Anda di halaman 1dari 14

A.

KONSEP DASAR PENYAKIT


1. PENGERTIAN

Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam


darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan
kernikterus jika tidak segera ditangani dengan baik. Kernikterus adalah suatu
kerusakan otak akibat peningkatan bilirubin indirek pada otak terutama pada
corpus striatum, thalamus, nukleus thalamus, hipokampus, nukleus merah dan
nukleus pada dasar ventrikulus ke-4. Kadar bilirubin tersebut berkisar antara 10 mg
/ dl pada bayi cukup bulan dan 12,5 mg / dl pada bayi kurang bulan (Wong, ddk,
2009).
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar
bilirubin tidak dikendalikan(Mansjoer, 2008).
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong
non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’. Digolongkan
sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar
serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani (Etika
et al,2006).

2. ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat
dibagi :
a. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat
kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat
disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin,
gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab
lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam
uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian
diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh
obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih
banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam
hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh
kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan
hepar oleh penyebab lain. (Hassan et al.2005).

3. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi
dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti
mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan
hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian
mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan
memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang
disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi,
indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin
untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan
melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan
larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi,
direk) (Sacher,2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk
ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin
diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah
menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen
direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya
kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam
empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi
sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama
urin (Sacher, 2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi yang baru
lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl (Cloherty et al, 2008).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh
kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan
dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati
juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin
tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar
2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi
kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice (Murray et al,2009).

4. MANIFESTASI KLINIS
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya
kira-kira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2007).
Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai
kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus
obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuningkehijauan atau kuning
kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat (Nelson,
2007).
Gambaran klinis ikterus fisiologis :
a. Tampak pada hari 3,4
b. Bayi tampak sehat (normal)
c. Kadar bilirubin total <12mg%
d. Menghilang paling lambat 10-14 hari
e. Tak ada faktor resiko
f. Sebab : proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis) (Sarwono et
al, 2005).
Gambaran klinik ikterus patologis :
a. Timbul pada umur <36 jam
b. Cepat berkembang
c. Bisa disertai anemia
d. Menghilang lebih dari 2 minggu
e. Ada faktor resiko
f. Dasar : proses patologis (Sarwono et al, 2005).
Tampak ikterus pada sklera, kuku, dan sebagian besar kulit serta membran
mukosa. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama sejak bayi lahir disebabkan
oleh penyakit hemolitik, sepsis atau ibu dengan diabetik dan infeksi. Jaundice yang
tampak pada hari ke-2 atau ke-3 dan mencapai puncak pada hari ke-3 sampaike-4
serta menurun pada hari ke-5 sapai hari ke-7 biasanya merupakan jaundice
fisiologis.
Gejala kernikterus berupa kulit kuning kehijauan, muntah, anorexia,
fatique, warna urine gelap, warna tinja seperti dempul, letargi (lemas), kejang, tak
mau menetek, tonus otot meninggi dan akhirnya opistotonus. (Ngastiyah, 2005).

