TINJAUAN PUSTAKA
HIPERBILIRUBINEMIA
I. PENDAHULUAN
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada
bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama
kehidupan disebabkan oleh keaadaan ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat lebih
kuning, keaadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z,15Z bilirubin IX alpha) yang
berwarna ikterus pada sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari degenerasi heme yang
merupakan komponen hemoglobin mamalia. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum
berfungsi secara optimal, sehingga proses glukuronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal.
Keaadaan ini akan menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi didalam darah. Pada
kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena
transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi terjadi peningkatan bilirubin secara
berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian dan
bila bayi tersebut dapat betahan hidup pada jangka panjang akan menimbulkan sekuele
neurologis. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning harus dibedakan apakah
ikterus yang terjadi merupakan keaadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor apakah
mempunyai kecendrungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubin yang berat1.
Definisi
Ikterus neonatorum adalah keaadaan klinis pada bayi yang ditandai dengan pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi lahir bila kadar bilirubin darah 5-7
mg/dl(1,6).
Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin standar deviasi atau
lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90(1,6).
Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali(2,5,6):
Epidemiologi
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan.
Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional
Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir
sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12
mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup
bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di
atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin
setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup
bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan
pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509
neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia(5,6).
II. ETIOLOGI
III. PATOFISIOLOGI
Pembentukan Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir dari
pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi – reduksi.Langkah oksidasi yang
pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase
yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Pada reaksi
tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk pembentukan haemoglobin dan karbon
monoksida yang dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi
bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat
akan dirubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin,
bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut.
Jika tubuh akan mengeksresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin(1,6).
Transportasi Bilirubin
syaraf pusat dan bersifat nontoksik. Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap obat – obatan yang bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat
– obat tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin
sehingga bersifat competitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan
albumin. Obat- obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dari albumin dengan cara
menurunkan afinitas albumin adalah digoksin, gentamisin, furosemid dan seperti yg
terlihat pada tabel berikut(1,2,4) :
Asupan Bilirubin
Pada saat kompleks bilirubin – albumin mencapai membrane plasma hepatosit, albumin
terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di transfer melalui sel membran
yang berikatan dengan ligandin ( protein y ), mungkin juga dengan protein ikatan sitosilik
lainnya(1,2).
Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam
air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospate glukuronosyl
transferase ( UDPG – T ). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi
bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin
Eksresi Bilirubin
Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis atau patologis atau kombinasi
keduanya. Risiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI,
bayi kurang bulan dan bayi mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia
terjadi karena peningkatan produksi atau penurunan clearance bilirubin dan lebih
sering terjadi pada bayi imatur.
Bayi yang diberikan ASI memiliki kadar bilirubin serum yang lebih tinggi dibanding bayi
yang diberikan susu formula. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain; frekuensi menyusui yang tidak adekuat, kehilangan berat badan/dehidrasi
(Tabel 9.3).
Tabel 9.3 Faktor etiologi yang mungkin berhubungan dengan hiperbilirubinemia pada bayi yang mendapat ASI
Asupan cairan :
n Kelaparan
n Frekuensi menyusui
n Kehilangan berat badan/dehidrasi
Hambatan eksresi bilirubin hepatik
n Pregnandiol
n Lipase-free fatty acids
n Unidentified inhibitor
Intestinal reabsorption of bilirubin
n Pasase mekonium terlambat
n Pembentukan urobilinoid bakteri
n Beta-glukoronidase
n Hidrolisis alkaline
n Asam empedu
Sumber : Gourley.
Dasar Penyebab
Sumber : Blackburn ST
Diagnosis
Berbagai faktor risiko dapat meningkatkan kejadian hiperbilirubinemia yang berat. Perlu
penilaian pada bayi baru lahir terhadap berbagai risiko, terutama untuk bayi-bayi yang pulang
lebih awal. Selain itu juga perlu dilakukan pencatatan medis bayi dan disosialisasikan pada
dokter yang menangani bayi tersebut selanjutnya.
