Anda di halaman 1dari 22

Kepada Yth:

Rencana presentasi: Referat Kimia


Tempat:
Klinik

IKTERUS NEONATORIM
Abd. Rahim Mubarak, Aripa Amril, Mutmainnah
Program Studi Ilmu Patologi Klinik FK-UNHAS / RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar

I. PENDAHULUAN
Peningkatan kadar biliribun serum (hiperbilirubinemia) merupakan
masalah yang sering dijumpai pada minggu pertama kehidupan. Keadaan ini
dapat terjadi sewaktu-waktu yang dapat hilang secara spontan akan tetapi
hiperbilirubinemia dapat berlanjut hingga mengancam jiwa. Lebih dari 85%
bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan
disebabkan oleh keadaan ini. Bayi dengan hiperbilirubinemia tampak kuning
akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna kuning pada sklera dan
kulit. 1–3
Tugas mengeluarkan bilirubin dari darah pada janin dilakukan oleh
plasenta. Setelah bayi lahir tugas ini diambil alih oleh hati dan memerlukan
waktu sampai beberapa minggu untuk penyesuaian. Setiap bayi yang
mengalami ikterus harus dapat dibedakan apakah ikterus yang terjadi
merupakan keadaan yang fisiologik atau non-fisiologik. Selain itu, perlu
dimonitor apakah keadaan tersebut memiliki kecenderungan untuk
berkembang menjadi hiperbilirubinemia berat yang memerlukan penanganan
yang optimal.1–3

II. EPIDEMIOLOGI
Kejadian ikterus neonatorum di Indonesia mencapai 50% bayi cukup
bulan dan kejadian ikterus neonatorum pada bayi kurang bulan (premature)
mencapai 58%. Rumah Sakit Dr. Sarditjo melaporkan kejadian ikterus
neonatorum pada bayi cukup bulan sebanyak 85% yang mana memiliki
kadar bilirubin di atas 5 mg/dl dan 23,80% memiliki kadar bilirubin di atas
13 mg/dl. Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang
melaporkan bahwa insiden ikterus fisiologis paling sering terjadi jika
dibandingkan ikterus patologis dengan angka kematian terkait hiperbilirubin

1|Referat Ikterus Neonatorum


sebesar 13,10%. Insiden ikterus neonatorum di Rumah Sakit Dr. Soetomo
Surabaya sebesar 13% dan 30% pada tahun 2013. Penelitian di RSUD Dr.
Adjidarmo angka kejadian bayi ikterus neonaotum tahun 2013 yaitu 4,77%.
Angka kejadian ikterus neonatorum tahun 2014 yaitu 11,87%. Berdasarkan
data registrasi Neonatologi bulan Desember 2014 sampai November 2015,
di antara 1093 kasus neonatus yang dirawat, didapatkan 165 (15,09%) kasus
dengan ikterus neonatorum4

III. BILIRUBIN
Bilirubin berasal dari pemecahan heme akibat penghancuran sel darah
merah oleh sel retikuloendotelial. Biasanya kadar bilirubin lebih dari 3
mg/dL akan dapat menyebabkan ikterus. Ikterus mengindikasikan gangguan
metabolisme bilirubin, gangguan fungsi hati, penyakit bilier, atau gabungan
ketiganya.5
Metabolisme bilirubin dimulai oleh penghancuran eritrosit setelah
usia 120 hari oleh sistem retikuloendotelial menjadi heme dan globin.
Globin akan mengalami degradasi menjadi asam tidak terkonjugasi
(bilirubin indirek). Setelah dilepaskan ke plasma bilirubin tidak terkonjugasi
berikatan dengan albumin kemudian berdifusi ke dalam sel hati.5,6
Bilirubin tidak terkonjugasi dalam sel hati akan dikonjugasi oleh asam
glukuronat membentuk bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk), kemudian
dilepaskan ke saluran empedu dan saluran cerna, di dalam saluran cerna
bilirubin terkonjugasi dihidrolisis oleh bakteri usus β-glucuronidase,
sebagian menjadi urobilinogen yang keluar bersama feses (sterkobilin) dan
sebagian kecil diserap kembali oleh darah lalu dibawa ke hati (siklus
enterohepatik). Urobilinogen dapat larut dalam air, sehingga sebagian
dikeluarkan melalui ginjal.5,6
Pemeriksaan bilirubin di laboratorium terdiri dari pemeriksaan
bilirubin serum total, bilirubin serum direk, dan bilirubin serum indirek,
bilirubin urin dan produk turunannya seperti urobilinogen dan urobilin di
urin, serta sterkobilin dan sterkobilinogen di tinja. Apabila terdapat