5. PATHWAYS
Penyakit hemolitik Obat-obatan Gangguan fungsi hepar
(infeksi, asidosis, asfiksia,
↓ ↓ hipoksia)

Hemolitik Defisiensi albumin ↓

↓ ↓ Konjugasi bil indirek menjadi


Pembentuk bilirbin Jumlah bilirubin bil direk rendah
bertambah berkurang

Biilirubin indirek meningkat

Toksik bagi jaringan Fototerapi Pengeluaran cairan empedu

↓ ↓ ↓

Resiko kerusakan Peristaltik usus meningkat


Sinar suhu tinggi
integritas kulit
↓ ↓

Perubahan suhu Peningkatan BAB dan


Resiko cidera perubahan konsistensi feses
lingkungan

↓ ↓

Merangsang saraf Peningkatan output


aferen dan hipotalamus
↓ ↓

Vasokonstriksi Kehilangan cairan aktif

↓ ↓

Penguapan secara aktif Kekurangan volume cairan

Hipertermi
6. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut :
a. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini
kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah
dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini
sudah jarang dipakai lagi.
b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin
(misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan
albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa
dilakukan tanpa hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat
mempermudah proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini
menyebabkan kadar bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena
bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan
dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar.
c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.
d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak
toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar (Mansjoer et al,
2007).
Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:
a. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg%
b. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
c. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
d. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji Coombs direct
positif (Hassan et al, 2005).
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
a. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin
dengan membuka pakaian bayi.
b. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat
memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi
bayi.
c. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang
terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
d. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang
terkena cahaya dapat menyeluruh.
e. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
f. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
g. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan
hemolisis.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup.
Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan
penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus
akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar (Etika et al,
2006).
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah
dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari
telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang
hidung,dada,lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning.
Pemeriksaan serum bilirubin(direk dan indirek) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang
tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan ‘Coombs test’, darah lengkap
dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan
serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya
kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar atau transfusi tukar(Etika et al, 2006).
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DASAR
1. PENGKAJIAN
a. Aktivitas/ istirahat : letargi, malas
b. Sirkulasi : mungkin pucat, menandakan anemia
c. Eliminasi : Bising usus hipoaktif, vasase meconium mungkin lambat, faeces
mungkin lunak atau coklat kehijauan selama pengeluaran billirubin. Urine
berwarna gelap.
d. Makanan cairan : Riwayat pelambatan/ makanan oral buruk.
e. Palpasi abdomen : dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar.
f. Neurosensori :
1) Chepalohaematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang
parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran.
2) Oedema umum, hepatosplenomegali atau hidrops fetalis, mungkin ada dengan
inkompathabilitas Rh.
3) Kehilanga refleks moro, mungkin terlihat.
4) Opistotonus, dengan kekakuan lengkung punggung, menangis lirih, aktifitas
kejang.
g. Pernafasan : krekels (oedema fleura)
h. Keamanan : Riwayat positif infeksi atau sepsis neonatus, akimosis berlebihan,
pteque, perdarahan intrakranial, dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah
dan berlanjut pada bagian distal tubuh.
i. Seksualitas : mungkin praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA), bayi dengan
letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk usia gestasi (LGA)
seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi lebih sering pada bayi pria daripada bayi
wanita.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul :
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan dan
defikasi sekunder fototherapi ditandai dengan turgor kulit kurang elastis, membrane
mukosa kering
2. Hipertermi berhubungan dengan penyakit ditandai dengan suhu tubuh di atas kisaran
normal, kulit hangat, kulit kemerahan, menggigil ringan, pucat
3. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek fototerapi ditandai
dengan kemerahan, lecet, memar, kulit tidak utuh
4. Risiko cidera berhubungan dengan efek fototherapi ditandai dengan iritasi fungsi
sensori (pengelihatan)
3. RENCANA TINDAKAN

No Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)

1 Kekurangan volume cairan Setelah diberikan tindakan 1. Monitor turgor kulit


Definisi : kerentanan mengalami penurunan volume cairan perawatan selama 3x24 2. Monitor tanda- tanda vital
intra vaskular, dan/atau intraseluler yang dapat menganggu jam diharapkan tidak 3. Monitor tanda dan gejala
kesehatan. terjadi deficit volume pendarahan menetap
Batasan Karakteristik : cairan 4. Timbang berat badan tiap hari
1. Barier kelebihan cairan Kriteria hasil : dan monitor status pasien
2. Berat badan ekstrem - Jumlah intake dan 5. Hitung atau timbang popok
3. Gangguan mekanisme regulasi output seimbang dengan baik
4. Kehilangan volume cairan aktif - Turgor kulit baik 6. Catat jumlah intake dan output
5. Penyimpangan yang memengaruhi absorpsi cairan - Membrane mukosa 7. Instruksikan pasien untuk
Faktor yang berhubungan : lembab meningkatkan makanan yang
b. Eleminasi usus - Tanda vital dalam batas kaya vitamin K
c. Turgor kulit kurang elastis normal 8. Kolaborasikan pemberian
d. Membrane mukosa kering - Penurunan BB tidak suplemen elektrolit (misalnya,
e. Keseimbangan elektrolit dan asam/basa lebih dari 10 % BBL pemberian secara oral ,
f. Fungsi gastrointestinal nasogastrik dan pemberian
g. Keparahan infeksi melalui intravena) sesuai resep
h. Keparahan mual muntah dan keperlu
i. Status nutrisi: asupan makanan & cairan
j. Eleminasi urin

