Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

DEPARTEMEN KEPERAWATAN ANAK


RSD dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH

IZZA HAPSARI
1601031044

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2017
KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam
darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan
kernikterus jika tidak segera ditangani dengan baik. Kernikterus adalah
suatu kerusakan otak akibat peningkatan bilirubin indirek pada otak
terutama pada corpus striatum, thalamus, nukleus thalamus, hipokampus,
nukleus merah dan nukleus pada dasar ventrikulus ke-4. Kadar bilirubin
tersebut berkisar antara 10 mg / dl pada bayi cukup bulan dan 12,5 mg / dl
pada bayi kurang bulan (Ngastiyah, 2005).
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila
kadar bilirubin tidak dikendalikan(Mansjoer,2008).
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong
non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’.
Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological
Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95%
menurut Normogram Bhutani(Etika et al,2006).

B. ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat
dibagi:
1. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat
kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat
disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi
atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom Criggler-
Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin
kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas
dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi
dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya
diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya
akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Hassan et
al.2005).

C. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85-90%) terjadi
dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil(10-15%) dari senyawa lain
seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin
dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini
kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis
berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol
bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air(bilirubin
tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar
dalam tubuh dan melewati lobulus hati,hepatosit melepas bilirubin dari
albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam
glukoronat(bilirubin terkonjugasi, direk) (Sacher,2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk
ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus,bilirubin
diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat
diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah
porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya
diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan
sebagai senyawa larut air bersama urin(Sacher, 2004).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh
kegagalan hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang
dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi
saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua
keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya
mencapai nilai tertentu(sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke
dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus
atau jaundice(Murray et al,2009).

D. MANIFESTASI KLINIS
Bayi baru lahir(neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya
kira-kira 6mg/dl(Mansjoer at al, 2007).
Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai
kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan
ikterus obstruksi(bilirubin direk) memperlihatkan warna kuningkehijauan
atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang
berat(Nelson, 2007).
Gambaran klinis ikterus fisiologis:
1. Tampak pada hari 3,4
2. Bayi tampak sehat(normal)
3. Kadar bilirubin total<12mg%
4. Menghilang paling lambat 10-14 hari
5. Tak ada faktor resiko
6. Sebab: proses fisiologis(berlangsung dalam kondisi fisiologis)(Sarwono
et al, 2005).
Gambaran klinik ikterus patologis:
1. Timbul pada umur<36 jam
2. Cepat berkembang
3. Bisa disertai anemia
4. Menghilang lebih dari 2 minggu
5. Ada faktor resiko
6. Dasar: proses patologis (Sarwono et al, 2005).
Tampak ikterus pada sklera, kuku, dan sebagian besar kulit serta membran
mukosa. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama sejak bayi lahir
disebabkan oleh penyakit hemolitik, sepsis atau ibu dengan diabetik dan
infeksi. Jaundice yang tampak pada hari ke-2 atau ke-3 dan mencapai puncak
pada hari ke-3 sampaike-4 serta menurun pada hari ke-5 sapai hari ke-7
biasanya merupakan jaundice fisiologis.
Gejala kernikterus berupa kulit kuning kehijauan, muntah, anorexia, fatique,
warna urine gelap, warna tinja seperti dempul, letargi (lemas), kejang, tak
mau menetek, tonus otot meninggi dan akhirnya opistotonus. (Ngastiyah,
2005).

E. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut:
1. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini
kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya
rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik.
Obat ini sudah jarang dipakai lagi.
2. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme
bilirubin(misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau
(menambahkan albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin).
Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia.
Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi
bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin
plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada
dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak
melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar.
3. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral
dini.
4. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang
tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam
air.
5. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar(Mansjoer
et al, 2007).

Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:


1. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg%
2. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
3. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
4. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji Coombs direct
positif(Hassan et al, 2005).
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai
berikut :
1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin
dengan membuka pakaian bayi.
2. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat
memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel
reproduksi bayi.
3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak
yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi
yang terkena cahaya dapat menyeluruh.
5. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
6. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
7. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala 2x24 jam terutama pada bayi
dengan hemolisis.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak
terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang
berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang
mendapatkan terapi sinar (Etika et al, 2006).
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah
dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer(1969). Caranya
dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol
seperti tulang hidung,dada,lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan
tampak pucat atau kuning. Indikasi untuk bayi dilakukan fototerapi adalah
yang memiliki kadar bilirubin melebihi batas normal yaitu o,6-10 mg/dL

Pemeriksaan serum bilirubin(direk dan indirek) harus dilakukan pada


neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi-bayi yang tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan ‘Coombs test’, darah
lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin
direk. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam
tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga
harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar(Etika
et al, 2006).

G. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Aktivitas/ istirahat : letargi, malas
b. Sirkulasi : mungkin pucat, menandakan anemia
c. Eliminasi : Bising usus hipoaktif, vasase meconium mungkin lambat,
faeces mungkin lunak atau coklat kehijauan selama pengeluaran
billirubin. Urine berwarna gelap.
d. Makanan cairan : Riwayat pelambatan/ makanan oral buruk.
e. Palpasi abdomen : dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar.
f. Neurosensori :
1) Chepalohaematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua
tulang parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran.
2) Oedema umum, hepatosplenomegali atau hidrops fetalis,
mungkin ada dengan inkompathabilitas Rh.
3) Kehilanga refleks moro, mungkin terlihat.
4) Opistotonus, dengan kekakuan lengkung punggung, menangis
lirih, aktifitas kejang.
g. Pernafasan : krekels (oedema fleura)
h. Keamanan : Riwayat positif infeksi atau sepsis neonatus, akimosis
berlebihan,pteque, perdarahan intrakranial, dapat tampak ikterik
pada awalnya pada wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh.
i. Seksualitas : mungkin praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA),
bayi dengan letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar
untuk usia gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi
lebih sering pada bayi pria daripada bayi wanita.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air
(IWL) tanpa disadari akibat dari fototerapi dan kelemahan menyusu.
b. Resiko terjadi komplikasi; kernikterus b.d peningkatan kadar
bilirubin.
c. Gangguan rasa nyaman dan aman berhubungan dengan akibat
pengobatan/terapi sinar.
d. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan komplikasi tranfusi tukar.
e. Resiko injuri pada mata dan genetalia berhubungan dengan foto
terapi.
f. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan fototerapi.
g. Resiko injuri berhubungan dengan peningkatan serum bilirubin
sekunder dari pemecahan sel darah merah dan gangguan eksresi
bilirubin.

3. Rencana Tindakan
a. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air
(IWL) tanpa disadari akibat dari fototerapi dan kelemahan menyusu.
Tujuan: Memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi .
Intervensi:
1) Pertahankan intake : beri minum sesuai kebutuhan karena bayi
malas minumberikan berulang-ulang, jika tidak mau menghisap
dapat diberikanmenggunakan sendok atau sonde.
2) Berikan terapi infus sesuai program bila indikasi : meningkatnya
temperatur, meningkatnya konsentrasi urin, dan cairan hilang
berlebihan.
3) Perhatikan frekuensi BAB, mungkin susu tidak cocok (jika
bukan ASI) .
4) Kaji adanya dehidrasi: membran mukosa, ubun-ubun, turgor
kulit, mata.
5) Monitor suhu tiap 1 jam.
b. Resiko terjadi komplikasi; kernikterus b.d peningkatan kadar
bilirubin.
Tujuan : Mengenal gejala dini mencegah meningkatnya ikterus.
Intervensi :
1) Periksa darah untuk bilirubin, jika hasilnya masih dibawah 7
mg% ulang keesokan harinya.
2) Berikan minum banyak.
3) Perhatikan hasil darah bilirubin, jika hasilnya 7 mg%/lebih
segera hubungi dokter, bayi perlu terapi.

c. Gangguan rasa nyaman dan aman berhubungan dengan akibat


pengobatan/terapi sinar.
Tujuan : Untuk memenuhi kebutuhan psikologik
Intervensi :
1) Mengusakan agar bayi tidak kepanasan atau kedinginan
2) Memelihar kebersihan tempat tidur bayi dan lingkungannya
3) Mencegah terjadinya infeksi (memperhatikan cara bekerja
aseptik)

d. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan komplikasi tranfusi tukar.