2|Referat Ikterus Neonatorum


gangguan fungsi eksresi bilirubin maka kadar bilirubin serum total
meningkat. Kadar bilirubin serum yang meningkat dapat menyebabkan
ikterik. 5
Penyebab ikterus berdasarkan tempat dapat diklasifikasikan menjadi;
prehepatik, hepatik dan pasca hepatik (kolestatik). Peningkatan bilirubin
prehepatik sering disebabkan karena penghancuran sel darah merah
berlebihan. Bilirubin tidak terkonjugasi di darah tinggi sedangkan serum
transaminase dan alkali fosfatase normal sehingga di urin tidak ditemukan
bilirubin.5
Peningkatan bilirubin akibat kelainan hepatik berkaitan dengan
penurunan kecepatan penyerapan bilirubin oleh sel hati misalnya pada
sindrom Gilbert, gangguan konjugasi bilirubin karena kekurangan atau tidak
adanya enzim glukoronil transferase misalnya karena obat-obatan atau
sindrom Crigler-Najjar. Enzim hati akan meningkat sesuai penyakit yang
mendasarinya dan biasanya ikterus akan berlangsung cepat. Peningkatan
bilirubin pasca hepatik terjadi akibat kegagalan sel hati mengeluarkan
bilirubin terkonjugasi ke dalam saluran empedu karena rusaknya sel hati
atau terdapat obstruksi saluran empedu di dalam hati atau di luar hati.5

IV. ETIOPATOGENESIS
Ikterus fisiologis pada umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan
kadar bilirubin tak terkonjugasi > 2 mg/dL pada minggu pertama. Pada bayi
cukup bulan yang diberi susu formula, kadar bilirubin akan mencapai
puncak sebesar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan
menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan lambat sebesar 1
mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi yang cukup bulan yang
mendapat ASI, kadar bilirubin puncak akan lebih tinggi yaitu 7-14 mg/dL
dan penurunannya terjadi lebih lambat, keadaan ini berlangsung selama 2-4
minggu bahkan dapat mencapai 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang
mendapat susu formula juga akan mengakibatkan peningkatan kadar
bilirubun yang lebih tinggi dan bertahan lebih lama apabila tidak diberikan

3|Referat Ikterus Neonatorum


pencegahan dan terapi. Peningkatan kadar billirubin sampai 10-12 mg/dL
masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL jika tanpa disertai
kelainan metabolisme bilirubin. 1,7
Fenomena ikterus ini bersifat ringan dan dapat membaik tanpa
pengobatan. Ikterus fisiologis tidak disebabkan oleh faktor tunggal tetapi
kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan kematangan
fisiologis bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi
dalam sirkulasi bayi baru lahir yang disebabkan oleh kombinasi peningkatan
produksi bilirubin dan penurunan klirens bilirubin. 1,7
Tabel 1. Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologik1

Ikterus Non-Fisiologis dahulu dikenal sebagai ikterus patologis dan sulit


dibedakan dengan ikterus fisiologik. Terdapatnya hal-hal di bawah ini
merupakan petunjuk untuk melakukan tindak lanjut pada bayi
hiperbilirubinemia yaitu:
 Apabila ikterus terjadi sebelum usia 24 jam
 Apabila terjadi peningkatan kadar bilirubin serum yang mengindikasikan
fototerapi
 Apabila terjadi peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dL /
jam
 Adanya gejala perburukan pada bayi (muntah, letargis, malas menetek,
penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak
stabil)
 Ikterus berlangsung lebih dari delapan hari pada bayi cukup bulan atau
lebih dari 14 hari pada bayi kurang bulan. 1,7

4|Referat Ikterus Neonatorum


Proses pembentukan bilirubin dimulai dari perombakan hemoglobin
pada eritrosit, masa hidup eritrosit manusia sekitar 120 hari dan pada orang
dewasa setiap jam mengalami lisis yang diikuti dengan lisisnya hemoglobin.
Terjadi lisis hemoglobin sebesar sekitar 6 mg/hari, sel eritrosit tua akan
dikeluarkan dari sistem sirkulasi kemudian dihancurkan oleh limpa.

Gambar 1. Metabolisme bilirubin6

Apoprotein dari hemoglobin dihidrolisis menjadi komponen asam-


asam amino. Katabolisme heme dari semua hemeprotein terjadi dalam fraksi
mikrosom sel retikuloendotel oleh sistem enzim kompleks yaitu heme
oksigenase yang merupakan enzim dari sitokrom. Pemecahan gugus heme
yaitu pemutusan jembatan metena membentuk biliverdin yang merupakan
suatu tetrapirol linier. Biliverdin merupakan suatu pigmen berwarna hijau
yang akan direduksi oleh biliverdin reduktase. Rantai metinil pada biliverdin
akan diubah menjadi rantai metilen antara cincin pirol III–IV menggunakan
Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH) dan membentuk

