HIPERBILIRUBINEMIA
1. PENGERTIAN
2. ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri
ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar,
ikterus neonatarum dapat dibagi :
a. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD,
piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini
dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis,
hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil
transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah
defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam
uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin
kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini
dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole.
Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi
dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya
diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya
akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Hassan et
al.2005).
Kriteria Icterus pada bayi :
Lebih dari 50% bayi baru lahir normal dan 80% bayi kurang bulan
mengalami ikterus. Ikterus dibagi menjadi Ikterus abnormal dan
normal:
Ikterus abnormal (non fisiologis)
Ikterus dimulai pada hari pertama kehidupan
Ikterus berlangsung tidak lebih dari 14 hari pada bayi cukup bulan,
21 hari pada bayi kurang bulan
Ikterus disertai demam
Ikterus berat: telapak tangan dan kaki bayi kuning.
3. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-
90%) terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%)
dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap
kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari
sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin
heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam
bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek).
Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin
untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh
dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan
menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam
glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk) (Sacher,2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut
tersebut masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke
dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi
urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari
usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali
ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam
empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh
sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin (Sacher, 2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi
yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl (Cloherty et
al, 2008).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan
bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya
atau disebabkan oleh kegagalan hati (karena rusak) untuk
mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal.
Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan
menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin
tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai
tertentu (sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam
jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus
atau jaundice (Murray et al,2009).
4. MANIFESTASI KLINIS
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar
bilirubin serumnya kira-kira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2007).
Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit
mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau
jingga. Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan
warna kuningkehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat
ditemukan pada ikterus yang berat (Nelson, 2007).
Gambaran klinis ikterus fisiologis :
a. Tampak pada hari 3,4
b. Bayi tampak sehat (normal)
c. Kadar bilirubin total <12mg%
d. Menghilang paling lambat 10-14 hari
e. Tak ada faktor resiko
f. Sebab : proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis)
(Sarwono et al, 2005).
Gambaran klinik ikterus patologis :
a. Timbul pada umur <36 jam
b. Cepat berkembang
c. Bisa disertai anemia
d. Menghilang lebih dari 2 minggu
e. Ada faktor resiko
f. Dasar : proses patologis (Sarwono et al, 2005).
Tampak ikterus pada sklera, kuku, dan sebagian besar kulit serta
membran mukosa. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama sejak
bayi lahir disebabkan oleh penyakit hemolitik, sepsis atau ibu dengan
diabetik dan infeksi. Jaundice yang tampak pada hari ke-2 atau ke-3 dan
mencapai puncak pada hari ke-3 sampaike-4 serta menurun pada hari
ke-5 sapai hari ke-7 biasanya merupakan jaundice fisiologis.
Gejala kernikterus berupa kulit kuning kehijauan, muntah,
anorexia, fatique, warna urine gelap, warna tinja seperti dempul, letargi
(lemas), kejang, tak mau menetek, tonus otot meninggi dan akhirnya
opistotonus. (Ngastiyah, 2005).
5. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut :
a. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital.
Obat ini kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar
bilirubinnya rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh
proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi.
b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme
bilirubin (misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau
(menambahkan albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin).
Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia.
Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi
bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar
bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin
tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan
dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah
terapi tukar.
c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan
oral dini.
d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto
yang tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah
larut dalam air.
e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar
(Mansjoer et al, 2007).
Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:
a. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg%
b. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
c. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
d. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji Coombs
direct positif (Hassan et al, 2005).
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir
atau setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar
yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa
tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang
berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita
sedang mendapatkan terapi sinar (Etika et al, 2006).
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara
klinis, mudah dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer
(1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang
tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut dan lain-lain. Tempat
yang ditekan akan tampak pucat atau kuning.
Pemeriksaan serum bilirubin(direk dan indirek) harus dilakukan
pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak
sakit atau bayi-bayi yang tergolong resiko tingggi terserang
hiperbilirubinemia berat.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi
menentukan penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan
‘Coombs test’, darah lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining
G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang
setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar
serum albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau
transfusi tukar(Etika et al, 2006).
