Anda di halaman 1dari 18

Referat

Hiperbilirubinemia

Pembimbing :
dr. Bambang H.B, SpA

Disusun Oleh :
Yudha Ramdani
Albert Gunawan
Emmanuel Taguh
Nurul Amira
Juniati Marina
Siti Azliyana Azura

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM BETHESDA LEMPUYANGWANGI

PERIODE 8 MEI 15 JULI 2017

YOGYAKARTA

1
Pendahuluan

Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum total 5 mg/dl (86


mol/L).1 Ikterus atau jaundice pada neonatus merupakan kondisi umum dimana kulit,
konjungtiva dan mukosa tampak kekuningan akibat akumulasi bilirubin yang tak terkonjungasi
atau bilirubin indirek. 1, 2

Hiperbilirubinemia adalah keadaan transien yang tersering ditemukan baik pada bayi
cukup bulan (50-70%) maupun bayi premature (80-90%).1 Sebagian besar hiperbilirubinemia
adalah fisiologis dan tidak membutuhkan terapi khusus, tetapi karena potensi toksik dari
bilirubin maka semua neonatus harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat yang dapat berlanjut ke ensefalopati bilirubin akut atau kernikterus.1,
2
Terma ensefalopati bilirubin akut digunakan untuk menjelaskan manifestasi akut toksisitas
bilirubin terhadap sistem saraf pusat yang terlihat pada minggu pertama kehidupan dan
kernikterus digunakan untuk efek toksisitas bilirubin yang menetap dan kronis.3

Hiperbilirubinemia pada neonatal terbagi kepada beberapa jenis yaitu,


hiperbilirubinemia fisiologis, hiperbilirubinemia patologis, breastfeeding jaundice dan breast
milk jaundice.1, 2
Hiperbilirubinemia fisiologis terjadi karena ketidakmatangan fisiologis
neonatus untuk mengatasi peningkatan produksi bilirubin. Kuning selalunya tampak diantara
usia 24-72 jam. Pada bayi cukup bulan, kadar bilirubin serum total mencapai 6-8 mg/dl pada
usia 3 hari kemudian berangsur turun.1 Peningkatan sehingga 12 mg/dl adalah masih dalam
batas fisiologis.2 Pada bayi prematur, puncak bilirubin serum total dapat mencapat 10-12 mg/dl
pada usia 5 hari, dan dapat melebihi 15 mg/dl tanpa kelainan spesifik pada metabolism
bilirubin.1 Kadar bilirubin serum total akan mencapai <2 mg/dl setelah usia 1 bulan, baik pada
bayi cukup bulan maupun bayi prematur.1 Kadar bilirubin serum total yang aman berbeda
tergantung usia gestasional.1, 2

Hiperbilirubinemia patologis atau non-fisiologis di definisikan sebagai peningkatan


bilirubin melebihi 5 mg/dl dalam 24 jam pertama kehidupan pada bayi cukup bulan, 10 mg/dl
pada hari kedua atau 12-13 pada hari seterusnya.1, 2 Kadar bilirubin serum total yang melebihi
17 mg/dl harus diperkira sebagai patologis dan di investigasi lebih mendalam untuk mencari
penyebabnya dan diintervensi dengan fototerapi.2 Ikterus tampak dalam 24 jam pertama
kehidupan, puncak bilirubin melebihi batas normal dan membutuhkan fototerapi, ikterus
menetap melebihi 2 minggu dan peningkatan bilirubin terkonjungasi yang bermakna (> 2
mg/dl) yang ditandai dengan urin berwarna gelap dan tinja berwarna dempul.1, 2 Selain itu, bayi

2
menunjukkan tanda sakit seperti muntah, letargi, sulit minum, penurunan berat badan 10 %,
apneu, takipneu dan instabilitas suhu tubuh.1

Breastfeeding jaundice adalah ikterus disebabkan oleh kekurangan asupan air susu ibu
(ASI) dan biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum banyak.1
Untuk neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal ini
tidak perlu dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat, glikogen dan cairan
yang dapat mempertahankan metabolism selama 72 jam.1 Walaupun demikian keadaan ini
dapat memicu terjadinya hiperbilirubinemia yang disebabkan peningkatan sirkulasi
enterohepatik akibat kurangnya asupan ASI.1 Ikterus pada ini ini tidak selalu disebabkan oleh
breastfeeding jaundice, karena dapat saja merupakan hiperbilirubinemia fisiologis.

