HYPERBILIRUBIN
NAMA KELOMPOK:
KONSEP DASAR
1. PENGERTIAN
Neonatus adalah individu yang baru saja mengalami proses kelahiran dan harus
menyesuaikan diri dari kehidupan intrauterine ke kehidupan ekstrauterin, Neonatus merupakan
bayi dengan umur 0-28 hari, yang mempunyai risiko gangguan kesehatan paling tinggi dan
berbagai masalah kesehatan yang bisa muncul, sehingga tanpa penanganan yang tepat, bisa
menyebabkan komplikasi pada neonatus (Lia Dewi, 2014)
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai
suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kernikterus jika tidak segera ditangani
dengan baik. Kernikterus adalah suatu kerusakan otak akibat peningkatan bilirubin indirek pada
otak terutama pada corpus striatum, thalamus, nukleus thalamus, hipokampus, nukleus merah dan
nukleus pada dasar ventrikulus ke-4. Kadar bilirubin tersebut berkisar antara 10 mg / dl pada bayi
cukup bulan dan 12,5 mg / dl pada bayi kurang bulan (Ngastiyah, 2005).
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke
arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak
dikendalikan(Mansjoer, 2008).
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis
sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia
patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus
>95% menurut Normogram Bhutani (Etika et al,2006).
2. ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat dibagi :
a. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah
lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh
imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar,
akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil
transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar
yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek
yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di
luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Hassan et
al.2005).
3. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel
retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari
sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk
sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang
disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena
ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air.
Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari
albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin
terkonjugasi, direk) (Sacher,2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon
menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai
feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta
membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam
empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal,
tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin (Sacher, 2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan
muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl (Cloherty et al, 2008).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi
kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati (karena
rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya
kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada
semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai
tertentu (sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian
menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice (Murray et al,2009).
4. MANIFESTASI KLINIS
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira
6mg/dl (Mansjoer at al, 2007).
Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai
kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi
(bilirubin direk) memperlihatkan warna kuningkehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya
dapat ditemukan pada ikterus yang berat (Nelson, 2007).
Gambaran klinis ikterus fisiologis :
a. Tampak pada hari 3,4
b. Bayi tampak sehat (normal)
c. Kadar bilirubin total <12mg%
d. Menghilang paling lambat 10-14 hari
e. Tak ada faktor resiko
f. Sebab : proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis) (Sarwono et al, 2005).
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
a. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin
dengan membuka pakaian bayi.
b. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat
memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi
bayi.
c. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang
terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
d. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang
terkena cahaya dapat menyeluruh.
e. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
f. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
g. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan
hemolisis.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup.
Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan
penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus
akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar (Etika et al,
2006).
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah
dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari
telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang
hidung,dada,lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning.
Pemeriksaan serum bilirubin(direk dan indirek) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang
tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan ‘Coombs test’, darah lengkap
dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan
serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya
kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar atau transfusi tukar(Etika et al, 2006).
KONSEP KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Aktivitas/ istirahat : letargi, malas
b. Sirkulasi : mungkin pucat, menandakan anemia
c. Eliminasi : Bising usus hipoaktif, vasase meconium mungkin lambat, faeces
mungkin lunak atau coklat kehijauan selama pengeluaran billirubin. Urine
berwarna gelap.
d. Makanan cairan : Riwayat pelambatan/ makanan oral buruk.
e. Palpasi abdomen : dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar.
f. Neurosensori :
1) Chepalohaematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang
parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran.
2) Oedema umum, hepatosplenomegali atau hidrops fetalis, mungkin ada dengan
inkompathabilitas Rh.
3) Kehilanga refleks moro, mungkin terlihat.
4) Opistotonus, dengan kekakuan lengkung punggung, menangis lirih, aktifitas
kejang.
g. Pernafasan : krekels (oedema fleura)
h. Keamanan : Riwayat positif infeksi atau sepsis neonatus, akimosis berlebihan,
pteque, perdarahan intrakranial, dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah
dan berlanjut pada bagian distal tubuh.
i. Seksualitas : mungkin praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA), bayi dengan
letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk usia gestasi (LGA)
seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi lebih sering pada bayi pria daripada bayi
wanita.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa 1, Ikterik neonatus berhubungan dengan penurunan berat badan
abnormal (.7-8% pada bayi lahir yang menyusu ASI > 15% pada bayi cukup
bulan), pola makan tidak ditetapkan dengan baik,kesulitan transisi ke kehidupan
ekstra uterin, usia kurang dari 7 hari,keterlambatan pengeluaran feses
(mekonium)
Intervensi (SIKI)
Intervensi:
Manajemen hypovolemia
1. periksa tanda dan gejala hipovolemia
2. timbang bb
3. monitor intake dan output cairan
Intervensi (SIKI)
Manajemen Hipertermia
1. Monitor suhu sesering mungkin
2. Monitor warna kulit
3. Monitor Turgor Kulit
4. Monitor Gerak bayi
5. Berikan cairan oral
Rasional:
1. klien merasa haus merupakan salah satu tanda gejala
hypovolemia
2. Mengetahui dan membandingkan bb bayi
3. Untuk menjaga keseimbangan nutrisi bayi
Intervensi (SIKI)
Perawatan Integritas Kulit
1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
2. Ubah posisi tiap 2 jam
3. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
4. .Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya
Rasional:
1. Terapi fototerapi merupakan salah satu penyebab gangguan integritas kulit
2. Agar kulit tidak iritasi dan menimbulkan luka
3. Meningkatkan asupan nutrisi berupa ASI atau susu formula akan meningkatkan
elastisitas kulit klien
4. Dengan mandi maka kelembapan kulit akan terjaga
Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dapat disesuaikan dengan intervensi yang telah disusun.
Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan
seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil
dicapai.
DAFTAR PUSTAKA
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik SM. 2006. Hiperbilirubinemia pada neonatus.
Continuing education ilmu kesehatan anak
Hassan, R.,. 2005. Inkompatibilitas ABO dan Ikterus pada Bayi Baru Lahir. Jakarta :
Percetakan Infomedika.
Sacher, Ronald, A., Richard A., McPherson. 2004. Tinjaun Klinis Hasil Pemeriksaan
Laborotorium. 11th ed. Editor bahasa Indonesia: Hartonto, Huriawati. Jakarta: EGC
DPP PPNI,Tim Pokja SDKI.2016.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.Jakarta
Selatan:Dewan Pengurus Pusat PPNI