IKTERUS NEONATORIM
Abd. Rahim Mubarak, Aripa Amril, Mutmainnah
Program Studi Ilmu Patologi Klinik FK-UNHAS / RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar
I. PENDAHULUAN
Peningkatan kadar biliribun serum (hiperbilirubinemia) merupakan
masalah yang sering dijumpai pada minggu pertama kehidupan. Keadaan ini
dapat terjadi sewaktu-waktu yang dapat hilang secara spontan akan tetapi
hiperbilirubinemia dapat berlanjut hingga mengancam jiwa. Lebih dari 85%
bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan
disebabkan oleh keadaan ini. Bayi dengan hiperbilirubinemia tampak kuning
akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna kuning pada sklera dan
kulit. 1–3
Tugas mengeluarkan bilirubin dari darah pada janin dilakukan oleh
plasenta. Setelah bayi lahir tugas ini diambil alih oleh hati dan memerlukan
waktu sampai beberapa minggu untuk penyesuaian. Setiap bayi yang
mengalami ikterus harus dapat dibedakan apakah ikterus yang terjadi
merupakan keadaan yang fisiologik atau non-fisiologik. Selain itu, perlu
dimonitor apakah keadaan tersebut memiliki kecenderungan untuk
berkembang menjadi hiperbilirubinemia berat yang memerlukan penanganan
yang optimal.1–3
II. EPIDEMIOLOGI
Kejadian ikterus neonatorum di Indonesia mencapai 50% bayi cukup
bulan dan kejadian ikterus neonatorum pada bayi kurang bulan (premature)
mencapai 58%. Rumah Sakit Dr. Sarditjo melaporkan kejadian ikterus
neonatorum pada bayi cukup bulan sebanyak 85% yang mana memiliki
kadar bilirubin di atas 5 mg/dl dan 23,80% memiliki kadar bilirubin di atas
13 mg/dl. Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang
melaporkan bahwa insiden ikterus fisiologis paling sering terjadi jika
dibandingkan ikterus patologis dengan angka kematian terkait hiperbilirubin
III. BILIRUBIN
Bilirubin berasal dari pemecahan heme akibat penghancuran sel darah
merah oleh sel retikuloendotelial. Biasanya kadar bilirubin lebih dari 3
mg/dL akan dapat menyebabkan ikterus. Ikterus mengindikasikan gangguan
metabolisme bilirubin, gangguan fungsi hati, penyakit bilier, atau gabungan
ketiganya.5
Metabolisme bilirubin dimulai oleh penghancuran eritrosit setelah
usia 120 hari oleh sistem retikuloendotelial menjadi heme dan globin.
Globin akan mengalami degradasi menjadi asam tidak terkonjugasi
(bilirubin indirek). Setelah dilepaskan ke plasma bilirubin tidak terkonjugasi
berikatan dengan albumin kemudian berdifusi ke dalam sel hati.5,6
Bilirubin tidak terkonjugasi dalam sel hati akan dikonjugasi oleh asam
glukuronat membentuk bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk), kemudian
dilepaskan ke saluran empedu dan saluran cerna, di dalam saluran cerna
bilirubin terkonjugasi dihidrolisis oleh bakteri usus β-glucuronidase,
sebagian menjadi urobilinogen yang keluar bersama feses (sterkobilin) dan
sebagian kecil diserap kembali oleh darah lalu dibawa ke hati (siklus
enterohepatik). Urobilinogen dapat larut dalam air, sehingga sebagian
dikeluarkan melalui ginjal.5,6
Pemeriksaan bilirubin di laboratorium terdiri dari pemeriksaan
bilirubin serum total, bilirubin serum direk, dan bilirubin serum indirek,
bilirubin urin dan produk turunannya seperti urobilinogen dan urobilin di
urin, serta sterkobilin dan sterkobilinogen di tinja. Apabila terdapat
IV. ETIOPATOGENESIS
Ikterus fisiologis pada umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan
kadar bilirubin tak terkonjugasi > 2 mg/dL pada minggu pertama. Pada bayi
cukup bulan yang diberi susu formula, kadar bilirubin akan mencapai
puncak sebesar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan
menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan lambat sebesar 1
mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi yang cukup bulan yang
mendapat ASI, kadar bilirubin puncak akan lebih tinggi yaitu 7-14 mg/dL
dan penurunannya terjadi lebih lambat, keadaan ini berlangsung selama 2-4
minggu bahkan dapat mencapai 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang
mendapat susu formula juga akan mengakibatkan peningkatan kadar
bilirubun yang lebih tinggi dan bertahan lebih lama apabila tidak diberikan
10 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
Breast milk Jaundice (Pregnanediol menghambat aktivitas enzim
glucoronil transferase)
3. Peningkatan reabsorpsi enterohepatik
• Breast Feeding Jaundice (terjadinya dehidrasi karena suplai ASI
yang tidak mencukupi)
• Sumbatan usus
• Tidak ada makanan yang masuk ke pencernaan.