Breast milk jaundice pula adalah ikterus yang disebabkan oleh ASI. Kejadian pada
bayi cukup bulan berkisar 2-4%.1 Pada sebagian besar bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke-
4, tetapi pada breast-milk jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dl
pada usia 14 hari.1 Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis dalam 48 jam. Bila
ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali naik tetapi umumnya tidak akan setinggi
sebelumnya. Bayi menunjukkan pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati normal dan
tidak terdapat bukti hemolisis.1 Breast milk jaundice dapat berulang (70%) pada kehamilan
berikutnya.1 Mekanisme sesungguhnya yang dapat menyebabkan kejadian ini belum diketahui
tetapi diduga timbul akibat terhambatnya uridine disphosphoglucoronic acid glucoronyl
transferase (UDGPA) oleh hasil metabolism progesterone, yaitu pregnane-3-alpha-2-beta-diol
yang ada di dalam ASI sebagian ibu.1

Epidemiologi

Berdasarkan data internasional, kejadian hiperbilirubinemia bervariasi antara etnis dan


geografis dan mempengaruhi 84% neonatus cukup bulan.3,4 Insidens lebih tinggi pada orang
Asia Timur dan India Amerika dan rendah pada orang Afrika.4 Orang Yunani yang tinggal di
Negara Yunani mempunyai insidens lebih tinggi daripada keturunan orang Yunani yang tinggal
di luar Negara Yunani.4 Insiden juga tinggi pada populasi yang tinggal di tempat tinggi. Insiden
ikterus neonatal adalah tinggi pada bayi laki-laki dan ini tidak terkait dengan kadar produksi
bilirubin dimana sama saja dengan bayi perempuan.4 Kejadian ikterus neonatal berbanding
terbalik dengan usia gestasional.4

3
Patofisiologi

Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari


katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada langkah pertama
oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja heme oksigenase, dan terjadi pelepasan
besi dan karbon monoksida. Besi dapat digunakan kembali, sedangkan karbon monoksida
diekskresikan melalui paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin
yang hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan hidrogen
intramolekul). Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam plasma, terikat erat
pada albumin. Bila terjadi gangguan pada ikatan bilirubin tak terkonjugasi dengan albumin
baik oleh faktor endogen maupun eksogen (misalnya obat-obatan), bilirubin yang bebas dapat
melewati membran yang mengandung lemak (lipid bilayer), termasuk sawar darah otak, yang
dapat mengarah ke neurotoksisitas.5

Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit, dimana bilirubin
berikatan dengan ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan meningkat sejalan dengan
terjadinya peningkatan konsentrasi ligandin. Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pada saat
lahir namun akan meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan. 5

Bilirubin terikat menjadi asam glukuronat di retikulum endoplasmik retikulum melalui


reaksi yang dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil transferase (UDPGT). Konjugasi bilirubin
mengubah molekul bilirubin yang tidak larut air menjadi molekul yang larut air. Setelah
diekskresikan kedalam empedu dan masuk ke usus, bilirubin direduksi dan menjadi tetrapirol
yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Sebagian dekonjugasi terjadi di dalam usus kecil
proksimal melalui kerja B-glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi
kembali dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin plasma total. Siklus
absorbsi, konjugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorbsi ini disebut sirkulasi enterohepatik.
Proses ini berlangsung sangat panjang pada neonatus, oleh karena asupan gizi yang terbatas
pada hari-hari pertama kehidupan.5

4
Gambar 1. Mekanisme Bilirubin4

Metabolisme Bilirubin

Sebagian besar produksi bilirubin merupakan akibat degradasi hemoglobin pada sistem
retikuloendotelial. Tingkat penghancuran hemoglobin pada neonatus lebih tinggi daripada bayi
yang lebih tua. Sekitar 1 g hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek, yaitu
bilirubin yang larut dalam lemak tetapi tidak larut dalam air. Transportasi bilirubin indirek
melalui ikatan dengan albumin. Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit,
sedangkan albumin tidak. Di dalam sel, bilirubin akan terikat pada ligandin, serta sebagian
kecil pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah,
tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin plasma dan ligandin dalam hepatosit.
Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit dikonjugasi dan diekskresi ke dalam empedu.
Di dalam sitosol hepatosit, ligandin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak. Di dalam
hepatosit terjadi konjugasi lanjut dari bilirubin menjadi bilirubin diglukoronid. Sebagian kecil
bilirubin terdapat dalam bentuk monoglukoronid, yang akan diubah oleh glukoronil-transferase
menjadi diglukorinid. Enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukorinid, yaitu uridin
difosfat-glukoronid transferase (UDPG-T), yang mengatalisis pembentukan bilirubin
monoglukoronid. Sintesis dan ekskresi diglukoronid terjadi di kanalikuli empedu. Isomer

