Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN HIPERBILIRUBIN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Profesi Ners


Departemen Keperawatan Anak

Disusun Oleh:
EKA NUR JANNAH
KELOMPOK 1A

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021

22
22
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI
DENGAN HIPERBILIRUBIN

A. KONSEP DASAR HIPERBILIRUBIN


1. Pengertian
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar
bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi
untuk menimbulkan kernikterus jika tidak segera ditangani dengan
baik. Kernikterus adalah suatu kerusakan otak akibat peningkatan
bilirubin indirek pada otak terutama pada corpus striatum, thalamus,
nukleus thalamus, hipokampus, nukleus merah dan nukleus pada
dasar ventrikulus ke-4. Kadar bilirubin tersebut berkisar antara 10
mg/dl pada bayi cukup bulan dan 12,5 mg/dl pada bayi kurang
bulan (Ngastiyah, 2005).
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi
bilirubin dalam darah berlebihan sehingga menimbulkan joundice
pada neonatus. Kondisi ini menyebabkan terjadi akumulasi bilirubin
dalam darah yang mencapai kadar tertentu dan dapat menimbulkan
efek patologis pada neonatus ditandai joudince pada sclera mata,
kulit, membrane mukosa dan cairan tubuh. Peningkatan kadar
bilirubin serum (hiperbilirubinemia) yang disebabkan oleh kelainan
bawaan, juga dapat menimbulkan ikterus. (Suzanne C. Smeltzer, 2002)
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin
serum yang menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau
ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan
(Mansjoer, 2008). Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan
terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excess
Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia
patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum
bilirubin terhadap usia neonates >95% menurut Normogram
Bhutani (Etika et al,2006).

23
23
Jadi dapat disimpulkan bahwa hiperbilirubin adalah suatu
keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah melebihi batas atas
nilai normal bilirubin serum. Untuk bayi yang baru lahir cukup
bulan batas aman kadar bilirubinnya adalah 12,5 mg/dl, sedangkan
bayi yang lahir kurang bulan, batas aman kadar bilirubinnya adalah
10 mg/dl. Jika kemudian kadar bilirubin diketahui melebihi angka-
angka tersebut, maka ia dikategorikan hiperbilirubin.
2. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri
ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar,
penyebab ikterus neonatarum dapat dibagi menjadi:
a. Produksi yang berlebihan
1) Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila
terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada
penggolongan Rhesus dan ABO.
2) Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
3) Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan
metabolic yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis.
4) Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase).
5) Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3
(alfa), 20 (beta), diol (steroid).
6) Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase, sehingga kadar
Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada berat badan lahir
rendah.
7) Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin
Hiperbilirubinemia.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar,
kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi
hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya
enzim glukorinil transferase(Sindrom Criggler- Najjar). Penyebab

24
24
lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan
penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian
diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek
yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau
di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh
kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi
atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Hassan et al.2005).
3. Klasifikasi Hiperbilirubin
a. Ikterus prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat
hemolisis sel darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan
konjugasi terbatas terutama pada disfungsi hati sehingga
menyebabkan kenaikan bilirubin yang tidak terkonjugasi.
b. Ikterus hepatik
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati.
Akibat kerusakan hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak
terkonjugasi masuk ke dalam hati serta gangguan akibat
konjugasi bilirubin yang tidak sempurna dikeluarkan ke dalam
doktus hepatikus karena terjadi retensi dan regurgitasi.
c. Ikterus kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga
empedu dan bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam
usus halus. Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi
dalam serum dan bilirubin dalam urin, tetapi tidak didaptkan
urobilirubin dalam tinja dan urin.

