Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN

HIPERBILIRUBIN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak

Dosen pengampu : Rika Maya Sari, S.Kep Ns.,M.Kes

Disusun oleh kelompok 2/2B :

1. Ahmad Ghalib Nuladani 17613066


2. Lia Hiyasari 17613058
3. Octavia Husna Nur A 17613084
4. Yopi Kartika Rini 17613086
5. Nunung Agestin 17613059

DII KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2019
BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Icterus adalah gejala kuning pada sclera kulitdan mataa akibat bilirubin yang
yang berlebih dalam darah dan jaringan. Normalnya biliribunin serum yaitu kurang
dari 0,5 mg%. Ikterus nyata secara klinis jika kadar bilirubin meningkat diatas 2 mg%
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah
melebihi batas atas nilai normal bilirubin serum.
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kernikterus jika
tidak segera ditangani dengan baik. Kernikterus adalah suatu kerusakan otak akibat
peningkatan bilirubin indirek pada otak terutama pada corpus striatum, thalamus,
nukleus thalamus, hipokampus, nukleus merah dan nukleus pada dasar ventrikulus ke-
4. Kadar bilirubin tersebut berkisar antara 10 mg / dl pada bayi cukup bulan dan 12,5
mg / dl pada bayi kurang bulan (Ngastiyah, 2005).

Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang


menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar
bilirubin tidak dikendalikan (Mansjoer, 2008).
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong
non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum
bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani (Etika et
al,2006).

B. Epidemiologi
Pada sebagian besar bayi baru lahir, icterus ditemukan pada minggu pertama
kelahiran. Dikemukakan bahwa angka kejadian icterus terdapat pada 60% bayi cukup
bulan atau bayi matur dan 80% terdapat pada bayi kurang bulan atau bayi premature.
Icterus ini bisa bersifat fisiologis dan sebagian bersifat patologik sehingga dapat
menimbulkan kematian.

C. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa factor (IKA FKUI). Secara garis besar, ikterus neonatarum
dapat dibagi :
a. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan
darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan
oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi
hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil
transferase (Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y
dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut
ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya
salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya
bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau
di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab
lain. (Hassan et al.2005).

D. Klasifikasi
1. Ikterus Fisiologi
Ikterus fisiologis adalah, ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang
tidak memiliki dasar patologis. Kadarnya tidak melewati kadar yang
membahayakan atau mempunyai potensi menjadi kernikterus, dan tidak
menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Icterus pada neonates tidak selamanya
patologis. Icterus fisiologis adalah icterus yang memiliki karakteristik sebagai
berikut, menurut (Hanifah,1997) dan (Calhon,1996), (Tarigan,2003) dalam
(Schwats,2005) :
a. Timbul pada hari kedua dan ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10mg% pada kurang bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5mg% perhari.
d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1mg%.
e. Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak mempunyai dasar patologis, tidak terbukti mempunyai hubungan
dengan keadaan patologis tertentu.
g. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubilenia dengan
karakteristik sebagai berikut menurut (Surasmi,2003) bila :
1. Icterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
2. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5mg/100 atau setiap 24 jam.
3. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10mg% pada neonates kurang
bulan dan 12,5mg% pada neonates cukup.

2. Ikterus Patologis atau Hiperbilirubinemia


Menurut (Tarigan,2003) adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi
bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kern icterus jika tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai
hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia
bila kadar bilirubin mencapai 12mg% pada cukup bulan dan 115mg% pada bayi
kurang bulan. Utelli menetapkan 10mg% dan 15mg%.

E. Manifestasi klinis
Pengamatan dan penelitian RSCM Jakarta (Montja dkk, 1981) menunjukkan bahwa
dianggap hiperbilirubin jika : (IKA FKUI)
1. Icterus terjadi pada 24 jam pertama
2. Peningkatan konsentrasi hiperbilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam
3. Konsentrasi hiperbilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus kurang bulan
dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan
4. Icterus yang disertai hemolysis (inkompatbilitaas darah, defisiensi enzim G-6-PD
dan spesies)
5. Ikterus dengan keadaan sebaagai berikut :
a. Berat lahir <2000 gr
b. Masa gestasi <36 minggu
c. Asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernapasan
d. Infeksi
e. Trauma lahir pada kepala
f. Hipoglikemia, hiperkabia
g. Hiperosmolalitas darah

F. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi
dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti
mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin
yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi
dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme
untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak
larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini,
bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu
zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin
dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam
glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk) (Sacher,2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke
sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan
oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi
sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari
usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati.
Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali
dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat
ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin (Sacher, 2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi yang baru
lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl (Cloherty et al, 2008).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh
kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam
jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga
akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di
dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2- 2,5mg/dl),
senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning.
Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice (Murray et al,2009).