5|Referat Ikterus Neonatorum


pigmen berwarna kuning. Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik ini
kemudian diangkut ke dalam plasma dan terikat erat pada albumin. Bila
terjadi gangguan pada ikatan bilirubin tak terkonjugasi baik oleh faktor
endogen maupun eksogen (misalnya obat-obatan), bilirubin yang bebas
dapat melewati membran yang mengandung lemak (double lipid layer),
termasuk sawar darah otak, yang dapat mengarah ke neurotoksisitas. 1,7
Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit,
dimana bilirubin terikat ke ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan
meningkat sejalan dengan terjadinya peningkatan konsentrasi. Konsentrasi
ligandin yang paling rendah ditemukan pada saat lahir namun akan
meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan.1,7
Bilirubin terikat dengan asam glukuronat di retikulum endoplasmik
melalui reaksi yang dikatalisis oleh Uridin Difosfoglukuronil Transferase
(UDPGT). Konjugasi bilirubin mengubah molekul bilirubin yang tidak larut
air menjadi molekul yang larut air. Setelah diekskresikan kedalam empedu
dan masuk ke usus, bilirubin direduksi dan menjadi tetrapirol yang tak
berwarna oleh mikroba di usus besar. Sebagian dekonjugasi terjadi di dalam
usus kecil melalui kerja B-glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi ini
dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga
meningkatkan bilirubin total plasma. Siklus absorbsi, konjugasi, ekskresi,
dekonjugasi, dan reabsorbsi ini disebut sirkulasi enterohepatik. Proses ini
berlangsung sangat panjang pada neonatus, karena asupan gizi yang terbatas
pada hari-hari pertama kehidupan.1,7
V. MANIFESTASI KLINIS
Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya tetapi kadar
bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (Kern
icterus). Gejala klinis yang tampak berupa rasa kantuk, tidak kuat
menghisap ASI/ susu formula, muntah, opistotonus, bola mata berputar-
putar keatas, kejang, dan paling berat bisa menyebabkan kematian. Efek
jangka panjang Kern icterus adalah retardasi mental, kelumpuhan serebral,
tuli, dan bola mata tidak dapat digerakkan ke atas.1,8

6|Referat Ikterus Neonatorum


Secara umum tidak ada bayi yang ikterus sejak lahir, walaupun dapat
timbul segera setelahnya. Hampir semua bayi mengalami peningkatan kadar
bilirubin serum (>1,4 mg/dL). Dengan meningkatnya kadar bilirubin serum,
kulit menjadi lebih ikterik dengan urutan sefalo-kaudal. Mula-mula ikterus
tampak di kepala kemudian bergerak ke arah kaudal ke telapak tangan dan
telapak kaki. Krammer menggunakan kadar bilirubin indirek serum sebagai
penanda fisik perkembangan hiperilirubinemia pada bayi yaitu; kepala dan
leher = 4-6 mg/dL, tubuh sebelah atas = 6-8 mg/dL, tubuh sebelah bawah
dan paha = 8-12 mg/dL, lengan dan tungkai bawah = 12-14 mg/dL, telapak
tangan dan telapak kaki jika >15 mg/dL, walaupun demikian jika kadar
bilirubin >15 mg/dL, seluruh tubuh akan ikterik (gambar 2).

Gambar 2. Derajat ikterus menurut Krammer9

Pemeriksaan fisis untuk melihat adanya ikterus adalah dengan


menekan kulit secara hati-hati dengan jari dibawah penerangan yang cukup.
Melalui pemeriksaan ini didapatkan setidaknya 1/3 bayi akan tampak
kuning. Kombinasi analisis pada beberapa penelitian besar yang melibatkan
ribuan bayi berusia 1 minggu menunjukan bahwa ikterus moderat (kadar
bilirubin <12 mg/dL) tampak pada sekitar 12% bayi-bayi yang mendapatkan
ASI dan 4% bayi yang mendapat susu formula, ikterus berat (kadar bilirubin
>15 mg/dL) tampak pada 2% bayi yang mendapatkan ASI dan 0,3% bayi
yang mendapat susu formula.

