IDAI. Buku ajar gastroenterologi. Jakarta: IDAI; 2009. h. 269-93.

Anda mungkin juga menyukai