25
25
d. Ikterus neonatus fisiologi
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan
sembuh pada hari ke-7. penyebabnya organ hati yang belum
matang dalam memproses bilirubin.
e. Ikterus neonatus patologis
Terjadi karena factor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai
suhu badan yang tinggi dan berat badan tidak bertambah.
f. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin
Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus,
Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus
pada dasar Ventrikulus IV
4. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar
(85-90%) terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-
15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel
menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan
besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan
memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin,
yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin
tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam
plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air.
Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati,
hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya
air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin
terkonjugasi, direk) (Sacher, 2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut
tersebut masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat
masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi
urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari

26
26
usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya
kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan
ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian
dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan
sebagai senyawa larut air bersama urin (Sacher, 2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi
yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl (Cloherty
et al, 2008). Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan
bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk
ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati (karena rusak)
untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah
normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati
juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini,
bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai
nilai tertentu (sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke
dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut
ikterus atau jaundice (Murray et al, 2009)
5. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar
bilirubin serumnya kira-kira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2007). Ikterus
sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai
kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga.
Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan
warna kuningkehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat
ditemukan pada ikterus yang berat.
a. Gambaran klinis ikterus secara umum
1) Kulit berwarna kuning sampai jingga
2) Pasien tampak lemah
3) Nafsu makan berkurang
4) Reflek hisap kurang
5) Urine pekat
6) Perut buncit

27
27
7) Pembesaran lien dan hati
8) Gangguan neurologic
9) Feses seperti dempul
10)Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
11) Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran
mukosa.
12)Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis atau ibu dengan diabetk
atau infeksi.
13)Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai
puncak pada hari ke 3 -4 dan menurun hari ke 5-7 yang
biasanya merupakan jaundice fisiologi.
b. Gambaran klinis ikterus fisiologis:
1) Tampak pada hari 3,4
2) Bayi tampak sehat (normal)
3) Kadar bilirubin total <12mg%
4) Menghilang paling lambat 10-14 hari
5) Tak ada faktor resiko
6) Sebab: proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis)
(Sarwono et al, 2005).
c. Gambaran klinik ikterus patologis:
1) Timbul pada umur <36 jam
2) Cepat berkembang
3) Bisa disertai anemia
4) Menghilang lebih dari 2 minggu
5) Ada faktor resiko
6) Dasar: proses patologis (Sarwono et al, 2005).
Tampak ikterus pada sklera, kuku, dan sebagian besar kulit
serta membran mukosa. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama
sejak bayi lahir disebabkan oleh penyakit hemolitik, sepsis atau ibu
dengan diabetik dan infeksi. Jaundice yang tampak pada hari ke-2
atau ke-3 dan mencapai puncak pada hari ke-3 sampaike-4 serta

28
28
menurun pada hari ke-5 sapai hari ke-7 biasanya merupakan jaundice
fisiologis. Gejala kernikterus berupa kulit kuning kehijauan, muntah,
anorexia, fatique, warna urine gelap, warna tinja seperti dempul,
letargi (lemas), kejang, tak mau menetek, tonus otot meninggi dan
akhirnya opistotonus. (Ngastiyah, 2005).
Rumus Kramer
Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin
1 Kepala dan leher 5 mg %
2 Daerah 1 + badan bagian atas 9 mg %
3 Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan tungkai 11 mg %
4 Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki di bawah lutut 12 mg %
5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16 mg %

6. Pathway

29
29
7. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut:
a. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital.
Obat ini kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila
kadar bilirubinnya rendah dan ikterus yang terjadi bukan
disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai
lagi.
b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses
metabolisme bilirubin (misalnya menambahkan glukosa pada
hipoglikemi) atau (menambahkan albumin untuk memperbaiki
transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa dilakukan
tanpa hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat
mempermudah proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam
plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma meningkat,
tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam
ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak
melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar.
c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian
makanan oral dini.
d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer
foto yang tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena
mudah larut dalam air.
e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar
(Mansjoer et al, 2007).
Tindakan umum meliputi:
a. Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil,
mencegah truma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi
baru lahir yang dapat menimbulkan ikhterus, infeksi dan
dehidrasi.
b. Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang
sesuai dengan kebutuhan bayi baru lahir.
c. Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.

