Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERBILIRUBIN DAN KEJANG NEONATUS DI RUANG

NEONATAL INTENSIVE CARE UNIT (NICU)

Di Ajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Stase Keperawatan Kegawatdaruratan dan Kritis

Oleh :

DINA FAUZIYATIN NISA

191 FK 04012

PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN


UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
2020
A. HIPERBILIRUBIN
1. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam
darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan
kernikterus jika tidak segera ditangani dengan baik. Kernikterus adalah suatu
kerusakan otak akibat peningkatan bilirubin indirek pada otak terutama pada
corpus striatum, thalamus, nukleus thalamus, hipokampus, nukleus merah dan
nukleus pada dasar ventrikulus ke-4. Kadar bilirubin tersebut berkisar antara 10
mg / dl pada bayi cukup bulan dan 12,5 mg / dl pada bayi kurang bulan
(Ngastiyah, 2005).
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar
bilirubin tidak dikendalikan (Mansjoer, 2008).

2. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat
dibagi :
a. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat
kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat
disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom Criggler-Najjar).
Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan
penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian
diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi
oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan
lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang
mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam
hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh
kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Hassan et al.2005).

3. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin
serumnya kira-kira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2007).
Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit
mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga.
Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna
kuningkehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan
pada ikterus yang berat (Nelson, 2007).
Gambaran klinis ikterus fisiologis :
a. Tampak pada hari 3,4
b. Bayi tampak sehat (normal)
c. Kadar bilirubin total <12mg%
d. Menghilang paling lambat 10-14 hari
e. Tak ada faktor resiko
f. Sebab : proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis)
(Sarwono et al, 2005).
Gambaran klinik ikterus patologis :
a. Timbul pada umur <36 jam

b. Cepat berkembang

c. Bisa disertai anemia

d. Menghilang lebih dari 2 minggu

e. Ada faktor resiko

f. Dasar : proses patologis (Sarwono et al, 2005).


Tampak ikterus pada sklera, kuku, dan sebagian besar kulit serta
membran mukosa. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama sejak bayi
lahir disebabkan oleh penyakit hemolitik, sepsis atau ibu dengan diabetik
dan infeksi. Jaundice yang tampak pada hari ke-2 atau ke-3 dan mencapai
puncak pada hari ke-3 sampaike-4 serta menurun pada hari ke-5 sapai hari
ke-7 biasanya merupakan jaundice fisiologis.
Gejala kernikterus berupa kulit kuning kehijauan, muntah,
anorexia, fatique, warna urine gelap, warna tinja seperti dempul, letargi
(lemas), kejang, tak mau menetek, tonus otot meninggi dan akhirnya
opistotonus. (Ngastiyah, 2005).

Rumus Kramer
Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin
1 Kepala dan Leher 5 mg%
2 Daerah 1 + badan bagian atas 9 mg%
3 Daerah 1, 2 + badan bagian bawah 11 mg%
dan tungkai
4 Daerah 1, 2, 3 + lengan dan kaki 12 mg%
dibawah lutut
5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16 mg%

4. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%)
terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari
senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks
haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah.
Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk
sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan
tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin
dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu
zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas
bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat
bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk) (Sacher,2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut
masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus,
bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen
dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah
porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya
diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini
diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin (Sacher, 2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi yang
baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl (Cloherty et al, 2008).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh
kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang
dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi
saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua
keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya
mencapai nilai tertentu (sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke
dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus
atau jaundice (Murray et al,2009).

5. Pathway

4. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut :
a. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat
ini kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar
bilirubinnya rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh
proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi.
b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin
(misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau
(menambahkan albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin).
Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia.
Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi
bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar
bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin
tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan
dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar.
c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral
dini.
d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang
tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut
dalam air.
e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar
(Mansjoer et al, 2007).
Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai
berikut:
1) Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg%
2) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
3) Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
4) Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji
Coombs direct positif (Hassan et al, 2005).
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan
sebagai berikut :
a. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas
mungkin dengan membuka pakaian bayi.
b. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat
memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel
reproduksi bayi.
c. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak
yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
d. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh
bayi yang terkena cahaya dapat menyeluruh.
e. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
f. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
g. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan
hemolisis.