Tampilan ikterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam ruangan dengan pencahayaan
yang baik, dan menekan kulit dengan tekanan ringan untuk melihat warna kulit dan jaringan
subkutan. Ikterus pada kulit bayi tidak terperhatikan pada kadar bilirubin kurang dari 4 mg/dL.
Pemeriksaan fisis harus difokuskan pada identifikasi dari salah satu penyebab ikterus
patologis. Kondisi bayi harus diperiksa pucat, petekie, extravasasi darah, memar kulit yang
berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat badan, dan bukti adanya dehidrasi.
Guna mengantisipasi komplikasi yang mungkin timbul, maka perlu diketahui daerah letak kadar
bilirubin serum total (Gambar 9.3) beserta faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia yang berat
(Tabel 9.5)
Faktor risiko kurang (faktor-faktor ini berhubungan dengan menurunnya resiko ikterus yang
signifikan, besarnya resiko sesuai dengan urutan yang tertulis makin ke bawah resiko makin
rendah)
- Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah risiko
rendah
- Umur kehamilan 41 minggu
- Bayi mendapat susu formula penuh
- Kulit hitam
- Bayi dipulangkan setelah 72 jam
Sumber : AAP
Manajemen
Berbagai cara telah digunakan untuk mengelola bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia
indirek. Strategi tersebut termasuk : pencegahan, penggunaan farmakologi, fototerapi dan
tranfusi tukar.
Strategi pencegahan
American Academy of Pediatrics tahun 2004 mengeluarkan strategi praktis dalam pencegahan
dan penanganan hiperbilirubinemia bayi baru lahir (< 35 minggu atau lebih ) dengan tujuan
untuk menurunkan insidensi dari neonatal hiperbilirubinemia berat dan ensefalopati bilirubin
serta meminimalkan risiko yang tidak menguntungkan seperti kecemasan ibu, berkurangnya
breastfeeding atau terapi yang tidak diperlukan.Pencegahan dititik beratkan pada pemberian
minum sesegera mungkin, sering menyusui untuk menurunkan shunt enterohepatik, menunjang
kestabilan bakteri flora normal , dan merangsang akitifitas usus halus.
1. Pencegahan primer
Rekomendasi 1.0 : Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali
perhari untuk beberapa hari pertama. :
Rekomendasi 1.1 : Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air
pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
2. Pencegahan sekunder
Rekomendasi 2.0
Harus melakukan penilaian sistematis terhadap risiko kemungkinan terjadinya hiperbili-
rubinemia berat. selama periode neonatal
Rekomendasi 2.1 tentang golongan darah : Semua wanita hamil harus diperiksa
golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan serum untuk antibodi isoimun
yang tidak biasa.
n Rekomendasi 2.1.1: Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif,
dilakukan pemeriksaan antibody direk (tes coombs), golongan darah dan tipe
Rh(D) darah tali pusat bayi.
n Rekomendasi 2.1.2 : Bila golongan darah ibu 0, Rh positif, terdapat pilihan
untuk dilakukan tes golongan darah dan tes Coombs pada darah tali pusat bayi,
tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan pengawasan, penilaian terhadap
risiko sebelum keluar Rumah Sakit (RS) dan tindak lanjut yang memadai.
Rekomendasi 2.2 tentang penilaian klinis : Harus memastikan bahwa semua bayi
secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap
penilaian i ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital bayi,tetapi tidak
kurang dari setiap 8-12 jam.
n Rekomendasi 2.2.1: Protokol untuk penilaian ikterus haws melihatkan seluruh
staf perawatan yang dituntut untuk dapat memeriksa tingkat bilirubin secara
transkutaneus atau memeriksakan biliruhin serum total.
3. Evaluasi laboratorium
Rekomendasi 3.0 : Pengukuran biliruhin transkutaneus dan atau bilirubin serum total
harus dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus dalam 24 jam pertama setelah
lahir. Penentuan waktu dan perlunya pengukuran ulang bilirubin transkutaneus atau
biliruhin serum total tergantung pada daerah dimana kadar bilirubin serum total terletak
(Gambar. 3), umur bayi, dan evolusi hiperbilirubinemia.
