Anda di halaman 1dari 34

CASE REPORT

F20.2 SKIZOFRENIA PARANOID

F20.2 PARANOID SCHIZOPHRENIA

OLEH:

Nadira Alia Binti Mohmad 112018203

Pembimbing:

dr. Zulvia Syarif Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT DAERAH TARAKAN JAKARTA

PERIODE 14 SEPTEMBER-17 OKTOBER 2020

1
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Presentasi Kasus:
SMF ILMU KESEHATAN JIWA
RSUD TARAKAN, JAKARTA
Tanda Tangan
Nama : Nadira Alia binti Mohmad
NIM : 112018203
…………………
Dr. Pembimbing / Penguji: dr. Zulvia Syarif, Sp.KJ
…………………

I. IDENTITAS PASIEN:

Nama (inisial) : Tn. D

Tempat & tanggal lahir : 2 April 1983/ 37 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Suku Bangsa : Jawa

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Bantu kelurga berdagang

Status Perkawinan : Belum menikah

Alamat : Jakarta

II. RIWAYAT PSIKIATRIK

Autoanamnesis: Kamis, 1 Oktober 2020 Jam 1030 WIB di Poliklinik Jiwa RSUD
Tarakan

Minggu, 4 Oktober 2020 jam 17.20 WIB via telpon.

Alloanamnesis: Sabtu, 3 Oktober 2020 jam 1100 WIB, adik perempuan pasien via
telpon.

A. KELUHAN UTAMA

2
Pasien datang ke Poli Jiwa RSUD Tarakan karena ingin kontrol post episode
kambuh Juli dan meneruskan pengobatan.

B. RIWAYAT GANGGUAN SEKARANG

Pasien datang ke Poli Jiwa RSUD Tarakan karena ingin kontrol post
episode kambuh Juli lalu. Pasien sememangnya datang kontrol setiap bulan
untuk mengambil obat. Ini adalah kontrol ketiga setelah dirawat di Ruang
Catelya RSUD Tarakan karena kecelakaan. Pasien dirawat bersama yaitu dari
bagian Jiwa, Saraf dan Jiwa.

Pasien dirawat karena terjadi penurunan kesedaran, luka robek di


kepala dan siku kanan setelah terserempet kereta 1 jam SMRS pada tanggal 22
Juli 2020. Pasien terserempet kereta waktu ingin melintasi rel kereta api.
Pasien mengatakan pikirannya kosong waktu melintasi dan pasien juga
memberitahu bahwa dia tidak mendengar jeritan dan panggilan orang-orang
sekitar ketika cuba menghalangnya. Pasien mengatakan di pikrannya cuman
terdengar bisikan bahwa ada yang mau membunuh adik ipar dan ponakannya.
Beberapa hari sebelumnya pasien berasa gelisah, tidak bisa tidur dan mual
muntah. Nafsu makan juga menurun. Pasien mengatakan hanya tidur malam 2
jam. Hal ini terjadi setelah pasien tidak minum obat antipsikotik selama 2
minggu karena kehabisan obat. Dokter tidak membuka praktek dikarenakan
pandemic. Selama dua minggu pasien tidak mngkonsumsi obat dan pada
awalnya pasien tampak gelisah dan bolak balik keluar masuk rumah tetapi 3
hari sebelum kejadian pasien mendengar bisikan bahwa ada orang mau
membunuh dirinya, adik ipar dan ponakannya dan hal ini membuatkan pasien
menjadi cemas serta rasa ketakutan. Bisikan itu semakin lama semakin kerap
dan pada tanggal 22 Juli 2020 pasien pergi keluar karena ingin mencari adik
ipar dan ponakannya. Ketika dirawat di RSUD Tarakan, bisikan tidak hilang
malah bisikan berubah kepada suruh membunuh diri sendiri dengan terjun dari
tingkat rumah sakit dan membuat diri pasien pasien berasa tidak berguna.
Namun bisikan itu cuba diendahkan. Bisikan itu menetap selama 2 minggu
setelah pulang rumah sakit dan lama kelamaan menghilang setelah setiap hari
mengkomsumsi obat.

Waktu datang kontrol ke Poli Jiwa RSUD Tarakan tanggal 1 Oktober


kemarin juga pasien mengeluhkan bahwa tangan kanannya masih berasa sakit
dan belum dapat dipakai seperti biasa untuk berdagang dan melakukan
aktivitas harian seperti makan.hal ini, membuatkan pasien berasa kesal dan
sedih. Pasien mnegatakan susah kalau hanya menggunakan tangan kiri.
Bisikan sudah tiada dan tidur malam sudah enak.

Pasien sememangnya merupakan pasien psikitri yang mengkomsumsi


obat antipsikotik selama lebih tiga tahun. Tiga tahun lalu, pasien mengalami
onset pertama. Episode itu terjadi setelah pasien pulang dari Kota Tua bersama

3
teman-teman. Sebelum pergi, pasien dalam kondisi yang baik dan perasaan
gembira. Namun setelah pulang dari sana, di rumah pasien merasakan seperti
ada orang yang memerhatikan dan mendengar bisikan ada orang yang ingin
membunuh dirinya, adik ipar dan ponakannya. Pasien mengatakan bahwa
tujuan dirinya ingi dibunuh tidak jelas. Pasien juga mengatakan bahwa di
depan rumahnya sering diawasi orang. Pasien juga takut pada orang yang tidak
dikenali. Pasien berasa berada dalam ketakutan. Pasien juga sempat
mengamuk dan marah-marah kepada ahli keluarga. Setelah kejadian itu,
pasien dibawa berobat ke orang pintar tetapi masih tidak ada perubahan.
Setelah lebih satu bulan coba berobat dengan perawatan alternative, akhirnya
pasien dibawa berobat ke bagian jiwa di RS Polri Keramat Jati dan diberitahu
mempunyai gangguan jiwa. Setelah mengkomsumsi obat dari situ, perasaan
takut seperti diawasi masih ada dan menetap selama beberapa bulan namun
hari demi hari keadaan pasien membaik dan akhirnya dapat berfungsi seperti
biasa. Pasien sudah lama tidak kontrol ke RS Polri Kramat Jati tetapi kontrol
di praktek dokter dekat rumah untuk teruskan pengobatan. Setelah kejadian
tersebut, sakit pasien tidak pernah kambuh kecuali bulan Juli kemarin
dikarenakan tidak minum obat selama 2 minggu.

Setelah mengkonsumsi obat dari dokter praktek umum beberapa tahun,


tangan pasien sempat menjadi kaku. Pasien sebelumnya mengkomsumsi
haloperidol dan satu lagi obat tapi namanya lupa. Sekarang dr zulvia sudah
menukarkan haloperidol kepada risperidone dan clozapine, menurut adiknya
dan kaku semakin berkurang. Menurut keluarga pasien, sekarang ini lebih
cenderung untuk marah-marah jika ada sedikit perkara yang tidak selesa
kepada dirinya.

4
Gambar 1: Timeline penyakit pasien

C. RIWAYAT GANGGUAN SEBELUMNYA

1. Gangguan psikiatrik

Onset pertama episode pasien adalah tiga tahun lalu karena dipercayai ada
orang yang mengawasi dan mau membunuhnya, adik ipar dan ponakan. Pada
tanggal 22 Juni 2020, pasien terserempet dengan kereta setelah keluar mencari
adik ipar dan ponakan karena terdapat bisikan untuk membunuh pasien dan
keluarganya serta ketika dirawat pasien mendengar bisikan menyuruh bunuh
diri sendiri.

2. Riwayat gangguan medik

Pasien tidak pernah mengalami riwayat kejang, epilepsy atau penyakit berat
lain sejak dari kecil kecuali pilek dan demam biasa. Pasien pernah mengalami
penurunan kesadaran dan langsung dibawa ke RSUD Tarakan setelah kejadian
terserempek dengan kereta. Tidak pernah menderita penyakit kronik seperti
diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal.

3. Riwayat penggunaan zat psikoaktif

5
 Pasien merokok sehingga saat ini. Sehari bisa sampai tiga bungkus.

 Pasien tidak minum minuman beralkohol.

 Pasien tidak pernah mnegkonsumsi NAPZA.

a. Riwayat Kehidupan Pribadi


i. Masa prenatal dan perinatal
Pasien adalah anak kedua dari tiga bersaudara.
ii. Masa kanak awal (0 – 3 tahun)
Pasien mengatakan bahwa tidak terdapat adanya tanda-tanda gangguan.
Dan dapat berteman dengan anak lainnya seperti pada umumnya.
Perkembangan dan pertumbuhan pasien juga sesuai anak usianya.
iii. Masa kanak lanjut (3 – 11 tahun)
Pasien mengatakan bahwa tidak terdapat adanya tanda-tanda gangguan.
Dan dapat berteman dengan anak lainnya seperti pada umumnya. Pasien
seorang yang pendiam namun suka bersosialisai melalui olahraga dan
mempunyai banyak teman. Pasien tidak terlalu tertarik dengan mistik.
iv. Masa kanak akhir dan remaja (12 – 18 tahun)
Pasien mengatakan bahwa tidak terdapat adanya tanda-tanda gangguan.
Dan dapat bersekolah sama seperti anak pada umumnya. Pasien disekolah
cenderung seorang yang kompetitif dan dan sangat jaguh dalam
matematik.
v. Masa dewasa
1. Riwayat pendidikan
Pasien memiliki riwayat pendidikan akhir SMP.
2. Riwayat pekerjaan
Pasien saat ini tidak bekerja selama ini 3 bulan karena kondisi
tangan kanannya tetapi sebelum kejadian pasien membantu keluarga
berdagang. Pasien seorang yang sangat teliti dan peka terhadap
proses jual beli terutama mengenai hutang dan harga barang semasa.
3. Riwayat pernikahan dan kehidupan seksual
Pasien saat ini belum menikah. Pasien juga baru putus hubungan
dengan pacarnya beberapa bulan terakhir ini.
4. Riwayat kehidupan beragama
pasien menganut agama Islam dan taat beragama
5. Riwayat aktivitas sosial
Sebelumnya, pasien aktif bersosialisasi dengan teman-teman melalui
aktivitas olahraga seperti bola sepak. Mengikuti alumni sekolah dan
sangat aktif dengan perkumpulan di sekitar tempat tinggal walaupun
pasien seorang yang pendiam menurut orang sekeklilingnya. Pasien
sering mengikuti teman-teman ke hutan untuk rekreasi. Setelah
onset pertama, pasien kembali aktif dalam aktivitas bersama alumni.
Namun, dikarenakan tangan sakit, pasien tidak seaktif dulu, pasien