7|Referat Ikterus Neonatorum


Penilaian Hiperbilirubinemia berdasarkan penampilan kulit tidak
terlalu sensitif terutama pada bayi yang berkulit gelap oleh karena itu
bilirubin serum harus diukur untuk menilai hiperbilirubinemia. 1,8
Bayi tidak menunjukkan gejala klinis pada hiperbilirubinemia ringan,
akan tetapi pada kadar yang lebih tinggi dapat muncul tanda dan gejala
toksisitas saraf tergantung sejauh mana sistem saraf pusat (SSP)
terpengaruh. Albumin akan mengikat bilirubin tak terkonjugasi dalam darah,
dan akan berbahaya jika kadar bilirubin melebihi kapasitas albumin.
Bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih dan tak terikat albumin akan larut
dalam lemak dan melewati sawar darah otak, menyebabkan kerusakan
neuron. Hal tersebut mengakibatkan kerusakan terutama pada ganglia
basalis dan juga saraf kranial, jalur pendengaran dan visual sentral dan
perifer, hipokampus, diencephalon, nukleus subthalamic, otak tengah dan
serebelum. 1,8
Ensefalopati bilirubin akut (ABE) berkembang pada saat terjadinya
hiperbilirubinemia berat. Pada tahap awal ABE, bayi menunjukkan rasa
kantuk, hipotonia ringan, dan daya isap yang buruk. Teriakan bernada tinggi
terdengar. Jika tidak diobati, pasien dapat jatuh dalam kondisi pingsan atau
koma yang dalam, kejang, apnea, dan tonus meningkat (retrocollis-
opisthotonus [lengkungan ekstrem pada leher dan punggung]). 1,8
Kernicterus merupakan efek jangka panjang dari toksisitas bilirubin.
Istilah ini awalnya digunakan untuk menggambarkan temuan histologis
pewarnaan bilirubin pada ganglia basal, yang biasanya terjadi pada kadar
bilirubin total 7.6 - 9.2 mg/dL, tetapi belakangan ini digunakan juga sebagai
sinonim untuk ensefalopati bilirubin kronis. Gejala kernikterus termasuk
dystonia, choreoathetoid cerebral palsy, kelainan pandangan, dan gangguan
pendengaran sensorineural. Gejala ini biasanya berkembang selama tahun
pertama setelah lahir. 1,8

VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

8|Referat Ikterus Neonatorum


Prinsip pemeriksaan laboratorium pada ikterus neonatorum adalah
membedakan ikterus akibat hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan tak
terkonjugasi atau kedua-duanya, hiperbilirubinemia terkonjugasi
berhubungan dengan ikterus prehepatik (hemolitik), sedangkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi berhubungan dengan ikterus hepatik dan
posthepatik. Selanjutnya untuk membedakan antara ikterus hepatik dengan
posthepatik diperlukan pemeriksaan laboratorium tambahan dan
10
pemeriksaan penunjang.
Nilai rujukan normal pemeriksaan bilirubin pada manusia yaitu: 10
 Darah: Bilirubin Total < 1.0 (1.5) mg/dL,
 Bilirubin Direct (conjugated) < 0.3 mg/dL
 Bilirubin Indirect (unconjugated) 0.3 – 0.7 (1.0) mg/dL
 Urin: Bilirubin negatif, urobilinogen positif, urobilin positif
 Feses: Urobilinogen & stercobilin positif
Nilai Rujukan-ikterus pada manusia dewasa adalah bilirubin total > 2.5
mg/dL dan terdapat metabolit lainnya bervariasi tergantung pada jenis
jaundice. 10
Ikterus terlihat secara nyata pada manusia dewasa apabila bilirubin
darah > 2 mg/dL (sklera) sedangkan pada neonatus > 5 mg/dL yang dapat
dilihat pada kulit. Keadaan umum bayi tampak sehat pada ikterus
neonatorum fisiologis, tidak terdapat kecurigaan adanya tanda-tanda
hemolisis, perdarahan atau kelainan metabolik lain, kadar bilirubin
biasanya < 12 mg/dL yang dapat terlihat di hari ke-3 pada
bayi aterm dan hari ke-5 pada preterm. Peningkatan bilirubin tidak melebihi
15 mg/dL dan secara klinis tidak terdeteksi lagi setelah 14 hari. Pada kasus
ini bayi tidak memerlukan pengobatan tetapi bayi perlu diawasi ketat
terhadap tanda-tanda perburukan. 10
Keadaan hiperbilirubinemia fisiologis pada neonatus umumnya
karena metabolisme bilirubin masih belum sempurna, disamping itu
keadaan polisitemia fisiologis dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pada
hari-hari pertama kelahiran. Metabolisme bilirubin tidak berlangsung