5
bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresi
langsung ke dalam empedu tanpa konjugasi, misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi
sinar.6,7

Setelah konjugasi bilirubin menjadi bilirubin direk yang larut dalam air, terjadi ekskresi
segera ke sistem empedu kemudian ke usus. Di dalam usus, bilirubin direk ini tidak di absorbsi;
sebagian bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorbsi, siklus ini
disebut siklus enterohepatik.7

Etiologi

Etiologi ikterus yang sering ditemukan ialah: hiperbilirubinemia fisiologik,


inkompatibilitas golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk jaundice, infeksi, bayi dari ibu
penyandang diabetes melitus, dan polisitemia/hiperviskositas. Etiologi ikterus yang jarang
ditemukan yaitu: defisiensi G6PD, defisiensi piruvat kinase, sferositosis kongenital, sindrom
Lucey Driscoll, penyakit Crigler-Najjar, hipotiroid, dan hemoglobinopati.8

1. ASI yang kurang


Bayi yang tidak mendapat ASI cukup saat menyusui dapat bermasalah karena tidak
cukupnya asupan ASI yang masuk ke usus untuk memroses pembuangan bilirubin dari dalam
tubuh. Hal ini dapat terjadi pada bayi prematur yang ibunya tidak memroduksi cukup ASI.8

2. Inkompatibilitas Rhesus
Penyakit hemolisis Rhesus pada bayi yang baru lahir (RHDN) dihasilkan dari
alloimunisasi sel-sel maternal. Antibodi maternal diproduksi melawan sel darah merah janin,
ketika sel darah merah janin positif terhadap antigen tertentu, biasanya pada saat bayi memiliki
Rh positif yang lahir dari ibu Rh-negatif (dan ayah Rh-positif). Antibodi maternal
immunoglobulin (IgG) mungkin melintasi plasenta ke sirkulasi janin dan menyebabkan
berbagai gejala pada janin, mulai dari anemia hemolitik ringan sampai berat dan hidrops fetalis.
Untuk memfasilitasi pengobatan dini pada neonatus yang diragukan memiliki faktor Rh,
golongan darah dan Rh typing, DCT, PCV (packed cell volume) dan bilirubin serum pada darah
tali pusat harus dilakukan. Jumlah retikulosit harus dikirim sebelum transfusi tukar (ET)
pertama. Fototerapi yang intensif diperlukan segera setelah kelahiran dan harus dilanjutkan
sampai 5 mg/dl kurang dari tingkat yang diperkirakan untuk transfusi tukar. Pada bayi
prematur, nilai intervensi yang lebih rendah untuk pengobatan penyakit Rh hemolitik telah

6
ditunjukkan. Fototerapi dan transfusi tukar dianjurkan bila kadarnya lebih besar dari 0.5% dan
1% (kg) dari berat lahir masing-masing. Lapan imunoglobulin intravena (IVIG) dapat
digunakan dalam dosis 500 mg/kg 12 jam x 2 dosis setelah ET pertama. Setelah ET pertama
dimulai, phenobarbitone 5 mg/kg/hari 5 dapat direkomendasikan.9

3. Inkompatibilitas Golongan Darah


Insiden inkompatibilitas golongan darah ABO pada ibu dan janin, ketika ibu memiliki
golongan darah O dan bayi yang baru lahir memiliki golongan darah A atau B, adalah 15-20%
dari semua kehamilan. Bayi dengan ibu golongan darah O harus diperiksa dan dipulangkan
setelah 72 jam. Skrining darah tali pusat rutin tidak dianjurkan untuk bayi baru lahir dengan
ibu golongan darah O. Ikterus karena ketidakcocokan ABO biasanya muncul 24 jam setelah
kelahiran. Fototerapi intensif disarankan pada bilirubin serum 12-17 mg/dl tergantung pada
usia pascakelahiran bayi. Transfusi tukar diindikasikan pada TSB (total serum bilirubin). Berat
saat lahir sebagai kriteria untuk fototerapi dan transfusi tukar dapat digunakan untuk bayi baru
lahir yang premature.9