Metode Pengukuran Bilirubin
Pengukuran bilirubin transkutan (TcB) memberikan informasi yang
lebih akurat daripada penilaian klinis. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
melalui yang mengukur jumlah warna kuning di jaringan subkutan,
mengubahnya menjadi perkiraan kadar bilirubin serum total. Ini adalah
tes non-invasif yang dapat dilakukan di samping tempat tidur, dan
dengan demikian dapat menjadi alat skrining yang berguna untuk
menentukan apakah pengukuran serum diperlukan. (Gambar 3).
11 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
Skrining
American Academy of Pediatrics merekomendasikan skrining
universal dengan kadar TSB dan TcB atau dengan skrining berdasarkan
skoring faktor risiko (gambar 4). Skrining TSB dan TcB secara universal
dapat secara akurat mengidentifikasi bayi yang kadar TSB-nya melebihi 95
persentil sesuai dengan usianya (Gambar 5 dan 6). Beberapa penelitian telah
mengemukakan penggunaan skoring faktor risiko (gambar 4) sama
akuratnya dengan skrining universal dalam memprediksi hiperbilirubinemia.
Kombinasi ini menjadi metode skrining paling efektif untuk
mengidentifikasi bayi yang berisiko hiperbilirubinemia. Pengukuran pertama
serum bilirubin harus dilakukan antara 24-72 jam kehidupan, atau lebih awal
jika ikterus terlihat. Nilai skrining awal ini diplot pada nomogram prediktif
yang menentukan risiko dan menentukan tindakan yang direkomendasikan
berdasarkan zona risiko, usia kehamilan, dan faktor risiko yang mendasari
hiperbilirubinemia1,8,9
12 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
Gambar 5. nomogram untuk menentukan risiko dari 2.840 bayi baru lahir dengan usia
gestasi ≥ 36 minggu dan berat lahir ≥ 2.000 gram / usia gestasi ≥ 35 minggu dengan
berat lahir ≥ 2.500 gram berdasarkan nilai spesifik serum bilirubin menurut jam8,12,13
13 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
dilakukan. Secara keseluruhan, informasi ini membantu merumuskan
diagnosis banding, yang menjadi dasar penyelidikan lebih lanjut. 1,8
14 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
Gambar 7. Fototerapi pada bayi
15 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
progresif dan peningkatan kadar bilirubin serum> 0,5 mg/dL / jam.
Kadang-kadang tranfusi tukar untuk kasus hemolisis dapat dihindari
dengan menggunakan imunoglobulin intravena dosis tinggi. Indikasi
transfusi tukar pada hiperbilirubinemia adalah: (1) kadar bilirubin > 15
mg/dL selama lebih dari 48 jam, (2) indeks saturasi salisilat > 8,0 dan
HABA mengikat 3,7, dan (4) rasio kadar bilirubin serum dibanding
kadar protein total serum > 0,7. 15,16
16 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
ikterus. Fenobarbital tidak disarankan untuk terapi
biperbilirubinemia indirek, namun dapat diberikan pada beberapa
kasus seperti ikterus berkepanjangan pada sindrom Gilbert.
3. Metaloporfirin
Metaloporfirin sintetis seperti metaporforin dapat mengurangi
produksi bilirubin dengan cara berkompetisi dengan heme oxigenase.