9|Referat Ikterus Neonatorum


sempurna dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; kurangnya ambilan
(uptake) dari plasma kedalam sel hati, gangguan konjugasi, penurunan
ekskresi bilirubin dan peningkatan sirkulasi enterohepatik. 10
Pada keadaan ikterus patologis, keadaan ikterus muncul sebelum usia
24 jam, dapat terjadi peningkatan bilirubin >5 mg/dL/hari, bilirubin total
serum > 15 mg/dL, Ikterus tetap ada setelah 14 hari, feses berwarna dempul
(clay)/ putih dan disertai bilirubin direct > 2 mg/dL. 10
Pemeriksaan laboratorium ikterus neonatorum patologis bergantung
kepada kondisi klinis dan kecurigaan terhadap kemungkinan penyebab
terjadinya hiperbilirubinemia seperti:10
1. Lisis eritrosit (peningkatan pelepasan hemoglobin), misalnya pada
inkompatibiltas golongan darah Rh, ABO dan grup gologan darah
minor lain) untuk itu diperlukan pemeriksaan lanjutan berupa Coomb’s
Test. Lisis eritrosit juga terjadi akibat defek enzim eritrosit (G6PD
deficiency, pyruvate kinase deficiency) sehingga diperlukan
pemeriksaan enzim G6PD dan pyruvate kinase. Selain itu lisis juga
dapat terjadi abmnormalitas struktur eritrosit herditer (hereditary
spherocytosis, elliptocytosis) yang dapat dievaluasi melalui apusan
darah tepi, infeksi (sepsis, infeksi saluran kemih), Sekuestrasi darah
(misalnya; cephalohematoma, bruising, intracranial hemorrhage), serta
polisitemia dan pemendekan usia eritrosit.
2. Penurunan uptake dan konjugasi bilirubin hepatik dapat terjadi pada:
 Aktivitas imatur pada semua bayi baru lahir: bayi cukup bulan
memiliki 1% aktivitas glukuronil transferase dewasa, bayi prematur
0,1%.
 Sindrom Gilbert
 Crigler Najjar Syndrome (Non-hemolytic Unconjugated
Hyperbilirubinemia): cacat konjugasi bawaan (sangat jarang)
 Stenosis pilorus (mekanismenya tidak diketahui)
 Hipotiroidisme
 Bayi dari Ibu diabetik (dapat juga menyebabkan polisitemia)

10 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
 Breast milk Jaundice (Pregnanediol menghambat aktivitas enzim
glucoronil transferase)
3. Peningkatan reabsorpsi enterohepatik
• Breast Feeding Jaundice (terjadinya dehidrasi karena suplai ASI
yang tidak mencukupi)
• Sumbatan usus
• Tidak ada makanan yang masuk ke pencernaan.
Metode Pengukuran Bilirubin
 Pengukuran bilirubin transkutan (TcB) memberikan informasi yang
lebih akurat daripada penilaian klinis. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
melalui yang mengukur jumlah warna kuning di jaringan subkutan,
mengubahnya menjadi perkiraan kadar bilirubin serum total. Ini adalah
tes non-invasif yang dapat dilakukan di samping tempat tidur, dan
dengan demikian dapat menjadi alat skrining yang berguna untuk
menentukan apakah pengukuran serum diperlukan. (Gambar 3).

Gambar 3. Penggunaan bilirubinometer transkutan 11

 Pengukuran total serum bilirubin (TSB) adalah metode terbaik


dalam memprediksi hiperbilirubinemia berat. Pemeriksaan dilalukan
pada waktu tertentu dan berkala, diplot dan dianalisis pada nomogram
berdasarkan usia kehamilan bayi dan faktor risiko.
 Darah tali pusat TSB juga dapat diukur, dan harus dikirim untuk
evaluasi saat lahir jika ibu tidak dites golongan darah ABO dan Rh. 1,8

11 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
Skrining
American Academy of Pediatrics merekomendasikan skrining
universal dengan kadar TSB dan TcB atau dengan skrining berdasarkan
skoring faktor risiko (gambar 4). Skrining TSB dan TcB secara universal
dapat secara akurat mengidentifikasi bayi yang kadar TSB-nya melebihi 95
persentil sesuai dengan usianya (Gambar 5 dan 6). Beberapa penelitian telah
mengemukakan penggunaan skoring faktor risiko (gambar 4) sama
akuratnya dengan skrining universal dalam memprediksi hiperbilirubinemia.
Kombinasi ini menjadi metode skrining paling efektif untuk
mengidentifikasi bayi yang berisiko hiperbilirubinemia. Pengukuran pertama
serum bilirubin harus dilakukan antara 24-72 jam kehidupan, atau lebih awal
jika ikterus terlihat. Nilai skrining awal ini diplot pada nomogram prediktif
yang menentukan risiko dan menentukan tindakan yang direkomendasikan
berdasarkan zona risiko, usia kehamilan, dan faktor risiko yang mendasari
hiperbilirubinemia1,8,9

Gambar 4. Skor risiko pada hyperbilirubinemia neonatal9

12 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
Gambar 5. nomogram untuk menentukan risiko dari 2.840 bayi baru lahir dengan usia
gestasi ≥ 36 minggu dan berat lahir ≥ 2.000 gram / usia gestasi ≥ 35 minggu dengan
berat lahir ≥ 2.500 gram berdasarkan nilai spesifik serum bilirubin menurut jam8,12,13

Bilirubin serum kemudian diplot pada nomogram untuk menentukan


kelompok risiko dan juga digunakan sebagai dasar untuk memulai fototerapi
(Gambar 5). Pada nomogram ini, ambang pengobatan bergantung pada usia
kehamilan dan faktor risiko. 1,8