7. Pemeriksaan Penunjang
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir
atau setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar
yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak
terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit
gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang
mendapatkan terapi sinar (Etika et al, 2006).
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis,
mudah dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969).
Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan
akan tampak pucat atau kuning.
Pemeriksaan serum bilirubin(direk dan indirek) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi-bayi yang tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi
menentukan penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan ‘Coombs
test’, darah lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan
bilirubin direk. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam
tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga
harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar (Etika et
al, 2006).

B. KEJANG PADA NEONATUS


1. Definisi
Kejang adalah perubahan secara tiba-tiba fungsi neurology baik fungsi
motorik maupun fungsi otonomik karena kelebihan pancaran listrik pada otak
(Buku Pelayanan Obstetric Neonatal Emergensi Dasar 2008).
Kejang pada neonatus adalah kejang yang terjadi pada 4 minggu pertama
kehidupan dan paling sering terjadi pada 10 hari pertama kehidupan.Kejang
tersebut berbeda pada anak atau orang dewasa karena kejang tonik klonikumum
cenderung tidak terjadi pada bulan pertama kehidupan (Johnstons, 2007).
Kejang pada bayi baru lahirberkaitan dengan penyebab yang
mendasari,seperti ensefalopati iskemik-hipoksik,gangguan metabolik
(hipoglikemia dan hipokalsemia), infeksi neonatus (meningitis dan
ensefalitis),serta perdarahan intra kranial ( Buku Ajar Keperawatan
Pediatri,2015).
2. Etiologi

a. Metabolik
1) Hipoglikemia
Bila kadar darah gula kurang dari 30 mg% pada neonatus cukup bulan
dan kurang dari 20 mg% pada bayi dengan berat badan lahir rendah.
Hipoglikemia dapat dengan/tanpa gejala. Gejala dapat berupa serangan
apnea, kejang sianosis, minum lemah, biasanya terdapat pada bayi berat
badan lahir rendah, bayi kembar yang kecil, bayi dari ibu penderita
diabetes melitus, asfiksia.
2) Hipokalsemia
Keadaan kadar kalsium pada plasma kurang dari 8 mg/100 ml atau
kurang dari 8 mg/100 ml atau kurang dari 4 MEq/L. Gejala: tangis
dengan nada tinggi, tonus berkurang, kejang dan diantara dua serangan
bayi dalam keadaan baik.
3) Hipomagnesemia
Yaitu kadar magnesium dalam darah kurang dari 1,2 mEg/l. Biasanya
terdapat bersama-sama dengan hipokalsemia, hipoglikemia dan lain-
lain.
4) Hiponatremia dan hipernatremia
Hiponatremia adalah kadar Na dalam serum kurang dari 130 mEq/l.
gejalanya adalah kejang, tremor. Hipertremia, kadar Na dalam darah
lebih dari 145 mEq/l. Kejang yang biasanya disebabkan oleh karena
trombosis vena atau adanya petekis dalam otak.
5) Defisiensi piridoksin dan dependensi piridoksin
Merupakan akibat kekurangan vitamin B6. gejalanya adalah kejang
yang hebat dan tidak hilang dengan pemberian obat anti kejang,
kalsium, glukosa, dan lain-lain. Pengobatan dengan memberikan 50 mg
pirodiksin.
6) Asfiksia
Suatu keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera
setelah lahir etiologi karena adanya gangguan pertukaran gas dan
transfer O2 dari ibu ke janin.
b. Perdarahan Intrakranial
Dapat disebabkan oleh trauma lahir seperti asfiksia atau hipoksia, defisiensi
vitamin K, trombositopenia. Perdarahan dapat terjadi sub dural, sub
aroknoid, intraventrikulus dan intraserebral. Biasanya disertai
hipoglikemia, hipokalsemia.Diagnosis yang tepat sukar ditetapkan, fungsi
lumbal dan offalmoskopi mungkin dapat membantu diagnosis. Terapi :
pemberian obat anti kejang dan perbaikan gangguan metabolism bila ada.

c. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kejang, seperti : tetanus dan meningitis.
d. Genetik / Kelainan Bawaan
Faktor genetic atau keturunan dimana harus diketahui riwayat keluarga
adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom epilepsi yang
spesifik atau kelainan neurologi yang ada katannya dengan factor genetik
dimana manifestasinya adalah serangan kejang.Sebagai contoh Juvenile
Myoclonic Epilepsy(JME ),Familial Neonatal Convulsion,benign rolandic
epilepsy dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang
demam plus (Ahmed,Spencer 2004).

Penyebab lain:

a. Poliiskemik
Biasanya terdapat pada bayi berat lahir rendah, infufisiensi placenta,
transfuse dari bayi kembar yang satunya ke bayi kembar yang lain dengan
kadar hemoktrokit di atas 65%.
b. Kejang idiopatik
Kejang idiopatik adalah kejang non demam berulang yang tidak diketahui
penyebabnya. Kejang ini terjadi pada penderita epilepsy idiopatik (epilepsi
primer) yang merupakan jenis epilepsi yang penyebabnya tidak diketahui.
Tidak memerlukan pengobatan yang spesifik, bila tidak diketahui
penyebabnya berikan oksigen untuk sianosisnya.
c. Toksin estrogen
Tingginya kadar estrogen bias memicu terjadinya disfungsi tiroid.
Pasalnya kadar estogen yang tinggi menyebabkan produksi globulin yang
mengakibatkan tejadinya pengikatan tiroid berlebihan oleh hati. Globulin
bekerja mengikat hormone tiroid dalam darah sehingga tidak masuk sel
sehingga hormon tiroid didalam sel turun untuk metabolisme tubuh untuk
membakar lemak dan gula yang menyebabkan penurunan kinerja karena
kurang energi.
3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala kejang pada neonatus
a. Tremor
b. Hiperaktif
c. Kejang-kejang
d. Tiba-tiba menangis melengking

e. Tonus otot hilang disertai atau tidak dengan kehilangan kesadaran.


f. Gerakan yang tidak menentu (involuntary movements)
g. Nistagmus atau mata mengedip-edip proksismal
h. Gerakan seperti mengunyah dan menelan

Kejang pada neonatus harus dibedakan dari aktifitas normal pada bayi
prematur, bayi cukup bulan dan gerakan abnormal lain yang bukan kejang.
Jitteriness merupakan salah satu gejala gangguan pergerakan yang sulit
dibedakan dengan kejang. Penyebab tersering jitteriness adalah ensefalopati
hipoksik- iskemik,hipokalsemia, hipoglikemia dan gejala putus obat.

Aktifitas lain pada neonatus yang menyerupai kejang:


1) Pada saat sadar dan mengantuk/drowsy, tampak gerakan bola mata kearah
horizontal berupa nystagmoid jerk yang tidak menetap. Dapatdibedakan dari
gerakan bola mata pada subtleseizure yang berupa deviasi tonik horisontal
bolamata yang menetap, dengan atau tanpa jerking.
2) Pada saat tidur, sering dijumpai myoclonic jerk yang bersifat fragmenter dan
multipel. Sering disebut benign neonatal sleep myoclonus.
3) Hiperekpleksia suatu respons yang berlebihan terhadap stimulus (suara atau
taktil) berupa mioklonik umum seperti terkejut/kaget (startleresponse)
4) Klonus
Gerakan-gerakan tersebut dapat dibedakan dari kejang dengan cara menahan
gerakan tersebut berhenti. Dengan kemajuan teknologi seperti pemakaian
video-EEG monitoring kejang neonatus dapat dibedakan menjadi epileptik
dan non-epileptik. Disebut epileptik jika manifestasi kejang berkorelasi kuat
dan konsisten dengan aktifitas epileptik pada pemeriksaan EEG.
Patofisiologi kejang epileptik disebabkan oleh lepas muatan listrik yang
berlebihan dan paroksismal di neuron korteks serta peningkatan eksitasi
seluler, sinaps dan aktifitas penyebaran gelombang epilepsi. Disebut non-
epileptik jika manifestasi kejang tidak berkorelasi dan atau tidak konsisten
dengan aktifitas epileptik pada pemeriksaan EEG. Fokus kejangberasal dari
tingkat subkortikal (sistem limbik, diensefalon dan batang otak) dan tidak
menyebar ke korteks karena imaturitas pembentukan sinaps serta proyeksi
kortikal sehingga tidak dapat atau tidak selalu terdeteksi dengan
pemeriksaan EEG. Selain itu kejang yang terjadi bukan akibat dari lepas
muatan listrik yang berlebihan tetapi karena cetusan primitif dari batang
otak dan refleks spinal yang tidak mendapat inhibisi dari korteks serebri.
4. Jenis Kejang

a. Bentuk kejang yang hampir tidak terlihat (Subtle) yang sering tidak
diinsafi sebagai kejang. Terbanyak di dapat pada neonatus berupa :
1) Deviasi horizontal bola mata
2) Getaran dari kelopak mata (berkedip-kedip)
3) Gerakan pipi dan mulut seperti menghisap, mengunyah,
mengecap,dan menguap
4) Opnu berulang
5) Gerakan tonik tungkai
b. Kejang klonik multifokal (miogratory)
Gerakan klonik berpindah-pindah dari satu anggota gerak ke yang lain
secara tidak teratur, kadang-kadang kejang yang satu dengan yang lain
dapat menyerupai kejang umum.
c. Kejang tonik
Ekstensi kedua tungkai, kadang-kadang dengan flexi kedua lengan
menyerupai dekortikasi
d. Kejang miokolik
Berupa gerakan flexi seketika seluruh tubuh, jarang terlihat pada
neonatus

e. Kejang umum
Kejang seluruh badan, sianosis, kesadaran menurun
f. Kejang fokal
Gerakan ritmik 2-3 x/detik. Sentakan yang dimulai dari salah satu kaki,
tangan atau muka (gerakan mata yang berputar- putar, menguap, mata
berkedip-kedip, nistagmus, tangis dengan nada tinggi),
5. Patofisiologi

Neuron di dalan sistem syaraf pusat mengalami depolarisasi sebagai


hasil dari perpindahan natrium ke arah dalam. Repolarisasi terjadi melalui
keluarnya kalium. Kejang terjadi apabila timbul depolarisasi yang berlebihan,
sehingga terbentuk gelombang listrik yang berlebihan. Volpe (2001)
menjelaskan 4 kemungkinan alasan terjadinya depolarisasi berlebihan:
a. Kegagalan dari pompa natrium kalium dikarenakan terganggunya
produksi energi.
b. Terjadinya kelebihan relatif dari neurotransmiter eksitatorik melawan
inhibitorik.
c. Adanya kekurangan relatif dari neurotransmiter inhibitorik
melawan eksitatorik.
d. Perubahan dari membran neuron, menyebabkan inhibisi dari pergerakan
natrium.