Sebuah penelitian menunjukkan bayi dengan defisiensi G6DP yang
diberikan metaloporfirin tidak membutuhkan fototerapi
dibandingkan dengan kontrol.
D. Fisioterapi12
Untuk bayi yang sudah mengalami cacat kadar bilirubin terlalu
tinggi, pengobatan diarahkan pada fisioterapi untuk memperbaiki
kekakuan otot dan gerakan serta stimulasi untuk mengoptimalkan fungsi
intelek (kognitif). Dengan cara ini diharapkan kemampuan anak menjadi
normal.
X. PROGNOSA
Penalaksanaan yang baik akan memberikan prognosis yang sangat
baik. Pada mereka yang pengobatannya tertunda, kerusakan otak merupakan
komplikasi utama.17
XI. RINGKASAN
Ikterus neonatorum merupakan penyakit yang sering terjadi pada
masa awal kelahiran, keadaan ini dapat berlangsung secara fisiologis
maupun patologis. Pada kondisi berat, hiperbulirubinemia dapat berakhir
dengan kerusakan otak bahkan menyebabkan kematian. Peningkatan
bilirubin dapat disebabkan oleh adanya gangguan yang terjadi pada proses
absorbsi, konjugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorbsi bilirubin itu
sendiri dimana proses ini berlangsung sangat panjang pada neonatus.
Manifestasi klinis dapat berlangsung tanpa gejala pada ikterus fisiologis
sedangkan pada ikterus patologis dapat menyebabkan gejala ringan hingga
menyebabkan kerusakan SSP. Pemeriksaan laboratorium bilirubin umumnya
digunakan untuk membedakan gangguan akibat masalah pada pre hepatik,
17 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
intra dan pasca hepatik. Pemeriksaan bilirubin dapat berupa pengamatan
fisis dengan mengikuti kaidah krammer, skoring resiko hyperbilirubinemia,
pemeriksaan bilirubin dengan bilirubinometer transkutan dan pemeriksaan
bilirubin serum total. Pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan sesuai
dengan arah kecurigaan penyebab hyperbilirubinemia. Penatalaksanaan
penyakit ini dapat berupa fototerapi, transfuse tukar, medikamentosa hingga
fisioterapi khususnya pada ikterus dengan keterlibatan SSP. Prognosis
sangat baik jika mendapatkan penatalaksanaan yang baik pula.
18 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
ALGORITMA SKRINING IKTERUS NEONATORUM
19 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
Jaundice Klinis
Ukur T
Bilirirubin
TB > 12 mg/dL, Bayi usia >24 jam TB > 12 mg/dL, Bayi usia <24 jam
Uji Coomb’s
Ikuti Kadar Bilirubin
Negatif Positif
Direct Bilirubin
Kenali antibodi, Rh, ABO,
dll.
>2 mg/dL < 2 mg/dL
Hematokrit
Normal / Pertimbangkan:
High Rendah Hepatitis, Intrauterine, viral or
Toxoplasmatic inections,
Sumbatan Biliaris, sepsis,
galaktosemia, kolestasis,
Polisitemia
TIDAK NORMAL
Sferositosis, Eliptosit dll,
Ketidak sesuaian ABO,
Defisiensi Enzim Eri,
Talasemia alfa, Obat-obatan
NORMAL (mis. Penicillin)
Perdarahan tertutup, Sirkulasi
Enterohepatik ASI, Hipotiroid,
Sindrom Crigler-Najjar, Bayi dari Ibu
Diabetik, Sindrom Gangguan
Pernapasan (RDS), Asfiksia, Infeksi,
Obat-obatan (mis. Novobiocin,
Galaktosemia
DAFTAR PUSTAKA
20 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
1. Mathindas S, Wilar R, Wahani A. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. J
Biomedik. 2013;5(1).
2. IDAI U-G-H. Ikterus Neonatorum. In: Dr. Mohammad Juffrie, SpAK P.,
editor. 1st ed. 2009. p. 269–94.