G. Pathway
Hemoglobin

Hemo Globin

Feco Billiverdin

Peningkatan destruksi
Pemecahan bilirubin berlebih
eritrosit (gx konjugasi
bilirubin/gx transport
bilirubin/peningkatan Supali bilirubin melebihi
siklus enteropetik) Hb tampungan hepar
dan eritrosit abnormal

Hiperbilirubin/ icterus Peningkatan bilirubin Hepar tidak mampu


neonatorum unjongned dalam melakukan konjugasi
darah→pengeluaran
meconium Sebagian masuk kembali ke
Icterus pada sclera, leher dan terlambat/obstruksi siklus emerohepatik
badan usus→tinja berwarna
pucat

Kerusakan integritas kulit Indikasi fototerapi

Gx suhu tubuh Sinar dg intensitas tinggi Resiko cidera

Ketidakefektifan
Kurangnya volume cairan
termoreguasi

H. Pemeriksaan penunjang
1. USG, Radiologi
2. Kadar bilirubin serum (total)
3. Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi
4. Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi
5. Pada icterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urine
terhadapa galaktosemia
6. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kutur darah, urine, IT
rasio dan pemeriksaan C kreatif Protein (CRP)

I. Diagnosis keperawatan
1. Kekurangan volume cairan b.d tidak adekuatnya intake cairan, dan diare
2. Ketidakefektifan termorgulasi b.d efek fototerapi
3. Ketidakefektifan pemberian ASI b.d dengan diskontinuitas pemberian ASI
(indikasi fototerapi), reflek menghisap menurun
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d reflek hisap menurun
5. Icterus neonatus b.d bilirubin tak terkonjugasi didalam sirkulasi
6. Kerusakan integritas kulit b.d hiperbilirubinemia dan diare
7. Resiko cidera b.d efek fototerapi

J. Penatalaksanaan
1. Pentalaksanaan umum
a. Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) dll waktu hamil
b. Mecegah trauma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau BBL yang dapat
menimbulkan icterus, infeksi, dehidrasi
c. Pemberian makanan dini dengan jumah cairan dan kalori yang sesuai
d. Imunisasi yang cukup baik ditempat bayi dirawat
e. Pengobatan terhadap factor penyebab bila diketahui
2. Penatalaksanaan berdasarkan waktu timbunya icterus
a. Icterus yang timbul pada 24 jam pertama pemeriksaan yang dilakukan yaitu :
 Periksa adar bilirubin serum berkala
 Darah tepi lengkap
 Golongan darah ibu dan bayi diperiksa
 Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6 PD biakan darah atau
biopsy hepar bila perlu
b. Ikterus yang timbul 24-72 jam setelah lahir, pemeriksaan yang perlu
diperhatikan yaitu :
 Bila keadaan bayi baik dan peningkatan tidak cept dapat dilakukan
pemeriksaan darah tepi
 Periksa kadar bilirubin berkala
 Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6 PD dan pemeriksaan
lainnya
c. Icterus yang timbul setelah 72 jam pertama sampai minggu pertama serta
icterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya, pemeriksaan
yang dapat dilakukan yaitu :
 Pemeriksaan bilirubin direct dan indirect secara berkala
 Penyaring G-6 PD
 Biakan darah, biopsy hepar bila ada indikasi
3. Ragam terapi
Jika setelah 3-4 hari kelebihan bilirubin masih terjadi maka bayi harus segera
mendapatkan terapi yaitu :
a. Fototerapi (terapi sinar), terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya
sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke dalam rentang normal.
b. Terapi tranfusi, jika setelah menjalani fototerapi tidak mengalami perubahan
dan kadar bilirubin terus meningkat maka dilakukan terapi tranfusi darah.
Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf
otak atau kernicterus.
c. Terapi obat-obatan, obat Phenobarbital atau luminal untuk meningkatkan
pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya indirect
berubah menjadi direct. Ada juga obat-obatan yang mengandung plasma atau
albumin berguna untuk mengurangi timbunan bilirubin dan mengangkut
bilirubin bebas ke organ hati. Biasanya terapi ini dilakukan dengan terapi
seperti fototerapi.
d. Menyusui bayi dengan ASI, seperti diketahui ASI memiliki zat-zat tebaik bagi
bayi sehingga dapat memperlancar BAB dan BAK.
e. Terapi sinar matahari, terapi sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan.
Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di RS.

