Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN NEONATAL HIPERBILIRUBIN

DI RUANG PERINATOLOGI RSUD AL-IHSAN


KABUPATEN BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT
Diajukan untuk memenuhi tugas praktik klinik Keperawatan Anak

Disusun Oleh :
POPI NURMALASARI
NPM.P17320120516

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI NERS
TAHUN 2021
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Pengertian
Bilirubin adalah pigmen kristal tetrapiol berwarna jingga kuning yang
merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses
reaksi oksidasi-reduksi yang terjadi di sistem retikulo endothelial (Kosim,
2012). Bilirubin diproduksi oleh kerusakan normal sel darah merah.
Bilirubin dibentuk oleh hati kemudian dilepaskan ke dalam usus sebagai
empedu atau cairan yang befungsi untuk membantu pencernaan (Mendri dan
Prayogi, 2017).
Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar serum bilirubin dalam
darah sehingga melebihi nilai normal. Pada bayi baru lahir biasanya dapat
mengalami hiperbilirubinemia pada minggu pertama setelah kelahiran.
Keadaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan oleh
meningkatnya produksi bilirubin atau mengalami hemolisis, kurangnya
albumin sebagai alat pengangkut, penurunan uptake oleh hati, penurunan
konjugasi bilirubin oleh hati, penurunan ekskresi bilirubin, dan peningkatan
sirkulasi enterohepatik (IDAI, 2013).
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana meningkatnya kadar
bilirubin dalam darah secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan
perubahan pada bayi baru lahir yaitu warna kuning pada mata, kulit, dan
mata atau biasa disebut dengan jaundice. Hiperbilirubinemia merupakan
peningkatan kadar bilirubin serum yang disebabkan oleh salah satunya yaitu
kelainan bawaan sehingga menyebabkan ikterus (Imron, 2015).
Hiperbilirubinemia atau penyakit kuning adalah penyakit yang
disebabkan karena tingginya kadar bilirubin pada darah sehingga
menyebabkan bayi baru lahir berwarna kuning pada kulit dan pada bagian
putih mata (Mendri dan Prayogi, 2017)
2. Etiologi
Hiperbilirubinemia disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin
karena tingginya jumlah sel darah merah, dimana sel darah merah
mengalami pemecahan sel yang lebih cepat. Selain itu, hiperbilirubinemia
juga dapat disebabkan karena penurunan uptake dalam hati, penurunan
konjugasi oleh hati, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik (IDAI, 2013).
Kejadian ikterik atau hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir
disebabkan oleh disfungsi hati pada bayi baru lahir sehingga organ hati pada
bayi tidak dapat berfungsi maksimal dalam melarutkan bilirubin ke dalam air
yang selanjutkan disalurkan ke empedu dan diekskresikan ke dalam usus
menjadi urobilinogen. Hal tersebut meyebabkan kadar bilirubin meningkat
dalam plasma sehingga terjadi ikterus pada bayi baru lahir (Anggraini,
2016).
Menurut Nelson (2011) secara garis besar etiologi ikterus atau
hiperbilirubinemia pada neonatus dapat dibagi menjadi :
a. Produksi bilirubin yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan
neonatus untuk mengeluarkan zat tersebut. Misalnya pada hemolisis yang
meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain,
defisiensi enzim G6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya
enzim glukoronil transferase. Penyebab lain yaitu defisiensi protein.
Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke
sel hepar.
c. Gangguan transportasi bilirubin. Bilirubin dalam darah terikat pada
albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini
dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang
bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi
dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan
oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain.
3. Manisfestasi Klinis
Menurut Ridha (2014) bayi baru lahir dikatakan mengalami
hiperbilirubinemia apabila tampak tanda-tanda sebagai berikut :
a. Sklera, selaput lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat
penumpukan bilirubin.
b. Terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
c. Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24 jam.
d. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan
12,5 mg/dL pada neonatus kurang bulan.
e. Ikterik yang disertai proses hemolisis.
f. Ikterik yang disertai berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa
gestasi kurang dari 36 minggu, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan,
infeksi trauma lahir kepala, hipoglikemia, hiperkarbia.