Tujuan : menyelesaikan tranfusi tukar tanpa komplikasi dan
menunjukkan penurunan kadar bilirubin serum.
Intervensi :
1) Perhatikan kondisi tali pusat bayi sebelum tranfusi bila vena
umbilikal digunakan.
2) Pertahankan puasa selama 4 jam sebelum prosedur tindakan atau
aspirasi isi lambung.
3) Jamin ketersedian alat resusitatif
4) Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan sesudah prosedur
tindakan
5) Pastikan golongan darah serta faktor Rh bayi dan ibu
6) Pantau tekanan vena, nadi, warna, frekuensi pernafasan selama
dan setelah tranfusi
7) Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan
8) Pantau tanda ketidakseimbangan elektrolit
9) Kolaborasi :
a) Pantau peneriksaan laboratorium sesuai indikasi ( kadar
bilirubin serum, protein total serum, kalsium dan kalium,
glukosa, kadar Ph serum
b) Berikan albumin sesuai indikasi
c) Kalsium glukonat 5 %
d) Natium bikarbonat
e) Protein sulfat

e. Resiko injuri pada mata dan genetalia berhubungan dengan foto


terapi.
Tujuan : tidak terjadi kecelakaan pada mata selama terapi diberikan.
Intervensi :
1) Gunakan pelindung pada mata pada saat fototerapi.
2) Pastikan mata tertutup, hindari penekanan mata yang berlebihan
karena dapat menimbulkan jejas pada mata yang tertutup atau
pada kornea .

f. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan fototerapi.


Tujuan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama terapi
diberikan.
Intervensi :
1) Inspeksi kulit setiap 4 jam.
2) Gunakan sabun bayi.
3) Merubah posisi bayi dengan sering.
4) Gunakan pelindung daerah genetal.
5) Gunakan pengalas yang lembut.
g. Resiko injuri berhubungan dengan peningkatan serum bilirubin
sekunder dari pemecahan sel darah merah dan gangguan eksresi
bilirubin.
Tujuan : bayi tidak mengalami kecelakaan selama perawatan.
Intervensi :
1) Cegah adanya injuri (internal).
2) Kaji hiperbilirubin tiap ( 1-4 jam) dan catat.
3) Berikan fototerapi sesuai program.
4) Monitor kadar bilirubin 4 – 8 jam sesuai program.
5) Antisipasi kebutuhan tranfusi tukar.
6) Monitor Hb da Hct
PATHWAY
DAFTAR PUSTAKA

Ngastiyah. 2005.Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aeseulupius

Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik SM. 2006.Hiperbilirubinemia pada


neonatus. Continuing education ilmu kesehatan anak

Hassan,R.,. 2005. Inkompatibilitas ABO dan Ikterus pada Bayi Baru Lahir.
Jakarta : Percetakan Infomedika.

Sacher, Ronald, A., Richard A., McPherson. 2004. Tinjaun Klinis Hasil
Pemeriksaan Laborotorium. 11th ed. Editor bahasa Indonesia: Hartonto,
Huriawati. Jakarta: EGC

Cloherty, J. P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008. Neonatal


Hyperbilirubinemia in Manual of Neonatal Care. Philadelphia: Lippincort
Williams and Wilkins

Murray, R.K., et al. 2009. Edisi Bahasa Indonesia Biokimia Harper. 27th edition.
Alih bahasa Pendit, Brahm U. Jakarta : EGC

Sarwono, Erwin, et al. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/ UPF Ilmu
Kesehatan Anak. Ikterus Neonatorum(Hyperbilirubinemia Neonatorum).
Surabaya: RSUD Dr.Soetomo.

Anda mungkin juga menyukai