4. Defisiensi G6PD
G6PD, adalah defisiensi enzim dalam sel darah merah. Penyakit ini adalah penyakit
yang paling vital dari jalur pembentukan hexose monophosphate. Investigasi defisiensi G6PD
harus dipertimbangkan pada bayi dengan severe jaundice dalam keluarga dengan riwayat
ikterus yang signifikan atau pada asal geografis yang terkait dengan kekurangan G6PD.
Konjugasi bilirubin yang menurun akibat variasi gen UGT1A1 dan OATP2 memainkan peran
penting dalam perkembangan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dengan G6PD.9

Diagnosis

Berbagai faktor resiko dapat meningkatkan kejadian hiperbilirubinemia yang berat. Guna
mengantisipasi komplikasi yang mungkin timbul, maka perlu diketahui kadar bilirubin serum
total (Gambar 2) beserta faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia yang berat (Tabel 1)

7
Gambar 2. Nomogram Penentuan Risiko Hiperbilirubinemia pada Bayi Sehat usia 36 Minggu
atau Lebih dengan Berat Badan 2000 gram atau lebih atau Usia Kehamilan 35 Minggu atau
lebih dan Berat badan 2500 Gram atau lebih Berdasarkan Jam Observasi Kadar Bilirubin
Serum1

Pemeriksaan fisik

Skor Kramer merupakan cara sederhana dan subjektif untuk menilai kadar bilirubin
dalam tubuh. Bilirubin meningkat dan berakumulasi dari arah sefalo-kaudal dan warna
kekuningan pada kulit menghilang apabila ditekan dengan jari.2 Asesmen klinis ini tidak selalu
benar dan tidak dapat diharapkan apabila bayi memiliki kulit yang gelap dan/atau sudah
menerima fototerapi. Tampilan ikterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam ruangan
pencahayaan yang baik, dan menekan kulit dengan tekanan ringan untuk melihat warna kulit
dan jaringan subkutan. Pemeriksaan fisis difokuskan untuk mengidentifikasi dari salah satu
penyebab ikterus patologis. Kondisi bayi harus diperiksa pucat, ptekie, extravasasi darah,
memar kulit yang berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat badan, dan bukti adanya
dehidrasi2

Gambar 3. Skor Kramer2

8
Tabel 1. Faktor risiko hiperbilirubinemia berat bayi usia kehamilan 35 mg1

Pemeriksaan Penunjang
Riwayat rinci dan pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa bayi yang berkembang dan
menyusui cukup merupakan elemen kunci untuk diagnosis. Pengujian berikut ini harus
dipertimbangkan jika kadar bilirubin serum lebih dari 12 mg/dl.10,11
Kadar bilirubin terkonjugasi lebih besar dari 2 mg/dL menunjukkan kolestasis, atresia
bilier, atau sepsis.
Hitung darah lengkap dengan temuan jumlah retikulosit adalah sebagai berikut:10,11
- Polisitemia (hematokrit > 65%)
- Anemia (hematokrit <40%)
- Sepsis (leukosit <5000/mL atau >20.000/mL), rasio neutrofil immatur dan matang >
0,2

9
Berat jenis urine dapat berguna dalam penilaian status hidrasi.
Jika hemolisis dicurigai, pertimbangkan tes berikut:
- Golongan darah untuk mengevaluasi ABO, Rh atau ketidakcocokan golongan darah
lainnya
- Coombs tes, serta tes elusi untuk antibodi terhadap A atau B, untuk mengevaluasi
hemolisis dimediasi kekebalan
- Apusan darah tepi untuk mencari bentuk sel darah merah abnormal (ovalocytes,
acanthocytes, spherocytes, schistocytes).
- Kadar enzim G6PD
- Hitung retikulosit
Faktor-faktor yang menunjukkan kemungkinan penyakit hemolitik meliputi:10,11
- Riwayat keluarga penyakit hemolitik
- Ikterus sebelum 24 jam hidup
- Kenaikan kadar bilirubin serum lebih dari 0,5 mg/dL/ jam
- Pucat, hepatosplenomegali
- Peningkatan pesat dalam kadar bilirubin serum setelah 24-48 jam (defisiensi G6PD)
- Etnis sugestif kekurangan G6PD
- Kegagalan fototerapi untuk menurunkan kadar bilirubin
Jika dicurigai sepsis, pertimbangkan tes berikut:
- Kultur darah
- Diferensial leukosit
- Jumlah trombosit
- Analisa dan kultur urin
Tanda-tanda penyakit kuning kolestatik menyingkirkan atresia bilier atau penyebab lain
dari kolestasis adalah sebagai berikut:
- Urin gelap atau positif bagi bilirubin
- Tinja berwarna terang
- Ikterus persisten selama lebih dari 3 minggu
Uji fungsi hati, pemeriksaan galaktosemia, defek metabolik, dan hipotiroidisme.