6
lebih sering dirumah. Pasien juga merasa kurang percaya diri untuk
membantu berdagang dikarenakan sukar menggunakan tangan
kanannya.
6. Riwayat hukum
Pasien tidak pernah terlibat masalah hukum

7
b. Riwayat keluarga
Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Orang tua pasien bekerja
sebagai sebagai pedagang rokok dan minuman serta pencuci pakaian. Pasien
saat ini tinggal bersama orang tua dan kadang-kadang ke rumah adik.

= laki-laki = perempuan

= gangguan jiwa = pasien

c. Situasi kehidupan saat ini


Pasien saat ini banyak duduk di rumah dikarena merasakan tangan kanan
yang sakit itu menjadi penghalang kepada aktivitas pasien. Pasien sudah
tidak membantu berdagang selama 3 bulan dan pada tanggal 2 Oktober
pasien ada mau mencoba berdagang tetapi menurut keluarganya pasien
menyatakan bahwa dia masih belum yakin karenan tangannya berasa sakit
ketika mengangkat barang dan ada perasaan agak sedikit kesal dengan
kondisinya karena tangannya itu membatasi pergerakan beliau untuk
mengangkat-angkat barang dan menulis bon. Jadi pasien cuman banyak di
rumah dan dikarenakan pandemi ini, pasien juga tidak keluar berolahraga
sama teman-teman.
d. Persepsi pasien tentang diri dan kehidupannya
Pasien berasa agak sedikit kesal dengan kondisinya sekarang karena banyak
aktivitas terbatas seperti makan harus dibantu dan tidak bisa membantu
berdagang. Dari segi kejiwaan, pasien berharap obatnya sentiasa ada supaya
dia tidak putus obat lagi dan kejadian seperti kemarin tidak berlaku lagi.

8
Pasien juga berharap bisa kembali normal seperti sedia kala tanpa meminum
obat. Pasien ingin berumah tangga tetapi masih kurang percaya kepada diri
sendiri. Pasien juga berasa bersyukur karena kondisi beliau difahami ahli
keluarga dan ahli keluarga banyak membantu.
e. Persepsi keluarga tentang pasien
Adik pasien berharap supaya tangan abangnya cepat sembuh dan kembali
bersemangat seperti dulu lagi. Adiknya juga berharap kejadian tanggal 22
Juli itu tidak berlaku lagi dan akan sentiasa berusaha untuk menyediakan
bekalan obat yang seharusnya supaya penyakit abnagnya tidak berulang.
Kejadian 22 Juli 2020 itu juga menyebabkan keluarga pasien berasa agak
malu karena keluar di televisi dan ibunya diwawancara. Ibunya berharap agar
pasien cepat sembuh total dan tidak terus-terusan mengkomsumsi obat
karena masalah biaya.
f. Impian, fantasi, dan nilai-nilai
Pasien ingin cepat sembuh.

III. STATUS MENTAL


Dilakukan di Poliklinik Jiwa RSUD Tarakan tanggal 1 Oktober 2020.
A. Deskripsi Umum
i. Penampilan:
Laki-laki berusia 37 tahun, tampak sesuai usia, dengan
perawakan sedang, rawat diri baik, tangan kanan masih
terpasang verban, jadi tangan kanan tidak dapat diluruskan.
ii. Kesadaran:
Compos mentis
iii. Perilaku dan aktivitas motorik:
Pasien awalnya agak gelisah tetapi semakin lama setelah
bercakap dengan dokter, pasien semakin tenang dan bercerita
sambal melihat mata dokter.
iv. Sikap terhadap pemeriksa:
Kooperatif dan menjawab semua soal yang ditanya.
B. Pembicaraan:
Spontan, artikulasi jelas, intonasi sedang, volume cukup
C. Mood:
eutim
D. Afek:
Datar, karena ekspresi wajah dan bahasa tubuh pasien kurang
bervariasi.
E. Persepsi:
Halusinasi auditorik saat ini tiada
F. Pikiran
1. Proses pikir:
Koheren

9
2. Isi pikir:
Preokupasi : memikirkan tangan kanan tidak dapat
digunakan untuk membantu berdagang, keadaan semakin baik,
sudah bisa tidur enak, waham kejar saat ini tiada.
G. Kognisi dan sensorium
a. Orientasi
1. Orang:
Baik, karena tahu sedang berbicara dengan siapa saat di
anamnesis
2. Waktu:
Baik, karena ingat hari, tanggal dan bulan pemeriksaan.
3. Tempat:
Baik, karena tahu dimana tempat pemeriksaan
dilakukan.
b. Memori
1. Segera: Baik
2. Jangka pendek: Baik.
3. Jangka menengah: Baik
4. Jangka panjang: Baik
c. Atensi dan konsentrasi: Baik
d. Kemampuan visuospasial: Tidak dinilai
e. Kemampuan baca tulis: Tidak dinilai
H. Daya nilai dan Tilikan
1. Daya nilai sosial:
Baik karena pasien duduk dengan tenang.
2. Uji daya nilai:
Tidak dilakukan
3. Penilaian realita:
Baik karena hausinasi dan waham saat ini tiada.
4. Tilikan:
Tilikan derajat 4, karena pasien menyadari penyakitnya dan
faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakitnya namun
tidak menerapkan dalam perilaku praktisnya seperti pengobatan
terhenti saat pandemic.
I. Pengendalian impuls:
Baik
J. Taraf dapat dipercaya:
Dapat dipercaya

IV. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG


A. Status Generalis

 Kondisi umum : tampak sakit ringan


 Tekanan darah : 110/70 mmHg

10
 Nadi : 82x / menit
 Frekuensi napas : 18x / menit
 Temperatur : 36,3ºC
 Tinggi badan : tidak dilakukan pemeriksaan
 Berat badan : tidak dilakukan pemeriksaan
 Indeks Massa Tubuh : tidak dilakukan pemeriksaan
 Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera dan lensa jernih
 Kulit : sawo matang, tidak ikterik
 Jantung : tidak dilakukan pemeriksaan
 Paru : tidak dilakukan pemeriksaan
 Abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan
 Ektremitas : crushed elbow dextra, range of movement tangan
kanan terbatas.

b. Status Neurologis

 GCS : E4M6V5 = 15
 Pupil : Pupil bulat, isokor, Diameter 3mm/3mm, RCL +/+, RCTL
+/+
 Nervus Kranial : tidak dilakukan pemeriksaan
 Refleks Fisiologis : tidak dilakukan pemeriksaan
 Refleks Patologis : tidak dilakukan pemeriksaan
 Motorik : tidak dilakukan pemeriksaan
 Sensorik : tidak dilakukan pemeriksaan

c. Pemeriksaan psikiatrik tambahan


tidak ada pemeriksaan saat ini

d. Pemeriksaan laboratorium
tidak ada pemeriksaan saat ini

e. Hasil konsultasi
tidak ada pemeriksaan saat ini

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Pasien adalah laki-laki berusia 37 tahun, datang ke Poliklinik Jiwa RSUD
Tarakan karena mau kontrol post episode halusinasi auditorik dan ini adalah
kontrol ketiga setelah pulang dari rawat inap serta merupakan kontrol
bulanan untuk pengambilan obat. Dari anamnesis didapatkan pasien sedikit
kesal karena tangan kanannya masih tidak dapat digunakan akibat

11
kecelakaan tanggal 22 Juli 2020 setelah terserempet dengan kereta ketika
keluar mencari adik ipar dan ponakan karena terdapat bisikan mau
membunuh mereka dan dirinya. Setelah kecelakaan itu, pasien dirawat di
Ruang Catelya dan bisikan yang ada menyuruh pasien bunuh diri dengan
terjun dari tingkat. Hal ini tercetus karena pasien tidak mengkomsusmsi obat
dalam waktu 2 minggu. Sebelumnya pasien cuman gelisah, tidak bisa tidur,
bolak balik masuk keluar rumah dan mual muntah serta nafsu makan
berkurang namun lama kelamaan bisikan tersebut muncul yaitu 3 hari
sebelum kejadian. Untuk onset pertama kalinya adalah 3 tahun lalu di mana
pasien merasakan diawasi orang, dihadapan rumah sering diperhaikan orang
dan ketaktan jika bertemu orang baru. Hal ini terjadi setelah pasien pulang
dari Kota Tua dan sebelumnya keadaan pasien baik-baik sahaja. Pasien juga
sempat mengamuk dan marah-marah kepada keluarga. Pasien juga
mendengar bisikan bahwa ada orang mau membunuh dirinya, adik ipar dan
ponakannnya. Setealah sebulan mencoba pengobatan alternative, pasien
dibawa ke Poli Jiwa Kramat jati dan diagnose Skizofrenia Paranoid. Perassan
takut dan diawasi serta bisikan masih menetap setelah beberapa bulan dalam
pengobatan dan semakin lama menghilang. Kemudia pasien berada dalam
keadaan stabil sehingga bulan July 20202 tidak mengkonsumsi obat
dikarenakan praktek doctor tutup disebabkan pandemic. Pada pemeriksaan
status mental, penampilan pasien bagus, sikap kooperatif, psikomotor pada
awalnya gelisah karena menunggu terlalu lama tapi lama-lama semakin
tenang. Mood eutim, efek datar, halusinasi auditorik sudah tiada, prosen pikir
koheren, isi pikir preokupasi pada tangan kanan yang tidak dapat digunakan.