Rekomendasi 3.1 : Pengukuran bilirubin transkutaneus dan atau bilirubin serum total
harus dilakukan bila tampak ikterus yang berlebihan. Jika derajat ikterus meragukan,
pemeriksaan bilirubin transkutaneus atau biliruhin serum hams dilakukan, terutama
pada kulit hitam, oleh karena pemeriksaan derajat ikterus secara visual seringkali salah.
Rekomendasi 3.2 : Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur
bayi dalam jam.
4. Penyebab kuning
Rekomendasi 4.1 : Memikirkan Kemungkinan penyebab ikterus pada bayi yang
menerima fototerapi atau bilirubin serum total meningkat cepat dan tidak dapat
dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
n Rekomendasi 4.1.1: Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau
konjugasi harus dilakukan analisis dan kultur urin. Pemeriksaan laboratorium
tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila terdapat indikasi
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
n Rekomendasi 4.1.2: Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih 3 minggu harus
dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk
mengidentifikasi adanya kolestasis. Juga dilakukan penyaringan terhadap tiroid dan
galaktosemia.
n Rekomendasi 4.1.3 : Bila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi.
meningkat, dilakukan evaluasi tambahan untuk mencari penyebab kolestasis.
n Rekomendasi 4.1.4 : Pemeriksaan terhadap kadar glucose-6-phosphatase deh-
vdrogenase (G6PD) direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi
dan dengan riwayat keluarga atau etnis/asal geografis yang menunjukkan
kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi dengan respon terhadap fototerapi
yang buruk.
5. Penilaian risiko sebelum bayi dipulangkan
Rekomendasi 5.1 : Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap
risiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua perawatan harus
menetapkan protokol untuk menilai risiko ini. Penilaian ini sangat penting pada bayi
yang pulang sebelum umur 72 jam.
n Rekomendasi 5.1.1 : Ada dua pilihan rekomendasi klinis yaitu:
n Pengukuran kadar bilirubin transkutaneus atau kadar bilirubin serum total
sebelum keluar RS , secara individual atau komhinasi untuk pengukuran yang
sistimatis terhadap risiko.
n Penilaian faktor risiko klinis.
Sumber : AAP 6
Untuk beberapa bayi yang dipulangkan sebelum 48 jam, diperlukan 2 kunjungantindak lanjut
yaitu kunjungan pertama antara 24-72 jam dan kedua antara 72- 120 jam.Penilaian klinik harus
Tabel 9.7 Pengelolaan ikterus dini (early jaundice) pada bayi yang mendapat ASI
1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran jika feses tidak
keluar dalam waktu 24 jam
2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui yang sering dengan waktu yang
singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui yang lama dengan frekuansi yang jarang
walaupun total waktu yang diberikan adalah sama
3. Tidak dianjurkan pemberian air, dekstrosa atau formula penganti.
4. Observasi berat badan, bak dan bab yang berhubungan dengan pola menyusui
5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, tingkatkan pemberian minum, rangsang pengeluaran/
produksi ASI dengan cara memompa, dan menggunakan protocol penggunaan fototerapi yang
dikeluarkan AAP
6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas ASI, sehingga
penghentian menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan jika ikterus menetap lebih dari 6
hari atau meningkat di atas 20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning .
Sumber : Blackburn ST
Penggunaan farmakoterapi
Terapi
Lakukan fototerapi intensif dan atau transfusi tukar sesuai indikasi (lihat Gambar 9.3 dan gambar 9.4)
Lakukan pemeriksaan laboratorium:
Eka Azwinda (202.311.073)
FK UPN” Veteran” Jakarta
Hiperbilirubinemia 15
Sumber : AAP
n Rekomendasi 7.1.1 : Dalam penggunaan petunjuk fototerapi dan tranfusi ganti, kadar
bilirubin direk atau konjugasi tidak harus dikurangkan dari bilirubin total. Dalam kondisi
dimana kadar bilirubin direk 50% atau lebih dari bilirubin total, tidak tersedia data yang
baik untuk petunjuk terapi dan direkomendasikan untuk berkonsultasi kepada ahlinya
n Rekomendasi 7.1.2 : Jika kadar bilirubin total serum berada pada angka untuk
rekomendasi dilakukan tranfusi ganti (Gambar 9.4) atau jika kadar bilirubin total sebesar
25 mg/dL atau lebih tinggi pada setiap waktu, hal ini merupakan keadaan emergensi dan
bayi harus segera masuk dan mendapatkan perawatan fototerapi intensif. Bayi-bayi ini
tidak harus dirujuk melalui bagian emergensi karena hal ini dapat menunda terapi.