Perubahan fisiologis pada saat kejang berupa penurunan kadar glukosa


otak yang tajam dibandingkan kadar glukosa darah yang tetap normal atau
meningkat disertai peningkatan laktat. Hal ini merupakan refleksi dari
kebutuhan otak yang tidak dapat dipenuhi secara adekuat. Kebutuhan oksigen
dan aliran darah ke otak sangat esensial untuk mencukup kebutuhan oksigen
dan glukosa otak. Laktat terkumpul dan berakumulasi selama terjadi kejang,
sehingga PH arteri menurun dengan cepat. Hal ini menyebabkan tekanan
darah sistemik meningkat dan aliran darah ke otak naik.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium meliputi :
1) Kimia darah
Pemeriksaan kadar glukosa, kalsium, natrium, BUN dan magnesium
pada darah serta analisa gas darah harus dilakukan.
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang
(N < 200 mq/dl)
BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang
dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit : Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi
kejang
 K, Na
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
2) Pemeriksaan darah lengkap
Termasuk di dalamnya pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, trombosit,
leukosit, hitung jenis leukosit.
b. Pemeriksaan Radiologis
a) CT-scan cranium merupakan pemeriksaan dengan hasil mendetail
mengenai adanya penyakit intrakranial. CT scan sangat membantu
dalam menentukan bukti-bukti adanya infark, perdaraham, kalsifikasi
dan malformasi serebral. Pemeriksaan ini memberikan hasil yang
penting pada kasus kejang neonatus.
b) Magneti resonance imaging ( MRI ) merupakan pemeriksaan paling
sensitif untuk mengetahui adanya malformasi subtle yang kadang tidak
terdeteksi dengan CT-scan kranium. MRI sangat efektif dalam memberi
gambaran mengenai keadaan dan luasnya kerusakan akibat dari
hypoxic-ischemic injury dan kerusakan jaringan parenkhim otak.
c) EEG (electroencephalography) yang dilakukan selama kejang akan
memperlihatkan tanda abnormal. Pemeriksaan EEG akan jauh lebih
bernilai pabila dilakukan pada 1-2 hari awal terjadinya kejang, untuk
mencegah kehilangan tanda-tanda diagnostik yang penting untuk
menentukan prognosis di masa depan bayi. EEG sangat signifikan
dalam menentukan prognosis pada bayi cukup bulan dengan gejala
kejang yang jelas. EEG sangat penting untuk memastikan adanya kejang
di saat manifestasi klinis yang timbul subtle atau apabila obat-obatan
penenang neuromuscular telah diberikan.Untuk menginterpretasikan
hasil EEG dengan benar, sangatlah penting untuk mengetahui status
klinis bayi (termasuk keadaan tidur) dan obat-obatan yang diberikan.

7. Penatalaksanaan
a. Penanganan medis awal
Langkah awal dalam penatalksanaan kejang adalah menempatkan bayi
pada lingkungan dengan temperatur yang netral dan memastikan bahwa
jalan nafas lapang, pernafasan dan sirkulasi dalam keadaan baik. Oksigen
diberikan sejak awal, dilakukan pemasangan jalur intravena, serta
melakukan pengumpulan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan tanda vital, general, dan neurologis dikerjakan secara cepat
dalam waktu 2-5 menit (Brousseau, 2006).
Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan
kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi
suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15
menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis
yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti.
Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 %
secara intravena.
b. Hipoglikemia
Jika didapatkan kondisi hipoglikemia maka dapat diberikan dextrose 10%
sebesar 2 ml/kg dalam bentuk injeksi bolus yang diikuti dengan pemberian
secara kontinyu per infus 6-8 mg/kg/menit.
c. Hipokalsemia
Jika hipoglikemia telah dikoreksi atau telah diekslusi sebagai penyebab
kejang, maka neonatus tersebut sebaiknya diberikan 2 ml/kg kalsium
glukonas intravena dalam waktu 10 menit dengan pengawasan kardio. Jika
dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hipokalsemia, maka bayi
tersebut dapat diberikan kalsium glukonas sebesar 8ml/kg/hari selama 3
hari. Jika kejang tetap berlanjut setelah koreksi hipokalsemia, maka dapat
diberikan magnesium sulfat 50% sebesar 0,25 ml/kg, intramuskular.

C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


 Keadaan umum lemah, TTV tidak stabil terutama suhu tubuh (hipertermi).
Reflek hisap pada bayi menurun, BB turun, pemeriksaan tonus otot
(kejang/tremor). Hidrasi bayi mengalami penurunan. Kulit tampak kuning dan
mengelupas (skin resh), sclera mata kuning (kadang-kadang terjadi kerusakan
pada retina) perubahan warna urine dan feses. Pemeriksaan fisik.
 Riwayat penyakit
Terdapat gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau
golongan darah A,B,O). Infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar
obstruksi saluran pencernaan, ibu menderita DM.