VI. DIAGNOSTIK MULTIAKSIAL

Aksis I Working Diagnosis:


F20.0 Skizofrenia Paranoid
Differential Diagnosis:
F25.1 Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif
F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala
Psikotik
Diagnosis Tambahan Saat Kontrol
F43.2 Gangguan Penyesuaian.

Aksis II Ciri kepribadian anankastic tetapi harus


dieksplorasi lagi
Aksis III Cedera Kepala Sedang dan Crushed Elbow
Dextra
Aksis IV Masalah berkaitan pekerjaan dan aktivtas
harian yang terbatas karena tangan sakit
Aksis V GAF Current; 70-61

12
FORMULASI DIAGNOSTIK

 Aksis I:

Berdasarkan iktisar penemuan bermakna, pasien pada kasus ini dapat dinyatakan
mengalami:

1. Gangguan jiwa, atas dasar adanya gangguan pada pikiran dan perilaku yang
menimbulkan penderitaan (distress) dan menyebabkan gangguan dalam kehidupan
sehari-hari (hendaya)

2. Gangguan jiwa ini termasuk gangguan mental non-organik/GMNO, karena pasien


tidak mengalami retardasi mental ataupun gangguan kesadaran, serta tidak
memiliki riwayat trauma kepala yang dapat menimbulkan disfungsi. Namun pada
pasien ini, trauma kepalanya tidak menyebabkan halusinasi.

3. Gangguan kejiwaan yang pasien alami memiliki gejala psikotik.

Gangguan yang dialami pasien berdasarkan jenisnya terdapat:

 Gejala gangguan kognisi: halusinasi auditorik dan waham curiga.

Gejala – gejala tersebut terjadi lebih satu bulan pada onset pertama 3 tahun lalu.
Berdasarkan PPDGJ III dengan kumpulan gejala yang dialami pasien, maka working
diagnosis dari pasien adalah F20.0 Skizofrenia Paranoid.

Differential Diagnosis :

F25.1 Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif

Pedoman Diagnosis:

1. Kategori ini harus dipakai baik untuk episode skizoafektif tipe depresif yang
tunggal, dan untuk gangguan berulang di mana sebagian besar episode
didominasi oleh skizoafektif tipe dipresif.
2. Afek Depresif harus menonjol, disertai oleh sedikitnya dua gejala khas, baik
depresif maupun kelainan perilaku terkait seperti tercantum dalam uraian
untuk episode depresif (F32)
3. Dalam episode yang sama, sedikitnya harus jelas ada satu dan sebaiknya ada
dua, gejala khas skizofrenia (sebagaimana ditetapkan dalam pedoman
diagnostic skizofrenia, F20, a-d.

Pada pasien ini, terdapat pikiran ingin bunuh diri dan perasaan sedih ketika gejala
halusinasi auditorik dan waham kejarnya masih ada. Dikatakan gangguan skizoafektif

13
tipe depresif dikarenakan gejala skizofrenianya dan gangguan afektifnya muncul pada
saat yang bersamaan.

F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik

Gejala utama:
-afek depresif
-kehilangan minat
-berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
turunnya aktivitas.
Gejala lainnya:
a) konsentrasi dan perhatian berkurang
b) harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c) gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d) pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e) gagasan atau membahayakan diri atau bunuh diri
f) tidur terganggu
g) nafsu makan berkurang

Pedoman diagnostik:

1. Semua 3 gejala utama depresi harus ada.

2. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di antaranya


harus berintensitas berat.

3. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan
gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara meyeluruh terhadap
episode depresif berat masih dibenarkan.

4. Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu,


akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan
untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.

5. sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan social,


pekerjaan, atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

Kemungkinan timbul pikiran untuk membunuh diri ketika di rumah sakit


dikarenakan pasien mengalami depresi akibat memikirkan keadaan kesehatannya.
Pikiran itu juga dialami selama 2 minggu. Pikiran atau bisikan ingin bunuh diri itu
juga disertai halusinasi auditorik lain seperti ada orang membunuh adik ipar dan
ponakan serta merasakan bahwa ada orang yang memerhatikan dirinya.

Diagnosis Tambahan Saat Kontrol

14
F43.2 Gangguan Penyesuaian.
1. Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap hubungan antara:
a) bentuk, isi dan beratnya gejala
b) riwayat seblumnya dan corak kepribadian
c) kejadian, situasi yang stressful atau krisis kehidupan.
2. Adanya faktor ketiga diatas c) harus jelas dan bukti yang kuat bahwa gangguan
tersebut tidak akan terjadi seandainya tidak mengalami hal tersebut.
3. Manifestasi dari gangguan bervariasi, dan mnecakup afek depresif, anxietas,
campuran anxietas-depresif, gangguan tingkah laku, disertai adanya disabilitas dalam
kegiatan rutin sehari-hari. Tidak ada satu pun dari gejala tersebut spesifik untuk
mendukung diagnosis.
4. Onset terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya kejadian yang stressful dan gejala-
gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan, kecuali dalam hal reaksi depresi
berpanjangan.

Pasien mengatakan bahwa dia mearsakan sedih apabila tidak dapat membantu
orang tuanya berdagang dan memerlukan bantuan orang dalam melakukan aktivitas
harian seperti makan. Tangan kanan yang sakit ini membuatkan dia selalu dirumah
dan tidak beraktivitas. Perasaan sedih dan kecewa ini sudah dirasakan selama 3 bulan.

VII. DAFTAR MASALAH


Biologi
Cedera Kepala Sedang dan Crushed elbow Dextra
Psikologi
Mood eutim, afek datar, preokupasi masalah tangan kanan masih belum dapat
digunakan dan halusinasi auditorik sudah tiada.
Sosial
Pasien merasa kurang percaya diri untuk melakukan aktivitas berdagang dan
hanya duduk di rumah.

VIII. PROGNOSIS

 Quo ad vitam: Dubia ad Bonam.


Prognosis untuk pasien hidup cenderung baik, karena karena onset
penyakit akut, premorbid social dan kerja bagus sebelumnya, support
system keluarga yang bagus, dan mempunyai gejala-gejala positif.
 Quo ad functionam: Dubia ad Bonam
Prognosis pasien secara fungsi cenderung baik, apabila pasien teratur
berobat dan dapat merubah gaya berpikirnya setelah dilakukan
psikoterapi.
 Quo ad sanactionam: Dubia ad Bonam

15
Prognosis pasien untuk sembuh cenderung baik, karena pasien menyadari
bahwa dia membutuhkan pertolongan dokter dan pengobatan atas apa yang
dialaminya, serta dibutuhkan juga dukungan dari keluarga dan kerabat
dekat.

IX. RENCANA TATALAKSANA


Farmakologis
 Antipsikotik generasi kedua:
-Risperidone 2 x 2mg (pagi dan malam)
-Clozapine 1x25mg (malam)
Non-Farmakologis
 Psikoterapi suportif :
 Memberikan dukungan kepada pasien dan membantu pasien dalam
memahami dan menghadapi penyakitnya.
 Memberi penjelasan dan pengertian mengenai penyakitnya, manfaat
pengobatan, cara pengobatan, efek samping yang mungkin timbul
selama pengobatan, serta motivasi pasien supaya minum obat secara
teratur.
 Menyakinkan pasien bahwa gejala – gejala akan berkurang dengan
minum obat yang teratur dan akan kambuh jika pasien tidak minum
obat.
 Bantu pasien untuk mengenali pikiran-pikiran yang palsu maupun
salah dan mengatasi dengan cara mengalihkan pikiran tersebut dengan
aktivitas
 Membangkitkan kepercayaan diri pasien bahwa tangannya dapat
sembuh dan bias kembali berdagang seperti biasa atau melatih tangan
kiri untuk bekerja menggantikan tangan kanan.