KONSEP KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Aktivitas/ istirahat : letargi, malas
b. Sirkulasi : mungkin pucat, menandakan anemia
c. Eliminasi : Bising usus hipoaktif, vasase meconium mungkin lambat,
faeces mungkin lunak atau coklat kehijauan selama pengeluaran
billirubin. Urine berwarna gelap.
d. Makanan cairan : Riwayat pelambatan/ makanan oral buruk.
e. Palpasi abdomen : dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar.
f. Neurosensori :
1) Chepalohaematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua
tulang parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran.
2) Oedema umum, hepatosplenomegali atau hidrops fetalis, mungkin
ada dengan inkompathabilitas Rh.
3) Kehilanga refleks moro, mungkin terlihat.
4) Opistotonus, dengan kekakuan lengkung punggung, menangis lirih,
aktifitas kejang.
g. Pernafasan : krekels (oedema fleura)
h. Keamanan : Riwayat positif infeksi atau sepsis neonatus, akimosis
berlebihan, pteque, perdarahan intrakranial, dapat tampak ikterik pada
awalnya pada wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh.
i. Seksualitas : mungkin praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA),
bayi dengan letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar
untuk usia gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi
lebih sering pada bayi pria daripada bayi wanita.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Resiko terjadi komplikasi; kernikterus b.d peningkatan kadar bilirubin.
b. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air
(IWL) tanpa disadari akibat dari fototerapi dan kelemahan menyusu.
c. Gangguan rasa nyaman dan aman berhubungan dengan akibat
pengobatan/terapi sinar.
d. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan komplikasi tranfusi tukar.
e. Resiko injuri pada mata dan genetalia berhubungan dengan foto terapi.
f. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan fototerapi.
g. Resiko injuri berhubungan dengan peningkatan serum bilirubin
sekunder dari pemecahan sel darah merah dan gangguan eksresi
bilirubin.
3. RENCANA TINDAKAN
a. Resiko terjadi komplikasi; kernikterus b.d peningkatan kadar bilirubin.
Tujuan : Mengenal gejala dini mencegah meningkatnya ikterus.
Intervensi :
1) Jika bayi sudah terlihat mulai kuning, jemur pada matahari pagi
(sekitar jam 7
– 8 selama 15 – 30 menit).
2) Periksa darah untuk bilirubin, jika hasilnya masih dibawah 7 mg%
ulang
keesokan harinya.
3) Berikan minum banyak.
4) Perhatikan hasil darah bilirubin, jika hasilnya 7 mg%/lebih segera
hubungi dokter, bayi perlu terapi.
5) Photo Therapy Neonatus
Intervensi :
1) Pertahankan intake : beri minum sesuai kebutuhan karena bayi
malas minum
berikan berulang-ulang, jika tidak mau menghisap dapat diberikan
menggunakan sendok atau sonde.
2) Berikan terapi infus sesuai program bila indikasi : meningkatnya
temperatur,
meningkatnya konsentrasi urin, dan cairan hilang berlebihan.
3) Perhatikan frekuensi BAB, mungkin susu tidak cocok (jika bukan
ASI) .
4) Kaji adanya dehidrasi: membran mukosa, ubun-ubun, turgor kulit,
mata.
5) Monitor suhu tiap 2 jam.
c. Gangguan rasa nyaman dan aman berhubungan dengan akibat
pengobatan/terapi sinar.
Tujuan : Untuk memenuhi kebutuhan psikologik, dengan memangku
bayi setiap memberikan minum dan mengajak berkomunikasi secara
verbal
Intervensi :
Intervensi :
Intervensi :
Intervensi :
1) Inspeksi kulit setiap 4 jam.
2) Gunakan sabun bayi.
3) Merubah posisi bayi dengan sering.
4) Gunakan pelindung daerah genetal.
5) Gunakan pengalas yang lembut.
Intervensi :
Hassan, R.,. 2005. Inkompatibilitas ABO dan Ikterus pada Bayi Baru Lahir.
Jakarta : Percetakan Infomedika.
Sacher, Ronald, A., Richard A., McPherson. 2004. Tinjaun Klinis Hasil
Pemeriksaan Laborotorium. 11th ed. Editor bahasa Indonesia: Hartonto,
Huriawati. Jakarta: EGC
Murray, R.K., et al. 2009. Edisi Bahasa Indonesia Biokimia Harper. 27th edition.
Alih bahasa Pendit, Brahm U. Jakarta : EGC
Sarwono, Erwin, et al. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/ UPF Ilmu
Kesehatan Anak. Ikterus Neonatorum(Hyperbilirubinemia Neonatorum).
Surabaya: RSUD Dr.Soetomo.