K. Komplikasi
1. Retardasi mental : kerusakan neurologis
2. Gangguan pendengaran dan penglihatan
3. Kematian
4. Kernicterus
L. Discharge planning
1. Pelajari cara merawat bayi agar tidak terjadi infeksi dan daya tahan tubuh
2. Berikan ASI terus menerus (2 tahun) apabila sudah tidak ikterik. Namun bila
penyebabnya bukan dari jaundice ASI tetap diteruskan pemberiannya
3. Kenali kompikasi yang mungkin terjadi dan segera lapor dokter/perawat
4. Berikan imunisasi
5. Tanyakan tentang pengobatan yang diberikan di tindakan selanjutnya
BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Data umum pasien


1. Hal-hal yang perlu dikaji pada bagian ini untuk nenonatus meliputi :
a. Identitas bayi : nama/inisial, jenis kelamin, tanggal MRS, umur/tanggal
lahir, anak ke
b. Identitas orang tua : nama ayah, umur, agama, jenis kelamin, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, alamat
2. Hal-hal yang perlu dikaji pada bagian ini untuk anak meliputi :
a. Identitas anak : nama/inisial, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, agama,
tanggal MRS, no.register, dan diagnosa medis

B. Pengkajian
a. Keluhan utama
Merupakan alasan kenapa bayi dibawa ke ruang perawatan. Terdapat
ketidakabnormalan pada bayi misalnya tubuh bayi berwarna kuning pada kulit
bayi, dan kuning pada sclera bayi .
b. Riwayat penyakit
Biasanya terdapat gangguan hemolisis darah (ketidakseimbangan golongan
darah ibu dan anak seperti Rh, ABO. Infeksi, hematoma, gangguan
metabolisme hepar obstruksi saluran pencernaan,
c. Riwayat kehamilan
Kurangnya perawatan ANC yang baik. Penggunaan obat-obatan yang
meningktakna icterus seperti salisilat sulakuturosic ocitosin yang dapat
mempercepat proses konjugasi sebelum ibu partus.
d. Riwayat persainan
Persalinan dilakukan oleh tenaga non medis seperti dukun. Pada data obyektif
didapatkan bayi lahir premature atau kurang bulan, terdapat riwayat trauma
persalinan, serta terdapat hipoksia dan asfiksia.
e. Riwayat post natal
Adanya kelainan darah, kadar bilirubin meningkat sehingga kulit bayi terlihat
kuning
f. Riwayat kesehatan keluarga
Ketidakcocokan antara darah ibu dan bayi polisitemi, gangguan saluran cerna
dan hati
g. Riwayat kesehatan saat ini
 Keadaan umum : Keadaan umum anak biasanya lemah,mengalami letargi,
TTV tidak stabil terutama suhu tubuh (hipertermi). Reflek hisap pada bayi
menurun, BB turun, pemeriksaan tonus otot (kejang/tremor). Hidrasi bayi
mengalami penurunan. Kulit tampak kuning dan mengelupas (skin resh),
sclera mata kuning
 Tindakan medis : tindakan saat persalinan, seperti vacuum, manual
kompresi (karena letak sungsang atau lintang)
h. Pengkajian psikososial
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa
bersalah, perpisahan dengan anak.
i. Riwayat Imunisasi
Meliputi imunisasi : BCG, DPT, Hepatitis dan Polio.

C. Pemeriksaan fisik bayi


1. Tanda vital : TTV pada bayi meliputi suhu, nadi, daan pernapasan. Pada kasus
dengan hiperbilirubin biasanya bayi akan mengalami ketidakstabilan suhu,
kaji pernapasan (regular, wheezing, ronchi, crachles), kaji denyut nadi
(takikardi, bradikardi)
2. Peredaran darah : kaji warna kulit, ketika bayi nampak pucat menandakan
bahwa bayi kemungkinan mengalami anemia
3. Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah : kaji warna kulit, bayi dengan
hiperbilirubin kulit nampak kuning, kaji apakah ada pembengkakan,
bagaimana akralnya.
4. Eliminasi : Bising usus hipoaktif, vasase meconium mungkin lambat, faeces
mungkin lunak atau coklat kehijauan selama pengeluaran billirubin. Urine
berwarna gelap.
5. Aktivitas : anak mungkin akan mengalami letargi dan malas
6. Palpasi abdomen : dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar
7. Neurosensori :
a. Chepalohaematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang
parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran.
b. Oedema umum, hepatosplenomegali atau hidrops fetalis, mungkin ada
dengan inkompathabilitas Rh.
c. Kehilangan refleks moro, dan reflex menyusu mungkin terlihat.
d. Opistotonus, dengan kekakuan lengkung punggung, menangis lirih,
aktifitas kejang.
8. Keamanan : Riwayat positif infeksi atau sepsis neonatus, akimosis berlebihan,
pteque, perdarahan intrakranial, dapat tampak ikterik pada awalnya pada
wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh.
9. Seksualitas : mungkin praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA), bayi
dengan letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk usia
gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi lebih sering pada bayi
laki-laki daripada bayi perempuan

D. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium yang meliputi :
1. Pemeriksaan kadar bilirubin
1. Bilirubin serum
a. Direct : > 1 mg / dl
b. Indirect : > 10 mg % (BBLR), 12,5 mg % ( cukup bulan).
c. Total : > 12 mg /
2. Golongan darah
a. Uji COOMBS
b. Inkompabilitas ABO – Rh
3. Fungsi hati dan test tiroid sesuai indikasi.
4. Uji serologi terhadap TORCH
5. Hitung IDL dan urine ( mikroskopis dan biakan urine) indikasi infeksi.