16
PERBAHASAN
Pendahuluan
Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan di
dunia, termasuk di Indonesia. Skizofrenia termasuk dalam empat masalah kesehatan utama di
dunia hingga saat ini. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena
depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena
demensia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial dengan
keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang
berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk
jangka panjang.1
Data Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang
ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas
mencapai 9,8% dari jumlah penduduk Indonesia, meningkat dari tahun 2013 yang hanya
sebesar 6%. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai 7,0 per
1.000 penduduk yang meningkat dari tahun 2013 sebesar 1,7 per 1.000 penduuduk. Angka
kejadian pada pria 1,4% lebih besar dibandingkan wanita.5 Di tinjau dari diagnosa atau jenis
skizofrenia, jenis skizofrenia terbanyak terdapat pada skizofrenia paranoid sebanyak 40,8%,
kemudian diikuti dengan skizofrenia residual sebanyak 39,4%; skizofrenia hebrefenik
sebanyak 12%; skizofrenia katatonik sebanyak 3,5%; skizofrenia tak terinci sebanyak 2,1%;
skizofrenia lainnya sebanyak 1,4%; dan yang paling sedikit adalah skizofrenia simpleks
sebanyak 0,7%.6 Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018 cakupan pengobatan skizofrenia di
Indonesia sudah sebesar 84,9% namun 51,1% diantaranya tidak rutin minum obat. Tiga
alasan terbanyak adalah sudah merasa sehat (36,1%), tidak rutin berobat (33,7%), dan tidak
mampu membeli obat rutin (23,6%).2
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, prevalensi skizofrenia adalah 1 persen, dimana dalam 100 orang,
terdapat 1 orang yang mempunyai skizofrenia. Studi Epidemiologic Catchment Area yang
disponsor oleh National Institute of Mental Health melaporkan bahwa prevalensinya adalah
0,6 hingga 1,9%. Di Amerika Serikat, diperkirakan 0,05 persen dari populasi keseluruhan
diobati dengan skizofrenia per tahun dan hanya separuh dari pasien dengan skizofrenia yang
mendapat pengobatan, walaupun dengan gejala yang buruk.3
Prevalensi skizofrenia pada laki-laki dan wanita adalah sama. Namun, kedua jenis
kelamin berbeda dalam permulaan dan perjalanan penyakit. Onsetnya lebih awal pada laki-
laki dibandingkan wanita. Lebih dari setengah pasien skizofrenia adalah laki-laki, tetapi
hanya sepertiga dari semua pasien skizofrenia perempuan, pertama kali dirawat di rumah
sakit jiwa sebelum usia 25 tahun. Usia puncak serangan adalah 10-25 tahun untuk laki-laki
dan 25-35 tahun untuk wanita. Tidak seperti laki-laki, wanita menampilkan distribusi usia
bimodal, dengan puncak kedua terjadi pada usia pertengahan. Diperkirakan 3-10% wanita
dengan skizofrenia mempunyai episode pertama setelah usia 40 tahun. Lebih kurang 90%
pasien skiozfrenia yang mendapat pengobatan berusia 15 hingga 55 tahun. Skizofrenia jarang
berlaku untuk onset pertama pada usia sebelum 10 tahun atau stelah 60 tahun. Beberapa studi

17
menyatakan bahwa pasien laki-laki lebih banyak mempunyai gejala-gejala negative
berbanding wanita dan wanita mempunyai fungsi social yang lebih baik berbanding laki-laki
sebelum onset penyakit. Secara keseluruhannya, prognosis pada pasien skizofrenia wanita
lebih baik berbanding laki-laki. Apabila onset pertama berlaku setelah usia 45 tahun, penyakit
tersebut dikategorikan sebagai late-onset.3
Diagnosis Skizofrenia
Pedoman Diagnosis
Menurut ICD-X/PPDGJ III.4
a. Pikiran bergema (thought echo), penarikan pikiran atau penyisipan (thought withdrawal
atau thought insertion), dan penyiaran pikiran (thought broadcasting).
b. Waham dikendalikan (delusionofbeingcontrol), waham dipengaruhi (delusionofbeing
influenced), atau “passivity”, yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh atau pergerakan
anggota gerak, atau pikiran, perbuatan atau perasaan (sensations) khusus; waham persepsi.
c. Halusinasi berupa suara yang berkomentar tentang perilaku pasien atau sekelompok orang
yang sedang mendiskusikan pasien, atau bentuk halusinasi suara lainnya yang datang dari
beberapa bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta
sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau politik, atau
kekuatan dan kemampuan “manusia super” (tidak sesuai dengan budaya dan sangat tidak
mungkin atau tidak masuk akal, misalnya mampu berkomunikasi dengan makhluk asing yang
datang dari planit lain).
e. Halusinasi yang menetap pada berbagai modalitas, apabila disertai baik oleh waham yang
mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang
jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (overvaluedideas) yang menetap, atau apabila terjadi
setiap hari selama bermingguminggu atau berbulan-bulan terus menerus
f. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat
inkoheren atau pembicaraan tidak relevan atau neologisme.
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh tertentu
(posturing), atau fleksibilitas serea, negativism, mutisme, dan stupor.
h. Gejala-gejala negatif, seperti sikap masa bodoh (apatis), pembicaraan yang terhenti, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan
diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
i. Perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek
perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas,
sikap berdiam diri (self- absorbed attitude) dan penarikan diri secara social
Pedoman Diagnostik

18
a. Minimal satu gejala yang jelas (dua atau lebih, bila gejala kurang jelas) yang tercatat pada
kelompok a sampai d diatas, atau paling sedikit dua gejala dari kelompok e sampai h, yang
harus ada dengan jelas selama kurun waktu satu bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang
memenuhi persyaratan pada gejala tersebut tetapi lamanya kurang dari satu bulan (baik
diobati atau tidak) harus didiagnosis sebagai gangguan psikotik lir skizofrenia akut.
b. secara retrospektif, mungkin terdapat fase prodromal dengan gejala-gejala dan perilaku
kehilangan minat dalam bekerja, adalam aktivitas (pergaulan) sosial, penelantaran
penampilan pribadi dan perawatan diri, bersama dengan kecemasan yang menyeluruh serta
depresi dan preokupasi yang berderajat ringan, mendahului onset gejala-gejala psikotik
selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Karena sulitnya menentukan onset,
kriteria lamanya 1 bulan berlaku hanya untuk gejala-gejala khas tersebut di atas dan tidalk
berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal.
c. Diagnosis skizofrenia tidak dapat ditegakkan bila terdapat secara luas gejala-gejala
depresif atau manic kecuali bila memang jelas, bahwa gejala-gejala skizofrenia itu
mendahului gangguan afektif tersebut.
d. Skizofrenia tidak dapat didiagnosis bila terdapat penyakit otak yang nyata, atau dalam
keadaan intoksikasi atau putus zat.
Skizofrenia Paranoid5
a. memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. sebagai tambahan:
-halusinasi dan/atau waham harus menonjol;
a) suara-suara halusinasi yang mengancam pasien memberi perintah, atau halusinasi auditorik
tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa
(laughing).
b) halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual atau lain-lain perasaan
tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol
c) waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetap waham dikendalikan (delusion of control),
dipengaruhi (delusion of influence), atau passivity (delusion of passivity), dan keyakinan
dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah paling khas
-gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relative
tidak nyata/tidak menonjol.
Skizofrenia tipe paranoid mempunyai karekteristik yaitu preokupasi dengan satu atau
lebih waham atau halusinasi auditorik yang berulang. Secara klasik, jenis skizofrenia
paranoid ditandai terutama oleh adanya waham penganiyaan dan kebesaran. Pasien dengan
skizofrenia paranoid biasanya terjadi episode pertama pada usia lebih tua berbanding
katatonik dan hebefrenik. Pasien dengan skizofrenia yang terjadi pada usia lewat 20an atau
30an biasanya telah mempunyai kehidupan social yang baik yang dapat membantu dalam
penyakit mereka, dan sumber ego pasien paranoid cenderung lebih besar daripada pasien

19
dengan skizofrenia katatonik dan hebefrenik. Pasien dengan skizofrenia paranoid
menunjukkan kemunduran yang lebih sedikit pada kemampuan mental, respons emosional
dan perilaku mereka dibandingkan pasien skizofrenia tipe lain. Pasien dengan skizofrenia
paranoid biasanya tegang, curiga, dilindungi, pendiam dan terkadang bermusuhan atau
agresif tetapi mereka dapat berperilaku baik dalam sosialisasi. Kecerdasan mereka pada
bagian otak yang tidak diganggu dengan psikosis cenderung tetap utuh berbanding tipe
skizofrenia yang lain.3
Patofisiologi Skizofrenia
Terdapat 3 hipotesis utama yang menyebabkan terjadi skizofrenia. Hipotesis berkait
abnormalitas neurokimia mengatakan bahwa dopamine, serotonin, glutamate dan GABA
yang tidak seimbang dapat menyebabkan manifestasi penyakit klinis ini. Terdapat empat jalur
dopaminergic yang menyebabkan perkembangan skizofrenia. Hipotesis dopamine
menunjukkan gejala-gejala positif pada penyakit dikarenakan aktivasi D2 reseptor secara
berlebihan melalui jalur mesolimbic, sementara kadar dopamine yang rendah pada jalur
nigrostriatal dikatakan mempengaruhi gejala-gejala motoris melalui efek sistem
extrapyramidal. Kadar dopamine yang rendah pada jalur mesocortical dapat menyebabkan
gejala-gejala negatif. Amenorrhea dan penurunan libido bisa terjadi karena peningkatan kadar
prolactin yang disebabkan penurunan dopamine pada tuberoinfundibular. Evidens
membuktikan bahwa eksaserbasi pada gejala positif dan negative pada skizofrenia
dikarenakan reseptor NMDA antagonis membantu dalam potensi hipoaktivitas glutamic
sementara hiperaktivitas serotonin juga memainkan peran dalam perkembangan skizofrenia.6,7
Faktor risiko dan etiologi
1. Genetik
Terdapat evidens yang kuat mengatakan bahwa genetic memainkan peranan penting
kepada penyebab skizofrenia. Risiko untuk seseorang mendapatkan penyakit itu meningkat
tinggi apabila ada faktor genetic terkait dengan seorang individu.8
Studi lanjutan anak-anak yang diadopsi sejak awal kehidupan telah menunjukkan
bahwa risiko mereka mengambangkan skizofrenia saat dewasa terprediksi karena memiiki
orang tua biologis dengan gangguan tersebut dan bukan oleh karena karakteristik keluarga
angkat. Namun pola terjadinya skizofrenia dalam keluarga tidak sesuai dengan transmisi gens
tunggal sahaja, namun melibatkan banyak gen, masing-masing2 memiliki efek relative kecil
pada kemungkinan perkembangan penyakit. Lebih lanjut, bukti menunjukkan bahwa
memiliki gen predisposisi tidak cukup untuk perkembangan peyakit secara klinis. Gen
semacam itu mungkin tetap tidak terekspresi kecuali beberapa faktor lain, kemugkinan besar
faktor linkungan, memicu aktivitas mereka.8
Berikut adalah beberapa gen yang menarik minat penetian tentang skizofrenia:
catechol O-methyltransferase (COMT), DAO/G30, DISC 1, DTNB 1, GABRB2, NRG 1, and
ZNF804A. Delesi pada 15q13 dan 22q11 (DiGeorge syndrome) sangat jarang dan dapat
terjadi predisposisi pada individu untuk terjadinya skizofrenia. Telah ditentukan bahwa