4. Phatway
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah
rusak. Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan
cara berikatan dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian
diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Bayi memiliki usus yang
belum sempurna, karna belum terdapat bakteri pemecah, sehingga
pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin indirek yang
kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus
bersirkulasi (Atika dan Jaya, 2016).
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial,
selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin.
Neonatus mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap
bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar
yang kurang. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki
susunan syaraf pusat dan bersifat toksik (Kosim, 2012).
Pigmen kuning ditemukan di dalam empedu yang terbentuk dari
pemecahan hemoglobin oleh kerja heme oksigenase, biliverdin, reduktase,
dan agen pereduksi non enzimatik dalam sistem retikuloendotelial. Setelah
pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh protein
intraseluler “Y protein” dalam hati. Pengambilan tergantung pada aliran
darah hepatik dan adanya ikatan protein. Bilirubin tak terkonjugasi dalam
hati diubah atau terkonjugasi oleh enzim asam uridin disfoglukuronat
(uridine disphoglucuronid acid) glukurinil transferase menjadi bilirubin
mono dan diglucuronida yang polar, larut dalam air (bereaksi direk).
Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi melaui
ginjal.
Dengan konjugasi, bilirubin masuk dalam empedu melaui membran
kanalikular. Kemudian ke sistem gastrointestinal dengan diaktifkan oleh
bakteri menjadi urobilinogen dalam tinja dan urine. Beberapa bilirubin
diabsorbsi kembali menjadi sirkulasi enterohepatik (Suriadi dan Yuliani
2010). Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin
yang melebihi kemampuan hati untuk mengekskresikan bilirubin yang telah
diekskresikan dalam jumlah normal. Selain itu, hiperbilirubinemia juga
dapat disebabkan oleh obstruksi saluran ekskresi hati. Apabila konsentrasi
bilirubin mencapai 2 – 2,5 mg/dL maka bilirubin akan tertimbun di dalam
darah. Selanjutnya bilirubin akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian
akan menyebabkan kuning atau ikterus (Khusna, 2013).
Berikut ini adalah tabel hubungan kadar bilirubin dengan daerah
ikterus menurut Kramer (Mansjoer, 2013).
WOC
5. Komplikasi
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi
dapat mengakibatkan bilirubin encephalopathy (komplikasi serius). Pada
keadaan lebih fatal, hiperbilirubinemia pada neonatus dapat menyebabkan
kern ikterus, yaitu kerusakan neurologis, cerebral palsy, dan dapat
menyebabkan retardasi mental, hiperaktivitas, bicara lambat, tidak dapat
mengoordinasikan otot dengan baik, serta tangisan yang melengking (Suriadi
dan Yuliani, 2010).
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan, kadar bilirubin mencapai puncak kira-kira 6
mg/dL, antara 2 dan 4 hari kehidupan. Apabila nilainya diatas 10 mmg/dL
maka dikatakan hiperbilirubinemia non fisiologis atau patologis. Pada
bayi dengan kurang bulan, kadar bilirubin mencapai puncaknya pada nilai
10 – 12 mg/dL, antara lima dan tujuh hari kehidupan. Apabila nilainya
diatas 14 mg/dL maka dikatakan hiperbilirubinemia non fisiologis atau
patologis (Suriadi & Yulliani, 2010)
b. Ultrasonograf (USG)
Pemeriksaan USG digunakan untuk mengevaluasi anatomi cabang
kantong empedu (Suriadi & Yulliani, 2010).
c. Radioscope Scan
Pemeriksaan radioscope scan dapat digunakan untuk membantu
membedakan hepatitis atau atresia biliary (Suriadi & Yulliani, 2010).
7. Penatalaksanaan Non Medis
Penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara alami :
a. Bilirubin Indirek
Penatalaksanaanya dengan metode penjemuran dengan sinar ultraviolet
ringan yaitu dari jam 7.oo – 9.oo pagi. Karena bilirubin fisioplogis jenis
ini tidak larut dalam air.
b. Bilirubin Direk
Penatalaksanaannya yaitu dengan pemberian intake ASI yang adekuat.