 Aktivitas/ istirahat : letargi, malas


 Sirkulasi : mungkin pucat, menandakan anemia
 Eliminasi : Bising usus hipoaktif, vasase meconium mungkin lambat,
faeces mungkin lunak atau coklat kehijauan selama pengeluaran billirubin.
Urine berwarna gelap.
 Makanan cairan : Riwayat pelambatan/ makanan oral buruk.
 Palpasi abdomen : dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar.
 Neurosensori :
1) Chepalohaematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua
tulang parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran.
2) Oedema umum, hepatosplenomegali atau hidrops fetalis, mungkin ada
dengan inkompathabilitas Rh.
3) Kehilanga refleks moro, mungkin terlihat.
4) Opistotonus, dengan kekakuan lengkung punggung, menangis lirih,
aktifitas kejang.
 Pernafasan : krekels (oedema fleura)
 Keamanan : Riwayat positif infeksi atau sepsis neonatus, akimosis
berlebihan, pteque, perdarahan intrakranial, dapat tampak ikterik pada
awalnya pada wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh.
 Seksualitas : mungkin praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA), bayi
dengan letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk usia
gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi lebih sering pada
bayi pria daripada bayi wanita.
 Pemeriksaan bilirubin menunjukkan adanya peningkatan.
 Hasil Laboratorium :
a. Kadar bilirubin 12mg/dl pada cukup bulan.
b. Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai 15mg/dl.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan integritas kulit b.d. efek dari phototerapi.
2. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d. phototerapi.
3. Resiko tinggi cedera b.d. meningkatnya kadar bilirubin toksik dan
komplikasi berkenaan phototerapi.
4. Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar
lingkungan panas.
INTERVENSI

