Di Ajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Stase Keperawatan Kegawatdaruratan dan Kritis
Oleh :
191 FK 04012
2. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat
dibagi :
a. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat
kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat
disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom Criggler-Najjar).
Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan
penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian
diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi
oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan
lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang
mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam
hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh
kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Hassan et al.2005).
3. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin
serumnya kira-kira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2007).
Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit
mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga.
Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna
kuningkehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan
pada ikterus yang berat (Nelson, 2007).
Gambaran klinis ikterus fisiologis :
a. Tampak pada hari 3,4
b. Bayi tampak sehat (normal)
c. Kadar bilirubin total <12mg%
d. Menghilang paling lambat 10-14 hari
e. Tak ada faktor resiko
f. Sebab : proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis)
(Sarwono et al, 2005).
Gambaran klinik ikterus patologis :
a. Timbul pada umur <36 jam
b. Cepat berkembang
Rumus Kramer
Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin
1 Kepala dan Leher 5 mg%
2 Daerah 1 + badan bagian atas 9 mg%
3 Daerah 1, 2 + badan bagian bawah 11 mg%
dan tungkai
4 Daerah 1, 2, 3 + lengan dan kaki 12 mg%
dibawah lutut
5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16 mg%
4. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%)
terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari
senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks
haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah.
Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk
sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan
tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin
dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu
zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas
bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat
bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk) (Sacher,2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut
masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus,
bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen
dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah
porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya
diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini
diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin (Sacher, 2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi yang
baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl (Cloherty et al, 2008).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh
kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang
dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi
saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua
keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya
mencapai nilai tertentu (sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke
dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus
atau jaundice (Murray et al,2009).
5. Pathway
4. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut :
a. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat
ini kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar
bilirubinnya rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh
proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi.
b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin
(misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau
(menambahkan albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin).
Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia.
Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi
bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar
bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin
tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan
dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar.
c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral
dini.
d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang
tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut
dalam air.
e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar
(Mansjoer et al, 2007).
Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai
berikut:
1) Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg%
2) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
3) Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
4) Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji
Coombs direct positif (Hassan et al, 2005).
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan
sebagai berikut :
a. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas
mungkin dengan membuka pakaian bayi.
b. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat
memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel
reproduksi bayi.
c. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak
yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
d. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh
bayi yang terkena cahaya dapat menyeluruh.
e. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
f. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
g. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan
hemolisis.
7. Pemeriksaan Penunjang
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir
atau setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar
yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak
terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit
gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang
mendapatkan terapi sinar (Etika et al, 2006).
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis,
mudah dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969).
Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan
akan tampak pucat atau kuning.
Pemeriksaan serum bilirubin(direk dan indirek) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi-bayi yang tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi
menentukan penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan ‘Coombs
test’, darah lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan
bilirubin direk. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam
tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga
harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar (Etika et
al, 2006).
a. Metabolik
1) Hipoglikemia
Bila kadar darah gula kurang dari 30 mg% pada neonatus cukup bulan
dan kurang dari 20 mg% pada bayi dengan berat badan lahir rendah.
Hipoglikemia dapat dengan/tanpa gejala. Gejala dapat berupa serangan
apnea, kejang sianosis, minum lemah, biasanya terdapat pada bayi berat
badan lahir rendah, bayi kembar yang kecil, bayi dari ibu penderita
diabetes melitus, asfiksia.
2) Hipokalsemia
Keadaan kadar kalsium pada plasma kurang dari 8 mg/100 ml atau
kurang dari 8 mg/100 ml atau kurang dari 4 MEq/L. Gejala: tangis
dengan nada tinggi, tonus berkurang, kejang dan diantara dua serangan
bayi dalam keadaan baik.
3) Hipomagnesemia
Yaitu kadar magnesium dalam darah kurang dari 1,2 mEg/l. Biasanya
terdapat bersama-sama dengan hipokalsemia, hipoglikemia dan lain-
lain.
4) Hiponatremia dan hipernatremia
Hiponatremia adalah kadar Na dalam serum kurang dari 130 mEq/l.
gejalanya adalah kejang, tremor. Hipertremia, kadar Na dalam darah
lebih dari 145 mEq/l. Kejang yang biasanya disebabkan oleh karena
trombosis vena atau adanya petekis dalam otak.
5) Defisiensi piridoksin dan dependensi piridoksin
Merupakan akibat kekurangan vitamin B6. gejalanya adalah kejang
yang hebat dan tidak hilang dengan pemberian obat anti kejang,
kalsium, glukosa, dan lain-lain. Pengobatan dengan memberikan 50 mg
pirodiksin.
6) Asfiksia
Suatu keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera
setelah lahir etiologi karena adanya gangguan pertukaran gas dan
transfer O2 dari ibu ke janin.
b. Perdarahan Intrakranial
Dapat disebabkan oleh trauma lahir seperti asfiksia atau hipoksia, defisiensi
vitamin K, trombositopenia. Perdarahan dapat terjadi sub dural, sub
aroknoid, intraventrikulus dan intraserebral. Biasanya disertai
hipoglikemia, hipokalsemia.Diagnosis yang tepat sukar ditetapkan, fungsi
lumbal dan offalmoskopi mungkin dapat membantu diagnosis. Terapi :
pemberian obat anti kejang dan perbaikan gangguan metabolism bila ada.
c. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kejang, seperti : tetanus dan meningitis.
d. Genetik / Kelainan Bawaan
Faktor genetic atau keturunan dimana harus diketahui riwayat keluarga
adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom epilepsi yang
spesifik atau kelainan neurologi yang ada katannya dengan factor genetik
dimana manifestasinya adalah serangan kejang.Sebagai contoh Juvenile
Myoclonic Epilepsy(JME ),Familial Neonatal Convulsion,benign rolandic
epilepsy dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang
demam plus (Ahmed,Spencer 2004).