20
tingkat konkordansi kembar monozigot adalah 40-50% dan tingkat konkordansi kembar
dizygotik adalah 10-15%.9
2. Linkungan
Banyak pengaruh linkungan telah ditemui sebagai faktor risiko yang mungkin terlibat
dalam pegeambangan skizofrenia. Ini berkisar dari komplikasi kehamilan dan kelahiran
hingga infeksi virus dini, kelahiran perkotaan, malnutrisi, cedera kepala, efek toksik zat
psikoaktif seperti ganja dan gangguan psikososial. Tiada salah satu pun dari faktor risiko
berikut yang diduga secara signifikan tervalidasi, dan ada kemungkinan bahwa paparan
linkungan yang berbeda dapat berinteraksi dengan gen predisposisi pada tahap perkembangan
yang berbeda.8
Beberapa faktor risiko telah diidentifikasi atau divalidasi secara khusus di negara
berkembang, meskipun komplikasi kebidanan dan cedera otak dini akibat infeksi saraf, efek
toksin, trauma lain, atau malnutrisi ibu selama masa gestasi cenderung terlibat dalam populasi
pada sebagian besar kasus orang dewasa dengan skizofrenia di negara berkembang
berbanding di negara maju. Di antara faktor risiko psikososial yang berpotensi adalah tekanan
miigrasi telah dibuktikan pada studi di India dan Taiwan di mana ditemui migran banyak
mengidapi skizofrenia.8
Beberapa dukungan untuk peran kesulitan psikososial dalam penyebab atau
pengendap skizofrenia disediakan oleh penelitian yang telah menyoroti insiden gangguan
yang luar biasa tinggi di antara keturunan migran Afro-Karibia di Inggris. Karena morbiditas
skizofrenia yang berlebihan terbatas pada generasi di Inggeris Raya, hilangnya system
dukungan social tradisional dan tekanan demoralisasi yang terkait dengan stereotip dan
prasangka masyarakat sedang dieksplorasi sebagai faktor risiko yang berinteraksi dengan
kerentanan genetic. Tidak ada studi sistematis yang telah dilakukan tentang kemungkinan
kontribusi penyakit tropis yang tersebar luas terhadap morbiditas psikiatrik di negara
berkembang.8
Kelahiran di perkotaan telah ditunjukkan sebagai faktor risiko skizofrenia di
kemudian hari dalam beberapa penelitian di negara maju. Studi di negara berkembang yang
mengkonfirmasi temuan serupa belum dilakukan. Bukti seperti itu ditambah dengan
urbanisasi yang berkembang di negara berkembang akan menunjukkan proyeksi peningkatan
prevalensi skizofrenia. Penelitian tambahan diperlukan untuk menentukan bagaimana faktor
risiko linkungan tersebut berinteraksi dengan faktor risiko genetic. Memahami ini dapat
mengarah pada perawatan yang lebih baik dan kemungkinan strategi intervensi.8
Studi di negara berkembang yang mengkomfirmasi temuan serupa belum dilakukan.
Tidak ada pola unik dari patologi otak yang ditemukan pada mereka yang menderita
skizofrenia. Namun, beberapa kelainan yang membedakan otak orang dengan skizofrenia dari
subjek control telah diidentifikasi dan dikonfirmasi dengan meta-analisis. Penemuan penting
telah dihasilkan dari teknologi pencitraan otak baru (CT, MRI) yang telah melengkapi studi
postmortem klasik. Umumnya, anomaly structural yang ditemukan pada otak skizofrenia
melibatkan: 1) penurunan volume gray matter 2) pembesaran ventrikel serebral 3) atenuasi
pada otak normal di sepanjang sumbu antero-posterior yang asimetri, masih kontroversial

21
apakah kelainan ini progresif atau statis, dan apakah kelainan tersebut mendahului atau
mengikuti timbulnya penyakit.8
3. Neurokimia
Pada tingkat transmisi saraf system saraf pusat, produksi neurotransmitter dopamine
yang berlebihan dan kepadatan serta sensitivitas yang berlebihan dari subtype reseptor
dopaminergic tertentu telah lama diduga menjadi perantara beberapa gejala dan kelainan
perilaku yang menjadi ciri skizofrenia. sebagian besar agen farmakologis yang telah terbukti
efektif dalam mengendalikan gejala positif skizofrenia mentargetkan reseptor dopaminergic.
Namun, penelitian terbaru menunjukkan gambaran yang jauh lebih kompleks dari disregulasi
transmisi saraf pada skizofrenia yang melibatkan banyak system, terutama serotonin dan
glutamate, serta sejumlah molekul modulasi lainnya. Karena tidak ada varian genetic yang
diketahui dari protein yang membentuk neuroreceptor sites atau molekul transporting
neurotransmitter sejauh ini ditemukan terkait secara khusus dengan skizofrenia, tidak pasti
apakah disregulasi neurotransmitter adalah penyebba utama gangguan atau komplikasi
sekunder.8
4. Functional neuroimaging and cognitive deficits
Temuan menunjukkan bahwa pada pasien dnegan skizofrenia, aktivasi respons terhadap
rangsangan yang melibatkan fungsi eksekutif (perencanaan dan pemantauan diri) menjadi
lemah dibandingkan dengan kelompok control, otak pasien ini memproses infirmasi dengan
kurang efisien. Pencitraan otak fungsional yang melibatkan pengukuran respons
hemodinamik otak, metabolic atau listrik otak terhadap tantangan kognitif yang membuka
peluang ke fungsi otak secara waktu sebenar. Pada tingkat kinerja neurokognitif, disfungsi
multifaset melibatkan kewaspadaan dan perhatian jangka panjang, memori kerja, kemampuan
untuk menghambat respons yang tidak tepat telah berulang kali diidentifikasi pada pasien
dengan skizofrenia. Beberapa dari deficit ini juga dapat ditemukan pada saudara biologis
pasien yang secara klinis normal, menunjukkan bahwa mereka mungkin merupakan penanda
kerentanan genetic terhadap gangguan tersebut.
5. Neurodevelopmental
Abnormalitas pada struktur otak dan fungsi neurokognitif terjadi sebelum onset
pertama skizofrenia. Anomali fizikal yang minor yang berasal dari pengembangan fetus
(seperti cleft palate atau fingerprint anomalies) biasanya banyak terjadi pada pasien dengan
skizofrenia berbanding normal. Penemuan-penemuan tersebut menunjukkan hipotesis bahwa
skizofrenia adalah gangguan perkembangan saraf yang bermula dalam rahim atau awal
kehidupan and menjadi manifestasi klinis apabila tingkat tertentu dari pematangan system
pusat tercapai pada akhir masa remaja atau awal dewasa. Dukungan tidak langsung oleh studi
prospektif yang dijalankan telah mendokumentasikan sejumlah keanehan perilaku, seperti
keteramilan social yang buruk, sifat schizoid, dan IQ rendah pada anak-anak yang kemudian
harinya akan terjadinya skizofrenia. walaupun keadaan di atas cuma dijumpai pada sejumlah
kasus skizofrenia, termasuk onset lambat, menunjukkan bahwa mungkin lebih dari satu jalur
etiologis yang dapat menyebabkan gangguan tersebut.8