Hal ini disarankan karna bilirubin direk dapat larut dalam air, dan akan
dikeluarkan melalui sistem pencernaan. (Atikah & Jaya, 2016 ;
Widagdo, 2012)
8. Penatalaksanaan Medis
Menurut Suriadi dan Yuliani (2010) penatalaksanaan terapeutik pada bayi
baru lahir dengan hiperbilirubinemia yaitu :
a. Pemberian antibiotik
b. Pemberian antibiotik dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi
baru lahir disebabkan oleh infeksi.
c. Fototerapi
Tindakan fototerapi dapat dilakukan apabila telah ditegakkan
hiperbiliribunemia pada bayi baru lahir bersifat patologis. Fototerapi
berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melaui tinja dan urine
dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin. Langkah-langkah
pelaksanaan fototerapi yaitu :
1) Membuka pakaian neonatus agar seluruh bagian tubuh neonatus
kena sinar.
2) Menutup kedua mata dan gonat dengan penutup yang memantulkan
cahaya.
3) Jarak neonatus dengan lampu kurang lebih 40 cm
4) Mengubah posisi neonatus setiap 6 jam sekali.
5) Mengukur suhu setiap 6 jam sekali.
6) Kemudian memeriksa kadar bilirubin setiap 8 jam atau sekurang-
kurangnya sekali dalam 24 jam.
7) Melakukan pemeriksaan HB secara berkala terutama pada penderita
yang mengalami hemolisis.
d. Fenoforbital
Dapat mengekskresi bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi.
Meningkatkan sintesis hepatis glukoronil transferase yang mana dapat
meningkatkan bilirubin konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen
dalam empedu, sintesis protein dimana dapat meningkatkan albumin
untuk mengikat bilirubin. Fenobarbital tidak begitu sering dianjurkan.
e. Transfusi Tukar
Transfusi tukar dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi baru
lahir sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Fokus Pengkajian
a. Identitas: Bayi dengan kelahiran prematur, BBLR, dan lebih sering
diderita oleh bayi laki-laki.
b. Keluhan Utama : Bayi terlihat kuning dikulit dan sklera, letargi, malas
menyusu, tampak lemah, dan bab berwarna pucat.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang: Keadaan umum bayi lemah, sklera
tampak kuning, letargi, refleks hisap kurang, pada kondisi bilirubin
indirek yang sudah .20mg/dl dan sudah sampai ke jaringan serebral
maka bayi akan mengalami kejang dan peningkatan tekanan
intrakranial yang ditandai dengan tangisan melengking.
2) Riwayat kehamilan dan kelahiran:Antenatal care yang kurang baik,
kelahiran prematur yang dapat menyebabkan maturitas pada organ
dan salah satunya hepar, neonatus dengan berat badan lahir rendah,
hipoksia dan asidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubin,
neonatus dengan APGAR score rendah juga memungkinkan
terjadinya hipoksia serta asidosis yang akan menghambat konjugasi
bilirubin.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu: Biasanya ibu bermasalah dengan
hemolisis. Terdapat gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian
golongan Rh atau golongan darah A,B,O). Infeksi, hematoma,
gangguan metabolisme hepar obstruksi saluran pencernaan, ibu
menderita DM. Mungkin praterm, bayi kecil usia untuk gestasi
(SGA), bayi dengan letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR),
bayi besar untuk usia gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu
diabetes. Terjadi lebih sering pada bayi pria daripada bayi wanita.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala dan Leher
Ditemukan adanya ikterus pada sklera dan mukosa. Pemeriksaan abdomen
Terjadi pembesaran hepar dan limpa, dan ada nyeri tekan
b. Dada
Ikterus dengan infeksi selain dada terlihat ikterus juga akan terlihat
pergerakan dada yang abnormal.
c. Abdomen
Perut membucit, muntah, kadang mencret yang disebabkan oleh
gangguan metabolisme bilirubin enterohepatik.
d. Pemeriksaan integumen
Menurut rumus kramer apabila kuning terjadi di daerah kepala dan leher
termasuk ke grade satu, jika kuning pada daerah kepala serta badan
bagian atas digolongkan ke grade dua. Kuning terdapat pada kepala,
badan bagian atas, bawah dan tungkai termasuk ke grade tiga, grade
empat jika kuning pada daerah kepala, badan bagian atas dan bawah
serta kaki dibawah tungkai, sedangkan grade 5 apabila kuning terjadi
pada daerah kepala, badan bagian atas dan
bawah, tungkai, tangan dan kaki.