10
Gambar 4. Pendekatan Skematis terhadap Diagnosis Ikterus Neonatorum.12

Tatalaksana

1. Fototerapi dan Transfusi Tukar


Jika kadar bilirubin total serum tidak menurun atau terus meningkat walaupun telah
mendapat fototerapi intensif, kemungkinan terjadi hemolisis dan direkomendasikan untuk
menghentikan fototerapi.1
Dalam penggunaan petunjuk fototerapi dan transfusi ganti, kadar bilirubin direk atau
konjugasi tidak harus dikurangkan dari bilirubin total. Dalam kondisi dimana kadar bilirubin
direk 50% atau lebih dari bilirubin total, tidak tersedia data yang baik untuk petunjuk terapi
dan direkomendasikan untuk berkonsultasi dengan ahlinya.

11
Tabel 2. Penatalaksanaan Bayi dengan Hiperbilirubinemia1

Jika kadar bilirubin total serum berada pada angka untuk dilakukan transfusi atau jika
kadar bilirubin total sebesar 25 mg/dL atau lebih tinggi pada setiap waktu, hal ini merupakan
keadaan emergensi dan bayi harus segera masuk dan mendapatkan perawatan intensif. Bayi-
bayi ini tidak harus dirujuk melalui bagian emergensi karena hal ini dapat menunda terapi.
Rasio albumin serum dan rasio bilirubin/albumin merupakan suatu pilihan untuk
mengukur kadar serum albumin dan mempertimbangkan kadar albumin kurang dari 3 gr/dL
sebagai faktor risiko untuk menurunkan ambang batas penggunaan fototerapi. Jika
dipertimbangkan transfusi ganti, kadar albumin serum harus diukur dan digunakan rasio
bilirubin/albumin yang berikatan dengan kadar bilirubin total serum dan faktor-faktor lainnya
yang menentukan dilakukannya transfusi ganti.1

12
Direkomendasikan untuk segera melakukan transfusi ganti pada setiap bayi ikterus dan
tampak manifestasi fase menengah sampai lanjut dari akut bilirubin ensefalopati (hipertonia,
arching, retrocolis, opistotonus, demam, menangis melengking) meskipun kadar bilirubin total
telah turun.

Manajemen bayi ikterus pada rawat jalan


Pada bayi yang menyusui memerlukan fototerapi, AAP merekomendasikan bahwa, jika
memungkinkan, menyusui harus diturunkan. Juga terdapat pilihan memilih untuk
menghentikan menyusui sementara dan menggantikannya dengan formula. Hal ini dapat
mengurangi kadar bilirubin dan atau meningkatkan efektifitas fototerapi. Pada bayi menyusui
yang mendapat fototerapi, suplementasi dengan pemberian ASI yang dipompa atau formula
adalah cukup jika asupan bayi tidak adekuat, berat badan turun berlebihan, atau bayi tampak
dehidrasi.

Fototerapi

Gambar 5. Panduan Fototerapi pada bayi usia kehamilan 35 minggu1

Faktor risiko: isoimune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu
tubuh tidak stabil, sepsis, asidosis, atau kadar albumin < 3 g/dL
Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu diperbolehkan untuk melakukan
fototerapi pada kadar bilirubin total sekitar medium risk line. Merupakan pilihan untuk
melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah untuk bayi-