22
6. Faktor Sistem Imun
Sitokin adalah molekul pemberi sinyal dari system kekebalan yang memberikan efek
di hagian perifer dan otak. Sitokin diproduksi oleh sel-sel imun dan non-imun lalu
menunjukkan efeknya dengan mengikat reseptor sitokin sepsifik pada berbagai sel target.
Ada bukti peningkatan kadar sitokin secara abnormal pada pasien skizofrenia.
Berikut adalah sitokin dan jalur inflamsi yang dapat berasosiasi dengan skizofrenia: tumor
necrosis factor (TNF) dan interleukin 1 (IL-1), IL-6, dan IL-8. Selain dari efek
neurotransmisi, dopamine terutamanya, antipsikotik dapat membantu dalam keseimbangan
pada efek system imun, terutama menyebabkan respon lambat pada banyak kasus. Sebagai
contoh, pengobatan dengan antipsikotik ditemui dapat memodulasi kadar plasma reseptor IL-
2 dan untuk mengurangkan kadar plasma IL-1- dan interferon-ϒ (IFN-ϒ). Efek anti-inflamasi
pada aspirin, N-acetylcysteine dan estrogen dijumpai dapat membantu dalam mengobati
skizofrenia. pada studi meta-analisis terbaru, antar sitokin (IL-1β, IL-6, and transforming
growth factor-β [TGF-β]) dihipotesiskan sebagai petanda untuk eksaserbasi akut, dan sitokin
lain (IL-12, IFN-γ, TNF-α, and soluble IL-2 receptor) sebaigai tanda trait.9
7. Hubungan dengan jenis kelamin dan usia
Data insiden dan prevalensi dari negara berkembang menunjukkan pengelompokan
onset skizofrenia pada awal dewasa, serupa yang diamati di negara maju. Onsetnya lebih
awal pada pria daripada wanita. Namun, pada kedua jenis kelamin, hal ini cenderung terjadi
pada usia yang lebih dini di negara berkembang. Pada negara membangun, laki-laki lebih
tinggi pada wania. Penyebab risiko skizofrenia yang lebih tinggi di kalangan wanita di negara
berkembang mungkin melibatkan faktor biologis dan psikososial, masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Tekanan spesifik yang terkait dengan peran perempuan dalam
masyarakat tradisional telah dikaitkan dengan risiko bunuh diri pada perempuan dan psikosis
yang reaktif dilaporkan. Apakah stress terkait peran pada wanita dapat menjadi pathogenesis
berhubungan dengan skizofrenia harus diteliti.8
8. Pengunaan zat
Prevalensi penggunaan zat yang tinggi oleh pasien skizofrenia telah dilaporkan dalam
banyak penelitian yang dilakukan di negara maju. Selain tembakau dan alcohol, narkoba yang
salah digunakan termasuk ganja, amfetamin dan kokain. Penggunaan tembakau dan ganja
jauh melebihi penggunaan zat lainnya. Penggunaan narkoba jalanan secara berlebihan dapat
menjadi faktor predisposisi untuk perilaku kekerasan, meskipun bukti untuk hubungan ini
sebagian besar bersifat tidak langsung. Namun, ada bukti yang cukup bahya dengan
penggunaan ganja yang berat dapat memicu ekkambuhan psikotik pada pasien skizofrenia
yang telah remisi. Sebaliknya, ada sedikit bukti bahwa keracunan ganja dapat memnyebabkan
‘psikosis ganja’ kronis seperti skizofrenia. meskipun penggunaan zat psikoaktif tidak jarang,
saat ini hampir tidak ada bukti bahwa penyalahgunaan zat oleh pasien dengan skizofrenia di
negara berkembang merupakan masalah komorbiditas dalam skala yang sebanding dengan
negara maju.8,9
Premorbid

23
Tanda dan gejala premorbid terjadi sebelum proses penyakit terbukti dengan
sendirinya dan tanda dan gejala prodromal adalah bagian dari gangguan yang berkembang.
Dalam riwayat skizofrenia yang tipikal, pasien memiliki kepribadian schizoid atau skizotip
yang ditandai sebagai pendiam, pasif dan tertutup sejak anak-anak, mereka mempunyai
teman yang sedikit. Remaja yang preschizophrenia mungkin tidak mempunyai teman dekat,
pacar dan sering menghindari dari berolahraga dnegan tim. Mereka senang menonton filem
dan telivisi, mendengar music dan bermain computer game dari kegiatan social. Beberapa
pasien remaja menunjukkan perilaku obsesif-kompulsif yang tiba-tiba muncul sebagai bagian
dari gambaran prodromal.3
Tanda dan gejala prodromal selalu dikenali setelah diagnosis skizofrenia dibuat tetapi
masih tidak pasti karena ingatan retrospektif tentang tanda dan gejala awal terpengaruh.
Namun demikian, rawat inap pertama adalah sering dipercayai untuk menandai awal dari
gangguan, tanda dan gejala sering muncul selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-
tahun.3
Tanda-tandanya mungkin sudah dimulai dengan keluhan somatik seperti sakit kepala,
nyeri punggung dan otot, lemah dan masalah pencernaan. Diagnosis awal mungkin pura-pura
sakit atau malingering, sindrom kelelahan kronis atau gangguan soomatisasi. Teman dan
keluarga pada akhirnya akan menyadari bahwa orang tersebut telah berubah dan tidak lagi
berfungsi baik dalam pekerjaan, social dan aktivitas pribadi selama tahap ini, pasien mungkin
mulai mengambangkan minat pada ide-ide abstark, filosofi dan okultisme atau pertanyaan
tentang agama. Tanda prodromal lain adalah perilaku aneh, pengaruh abnormal, ucapan yang
tidak biasa, ide-ide aneh dan pengalaman persepsi yang aneh.3
Gejala
Skizofrenia terdiri dari gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif skizofrenia
yaitu : 1) waham atau gangguan isi pikir, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional.
Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun
penderita tetap meyakini kebenarannya; 2) Halusinansi, yaitu pengalaman panca indera tanpa
ada rangsangan. Halusinasi dapat berupa visual, auditori, taktil, dan pengecapan; 3)
Gangguan pembicaraan seperti inkoherensia, sirkumskripta, asosiasi longgar, dan tangensial;
4) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, agresif, bicara dengan semangat dan gembira
berlebihan.10
Gejala negatif skizofrenia terdiri dari; 1) Alam perasaan “tumpul” dan “mendatar”.
Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi;
2) Menarik diri atau mengasingkan diri tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain,
suka melamun; 3) Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam; 4) Pasif
dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial; 5) Sulit dalam berfikir abstrak; 6) Tidak
ada/kehilangan minat/hendaya sosial maupun pekerjaan.10
Penatalaksanaan
a. Fase Akut
1) Farmakoterapi

24
Pada Fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya atau orang lain,
mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejala
terkait lainnya misalnya agitasi, agresi dan gaduh gelisah.4
Langkah Pertama:
• Berbicara kepada pasien dan memberinya ketenangan.
Langkah Kedua:
• Keputusan untuk memulai pemberian obat. Pengikatan atau isolasi hanya dilakukan bila
pasien berbahaya terhadap dirinya sendiri dan orang lain serta usaha restriksi lainnya tidak
berhasil. Pengikatan dilakukan hanya boleh untuk sementara yaitu sekitar 2-4 jam dan
digunakan untuk memulai pengobatan. Meskipun terapi oral lebih baik, pilihan obat injeksi
untuk mendapatkan awitan kerja yang lebih cepat serta hilangnya gejala dengan segera perlu
dipertimbangkan.4
Obat injeksi:4,11,12
a) Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap 2 jam, dosis
maksimum 30mg/hari.
b) Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal 29,25 mg/hari), intramuskulus.
c) Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap setengah jam, dosis
maksimum 20mg/hari.
d) Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis maksimum 30mg/hari.

25
Gambar 2: daftar obat antipsikosis4
Obat oral:
Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh pengalaman pasien sebelumnya
dengan antipsikotika misalnya, respons gejala terhadap antipsikotika, profil efek samping,
kenyamanan terhadap obat tertentu terkait cara pemberiannya. Pada fase akut, obat segera
diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan dan dosis dimulai dari dosis anjuran dinaikkan
perlahan-lahan secara bertahap dalam waktu 1 – 3 minggu, sampai dosis optimal yang dapat
mengendalikan gejala.4
2) Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus yang berlebihan, stresor lingkungan
dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan ketenangan kepada pasien atau mengurangi
keterjagaan melalui komunikasi yang baik, memberikan dukungan atau harapan,
menyediakan lingkunganyang nyaman, toleran perlu dilakukan.4
3) Terapi lainnya
ECT (terapi kejang listrik) dapat dilakukan pada Skizofrenia katatonik dan
Skizofrenia refrakter.4

26
b. Fase Stabilisasi
1) Farmakoterapi
Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala atau untuk mengontrol,
meminimalisasi risiko atau konsekuensi kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses
kesembuhan (recovery). Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan selama
lebih kurang 8 – 10 minggu sebelum masuk ke tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga
diberikan obat anti psikotika jangka panjang (long acting injectable), setiap 2-4 minggu.4,12
2) Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang dengan skizofrenia dan
keluarga dalam mengelola gejala. Mengajak pasien untuk mengenali gejala-gejala, melatih
cara mengelola gejala, merawat diri, mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan.
Teknik intervensi perilaku bermanfaat untuk diterapkan pada fase ini.4
c. Fase Rumatan
1) Farmakoterapi
Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih
mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua
tahun, bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan, terapi diberikan sampai
lima tahun bahkan seumur hidup.4,12
2) Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali pada kehidupan
masyarakat.Modalitas rehabilitasi spesifik, misalnya remediasi kognitif, pelatihan
keterampilan sosial dan terapi vokasional, cocok diterapkan pada fase ini. Pada fase ini
pasien dan keluarga juga diajarkan mengenali dan mengelola gejala prodromal, sehingga
mereka mampu mencegah kekambuhan berikutnya.4
Efek samping antipsikotik
Efek samping obat antipsikosis dapat berupa:11
a. sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk. Kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun)
b. gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik: mulut kering, kesulitan
miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler meninggi, gangguan
irama jantung).
c. gangguan ektrapiramidal (dystonia akut, akathisia, sindrom Parkinson: tremor,
bradykinesia, rigiditas)
d. gangguan endokrin (amenorrhea, gynecomastia), metabolic (jaundice), hematologic
(agranulocytosis), biasanya pada pemaikaian jangka panjang.