30
30
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan
hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan
membatasi efek dari hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai
tujuan :
a. Menghilangkan Anemia
b. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
c. Meningkatkan Badan Serum Albumin
d. Menurunkan Serum Bilirubin
e. Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi: Fototerapi,
Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
1) Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau
dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk menurunkan
Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan
intensitas yang tinggi akan menurunkan Bilirubin dalam kulit.
Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara
memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini
terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah
Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut
Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke
pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah
Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati.
Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi
ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa
proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984).
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan
peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah
penyebab kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan
Anemia. Secara umum Fototherapi harus diberikan pada
kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit
dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di
Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl.

31
31
Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan
Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada bayi
resiko tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah. Dalam
perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan
sebagai berikut :
a) Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat
seluas mungkin dengan membuka pakaian bayi.
b) Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup
yang dapat memantulkan cahaya agar tidak membahayakan
retina mata dan sel reproduksi bayi.
c) Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini
dianggap jarak yang terbaik untuk mendapatkan energi
yang optimal.
d) Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar
bagian tubuh bayi yang terkena cahaya dapat menyeluruh
e) Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
f) Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24
jam.
g) Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada
bayi dengan hemolisis.
2) Tranfusi Pengganti / Tukar
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-
faktor:
a) Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
b) Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
c) Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan
atau 24 jam pertama.
d) Tes Coombs Positif.
e) Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu
pertama. f) Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl
pada 48 jam pertama. g) Hemoglobin kurang dari 12 gr /
dl.

32
32
f) Bayi dengan Hidrops saat lahir.
g) Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus. Transfusi Pengganti
digunakan untuk :
(1) Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak
Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap
Antibodi Maternal.
(2) Menghilangkan sel darah merah untuk yang
Tersensitisasi (kepekaan)
(3) Menghilangkan Serum Bilirubin
(4) Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan
meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah
golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood.
Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B
yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek.
Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil. Pada
umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai
berikut:
a) Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤ 20
mg %
b) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1 mg
%/jam
c) Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal
jantung
d) Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan
uji Coombs direct positif (Hassan et al, 2005).
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium.
1) Test Coomb pada tali pusat BBL
a) Hasil positif test Coomb indirek menunjukkan adanya
antibody Rh-positif, anti-A, anti-B dalam darah ibu.

33
33
b) Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya
sensitisasi ( Rh- positif, anti-A, anti-B) SDM dari neonatus.
2) Golongan darah bayi dan ibu: mengidentifikasi incompatibilitas
ABO.
3) Bilirubin total.
a) Kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5
mg/dl yang mungkin dihubungkan dengan sepsis.
b) Kadar indirek (tidak terkonjugasi) tidak boleh melebihi 5
mg/dl dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl
pada bayi cukup bulan atau 1,5 mg/dl pada bayi praterm
tegantung pada berat badan.
4) Protein serum total
a) Kadar kurang dari 3,0 gr/dl menandakan penurunan
kapasitas ikatan terutama pada bayi praterm.
5) Hitung darah lengkap
a) Hb mungkin rendah (< 14 gr/dl) karena hemolisis.
b) Hematokrit mungin meningkat (> 65%) pada polisitemia,
penurunan (<45%) dengan hemolisis dan anemia
berlebihan.
6) Glukosa
Kadar dextrostix mungkin < 45% glukosa darah lengkap
<30 mg/dl atau test glukosa serum < 40 mg/dl, bila bayi baru
lahir hipoglikemi dan mulai menggunakan simpanan lemak
dan melepaskan asam lemak.
7) Daya ikat karbon dioksida
Penurunan kadar menunjukkan hemolisis.
8) Meter ikterik transkutan
Mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan
bilirubin serum.
9) Pemeriksaan bilirubin serum