Gambar 6. Nomogram bilirubin transkutan (TcB) untuk menilai risiko9

Pada bayi yang mengalami penyakit kuning, bilirubin total dan


terkonjugasi harus diukur melalui sampel darah kapiler atau vena.
Seringkali, hitung darah lengkap (CBC) juga diperoleh untuk mengevaluasi
hematokrit dan hemoglobin. Riwayat mendetail, termasuk riwayat keluarga,
antenatal dan kelahiran, serta pemeriksaan fisik secara menyeluruh harus

13 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
dilakukan. Secara keseluruhan, informasi ini membantu merumuskan
diagnosis banding, yang menjadi dasar penyelidikan lebih lanjut. 1,8

VII. DIAGNOSA BANDING14


a. Hiperbilirubinemia ASI
b. Kolestasis
c. Sindrom Dubin-Johnson
d. Galactose-1-Phosphate Uridyltransferase Deficiency (Galactosemia)
e. Penyakit Hemolitik pada Bayi Baru Lahir
f. Hepatitis B
g. Atresia Biliaris Pediatrik
h. Infeksi Cytomegalovirus Pediatrik
i. Atresia Duodenal Anak
j. Hipotiroidisme Pediatrik
VIII. PENCEGAHAN8
a. Dokumentasi golongan darah ibu
b. Evaluasi risiko ikterus
c. Segera lakukan fototerapi pada bayi yang terlihat ikterus berat
d. Pemeriksaan bilirubin sebelum pulang
e. Skrining Defisiensi G6DP
f. Pemberian ASI yang adekuat
g. Edukasi tentang ikterus pada orang tua.
IX. PENATALAKSANAAN
A. Fototerapi
Fototerapi adalah pengobatan standar untuk hiperbilirubinemia.
Fototerapi merupakan tindakan penyinaran kulit bayi terhadap cahaya
biru sampai hijau dengan panjang gelombang 400 - 520 nm. Metode ini
aman dan efektif untuk mengurangi toksisitas dan meningkatkan
ekskresi bilirubin dengan tiga cara: isomerisasi struktural menjadi
lumirubin, fotoisomerisasi menjadi isomer yang kurang toksik,
fotooksidasi menjadi molekul kecil polar.15

14 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
Gambar 7. Fototerapi pada bayi

Dosis fototerapi dan lama pemaparan cahaya mempengaruhi


efikasinya. Iradiasi intensitas cahaya, jarak dari bayi dan luas permukaan
kulit yang terekspos. Cahaya biru lebih efektif mengurangi kadar
bilirubin tetapi dapat mengganggu deteksi sianosis pada bayi. Fototerapi
flouresen biru biasanya digunakan dengan dosis sekitar 30µW/cm2 /nm.
Jarak bayi dari cahaya sebaiknya antara 15-20 cm. 15,16
Fototerapi intensif dapat dilakukan untuk bayi dengan kadar
bilirubin total > 25 mg/dL, lampu fototerapi disarankan berdasarkan
10-12 cm di atas bayi untuk pemaparan maksimal cahaya pada kulit
bayi. Bayi prematur dan hipotermi seharusnya di tempat tidur terbuka
dan hangat. Fototerapi dilakukan terus menerus dan jeda hanya untuk
minum susu. Pemeriksaan kadar bilirubin total serum ≥20 mg/dL
sebaiknya diulang setelah enam jam fototerapi dimulai. Fototerapi
memberikan hasil yang baik bila kadar bilirubin total serum menurun
kurang dari 95% atau 4 - 5 mg/dL menurun setelah diberhentikan 18-24
jam kemudian. 15,16
B. Transfusi tukar
Tranfusi tukar merupakan metode tercepat untuk menurunkan
konsentrasi bilirubin serum. Indikasi pertukaran tranfusi beragam dan
berhubungan dengan adanya anemia maupun peningkatan kadar
bilirubin serum. Pada penyakit hemolitik neonatal, indikasi tranfusi
antara lain adalah anemia (hematokrit 4 mg/dL, peningkatan kadar
bilirubin serum> 1 mg/dL / jam selama lebih dari 6 jam, anemia

15 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
progresif dan peningkatan kadar bilirubin serum> 0,5 mg/dL / jam.
Kadang-kadang tranfusi tukar untuk kasus hemolisis dapat dihindari
dengan menggunakan imunoglobulin intravena dosis tinggi. Indikasi
transfusi tukar pada hiperbilirubinemia adalah: (1) kadar bilirubin > 15
mg/dL selama lebih dari 48 jam, (2) indeks saturasi salisilat > 8,0 dan
HABA mengikat 3,7, dan (4) rasio kadar bilirubin serum dibanding
kadar protein total serum > 0,7. 15,16