27
Efek samping ini ada yang dapat ditolerir oleh pasien, ada yang lambat, dan ada yang
sampai membutuhkan obat simtomatis untuk meringankan penderitaan pasien. Dalam
penggunaan obat anti-psikosis yang ingin dicapai adalah optimal responses with minimal side
effects.11,12
Efek samping dapat juga ‘irreversible’: tardive dyskinesia (gerakan berulang
involunter pada: lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada waktu tidur
gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang (terapi
pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak berkaitan dengab dosis
obat anti-psikosis (non-dose related).11,12
Bila terjadi gejala tersebut: obat anti-psikosis perlahan-lahan dihentikan, bias dicoba
pemberian obat Resepine 2,5mg/h, (dopamine depleting agent), pemberian obat antiparkinson
atau l-dopa dapat memperburuk keadaan. Obat pengganti anti-psikosis yang baik adalah
Clozapine 50-100 mg/h.11,12
Pada penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara periodic harus
dilakukanpemeriksaan laboratorium: darah rutin, urine lengkap, fungsi hati, fingsi ginjal,
untuk deteksi diniperubahan akibat efek samping obat.11,12
Obat antipsikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian sebagai akibat overdosis atau
untuk bunuh diri. Namun demikian untuk menghindari akibat yang kurang menguntungkan
sebaiknya dilakukan lavage lambung bila obat belum lama dimakan.11,12
Tatalaksana Efek Samping
Bila terjadi efek samping, misalnya sindrom ekstrapiramidal (distonia akut atau
parkinsonisme), langkah pertama yaitu menurunkan dosis antipsikotika. Bila tidak dapat
ditanggulangi, berikan obat-obat antikolinergik, misalnya triheksilfenidil, benztropin, sulfas
atropin atau difenhidramin injeksi IM atau IV.11
Untuk efek samping tardif diskinesia, turunkan dosis antipsikotika.Bila gejala psikotik
tidak bisa diatasi dengan penurunan dosis antipsikotika atau bahkan memburuk, hentikan obat
dan ganti dengan golongan antispikotika generasi kedua terutama klozapin. Kondisi
Sindroma Neuroleptik Malignansi (SNM) memerlukan penatalaksanaan segera atau gawat
darurat medik karena SNM merupakan kondisi akut yang mengancam kehidupan.Dalam
kondisi ini semua penggunaan antipsikotika harus dihentikan.Lakukan terapi simtomatik,
perhatikan keseimbangan cairan dan observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi, temperatur,
pernafasan dan kesadaran). Obat yang perlu diberikan dalam kondisi kritis adalah : dantrolen
0.8 – 2.5 mg/kgBB/hari atau bromokriptin 20-30 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Jika terjadi
penurunan kesadaran, segera dirujuk untuk perawatan intensif (ICU).11
Kekambuhan
Kekambuhan adalah suatu keadaan dimana timbulnya kembali suatu penyakit yang
sudah sembuh dan disebabkan oleh berbagai macam faktor penyebab. Insiden kambuh pasien
skizofrenia sangat tinggi, yaitu berkisar 60%-75% setelah suatu episode psikotik jika tidak
diterapi. Pasien skizofrenia yang tidak teratur minum obat mengalami kekambuhan sebesar

28
74%, di antaranya memerlukan rehospitalisasi sebasar.13 Kekambuhan biasa terjadi karena
adanya kejadian-kejadian buruk sebelum mereka kambuh.14
Beberapa penyebab terjadinya kekambuhan pada pasien skizofrenia antara lain:
pemberian neuroleptik, onset dan previous course (akut/kronis, manifestasi awal, upaya
bunuh diri, dan faktor presipitasi), psikopatologi (tipe residual, gejala afektif, sindrom
paranoid, halusinasi, gejala negatif), pengalaman hidup (pengalaman traumatik, gangguan
psikiatrik dan perkembangan saat anak), social adjustment (status perkawinan, pekerjaan,
pengalaman seksual, dan tingkat pendidikan), kepribadian premorbid, situasi emosi keluarga
(ekspresi emosi keluarga yang tinggi/rendah), faktor biologi (genetik, pria/ wanita, dan umur)
dari penderita.15
Menurut simanjuntak bahwa pasien mengalami ketidak patuhan minum obat dan
Kambuh disebabkan karena adanya masalah lingkunan dan dukungan keluarga dalam
merawat pasien.13 Penelitian Kretchy mengenai “Psychological burden and caregiver-reported
non-adherence to psychotropic medications among patients with schizophrenia”
menyimpulkan bahwa ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi obat antipsikotik berhubungan
signifikan dengan beban keluarga dan kecemasan keluarga.16 Faktor – faktor yang
menyebabkan pasien tidak patuh minum obat diantaranya adalah, dukungan dan kemampuan
keluarga dalam rehabilitasi pasien, sedikit banyaknya kehidupan yang menimbulkan stres dan
tingkat keparahan gejala psikiatrik. Stres pasien skizofrenia juga merupakan salah satu
penyebab ketidak patuhan minum obat pasien.13
Prognosis
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa selama periode 5 hingga 10 tahun
setelah raawat inap pertama, hanya 10-20 persen pasien yang digambarkan memiliki
prognosis yang bagus. Lebih dari 50 persen pasien dapat digambarkan mempunyai prognosis
yang buruk apabila ada riwayat rawat inap berulang kali, eksaserbasi gejala, episode
gangguan mood mayor dan upaya bunuh diri. Tidak semua skizofrenia mempunyai prognosis
yang buruk tetapi ada faktor yang memberikan faktor prognosis yang baik. Tingkat remisi
yang dilaporkan berkisar 10-60 persen dan diperkirakan 20-30 persen pasien skizofrenia yang
dapat mejalani kehidupan agak normal. Sekitar 20 hingga 30 pasien terus mengalami gejala
gejala sedang, 40-60 persen tetap mengalami gejala gangguan yang signifikan sepanjang
hidup mereka. Pasien skizofrenia menjadi jauh lebih buruk dengan gangguan mood dan
sangat terganggu pada tindak lanjut jangka panjang. 3

29
Gambar 3: Prognosis Skozifrenia3
Diskusi Kasus
Pasien didiagnosis dengan skizofrenia paranoid setelah pasien mnegalami onset
pertama ketika berusia 34 tahun di mana ketika itu setelah pulang dari Kota Tua bersama
teman-teman, pasien merasakan dirinya diperhatikan dan diawasi oleh orang. Orang-orang
yang tidak dikenali menyebabkan pasien berasa takut. Pasien juga mendengar bisikan mau
dibunuh termasuk adik ipar dan ponakannya. Pasien berasa ketakutan. Pasien juga sempat
mengamuk dan marah-marah kepada ahli keluarga. Sedangkan sebelum berangkat ke Kota
Tua, pasien dalam kondisi baik dan gembira. Keluarga pasien memikirkan pasien disampok
sama setan dan dibawa berobat secara alternative dengan dukun, tetapi setelah sebulan
kondisi pasien tidak membaik, pasien dibawa ke Poli Jiwa RS Kramat Jati dan didiagnosa
sebagai Skizofrenia Paranoid. Pasien tidak dirawat inap dan setelah itu pasien control dan
beobat dengan dokter jiwa dekat dengan rumah. Pasien didiagnosa dengan skozifrenia
paranoid karena sesuai dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III
(PPDGJ III) dimana memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia dan tambahan lain
adalah suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah , atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung
(humming), atau bunyi tawa (laughing). Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi
waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence) atau passivity
(delusion of passivity) dan keyakinan dikejar-kejarkan adalah beraneka ragam. Hal tersebut
haruslah terjadi lebih dari satu bulan.5 Dikarenakan ciri-ciri di atas, pasien didiagnosa

30
skizofrenia paranoid. Skizofrenia tipe paranoid mempunyai karekteristik yaitu preokupasi
dengan satu atau lebih waham atau halusinasi auditorik yang berulang. Secara klasik, jenis
skizofrenia paranoid ditandai terutama oleh adanya waham penganiyaan dan kebesaran.
Pasien dengan skizofrenia paranoid biasanya terjadi episode pertama pada usia lebih tua
berbanding katatonik dan hebefrenik. Pasien dengan skizofrenia yang terjadi pada usia lewat
20an atau 30an biasanya telah mempunyai kehidupan social yang baik yang dapat membantu
dalam penyakit mereka, dan sumber ego pasien paranoid cenderung lebih besar daripada
pasien dengan skizofrenia katatonik dan hebefrenik.3 Hal ini tejadi kepada pasien dimana
onset pertamanya adalah pada usia 34 tahun dan onsetnya tiba-tiba. Pasien yang sebelumnya
mempunyai kehidupan normal dan kehidupan social yang baik karena mempunyai ramai
teman walaupun dikatakan pendiam. Pasien dengan skizofrenia paranoid biasanya tegang,
curiga, dilindungi, pendiam dan terkadang bermusuhan atau agresif tetapi mereka dapat
berperilaku baik dalam sosialisasi. Onsetnya lebih awal pada laki-laki dibandingkan wanita.
Lebih dari setengah pasien skizofrenia adalah laki-laki, tetapi hanya sepertiga dari semua
pasien skizofrenia perempuan. Usia puncak serangan adalah 10-25 tahun untuk laki-laki dan
25-35 tahun untuk wanita. Tidak seperti laki-laki. Usia onset pertama pada pasien adalah 37
tahun dimana tidak terlalu sesuai dengan teori tetapi itu adalah usia banyak pasien skizofrenia
laki-laki. Pasien tidak merasakan apa-apa kelainan sebelum kejadian itu kecuali tidak bias
tidur untuk beberapa minggu sebelumnya dan kalua tidur hanya 1-2 jam. Faktor
premorbidnya tidak diketemui dan mungkin tidak bias tidur itu merupakan gejala somatic
premorbidnya. Untuk faktor dan etiologi terjadinya juga tidak dapat diketahui karena pasien
mengatakan dikeluarganya tidak ada yang mempunyai penyakit seperti ini, tidak ada masalah
sewaktu kehamilan dan perkembangan pasien ketika anak-anak. Untuk masalah psikososial
juga tidak ada karena pasien mengatakan dia tidak ada masalah dalam bersosial, gembira
dengan hidup yang sebelumnya.3 Faktor yang dapat diperkirakan hanyalah dari
neurokimianya dimana pada tingkat transmisi sistem saraf pusat, produksi neurotransmitter
dopamine yang berlebihan dan sensitivitas yang berlebihan dari subtype reseptor
dopaminergic tertentu telah lama diduga menjadi perantara beberapa gejala dan kelainan
perilaku yang menjadi ciri skizofrenia. Namun, penelitian terbaru menunjukkan gambaran
yang jauh lebih kompleks dari disregulasi transmisi saraf pada skizofrenia yang melibatkan
banyak system, terutama serotonin dan glutamate, serta sejumlah molekul modulasi lainnya. 8-
9
Pasien juga seorang perokok berat. Ada bukti yang mengatakan bahwa ada hubungan antara
rokok tembakau dan gangguan spektrum skizofrenia (SSD). Dua meta-analisi telah
melaporkan bahwa orang yang merokok tembakau memiliki risiko kejadian skizofrenia tau
psikosis 2 kali lipat lebih tinggi, bahkan telah disesuaikan dengan faktor perancu.17
Untuk episode kedua terjadi pada Juli 2020 karena pasien putus obat selama 2
minggu. Gejala yang dialami awalnya adalah gelisah, mual muntah, tidak bias tidur dan nafsu
makan berkurang. Kemudian 3 hari sebelum kejadia terserempet dnegan kereta, pasien
mendengar bisikan bahwa ada orang mau membunuh dirnya, adik ipar dan ponakannya.
Pasien terserempet dengan kereta sewaktu ingin melintas rel karena pikiran waktu itu kosong
dan tidak mendengar orang panggil. Pasien keluar karen mau mencari adik ipar dan ponakan.
Setelah kejadian itu, pasien di rawat inap di RSUD Tarakan dan disana bisikan tetap ada
malah menyuruh pasien membunuh diri sendiri dengan terjun dari tingkat. Pasien skizofrenia