3. A S. Buku ajar neonatologi. 1st ed. Kosim MS, Yunanto A DR, Sarosa GI
UA, editors. Jakarta: IDAI; 2008. 147–149 p.
4. Puspita N. The Effect of Low Birthweight on the Incidence of Neonatal
Jaundice in Sidoarjo. J Berk Epidemiol. 2018;6(2):174.
5. Rosida A. Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Hati. Berk Kedokt
[Internet]. 2016 May 2 [cited 2021 Apr 10];12(1):123. Available from:
https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/jbk/article/view/364
6. Bilirubin Metabolism Pathway [Internet]. 2014 [cited 2021 Apr 10].
Available from:
https://biorainbows.tumblr.com/post/85211843044/usmlenotes-bilirubin-
metabolism-pathway-to
7. Howie RN, Prasetyo D, Sakit DR, Jenderal D, Pelayanan B, García Reyes
LE, et al. Rasio Bilirubin Albumin pada Neonatus dengan
Hiperbilirubinemia. J Chem Inf Model [Internet]. 2013 [cited 2021 Apr
6];10(1):40. Available from:
http://www.hkki.org/uploads/20170730083408.Marzuki_2017_MS_HKKI
_Neonatal_Jaundice_v2_HO_Copy.pdf
8. Amanda Yaworski AVM and EW. Neonatal hyperbilirubinemia |
McMaster Pathophysiology Review [Internet]. [cited 2021 Apr 8].
Available from: http://www.pathophys.org/neonatal-hyperbilirubinemia/
9. Muchowski KE. Evaluation and treatment of neonatal hyperbilirubinemia.
Am Fam Physician [Internet]. 2014 Jun 1 [cited 2021 Apr 12];89(11):873–
8. Available from:
www.aafp.org/afpAmericanFamilyPhysician873http://www.aafp.org/afp/20
10/0815/p336.html.http://familydoctor.org/familydoctor/en/diseases-
conditions/jaundice.html.
10. Suryaatmadja M. Neonatal Jaundice - Laboratory Aspects [Internet]. 2017.
Available from:
http://www.hkki.org/uploads/20170730083408.Marzuki_2017_MS_HKKI
_Neonatal_Jaundice_v2_HO_Copy.pdf
11. Jaundice Meter | JM-105 | Medical Equipment and devices for hospitals or
institutions. | TradeMed [Internet]. [cited 2021 Apr 12]. Available from:
https://www.trademed.com/products/1783/Jaundice-Meter.html
12. Sakit DR, Jenderal D, Pelayanan B. BUKU PANDUAN Tatalaksana Bayi
Baru Lahir. 2010;1–21.
13. PEDIATRICS AAO. Management of hyperbilirubinemia in the newborn
infant 35 or more weeks of gestation. Vol. 114, Pediatrics. 2004. 297–316
p.
14. Petzold T, Feindt P, Sunderdiek U, Boeken U, Fischer Y, Gams E. Heart-
type fatty acid binding protein (hFABP) in the diagnosis of myocardial
damage in coronary artery bypass grafting. Eur J Cardio-thoracic Surg.
2001;19(6):859–64.
21 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
15. Ali R, Ahmed S, Qadir M, Ahmad K. Icterus neonatorum in near-term and
term infants an overview [Internet]. Vol. 12, Sultan Qaboos University
Medical Journal. Sultan Qaboos University; 2012 [cited 2021 Apr 9]. p.
153–60. Available from: /pmc/articles/PMC3327561/
16. (JNPK-KR) NCTN, (IDAI) the IPS, (POGI) the IS of O and G. Pelayanan
Obstetri Dan Neonatal Emergensi Komprehensif ( Ponek ) [Internet]. 2008
[cited 2021 Apr 10]. 228 p. Available from:
http://opac.lib.ugm.ac.id/index.php?
mod=book_detail&sub=BookDetail&act=view&typ=htmlext&buku_id=79
8084&obyek_id=1
17. Ansong-Assoku B, Ankola PA. Neonatal Jaundice - StatPearls - NCBI
Bookshelf [Internet]. 2018 [cited 2021 Apr 8]. p. 15. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532930/
22 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m