34
34
a) Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih
6mg/dl antara 2-4 hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih
dari 10mg/dl tidak fisiologis.
b) Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-
12 mg/dl antara 5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin
yang lebih dari 14mg/dl tidak fisiologis
10)Smear darah perifer
Dapat menunjukkan SDM abnormal/ imatur,
eritroblastosis pada penyakit RH atau sperositis pada
incompabilitas ABO
11)Test Betke-Kleihauer
Evaluasi smear darah maternal tehadap eritrosit janin.
b. Pemeriksaan radiology
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau
peningkatan diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses
hati atau hepatoma.
c. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra
hepatic dengan ekstra hepatic.
d. Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada
kasus yang sukar seperti untuk membedakan obstruksi ekstra
hepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk memastikan
keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Identitas
Biasa ditemukan pada bayi baru lahir sampai minggu I,
Kejadian ikterus: 60 % bayi cukup bulan & 80 % pada bayi kurang
bulan. Perhatian utama : ikterus pada 24 jam pertama & bila
kadar bilirubin > 5mg/dl dalam 24 jam.

35
35
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kehamilan: Kurangnya antenatal care yang baik.
Penggunaan obat – obat yang meningkatkan ikterus ex:
salisilat sulkaturosic oxitosin yang dapat mempercepat proses
konjungasi sebelum ibu partus.
2) Riwayat Persalinan: Persalinan dilakukan oleh dukun, bidan,
dokter. Atau data obyektif : lahir prematur/kurang bulan,
riwayat trauma persalinan, hipoksia dan asfiksia.
3) Riwayat Post natal: Adanya kelainan darah, kadar bilirubin
meningkat kulit bayi tampak kuning.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga: Seperti ketidak cocokan darah
ibu dan anak polisitemia, gangguan saluran cerna dan hati
(hepatitis)
5) Riwayat Pikososial: Kurangnya kasih sayang karena
perpisahan, perubahan peran orang tua
6) Pengetahuan Keluarga: Penyebab perawatan pengobatan dan
pemahan ortu terhadap bayi yang ikterus.
c. Pemeriksaan fisik dan pengkajian fungsional
1) Aktivitas / Istirahat: Letargi, malas.
2) Sirkulasi: Mungkin pucat menandakan anemia.
3) Eliminasi
a) Bising usus hipoaktif.
b) Pasase mekonium mungkin lambat.
c) Feses mungkin lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran
bilirubin.
d) Urin gelap pekat; hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
4) Makanan / Cairan
Riwayat perlambatan / makan oral buruk, mungkin lebih
disusui daripada menyusu botol. Pada umumnya bayi malas
minum ( reflek menghisap dan menelan lemah, sehingga BB bayi
mengalami penurunan). Palpasi abdomen dapat menunjukkan
pembesaran limfa, hepar.

36
36
5) Neuro sensori
a) Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau
kedua tulang parietal yang berhubungan dengan trauma
kelahiran / kelahiran ekstraksi vakum.
b) Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis
mungkin ada dengan inkompatibilitas Rh berat.
c) Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat opistotonus
dengan kekakuan lengkung punggung, fontanel menonjol,
menangis lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
6) Pernafasan: Riwayat asfiksia
7) Keamanan
a) Riwayat positif infeksi / sepsis neonates
b) Dapat mengalami ekimosis berlebihan, ptekie, perdarahan
intracranial.
c) Dapat tampak ikterik pada awalnya pada daerah wajah dan
berlanjut pada bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan
(sindrom bayi Bronze) sebagai efek samping fototerapi.
8) Seksualitas
a) Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA),
bayi dengan retardasi pertumbuhan intrauterus (LGA),
seperti bayi dengan ibu diabetes.
b) Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress
dingin, asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia.
c) Terjadi lebih sering pada bayi pria dibandingkan perempuan.
9) Penyuluhan / Pembelajaran
a) Dapat mengalami hipotiroidisme congenital, atresia bilier,
fibrosis kistik.
b) Faktor keluarga: missal riwayat hiperbilirubinemia pada
kehamilan sebelumnya, penyakit hepar, fibrosis kristik,