Gambar 5. Transfer tukar pada bayi


(Sumber: http://www.nlm.nih.gov)
C. Farmakologi15,16
1. Imunoglobulin intravena
Pemberian imunoglobulin intravena dapat mengurangi
kebutuhan transfusi tukar pada bayi ikterus yang disebabkan oleh
hemolisis inkompatibilitas darah. Mekanismenya belum diketahui
diketahui tetapi diharapkan imunoglobulin mencegah hemolisis
dengan menghalangi reseptor antibodi pada eritrosit. Dosis
imunoglobulin yang dapat diberikan yaitu 500 mg / kg per dosis IV
selama dua jam.
2. Fenobarbital
Fenobarbital meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin
juga menurunkan kadar bilirubin total yang diberikan kepada bayi

16 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
ikterus. Fenobarbital tidak disarankan untuk terapi
biperbilirubinemia indirek, namun dapat diberikan pada beberapa
kasus seperti ikterus berkepanjangan pada sindrom Gilbert.
3. Metaloporfirin
Metaloporfirin sintetis seperti metaporforin dapat mengurangi
produksi bilirubin dengan cara berkompetisi dengan heme oxigenase.
Sebuah penelitian menunjukkan bayi dengan defisiensi G6DP yang
diberikan metaloporfirin tidak membutuhkan fototerapi
dibandingkan dengan kontrol.
D. Fisioterapi12
Untuk bayi yang sudah mengalami cacat kadar bilirubin terlalu
tinggi, pengobatan diarahkan pada fisioterapi untuk memperbaiki
kekakuan otot dan gerakan serta stimulasi untuk mengoptimalkan fungsi
intelek (kognitif). Dengan cara ini diharapkan kemampuan anak menjadi
normal.
X. PROGNOSA
Penalaksanaan yang baik akan memberikan prognosis yang sangat
baik. Pada mereka yang pengobatannya tertunda, kerusakan otak merupakan
komplikasi utama.17
XI. RINGKASAN
Ikterus neonatorum merupakan penyakit yang sering terjadi pada
masa awal kelahiran, keadaan ini dapat berlangsung secara fisiologis
maupun patologis. Pada kondisi berat, hiperbulirubinemia dapat berakhir
dengan kerusakan otak bahkan menyebabkan kematian. Peningkatan
bilirubin dapat disebabkan oleh adanya gangguan yang terjadi pada proses
absorbsi, konjugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorbsi bilirubin itu
sendiri dimana proses ini berlangsung sangat panjang pada neonatus.
Manifestasi klinis dapat berlangsung tanpa gejala pada ikterus fisiologis
sedangkan pada ikterus patologis dapat menyebabkan gejala ringan hingga
menyebabkan kerusakan SSP. Pemeriksaan laboratorium bilirubin umumnya
digunakan untuk membedakan gangguan akibat masalah pada pre hepatik,

17 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
intra dan pasca hepatik. Pemeriksaan bilirubin dapat berupa pengamatan
fisis dengan mengikuti kaidah krammer, skoring resiko hyperbilirubinemia,
pemeriksaan bilirubin dengan bilirubinometer transkutan dan pemeriksaan
bilirubin serum total. Pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan sesuai
dengan arah kecurigaan penyebab hyperbilirubinemia. Penatalaksanaan
penyakit ini dapat berupa fototerapi, transfuse tukar, medikamentosa hingga
fisioterapi khususnya pada ikterus dengan keterlibatan SSP. Prognosis
sangat baik jika mendapatkan penatalaksanaan yang baik pula.

18 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
ALGORITMA SKRINING IKTERUS NEONATORUM

19 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
Jaundice Klinis
Ukur T
Bilirirubin
TB > 12 mg/dL, Bayi usia >24 jam TB > 12 mg/dL, Bayi usia <24 jam

Uji Coomb’s
Ikuti Kadar Bilirubin

Negatif Positif

Direct Bilirubin
Kenali antibodi, Rh, ABO,
dll.
>2 mg/dL < 2 mg/dL

Hematokrit

Normal / Pertimbangkan:
High Rendah Hepatitis, Intrauterine, viral or
Toxoplasmatic inections,
Sumbatan Biliaris, sepsis,
galaktosemia, kolestasis,
Polisitemia

Morfologi Eritrosit, Hitung Retikulosit

TIDAK NORMAL
Sferositosis, Eliptosit dll,
Ketidak sesuaian ABO,
Defisiensi Enzim Eri,
Talasemia alfa, Obat-obatan
NORMAL (mis. Penicillin)
Perdarahan tertutup, Sirkulasi
Enterohepatik ASI, Hipotiroid,
Sindrom Crigler-Najjar, Bayi dari Ibu
Diabetik, Sindrom Gangguan
Pernapasan (RDS), Asfiksia, Infeksi,
Obat-obatan (mis. Novobiocin,
Galaktosemia