No Diagnosa NOC NIC


1 Kerusakan Setelah dilakukan Pressure Management
tindakan keperawatan 1. Anjurkan pasien
integritas kulit
selama …x24 jam untuk menggunakan
b.d. efek dari diharapkan integritas pakaian yang
kulit kembali baik /
phototerapi. longgar
normal.
Tissue Integrity : Skin 2. Hindari kerutan pada
and Mucous tempat tidur
Membranes 3. Jaga kebersihan kulit
Kriteria Hasil : agar tetap bersih dan
 Integritas kulit yang kering
baik bisa 4. Mobilisasi pasien
dipertahankan setiap 2 jam sekali
 Tidak ada luka / lesi 5. Monitor kulit akan
pada kulit adanya kemerahan.
 Perfusi jaringan 6. Oleskan lotion /
baik minyak / baby oil
 Menunjukkan pada daerah yang
pemahaman dalam tertekan
proses perbaikan 7. Mandikan pasien
kulit dan mencegah dengan sabun dan air
terjadinya cedera hangat
berulang
 Mampu melindungi
kulit dan
mempertahankan
kelembaban kulit
dan perawatan
alami
Indicator Skala :
1. Tidak pernah
menunjukkan.
2. Jarang
menunjukkan
3. Kadang
menunjukkan
4. Sering
menunjukkan
5. Selalu
menunjukkan
2 Resiko tinggi Setelah dilakukan MONITOR CAIRAN
tindakan keperawatan 1. Tentukan riwayat
kekurangan
selama .......x24 jam jumlah dan tipe
volume cairan b.d. diharapkan tidak ada intake cairan dan
phototerapi. resiko kekurangan cairan eliminasi
pada klien. 2. Tentukan
Kriteria Hasil : kemungkinan faktor
1. TD dalam rentang resiko daari
yang diharapkan ketidakseimbangan
2. Tekanan arteri rata- cairan (hipertermia,
rata dalam rentang terapi diuretik,
yang diharapkan kelainan renal, gagal
3. Nadi perifer teraba jantung, diaporesis,
4. Keseimbangan intake disfungsi hati)
dan output dalam 24 3. Monitor berat badan
jam 4. Monitor serum dan
5. Suara nafas tambahan elektrolit urine
tidak ada 5. Monitor serum dan
6. Berat badan stabil osmolaritas urine
Indicator Skala : 6. Monitor BP, HR, RR
1. Tidak pernah
menunjukkan.
2. Jarang
menunjukkan
3. Kadang
menunjukkan
4. Sering
menunjukkan
5. Selalu
menunjukkan
3 Resiko tinggi Setelah dilakukan Pencegahan jatuh
tindakan keperawtan 1. Kaji status
cedera b.d.
selama …x 24 jam neurologis
meningkatnya diharapkan tidak ada 2. Jelaskan pada pasien
resiko cidera.
kadar bilirubin dan keluarga tentang
 Risk control
toksik dan tujuan dari metode
Kriteria hasil :
1. Klien terbebas dari
pengamanan
komplikasi 3. Jaga keamanan
cidera
berkenaan lingkungan
2. Klien mampu
phototerapi. menjelaskan keamanan pasien
4. Libatkan keluiarga
metode untuk
mencegah injuri/ untuk mencegah
cidera bahaya jatuh
5. Observasi tingkat
3. Klien mampu
memodifikasi gaya kesadaran dan TTV
6. Dampingi pasien
hidup untuk
mencegah injuri.
Indicator Skala :
1. Tidak pernah
menunjukkan.
2. Jarang
menunjukkan
3. Kadang
menunjukkan
4. Sering
menunjukkan
5. Selalu
menunjukkan
4 Gangguan Setelah dilakukan Fever treatment
tindakan keperawtan 1. Monitor suhu
temperature tubuh
selama …x 24 jam sesering mingkin
(Hipertermia) diharapkan suhu dalam 2. Monitor warna dan
rentang normal.
berhubungan suhu kulit
 Termoregulation
3. Monitor tekanan
dengan terpapar Kriteria hasil :
 Suhu tubuh dalam
darah, nadi, dan
lingkungan panas. respirasi
rentang normal
4. Monitor intake dan
 Nadi dan respirasi
dalam batas normal output
 Tidak ada perubahan
warna kulit
Indicator Skala :
1. Tidak pernah
menunjukkan.
2. Jarang
menunjukkan
3. Kadang
menunjukkan
4. Sering
menunjukkan
5. Selalu
menunjukkan
DAFTAR PUSTAKA

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC


Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aeseulupius
Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik SM. 2006. Hiperbilirubinemia pada
neonatus. Continuing education ilmu kesehatan anak
Handryastuti, Setyo. (2007). Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis
dan Tatalaksana. Sari Pediatri, Volume. 9 No. 2. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Hassan, R.,. 2005. Inkompatibilitas ABO dan Ikterus pada Bayi Baru Lahir. Jakarta :
Percetakan Infomedika.
Maryunani & Sari. (2013). Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal.
Jakarta : Trans Info Media
NANDA. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta .
EGC.
Sudarti, Afroh. (2012). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan Anak
Balita. Yogyakarta : Nuha Medika
Sacher, Ronald, A., Richard A., McPherson. 2004. Tinjaun Klinis Hasil Pemeriksaan
Laborotorium. 11th ed. Editor bahasa Indonesia: Hartonto, Huriawati. Jakarta:
EGC
Cloherty, J. P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008. Neonatal Hyperbilirubinemia in
Manual of Neonatal Care. Philadelphia: Lippincort Williams and Wilkins
Murray, R.K., et al. 2009. Edisi Bahasa Indonesia Biokimia Harper. 27th edition.
Alih bahasa Pendit, Brahm U. Jakarta : EGC
Sarwono, Erwin, et al. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/ UPF Ilmu
Kesehatan Anak. Ikterus Neonatorum(Hyperbilirubinemia Neonatorum).
Surabaya: RSUD Dr.Soetomo.

Anda mungkin juga menyukai