E. Terapi
1. Fototerapi

F. Diagnose keperawatan
1. Hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi
2. Resiko deficit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake
cairan, serta peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan kelemahan
menyusu
3. Kerusakan integritas kulit b.d. efek dari phototerapi.

G. Intervensi
1. Hipertermi b.d efek fototerapi
Definisi : peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal
Batasan karakteristik :
 Konvulsi
 Kulit kemerahan
 Peningkatan suhu diatas kisaran normal
 Kejang
 Takikardi
 Takipnea
 Kulit terasa hangat

Factor yang berhubungan

 Anastesia
 Penurunan respirasi
 Dehidrasi
 Pemajanan lingkungan yang panas
 Penyakit
 Pemakaian pakaian yang tidak sesuai dengan suhu lingkungan
 Peningkatan laju metabolism
 Medikasi
 Truama
 Aktivitas berlebih

NOC

 Thermoregulation
Kriteria hasil :
1. Suhu tubuh dalam rentang normal
2. Tidak ada perubahan warna kulit
NIC
1. Monitor suhu sesering mungkin
2. Monitor warna dan suhu kulit
3. Berikan antipiretik
4. Berikan pengobatan untuk mengobati penyebab demam
5. Selimuti pasien
6. Kompres dengan air hangat

2. Resiko deficit kekurangan volume cairan b.d tidak adekuatnya intake


cairan serta peningkatan IWL dan kelemahan menyusu
Definisi : penurunan cairan intravaskular, interstisial, dan atau intraseluler.
Ini mengacu pada dehidrasi, kehilangan cairan tanpaa perubahan pada
natrium
Batasan karakteristik :
 Perubahan status mental
 Peningkatan suhu tubuh
 Kelemahan

Factor yang berhubungan

 Kehilangan cairan aktif


 Kegagalan mekanisme regulasi
NOC
 Fluid balance
 Hydration
 Nutritional status : food and fluid
 Intake
Kriteria hasil :
1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, Bj urine
normal, HT normal
2. TTV dalam batas normal
3. Tidak ada tanda dehidrasi
4. Elastisitas turgor baik, membrane mukosa lembab, tidak ada rasa
haus yang berlebihan
NIC
1. Monitor status hidrasi
2. Timbang popok/pembalut jika diperlukan
3. Kolaborasikan pemberian cairan IV
4. Dorong ibu untuk selalu menyusui bayinya\
5. Pertahankan intake : beri minum sesuai kebutuhan karena bayi malas
minum berikan berulang-ulang, jika tidak mau menghisap dapat
diberikan menggunakan sendok atau sonde.

3. Kerusakan integritas kulit b.d efek fototerapi


Definisi : perubahan atau gangguan epidermis dan/dermis
Batasan karakteristik :
 Kerusakan lapisan kulit (dermis)
 Gaangguan permukaan kulit (epidermis)
 Invasi struktur tubuh
Factor yang berhubungan
 Eksternal : zat kimia, radiasi. Hipertermia, medikasi
 Internal : perubahan status cairan,
NOC
 Tissue integrity : skinand mucous
 Membranes
 Hemodyalisis akses
Kriteria Hasil
 Integritas yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas,
temperatur, hidrasi, pigmentasi) tidak ada luka pada kulit
 Perfusi jaringan baik
NIC
1. Kaji warna kulit
2. Ubah posisi pasien setiap 2 jam sekali
3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
4. Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun
menjadi 7,5 mg% fototerafi dihentikan

DAFTAR PUSTAKA

Huda Nurarif, Amin dan Hardhi Kusuma. 2015. NANDA (North American Nursing
Diagnosis Association) NIC-NOC. Jogjakarta : MediAction Publishing

https://www.academia.edu/11325092/LAPORANPENDAHUUAN_LP_HIPERBILIRUBIN
EMIA

https://docplayer.info/31492877-Ikterus-neonatorum-a-pengertian-b-epidemiologi-c-
klasifikasi.html diakses pada 7 April 2019

https://id.scribd.com/doc/222217959/LAPORAN-PENDAHULUAN-
HIPERBILIRUBINEMIA diakses pada 7 April 2019

Anda mungkin juga menyukai