Gambar 3. Algoritma Evaluasi Bayi Baru Lahir dengan Hiperbilirubinemia10

DAFTAR PUSTAKA

20 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
1. Mathindas S, Wilar R, Wahani A. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. J
Biomedik. 2013;5(1).
2. IDAI U-G-H. Ikterus Neonatorum. In: Dr. Mohammad Juffrie, SpAK P.,
editor. 1st ed. 2009. p. 269–94.
3. A S. Buku ajar neonatologi. 1st ed. Kosim MS, Yunanto A DR, Sarosa GI
UA, editors. Jakarta: IDAI; 2008. 147–149 p.
4. Puspita N. The Effect of Low Birthweight on the Incidence of Neonatal
Jaundice in Sidoarjo. J Berk Epidemiol. 2018;6(2):174.
5. Rosida A. Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Hati. Berk Kedokt
[Internet]. 2016 May 2 [cited 2021 Apr 10];12(1):123. Available from:
https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/jbk/article/view/364
6. Bilirubin Metabolism Pathway [Internet]. 2014 [cited 2021 Apr 10].
Available from:
https://biorainbows.tumblr.com/post/85211843044/usmlenotes-bilirubin-
metabolism-pathway-to
7. Howie RN, Prasetyo D, Sakit DR, Jenderal D, Pelayanan B, García Reyes
LE, et al. Rasio Bilirubin Albumin pada Neonatus dengan
Hiperbilirubinemia. J Chem Inf Model [Internet]. 2013 [cited 2021 Apr
6];10(1):40. Available from:
http://www.hkki.org/uploads/20170730083408.Marzuki_2017_MS_HKKI
_Neonatal_Jaundice_v2_HO_Copy.pdf
8. Amanda Yaworski AVM and EW. Neonatal hyperbilirubinemia |
McMaster Pathophysiology Review [Internet]. [cited 2021 Apr 8].
Available from: http://www.pathophys.org/neonatal-hyperbilirubinemia/
9. Muchowski KE. Evaluation and treatment of neonatal hyperbilirubinemia.
Am Fam Physician [Internet]. 2014 Jun 1 [cited 2021 Apr 12];89(11):873–
8. Available from:
www.aafp.org/afpAmericanFamilyPhysician873http://www.aafp.org/afp/20
10/0815/p336.html.http://familydoctor.org/familydoctor/en/diseases-
conditions/jaundice.html.
10. Suryaatmadja M. Neonatal Jaundice - Laboratory Aspects [Internet]. 2017.
Available from:
http://www.hkki.org/uploads/20170730083408.Marzuki_2017_MS_HKKI
_Neonatal_Jaundice_v2_HO_Copy.pdf
11. Jaundice Meter | JM-105 | Medical Equipment and devices for hospitals or
institutions. | TradeMed [Internet]. [cited 2021 Apr 12]. Available from:
https://www.trademed.com/products/1783/Jaundice-Meter.html
12. Sakit DR, Jenderal D, Pelayanan B. BUKU PANDUAN Tatalaksana Bayi
Baru Lahir. 2010;1–21.
13. PEDIATRICS AAO. Management of hyperbilirubinemia in the newborn
infant 35 or more weeks of gestation. Vol. 114, Pediatrics. 2004. 297–316
p.
14. Petzold T, Feindt P, Sunderdiek U, Boeken U, Fischer Y, Gams E. Heart-
type fatty acid binding protein (hFABP) in the diagnosis of myocardial
damage in coronary artery bypass grafting. Eur J Cardio-thoracic Surg.
2001;19(6):859–64.

21 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m
15. Ali R, Ahmed S, Qadir M, Ahmad K. Icterus neonatorum in near-term and
term infants an overview [Internet]. Vol. 12, Sultan Qaboos University
Medical Journal. Sultan Qaboos University; 2012 [cited 2021 Apr 9]. p.
153–60. Available from: /pmc/articles/PMC3327561/
16. (JNPK-KR) NCTN, (IDAI) the IPS, (POGI) the IS of O and G. Pelayanan
Obstetri Dan Neonatal Emergensi Komprehensif ( Ponek ) [Internet]. 2008
[cited 2021 Apr 10]. 228 p. Available from:
http://opac.lib.ugm.ac.id/index.php?
mod=book_detail&sub=BookDetail&act=view&typ=htmlext&buku_id=79
8084&obyek_id=1
17. Ansong-Assoku B, Ankola PA. Neonatal Jaundice - StatPearls - NCBI
Bookshelf [Internet]. 2018 [cited 2021 Apr 8]. p. 15. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532930/

22 | R e f e r a t I k t e r u s N e o n a t o r u m

Anda mungkin juga menyukai