n Rekomendasi 7.1.3: Tranfusi ganti harus dilakukan hanya oleh personel yang terlatih di
ruangan NICU dengan observasi ketat dan mampu melakukan resusitasi.
n Rekomendasi 7.1.4: Penyakit isoimun hemolitik, pemberian 7-globulin (0,5-1 g/ kgBB
'selama 2 jam) direkomendasikan jika kadar bilirubin total serum meningkat walaupun
telah mendapat fototerapi intensif atau kadar bilirubin total serum berkisar 2-3 mg/dL dari
kadar tranfusi ganti. Jika diperlukan dosis ini dapat diulang dalam 12 jam.
Rekomendasi 7.2 : Semua fasilitas perawatan dan pelayanan bayi harus memiliki peralatan
untuk fototerapi intensif.
Fototerapi
saluran cerna
Efek okuler Tidak ada penelitian pada Menurunnya input sensoris dan stimulasi
manusia, namun perlu sensorism Penutup mata meningkatkan risiko
perhatian antara efek cahaya infeksi, aberasi kornea, peningkatan tekanan
intrakranial (jika terlalu kencang)
dibandingkan dengan efek
penutup mata
Perubahan kulit Tanning Disebabkan oleh induksi sintesa melanin atau
disperse oleh sinar ultraviolet
Rashes Disebabkan oleh cedera pada sel mast kulit
dengan pelepasan histamine, eretima dari sinar
ultraviolet.
Burns Disebabkan oleh pemaparan yang berlebihan
dari emisi gelombang pendek sinar fluorescent
Bronze baby syndrome Disebabkan oleh interaksi fototerapi danikterus
kolestasis, menghasilkan pigmen
cokelat(bilifuscin) yang mewarnai kulit, dapat
pulihdalam hitungan bulan
Perubahan endokrin Perubahan kadargonadotropin Belum diketahui secara pasti
serum(peningkatan LH dan FSH)
Perubahan Peningkatan turnover Merupakan masalah bagi bayi dengan trombosit
hematologi trombosit
Cedera pada sel darah merah Menyebabkan hemolisis, meningkatkan
dalam sirkulasi denganpenurunan kebutuhan energi
kalium danpeningkatan aktivitas
ATP
yang rendah dan yang dalam keadaan
sepsis
Tranfusi Tukar
n Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukan keadaan tanpa patokan pasti karena
terdapat pertimbangan klinis yang luas dan tergantung respon terhadap foto terapi
n Direkomendasikan tranfusi tukar segera bila bayi menunjukan gejala ensefalopati akut
( hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus, high pitch cry, demam) atau bila kadar
bilirubin total ≥ 5 mg/dL diatas garis patokan.
n Faktor risiko: penyakit hemolitik autoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu tidak
stabil, sepsis, asidosis
n Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total / albumin (lihat tabel 9.9)
n Sebagai patokan adalah bilirubin total
n Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 minggu ( risiko sedang) transfusi tukar dapat
dilakukan bersifat individual berdasarkan kadar bilirubin total sesuai usianya
Tabel 9.10 Rasio bilirubin total/ albumin sebagai penunjang untuk memutuskan untuk transfusi tukar
Dari gambar 9.4 dan 9.5 yang dikonversikan ke dalam angka dapat dililiat pada Tabel 9.11.