37
37
kesalahan metabolisme saat lahir (galaktosemia), diskrasias
darah (sferositosis, defisiensi gukosa 6 fosfat
dehidrogenase.
c) Faktor ibu, seperti diabetes ; mencerna obat-obatan (missal,
salisilat, sulfonamide oral pada kehamilan akhir atau
nitrofurantoin (Furadantin), inkompatibilitas Rh/ABO,
penyakit infeksi (misal, rubella, sitomegalovirus, sifilis,
toksoplamosis).
d) Faktor penunjang intrapartum, seperti persalinan
praterm, kelahiran dengan ekstrasi vakum, induksi
oksitosin, perlambatan pengkleman tali pusat, atau trauma
kelahiran.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ikterik neonates
b. Termoregulasi tidak efektif
c. Risiko hipotemia
d. Risiko hipovolemia
e. Resiko gangguan integritas kulit/jaringan

38
38
39
39
3. Rencana Keperawatan
NO DIAGNOSIS SLKI SIKI
KEPEAWATAN
1. Ikterik Neonatus Setelah dilakukan tindakan FOTOTERAPI NEONATUS
Definisi:Kulit dan keperawatan Observasi:
membrane neonates selama … x …., diharapkan 1. Monitor ikterik pada sklera dan kulit bayi
menguning setelah Integritas Kulit / Jaringan 2. Identifikasi kebutuhan cairan sesuai dengan
24 jam kelahiran Meningkat dengan kriteria hasil : usia getasi dan berat badan
akibat bilirubin tidak a. Elastisitas (5) 3. Monitor suhu dan tanda vital setiap 4 jam
terkonjugasi masuk b. Perfusi jaringan (5) sekali
ke dalam sirkulasi c. Hidrasi (5) 4. Monitor efek samping fototerapi (mis.
Penyebab : d. Kerusakan jaringan (5) Hipertermi, diare, rush pada kulit bayi,
a. Penurunan berat badan e. Kerusakan lapisan kulit (5) penurunan BB >8-10%)
abnormal (>7-8% pada f. Nyeri (5) Terapeutik:
bayi baru lahir yang g. Perdarahan (5) 1. Siapkan lampu fototerapi dan incubator atau
menyusu ASI, >15% pada h. Kemerahan (5) kotak bayi
bayi cukup bulan) i. Hematoma (5) 2. Lepaskan pakaian bayi kecuali popok
b. Pola makan tidak j. Pigmentasi abnormal (5) 3. Berikan penutup mata (eye protector /
ditetapkan dengan baik k. Nekrosis (5) biliband) pada bayi
c. Kesulitan transisi ke l. Abrasi kornea (5) 4. Ukur jarak antara lampu dan permukaan kulit
kehidupan ektra uterin m. Suhu kulit (5) bayi (30cm atau tergantung spesifikasi lampu
d. Usia kurang dari 7 hari n. Sensai (5) fototerapi)
e. Keterlambatan o. Tekstur (5) 5. Biarkan tubuh bayi terpapar sinar fototerapi
pengeluaran feses p. Pertumbuhan rambut (5) secara berkelanjutan
(meconium) Adaptasi Neonatus Membaik 6. Ganti segera alas atau popok bayi jika
Gejala dan Tanda dengan kriteria hasil : BAK/BAB
Mayor a. Berat bada (5) 7. Gunakan linen berwarna putih agar
Subjektif : - b. Membrane mukosa kuning (5) memantulkan cahaya sebanyak mungkin
Objektif : c. Kulit kuning (5) Edukasi:
a. Profil darah abnormal d. Prematuritas (5) 1. Anjurkan ibu menyusui sekitar 20-30 menit
(hemolysis, bilirubin e. Keterlambatan pengeluaran feses (5) 2. Anjurkan ibu menyusui sesering mungkin
serum total >2mg/dL, f. Aktivitas ekstremitas (5) Kolaborasi :
bilirubin serum total g. Respons terhadap stimulus sensorik 1. Kolaborasi pemeriksaan darah vena bilirubin
pada rentang risiko (5) direk dan indirek
tinggi menurut usia pada
normogram spesifik
waktu)
b. Membrane mukosa
kuning
c. Kulit kuning
d. Sklera kuning
Gejala dan Tanda
Minor
Subjektif : -
Objektif : -
Kondisi Klinis Terkait
a. Neonatus
b. Bayi premature
2. Risiko Hipotermia Setelah dilakukan tindakan MANAJEMEN HIPOTERMIA
dengan faktor risiko keperawatan 3x24 jam Observasi :
bayi baru lahir diharapkan termoregulasi 1. Monitor suhu tubuh
membaik dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi penyebab hipotermia
1. Pucat menurun 3. Monitor tanda dan gejala akibat hipotermia