13
bayi yang mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin total serum yang lebih
tinggi untuk bayi yang berusia mendekati 37 6/7 minggu.
Diperbolehkan melakukan fototerapi baik di rumah sakit atau di rumah pada kadar
bilirubin total 2-3 mg/dL di bawah garis yang ditunjukkan, namun pada bayi-bayi yang
memiliki faktor risiko fototerapi sebaiknya tidak dilakukan di rumah.
Fototerapi terapi intensif adalah fototerapi dengan menggunakan sinar blue-green
spectrum (panjang gelombang 430-490 nm) dengan kekuatan paling kurang 30 uW/cm2
(diperiksa dengan radiometer, atau diperkirakan dengan menempatkan bayi langsung di bawah
sumber sinar dan kulit bayi yang terpajan lebih luas).
Bila konsentrasi bilirubin tidak menurun atau cenderung naik pada bayi-bayi yang
mendapat fototerapi intensif, kemungkinan besar terjadi proses hemolisis.
Penatalaksanaan fototerapi dan transfusi tukar berdasarkan berat badan pada tabel
berikut:

Tabel 3. Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi sehat cukup bulan


berdasarkan American Academy of Pediatrics1

Tabel 4. Petunjuk Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia berdasarkan berat badan dan bayi


baru lahir yang relatif sehat1

14
Pencegahan

Pencegahan dititikberatkan pada pemberian minum sesegera mungkin, sering menyusui


untuk menurunkan shunt heteropatik, menunjang kestabilan bakteri flora normal, dan
merangsang aktifitas usus halus.

1. Pencegahan Primer
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari untuk
beberapa hari pertama. Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti desktrose atau air pada
bayi yang mendapatkan ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
2. Pencegahan Sekunder
Harus melakukan penilaian sistematis terhadap risiko kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat, selama periode neonatal. Semua wanita hamil harus diperiksa
golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak
biasa.
Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan pemeriksaan
antibodi indirek (tes coombs), golongan darah dan tipe Rh(D) darah tali pusat bayi. Bila
golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan darah dan tes
Coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal tersebut tidak diperlukan jika dilakukan
pengawasan, penilaian terhadapa risiko sebelum keluar RS dan tidak lanjut yang memadai.
Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus
dan menetapkan protokol terhadap ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital bayi,
tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam.

Evaluasi Laboratorium
Pengukuran bilirubin transkutaneus dan atau bilirubin serum total harus dilakukan pada
setiap bayi yang mengalami ikterus dalam 24 jam pertama setelah lahir. Penentuan waktu dan
perlunya pengukuran ulang bilirubin transkutaneus atau bilirubin serum total tergantung pada
daerah dimana kadar bilirubin serum total terletak, umur bayi, dan evolusi hiperbilirubinemia.
Pengukuran bilirubin transkutaneus dan atau bilirubin serum total harus dilakukan bila tampak
ikterus yang berlebihan. Jika derajat ikterus meragukan, pemeriksaan bilirubin transkutaneus
atau bilirubin serum harus dilakukan, terutama pada kulit hitam, oleh karena pemeriksaan
derajat ikterus secara visual seringkali salah. Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan
sesuai dengan umur bayi dalam jam.

15
Penyebab Kuning
Memikirkan kemungkinan penyebab ikterus pada bayi yang menerima fototerapi atau
bilirubin serum total meningkat cepat dan tidak dapat dijelaskan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisis.
Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan
analisis dan kultur urin. Pemeriksaan laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus
dilakukan bila terdapat indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Bayi sakit dan
ikterus pada umur lebih dari 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk
atau bilirubin konjugasi untuk mengidentifikasi adanya kolestasis. Juga dilakukan penyaringan
terhadap tiroid dan galaktosemia. Bila kadar biirubin direk atau bilirubin konjugasi meningkat,
dilakukan evaluasi tambahan untik mencari penyebab kolestasis. Pemeriksaan terhadap kadar
glucose-6-phosphatase dehydrogenase (G6PD) direkomendasikan untuk bayi ikterus yang
mendapat fototerapi dan riwayat keluarga atau etnis/asal geografis yang menunjukkkan
kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi dengan respon terhadap fototerapi yang buruk.

Pengelolaan bayi dengan ikterus

Tabel 5. Pengelolaan ikterus dini pada bayi yang mendapat ASI1

Komplikasi
Kernikterus

Kernikterus atau Ensefalopati bilirubin (EB) kronis merupakan komplikasi ikterus


neonatorum non fisiologis sebagai akibat efek toksis bilirubin tak terkonjugasi terhadap
susunan saraf pusat (SSP) yang dapat mengakibatkan kematian atau apabila bertahan hidup
menimbulkan gejala sisa yang berat. Kern ikterus juga didefinisikan sebagai suatu perubahan

16
neuropatologi yang ditandai deposisi pigmen pada beberapa daerah di otak terutama ganglion
basalis, pons dan cerebellum atau berarti yellow kern titik-titik warna kuning yang terjadi
mengenai sebagian besar struktur SSP, yang ditemukan pada autopsi bayi yang meninggal
karena ensefalopati bilirubin.