Penatalaksanaan fotorterpi dan tranfusi tukar berdasarkan berat badan pada Tabel 9.12
Tabel 9.11 Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi sehat cukup bulan berdasarkan
American Academy of Pediatrics
Tabel 9.12 Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berdasarkan berat badan dan bayi baru lahir yang
relatif sehat
ANALISA KASUS
Hiperbilirubin
Pada pasien ini, hiperbilirubinemia ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik didapat pada usia 4 hari setelah dilahirkan, kulit bayi tampak kuning mulai
dari mata, leher, dada, dan perut ( Kremer III). Menurut kepustakaan bahwa
ikterus yang timbul pada 24 jam pertama merupakan ikterus patologiskarena
memiliki kadar bilirubin diatas 12,5 mg/dl untuk neonatus cukup bulan dan kadar
bilirubin diatas 10 mg/dl untuk neontus kurang bulan sehingga disebut
hiperbilirubinemia. Hiperbilirubinemia yang timbul pada akhir minggu pertama
dan selanjutnya menurut besarnya kemungkinan disebabkan oleh:
a) Biasanya karena obstruksi
b) Hipotiroidisme
c) Breast Milk Jaundice
d) Infeksi
e) Neonatal hepatitis dan lain-lain
Pada pasien ini kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia disebabkan oleh
Breast Milk Jaundice, karena pasien sejak hari pertama lahir minum ASI dan tidak
minum susu formula. Menurut kepustakaan pada sebagian bayi yang mendapat
ASI ekslusif, dapat terjadi ikterik yang berkepanjangan, biasanya mulai hari ke7
Eka Azwinda (202.311.073)
FK UPN” Veteran” Jakarta
Hiperbilirubinemia 23
dan bertahan hingga 2-3 minggu kehidupan. Peningkatan serum bilirubin indirek
maksimal 10-30 mg/dl. Hal ini dapat terjadi dicurigai karena terdapat
glukoronidase pada ASI. Namun, bila pemberian ASI tetap dilanjutkan, maka
ikterus akan menghilang dalam 3-10 minggu. Pemberian ASI dengan frekuensi
sering 10x dalam 24 jam dan pemberian ASI pada malam hari dapat mengurangi
resiko Breast Milk Jaundice.
Pada pasien ini BAB & BAKnya baik , frekuensi BABnya ±6kali sehari berwarna
kuning,dan frekuensi BAKnya ±8kali berwarna kuning .Mual & muntah jg tidak
ada. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat obstruksi pada saluran
pencernaanya.
Infeksi. Dugaan adanya infeksi perinatal dapat dipikirkan , menurut kepustakaan
adanya infeksi dapat menyebabkan kerusakan hati dengan invasi langsung ke
hepatosid atau tidak langsung melalui produksi toksin sehingga ikterus yang
terjadi dapat disebabkan karena infeksi. Namun pada pasien ini tidak dilakukan
pemeriksaan CRP sehingga hal ini mungkin saja dapat terjadi.
Hepatitis neonatal. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan seperti
pemeriksaan hepar dan lien tidak teraba. Sehingga dapat disingkirkan, untuk
memastikannya dapat kita lakukan pemeriksaan penunjang.
Tatalaksana pada kasus ini sesuai dengan kepustakaan yaitu dengan pemberian
terapi sinar, sesuai dengan indikasi pada bayi yaitu gejala klinis kuning kramer III
dengan kadar bilirubin indirek > 10 mg/dl.
DAFTAR PUSTAKA
2. Hasan, Rusepno. 1985. “Ilmu Kesehatan Anak 3 edisi ke 4“. Jakarta : Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.
3. Behrman,dkk. ”Ilmu Kesehatan Anak Vol 2 Nelson edisi 15”, Jakarta,Penerbit buku
kedokteran EGC,1999.hlm 1387-1392.
4. Mengenal ikterus neonatorum. Diambil dari www. small crab online.org. Diakses pada
tanggal 21 Juni 2009.
6. Ikterus neonatorum. Diambil dari T-4 bidan sharing informasi. Diakses pada tanggal 21
Juni 2009.
7. Pudjiadi, A Hegar, B. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi 2.
IDAI : 2011
5 4
1 5