2 Hipertermi Setelah diberikan tindakan 0. Monitor suhu dan tanda-tanda


Definisi: Berisiko mengalami kegagalan mempertahankan perawatan selama 3x24 vital
suhu tubuh dalam kisaran normal jam diharapkan tidak 1. Monitor warna kulit
Batasan karakteristik : terjadi hipertermi 2. Ciptakan lingkungan yang bersih
1. Suhu tubuh di atas dan di bawah kisaran normal Kriteria hasil : dan nyaman
2. Kejang - Suhu tubuh dalam 3. Tutup pasien dengan selimut atau
3. Kulit hangat rentang normal antara pakian ringan, tergantung pada
4. Kulit kemerahan 36,5-37 0 C. fase demam (yaitu : memberikan
5. Menggigil ringan - Tidak teraba panas selimut hangat untuk fase dingin:
6. Pucat sedang - Tidak ada tanda-tanda menyediakan pakian atau linen
7. Takikardia dehidrasi tempat tidur ringan untuk demam
Faktor yang berhubungan fase bergejolak/Flush)
1. Fluktuasi suhu lingkungan 4. Anjurkan untuk menambah
2. Penyakit intake cairan / memberikan ASI
3. Trauma 5. Beri obat atau cairan IV
4. Usia (misalnya, antipiretik)
3 Resiko kerusakan integritas kulit Setelah diberikan tindakan 1. Observasi kehangatan, bengkak,
Definisi : berada pada resiko terjadinya kerusakan perawatan selama 3x24 pulsasi, tekstur, edema, dan
epidermis dan/atau dermis jam diharapkan tidak ulserasi pada ekstremitas
Batasan Karakteristik terjadi gangguan integritas 2. Observasi warna kulit
Eksternal kulit 3. Ubah posisi setiap 2-4 jam
1. Cedera kimiawi kulit (mis, luka bakar, kapasisian, Kriteria hasil: 4. Lakukan pijat bayi
metilen, klorida, agens mustard) - Tidak kemerahan 5. Jaga kebersihan kulit bayi dan
2. Factor mekanik (mis, daya gesek, tekan, imobilisasi - Tidak lecet berikan baby oil atau lotion
fisik) - Tidak memar pelembab
3. Hipertermia & Hipotermia - Kulit utuh 6. Jelaskan untuk menggunakan
4. Lembab - Kulit bersih dan kain linen kasur yang teksturnya
5. Sekresi lembab tidak kasar
6. Terapi radiasi 7. Kolaborasi untuk pemeriksaan
Internal kadar bilirubin, bila kadar
1. Gangguan metabolism bilirubin turun menjadi fototerafi
2. Gangguan pigmentasi dihentikan
3. Gangguan sensasi (akibat cedera medulla spinalis,
diabestes meilitus, dll)
4. Gangguan sirkulasi
5. Imunodefisiensi
6. Nutrisi tidak adekuat
Faktor yang berhubungan :
1. Respon alergi: local
2. Kontinesia usus
3. Status sirkulasi
4. Hidrasi
5. Konsekuensi imobilitas: fisiologi
6. Respon imun hipersensitif
7. Keparahan infeksi
8. Respon pengobatan

4 Risiko cedera Setelah diberikan tindakan 1. Monitor adanya iritasi atau


Definisi: rentan mengalami cedera fisik akibat kondisi perawatan selama 3x24 kemerahan pada mata
lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan jam diharapkan tidak 2. Monitor adanya anafilaksis
sumber defensive individu, yang dapat mengganggu terjadi injury (misal ; berulang dalam 24 jam
kesehatan. konjungtivitis, kerusakan 3. Tempatkan neonatus pada jarak
Batasan karakteristik jaringan kornea ) 40-45 cm dari sumber cahaya
Eksternal: Kriteria hasi : 4. Biarkan neonatus dalam keadaan
1. Agens nasokomial - Resiko cidera dapat telanjang, kecuali pada mata dan
2. Hambatan fisik (mis., desain, struktur, pengaturan dihindari daerah genetal serta bokong
komunitas, pembangunan, peralatan) - Tidak ada tanda iritasi ditutup dengan kain yang dapat
3. Pajanan pada kimia toksik seperti kemerahan memantulkan cahaya, jangan
4. Pajanan pada pathogen pada mata sampai kain menutupi bagian
5. Tingkat imunisasi mulut atau hidung
Internal: 5. Matikan lampu, buka penutup
1. Disfungsi imun mata untuk mengkaji adanya
2. Disfungsi integrasi sensori konjungtivitis tiap 8 jam
3. Gangguan mekanisme pertahanan primer (mis., kulit 6. Jelaskan pada keluarga untuk
robek) menghindari bahan yang
4. Gangguan orientasi afektif menyebabkan alergi
5. Gangguan sensasi (akibat dari cedera medulla spenalis, 7. Kolaborasikan pemberian obat-
diabetes militus, dll) obatan untuk mengurangi atau
Faktor yang berhubungan : meminimalkan respon alergi
1. Respon alergi: sistemik
1. Koordinasi pergerakan
2. Respon imun hipersensitif
3. Fungsi sensori: pendengaran
4. Fungsi sensori: pengelihatan

4. IMPLEMENTASI
Sesuaikan dengan intervensi

5. EVALUASI
Sesuaikan dengan kriteria hasil
DAFTAR PUSTAKA

Wong, D. L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatik. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aeseulupius
Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik SM. 2006. Hiperbilirubinemia pada neonatus.
Continuing education ilmu kesehatan anak
Hassan, R.,. 2005. Inkompatibilitas ABO dan Ikterus pada Bayi Baru Lahir. Jakarta :
Percetakan Infomedika.
Sacher, Ronald, A., Richard A., McPherson. 2004. Tinjaun Klinis Hasil Pemeriksaan
Laborotorium. 11th ed. Editor bahasa Indonesia: Hartonto, Huriawati. Jakarta: EGC
Cloherty, J. P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008. Neonatal Hyperbilirubinemia in
Manual of Neonatal Care. Philadelphia: Lippincort Williams and Wilkins
Murray, R.K., et al. 2009. Edisi Bahasa Indonesia Biokimia Harper. 27th edition. Alih
bahasa Pendit, Brahm U. Jakarta : EGC
Sarwono, Erwin, et al. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/ UPF Ilmu Kesehatan
Anak. Ikterus Neonatorum(Hyperbilirubinemia Neonatorum). Surabaya: RSUD Dr.Soetomo.

Anda mungkin juga menyukai