2. Menggigil menurun Terapeutik:
3. Suhu tubuh membaik 4. Sediakan lingkungan yang hangat
4. Suhu kulit membaik 5. Ganti pakaian dana tau linen yang basah
6. Lakukan penghangatan pasif
7. Lakukan penghangatan aktif eksternal
8. Lakukan penghangatan aktif internal
Edukasi:
1. Anjurkan makan/minum hangat
3. Termoregulasi Tidak Setelah dilakukan tindakan MANAJEMEN HIPOTERMIA
Efektif Definisi: keperawatan 3x24 jam Observasi :
Kegagalan diharapkan termoregulasi 1. Monitor suhu tubuh
mempertahankan membaik dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi penyebab hipotermia
suhu tubuh dalam 1. Kejang menurun (5) 3. Monitor tanda dan gejala akibat hipotermia
rentang normal 2. Suhu tubuh membaik (5) Terapeutik:
Penyebab: 3. Suhu kulit membaik (5) 4. Sediakan lingkungan yang hangat
a. Stimulasi pusat 4. Pucat menurun (5) 5. Ganti pakaian dana tau linen yang basah
termoregulasi 5. Takikardi menurun (5) 6. Lakukan penghangatan pasif
hipotalamus 6. Takipnea menurun (5) 7. Lakukan penghangatan aktif eksternal
b. Fluktuasi suhu 7. Hipoksia menurun (5) 8. Lakukan penghangatan aktif internal
lingkungan 8. Kadar glukosa darah membaik (5) Edukasi:
c. Proses penyakit (Mis. 9. Pengisian kapiler membaik (5) 9. Anjurkan makan/minum hangat
Infeksi) 10. Ventilasi membaik (5)
d. Proses penuaan REGULASI TEMPERATUR
e. Dehidrasi Observasi
f. Ketidaksesuaian pakaian 1. Monitor suhu tubuh anak tiap 2 jam
suhu lingkungan 2. Monitor tekanan darah, frekuensi pernapasan,
g. Peningkatan kebutuhan dan nadi
oksigen 3. Monitor warna dan suhu kulit
h. Perubahan laju 4. Monitor dan catat tanda dan gejala hipertermia
metabolism Terapeutik
i. Suhu lingkungan 5. Pasang alat pemantau suhu kontinu jika perlu
ekstrem 6. Sesuaikan suhu linkungan dengan kebutuhan
j. Ketidakadekuatan suplai pasien
lemak subkutan Kolaborasi
k. Berat badan ekstrem 7. Kolaborasi pemberian antipiretik
l. Efek agen farmakologis
(mis. Sedasi)
Gejala dan Tanda
Mayor Subjektif
(Tidak Tersedia)
Objektif
a. Kulit dingin/hangat
b. Menggigil
c. Suhu tubuh fluktuatif
Gejala dan Tanda
Minor Subjektif
(Tidak Tersedia)
Objektif
a. Piloreksi
b. Pengisian kapiler >3
detik
c. Tekanan darah
meningkat
d. Pucat
e. Frekuensi napas
meningkat
f. Takikardia
g. Kejang
h. Kulit kemerahan
i. Dasar kuku sianotik
Kondisi Klinis
Terkait
a. Cedera Medula Spinalis
b. Infeksi/sepsis
c. Pembedahan
d. Cedera Otak Akut
e. Trauma
4. Risiko Hipovolemia Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipovolemia
Definisi: Berisiko keperawatan selama …...x…... Observasi:
mengalami menit diharapkan Status cairan 1. Periksan tanda dan gejala hipovolemias (mis.
penurunan volume Membaik dengan kriteria hasil: Nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan
cairan 1. Kekuatan nadi (5) darah menurun, tekanan nadi menyempit,
instravaskular, 2. Turgor kulit (5) turgor kulit menurun, membrane mukosa
interstisial, dan/atau 3. Output urine (5) kering, volume urine menurun, hematokrit
intraseslukler. 4. Pengisian vena (5) meningkat, haus, lemah)
Faktor Risiko: 5. Frekuensi nadi (5) 2. Monitor intake dan output cairan
a. Kehilangan cairan aktif 6. Tekanan darah (5) Terapeutik
b. Kegagalan mekanisme 7. Tekanan nadi (5) 3. Hitung kebutuhan cairan
regulasi 8. Membrane mukosa (5) 4. Berikan posisi modified Trendelenburg
c. Peningkatan 9. Jugular Venous Pressure (JVP) (5) 5. Berikan asuoan cairan oral
permeabilitas kapiler Edukasi
d. Kekurangan intake 6. Anjurnkan memperbanyak asupan cairan oral
cairan 7. Anjurkan menghindari perubahan posisi
e. Evaporasi mendadak
f. Kekurangan intake Kolaborasi