Ensefalopati bilirubin terjadi sebagai akibat kadar total serum bilirubin melebihi
infants neuroprotective defenses yang menyebabkan kerusakan sel syaraf pusat terutama di
daerah ganglia basalis, korteks serebri, syaraf pendengaran serebral dan perifer, hippocampus,
diensefalon, nukleus subthalamikus, batang otak (midbrain), cerebellum, pons, batang otak
untuk fungsi okulomotor dan respirasi, neurohormonal serta regulasi elektrolit.6 Gambaran
klasik kern ikterus timbul bila kadar bilirubin total serum antara 26-50 mg/dl. Kepekaan SSP
terhadap toksisitas bilirubin bervariasi dipengaruhi oleh jenis/tipe sel, maturitas SSP,
metabolisme SSP. Pada SSP yang sedang dalam proses diferensiasi cenderung lebih rentan
terhadap bilirubin, hal ini terjadi pada bayi kurang bulan (BKB).5

Secara klinis dibedakan dalam 2 fase. Fase awal, terjadi dalam tahun pertama
kehidupan dengan gejala klinis hipotonia, hiperefleksi, keterlambatan perkembangan
motorikmilestone dan timbulnya refleks tonik leher. Gejala klinis refleks tonik leher (tonic-
neck reflex) menetap setelah tahun pertama kehidupan terjadi gangguan ekstrapiramidal,
gangguan visual, pendengaran, defek kognitif, gangguan terhadap gigi, gangguan intelektual
minor dapat terjadi.

Prognosis
Prognosis lebih sangat baik jika pasien menerima pengobatan sesuai dengan alur
tatalaksana yang dianjurkan. Kerusakan otak karena kernikterus tetap menjadi risiko yang
nyata, dan insiden kernikterus meningkat jelas dalam beberapa tahun terakhir mungkin karena
kesalahpahaman bahwa penyakit kuning pada bayi sehat tidak berbahaya dan dapat diabaikan.

17
Daftar Pustaka

1. Ikatan dokter anak indonesia. Pedoman pelayanan medis. Edisi ke 2. IDAI. 2011; H.147-
170.
2. Mishra S, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK. Jaundice in the newborns. Indian journal
of pediatrics. 2008; 75: Pg. 157-163.
3. Muchowski KE. Evaluation and treatment of neonatal hyperbilirubinemia. American
family physician. 2014; 89 (11): Pg. 873-878.
4. Epidemiology of neonatal jaundice. Retrieved from Medscape at
http://emedicine.medscape.com/article/974786-overview#a6. Accessed on 2nd July
2017.
5. Mathindas S, Wilar R, Wahani A. Hiperbilirubinemia pada neonatus. Jurnal Biomedik.
Maret 2013; 5(1): 4-10
6. Maisels MJ. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Klaus MH, Fanaroff AA, editors. Care of
the High-Risk Neonate (Fifth Edition). Philadelphia: WB Saunders Co, 2001; p.324-62.
7. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics (17th
Edition). Philadelphia PA: Saunders; 2004.
8. Jayashree. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Neonatal workshop. USAID.
Georgetown University Hospital. 2006.
9. Ullah S, Rahman K, Hedayati M. Hyperbilirubinemia in neonates : types, causes,
clinical examinations, preventive measures and treatments : a narrative review article.
Iran J Public Health. May 2016; 45(5): 558-568
10. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, dkk. Hiperbilirubinemia. Dalam: Pedoman
Pelayanan Medis Ikatan Dokter Indonesia Edisi II. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia.
2011; h.114-122
11. Deshpande PG. Breast Milk Jaundice Workup. Diakses melalui:
http://emedicine.medscape.com/article/973629-workup
12. Oski FA: Different Diagnosis of Jaundice. In: Taeusch HW, Ballard RA, Avery MA
[eds]. Schaffer and Averys Diseases of Newborn, 6the ed. Philadelphia, WB Saunders.

18

Anda mungkin juga menyukai