Penyebab lain:
a. Poliiskemik
Biasanya terdapat pada bayi berat lahir rendah, infufisiensi placenta,
transfuse dari bayi kembar yang satunya ke bayi kembar yang lain dengan
kadar hemoktrokit di atas 65%.
b. Kejang idiopatik
Kejang idiopatik adalah kejang non demam berulang yang tidak diketahui
penyebabnya. Kejang ini terjadi pada penderita epilepsy idiopatik (epilepsi
primer) yang merupakan jenis epilepsi yang penyebabnya tidak diketahui.
Tidak memerlukan pengobatan yang spesifik, bila tidak diketahui
penyebabnya berikan oksigen untuk sianosisnya.
c. Toksin estrogen
Tingginya kadar estrogen bias memicu terjadinya disfungsi tiroid.
Pasalnya kadar estogen yang tinggi menyebabkan produksi globulin yang
mengakibatkan tejadinya pengikatan tiroid berlebihan oleh hati. Globulin
bekerja mengikat hormone tiroid dalam darah sehingga tidak masuk sel
sehingga hormon tiroid didalam sel turun untuk metabolisme tubuh untuk
membakar lemak dan gula yang menyebabkan penurunan kinerja karena
kurang energi.
3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala kejang pada neonatus
a. Tremor
b. Hiperaktif
c. Kejang-kejang
d. Tiba-tiba menangis melengking
Kejang pada neonatus harus dibedakan dari aktifitas normal pada bayi
prematur, bayi cukup bulan dan gerakan abnormal lain yang bukan kejang.
Jitteriness merupakan salah satu gejala gangguan pergerakan yang sulit
dibedakan dengan kejang. Penyebab tersering jitteriness adalah ensefalopati
hipoksik- iskemik,hipokalsemia, hipoglikemia dan gejala putus obat.
a. Bentuk kejang yang hampir tidak terlihat (Subtle) yang sering tidak
diinsafi sebagai kejang. Terbanyak di dapat pada neonatus berupa :
1) Deviasi horizontal bola mata
2) Getaran dari kelopak mata (berkedip-kedip)
3) Gerakan pipi dan mulut seperti menghisap, mengunyah,
mengecap,dan menguap
4) Opnu berulang
5) Gerakan tonik tungkai
b. Kejang klonik multifokal (miogratory)
Gerakan klonik berpindah-pindah dari satu anggota gerak ke yang lain
secara tidak teratur, kadang-kadang kejang yang satu dengan yang lain
dapat menyerupai kejang umum.
c. Kejang tonik
Ekstensi kedua tungkai, kadang-kadang dengan flexi kedua lengan
menyerupai dekortikasi
d. Kejang miokolik
Berupa gerakan flexi seketika seluruh tubuh, jarang terlihat pada
neonatus
e. Kejang umum
Kejang seluruh badan, sianosis, kesadaran menurun
f. Kejang fokal
Gerakan ritmik 2-3 x/detik. Sentakan yang dimulai dari salah satu kaki,
tangan atau muka (gerakan mata yang berputar- putar, menguap, mata
berkedip-kedip, nistagmus, tangis dengan nada tinggi),
5. Patofisiologi
7. Penatalaksanaan
a. Penanganan medis awal
Langkah awal dalam penatalksanaan kejang adalah menempatkan bayi
pada lingkungan dengan temperatur yang netral dan memastikan bahwa
jalan nafas lapang, pernafasan dan sirkulasi dalam keadaan baik. Oksigen
diberikan sejak awal, dilakukan pemasangan jalur intravena, serta
melakukan pengumpulan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan tanda vital, general, dan neurologis dikerjakan secara cepat
dalam waktu 2-5 menit (Brousseau, 2006).
Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan
kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi
suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15
menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis
yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti.
Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 %
secara intravena.
b. Hipoglikemia
Jika didapatkan kondisi hipoglikemia maka dapat diberikan dextrose 10%
sebesar 2 ml/kg dalam bentuk injeksi bolus yang diikuti dengan pemberian
secara kontinyu per infus 6-8 mg/kg/menit.
c. Hipokalsemia
Jika hipoglikemia telah dikoreksi atau telah diekslusi sebagai penyebab
kejang, maka neonatus tersebut sebaiknya diberikan 2 ml/kg kalsium
glukonas intravena dalam waktu 10 menit dengan pengawasan kardio. Jika
dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hipokalsemia, maka bayi
tersebut dapat diberikan kalsium glukonas sebesar 8ml/kg/hari selama 3
hari. Jika kejang tetap berlanjut setelah koreksi hipokalsemia, maka dapat
diberikan magnesium sulfat 50% sebesar 0,25 ml/kg, intramuskular.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan integritas kulit b.d. efek dari phototerapi.
2. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d. phototerapi.
3. Resiko tinggi cedera b.d. meningkatnya kadar bilirubin toksik dan
komplikasi berkenaan phototerapi.
4. Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar
lingkungan panas.
INTERVENSI