cairan 8. Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis.
g. Efek agen farmakologis NaCl, RL)
Kondisi Klinis 9. Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis.
Terkait: Glukosa 2,5%, NaCl 0,4%)
a. Penyakit Addison 10. Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis.
b. Trauma atau perdarahan Albumin, Plasmanate)
c. Luka bakar 11. Kolaborasi pemberian produk darah.
d. AIDS
e. Penyakit Crohn
f. Muntah
g. Diare
5. Risiko Gangguan Setelah dilakukan tindakan Perawatan Integritas Kulit
Integritas keperawatan selama …...x…... Observasi:
Kulit/Jaringan menit diharapkan Kulit / Jaringan 1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
Definisi : Meningkat dengan kriteria hasil : (mis Perubahan sirkulasi, perubahan status
Berisiko mengalami a. Elastisitas (5) nutrisi, penurunan kelembaban kulit, suhu
kerusakan kulit b. Perfusi jaringan (5) lingkungan ekstrem, penurunan mobilisasi)
(dermis, dan/atau c. Hidrasi (5) Terapeutik
epidermis) atau d. Kerusakan jaringan (5) 2. Ubah posisi setiap 2 jam sekali
jaringan (membrane e. Kerusakan lapisan kulit (5) 3. Lakukan pemijatan pada area penonjolan
mukosa, kornea, f. Nyeri (5) tulang, jika perlu
fasia, otot, tendon, g. Perdarahan (5) 4. Bersihkan perineal dengan air hangat,
tulang, kartilago, h. Kemerahan (5) terutama selama periode diare
kapsul sendi i. Hematoma (5) 5. Gunakan produk berbahan petroleum atau
dan/atau ligament) j. Pigmentasi abnormal (5) minyak pada kulit kering
Faktor Risiko: k. Nekrosis (5) 6. Gunakan produk berbahan ringan / alami dan
a. Perubahan sirkulasi l. Abrasi kornea (5) hipoalergik pada kulit sensitive
b. Perubahan status nutrisi m. Suhu kulit (5) 7. Hindari produk berbahan dasar alcohol pada
(kelebihan atau n. Sensai (5) kulit kering Edukasi :
kekurangan) o. Tekstur (5) 8. Anjurkan penggunaan pelembab (mis. Lotion
c. Kekurangan atau p. Pertumbuhan rambut (5) atau serum)
kelebihan volume cairan 9. Anjurkan minum air yang cukup
d. Penurunan mobilitas 10. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
e. Bahan kimia iritatif 11. Anjurkan meningkatkan asupan buah dan
f. Suhu lungkungan yang sayur
ekstrem 12. Anjurkan menghindari suhu ekstrem
g. Factor mekanis (mis. 13. Anjurkan menggunakan tabir surya SPF
Penekanan, gesekan) minimal 30 saat berada di luar rumah
atau factor elektris 14. Anjurkan mandi dan menggunakan sabun
(elektrodiatermi, energi secukupnya
listrik bertegangan
tinggi)
h. Terapi radiasi
i. Kelembaban
j. Proses penuaan
k. Neuropati perifer
l. Perubahan pigmentasi
m. Perubahan hormonal
n. Penekanan pada
tonjolan tulang
o. Kurang terpapar
informasi tentang upaya
mempertahankan
/melindungi integritas
jaringan
Kondisi Klinis
Terkait
a. Imobilisasi
b. Gagal jantung kongestif
c. Diabetes melitus
d. Imunodefisiensi (mis.
AIDS)
e. Katerisasi jantung
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dilaksanakan sesuai dengan
intervensi keperawatan yang telah ditetapkan. Menurut effendy,
implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Jenis
tindakan pada implementasi ini terdiri dari tindakan mandiri,
saling ketergantungan/kolaborasi, dan rujukan/ketergantungan.
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan
rencana tindakan keperawatan. Pada situasi nyata sering
implementasi juh berbeda dengan rencana. Hal ini terjadi karena
peawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam
melaksanakan tindakan keperawatan. Yang biasa adalah rencana
tidak tertulis yaitu apa yang dipikirkan, dirasakan, itu yang
dilaksanakan. Hal ini sangat membahayakan klien dan perawat jika
berakibat fatal, dan juga tidak memenuhi aspek legal.