31
yang tidak teratur minum obat mengalami kekambuhan sebesar 74%, di antaranya
memerlukan rehospitalisasi sebasar 71%. Penelitian Kretchy mengenai “Psychological
burden and caregiver-reported non-adherence to psychotropic medications among patients
with schizophrenia” menyimpulkan bahwa ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi obat
antipsikotik berhubungan signifikan dengan beban keluarga dan kecemasan keluarga. Faktor
– faktor yang menyebabkan pasien tidak patuh minum obat diantaranya adalah, dukungan
dan kemampuan keluarga dalam rehabilitasi pasien, sedikit banyaknya kehidupan yang
menimbulkan stres dan tingkat keparahan gejala psikiatrik. 13,16 Tetapi pada pasien ini
dikarenakan keluarga pasien tidak mampu menyediakan obat dikarenakan dokter prakter
tutup karena pandemic.
Setelah onset pertama dan dengan meminum obat setiap hari, bisikan lama-lama
menghilang dan akhirnya pasien bisa menjalani kehidupan seperti sebelumnya yaitu
membantu orang tua berdagang. Ketika berdagang, pasien sangat cekap dalam menghitung
dan sangat peka terhadap urusan perdagangan dan dikatakan mempunyai ciri keperibadian
anankastic. Setelah onset pertama juga, fungsi sosialisasi dan kognitif pasien bisa kembali
seperti sebelumnya dan tidak empunyai penurunan. Hal ini mungkin karena kecerdasan
mereka pada bagian otak yang tidak diganggu dengan psikosis cenderung tetap utuh
berbanding tipe skizofrenia yang lain. Gejala skizofrenia terdapat gejala positif dan gejala
negative.3 Pada pasien ini, gejala positif ditunjukkan yaitu waham dan gangguan isi piker
serta halusinasi auditorik.
Untuk terapi, pasien ini mendapat Risperidon 2x2mg dan clozapine 1x25mg serta
psikoterapi. Awalnya pasien mendapat Haloperidol dan satu obat yang namanya lupa tetapi
dikarenakan pasien mengeluh ototnya tegang dan kaku dan obatnya ditukar kepada
risperidone dan clozapine. Pasien berkemungkinan mengalami gangguan ekstrapiramidal
yaitu dystonia otot, akathisia, sindrom Parkinson; tremor, bradykinesia, rigiditas) dikarenakan
efek samping obat antipsikotik generasi pertama. 11,12 Turunkan dosis antipsikotika.Bila gejala
psikotik tidak bisa diatasi dengan penurunan dosis antipsikotika atau bahkan memburuk,
hentikan obat dan ganti dengan golongan antispikotika generasi kedua terutama klozapin.
Terapi yang diperoleh pasien sudah sesuai dengan teori yaitu untuk terapi stabilisasi pasien
dikasi risperidone 2x2mg (2-8mg/hari) dan clozapine 1x25mg (150-600mg/hari).11 Terapi
farmakologi masih merupakan pilihan utama pada skizofrenia. Pilihan terapi pada skizofrenia
dipilih berdasarkan target gejala pada pasien skizofrenia. Tujuan pengobatan adalah untuk
mencegah bahaya pada pasien mengontrol perilaku pasien, dan untuk mengurangi gejala
psikotik pada pasien seperti agitasi, agresif, negatif simptom, positif simptom, serta gejala
afek. Selain diberikan obat-obat terapi medikamentosa pasien juga dilakukan terapi
nonmedikamentosa yaitu psikoterapi dan psikoedukasi yang dianjurkan setelah pasien tenang
dengan pemberian dukungan pada pasien dan keluarga agar mempercepat penyembuhan
pasien dan diperlukan rehabilitasi yang disesuaikan dengan psikiatrik serta minat dan bakat
penderita sehingga bisa dipilih metode yang sesuai untuk pasien tersebut.2
Prognosis penyakit ini adalah baik karena onset akut, premorbid social dan kerja
bagus sebelumnya, support system keluarga yang bagus, dan mempunyai gejala-gejala
positif.3

32
Daftar pustaka:
1. Barbato A. World Health Organization. Schizophrenia and public health. Geneva: Division
of Mental Health and Prevention of Substance Abuse World Health Organization; 2016.
2. Sari DD, Mayasari D, Graharti R. Skizofrenia paranoid pada laki-laki usia 45 tahun dengan
penatalaksanaan holistic kedokteran keluarga: laporan kasus. Majority Desember 2019; 8(2):
7-13.
3. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry: behavioural
sciences/ clinical psychiatry. Eleventh edition. New York: Wolters Kluwer;2015.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/73/2015.
Pedoman Nasional Pelayanan Keodkteran Jiwa. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia; 2015.
5. Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa: Skizofrenia paranoid. Cetakan kedua. Jakarta: PT
Nuh Jaya; 2013.
6. Hany M, Rehman B, Azhar Y, Chapman J. Schizophrenia. [Updated 2020 Apr 11]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPeerls Publishing; 2020 Jan. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539864/
7. Patel KR, Cherian J, Gohil K, Atkinson D. Schizophrenia: overview and treatment options.
P&T September 2014; 39(9): 638-45. PMID: 25210417
8. Institute of Medicine (US) Committee on Nervous System Disorders in Developing
Countries. Neurological, psychiatric and developmental disorders: meeting the challenge in
the developing world. Washington (DC): National Academies Press (US); 2001. 7,
Schizophrenia. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK223456/
9. Rahman T, Lauriello J. Schizophrenia: an overview. Focus (Am Psychiatr Publ) Summer
2016; 14(3): 300-7. doi: 10.1176/appi.focus.20160006
10. Stepnicki P, Kondej M, Kaczor AA. Current concepts and treatments of schizophrenia.
Molecules Augustus 2018; 23(8): 2087. doi: 10.3390/molecules23082087
11. Maslim R. Panduan praktis: penggunaan klinis obat psikotropik (psychotropic
medication). Cetakan keempat. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2014.
12. Kane JM, Correll CU. Pharmacologic treatment of schizophrenia. Dialogues Clin
Neurosci. Sep 2010; 12(3): 345-7. PMID: 20954430
13. Mubin MF, Livana PH. Hubungan kepatuhan minum obat dengan kekambuhan pasien
skizofrenia paranoid. Jurnal Farmasetis Mei 2019; 8(1): 21-4. e-ISSN 2549-8126
14. Naheed M, Akter KA, Tabassum F, Mawla R, Rahman M. Factors contributing the
outcome of schizophrenia in developing and developed countries: a brief review.
International Current Pharmaceutical Journal 2012; 1(4): 81-5.
http://www.icpjonline.com/documents/Vol1Issue4/05.pdf

33
15. Dewi R, Marchira CR. Riwayat gangguan jiwa pada keluarga dengan kekambuhan pasien
skizofrenia di RSUP DR Sardjito Yogyakarta. Berita Keodkteran Masyarakat Desesmebr
2009; 25(4): 176-9.
16. Kretchy IA, Osafo J, Agyemang SA, Appiah B, Nonvignon J. Psyschological burden and
caregiver-reported non-adherence to psychotropic medications among patients with
schizophrenia. Psychiatry Res Jan 2018; 259: 289-94.  doi: 10.1016/j.psychres.2017.10.034
17. Scott JG, Matuschka L, Niemela S, Miettunen J, Emmerson B, Mustonen A. Evidence of
a causal relationship between smoking tobacco and schizophrenia spectrum disorders. Front
Psychiatry November 2018; 9: 1-9. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2018.00607

34

Anda mungkin juga menyukai