5. Evaluasi Keperawatan
Menurut Alfaro-LeFevre, evaluasi mengacu kepada penilaian,
tahapan, dan perbaikan. Pada tahap ini perawat menemukan
penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat berhasil atau
gagal. Evaluasi dibagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Evaluasi Formatif: Hasil observasi dan analisa perawat
terhadap respon segera pada saat dan setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
b. Evaluasi Sumatif: Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi
dan analisa status kesehatan sesuai waktu pada tujuan ditulis
pada catatan perkembangan.
DAFTAR PUSTAKA

Cloherty, J. P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008. Neonatal


Hyperbilirubinemia in Manual of Neonatal Care. Philadelphia:
Lippincort Williams and Wilkins 21
Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik SM. 2006. Hiperbilirubinemia pada
neonatus. Continuing education ilmu kesehatan anak
Hassan, R.,. 2005. Inkompatibilitas ABO dan Ikterus pada Bayi Baru Lahir.
Jakarta : Percetakan Infomedika.
Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika
Aeseulupius
Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius
Murray, R.K., et al. 2009. Edisi Bahasa Indonesia Biokimia Harper. 27th
edition. Alih bahasa Pendit, Brahm U. Jakarta : EGC
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI.
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Brunner &
Suddarth Jilid II Edisi 8. Jakarta : EGC.
Sacher, Ronald, A., Richard A., McPherson. 2004. Tinjaun Klinis Hasil
Pemeriksaan Laborotorium. 11th ed. Editor bahasa Indonesia:
Hartonto, Huriawati. Jakarta: EGC
Sarwono, Erwin, et al. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/ UPF Ilmu
Kesehatan Anak. Ikterus Neonatorum (Hyperbilirubinemia
Neonatorum). Surabaya: RSUD Dr.Soetomo.

Anda mungkin juga menyukai