e. Neurologis
Letargi, pada kondisi bilirubin indirek yang sudah mencapai jaringan
serebral, maka akan menyebabkan kejang-kejang dan penurunan
kesadaran.
f. Urogenital
Urine berwarna pekat dan tinja berwarna pucat. Bayi yang sudah
fototerapi biasa nya mengeluarkan tinja kekuningan.
g. Pemeriksaan Ekstremitas
Kelemahan pada otot
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan kadar bilirubin serum (total) (normal = <2mg/dl).
b. Pemeriksaan darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi.
c. Penentuan golongan darah dari ibu dan bayi.
d. Pemeriksaan kadar enzim G6PD.
e. Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin
terhadap galaktosemia.
f. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah,
urin, IT rasio dan pemeriksaan C reaktif protein (CPR).
4. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA (2015) diagnosa yang mucul pada bayi dengan kasus
hiperbilirubin yaitu:
a. Ikterik neonates berhubungan dengan penurunan berat badan abnormal
(.7-8% pada bayi lahir pada bayi lahir yang menyusu ASI > yang
menyusu ASI > 15% pada bayi 15% pada bayi cukup bulan), pola cukup
bulan), pola makan tidak ditetapkan dengan baik, kesulitan transisi ke
kehidupan ekstra uterin, usia kurang dari 7 hari, keterlambatan
pengeluaran feses (mekonium)
b. Hipertermia berhubungan dengan terpapar lingkungan panas, dehidrasi
c. Risiko hipovolemia berhubungan dengan kekurangan intake cairan,
evaporasi
d. Risiko gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan faktor
elektris (fototerapi)
e. Risiko cedera berhubungan dengan ketidaknormalan profil darah.
1. Intervensi Keperawatan
DIAGNOSA
NO NOC NIC RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Ikterik neonatus Setelah dilakukan intervensi Fototerapi  Neonatus 1) Ikerik pada sclera dan kulit bayi
berhubungan dengan keperawatan selama 2x24 jam maka 1) Monitor ikterik pada sclera menandakan  bayi mengalami
penurunan  berat badan ikterik neonatus menurun dengan dan kulit bayi hiperbilirubin
abnormal, pola makan tidak kriteria hasil : 2) Identifikasi kebutuhan cairan 2) Kebutuhan cairan klien meningkat saat
ditetapkan dengan  baik, a. Kerusakan lapisan kulit sesuai dengan usia gestasi terkena  paparan sinar fluorescent
kesulitan kesulitan transisi menurun (tida ada dan  berat badan 3) Memantau  perubahan suhu pada klien
ke kehidupan ekstra uterin, kemerahan, tidak ada 3) Monitor suhu dan tanda vital 4) Mengetahui efek yang ditimbulkan
usia kurang dari 7 hari, hematoma, warna kulit tiap 4 jam sekali seperti muntah, diare, dll  pada klien
keterlambatan  pengeluaran normal) 4) Monitor efek samping 5) Lampu fototerapi diperlukan untuk
pengeluaran feses b. Berat badan meningkat fototerapi memecah kadar  bilirubin  pada klien
(mekonium) c. Panjang badan meningkat 5) Siapkan lampu fototerapi dan 6) Pakaian bayi dapat menganggu kinerja
d. Kulit kuning menurun incubator atau kotak  bayi terapi fototerapi yang tidak maksimal
e. Sclera kuning menurun 6) Lepaskan  pakaian  pakaian 7) Mata ditutup untuk mencegah
f. Membran mukosa kuning bayi kecuali  popok kerusakan  jaringan kornea pada klien
menurun 7) Berikan  penutup mata (eye akibat  paparan sinar fototerapi
g. Keterlambatan  pengeluaran protect/bilib and) pada  bayi 8) Jarak lampu fototerapi dengan klien 30
pengeluaran feses menurun 8) Ukur jarak antara lampu dan cm atau tergantung dari spesifikasi
h. Konsistensi feses membaik permukaan kulit bayi lampu fototerapi
i. Frekuensi defekasi membaik 9) Biarkan tubuh bayi terpapar 9) Agar kadar  bilirubin  pada tubuh dapat
j. Peristaltik usus membaik sinar fototerapi secara dipecah oleh sinar fototerapi dengan
berkelanjutan baik
10) Ganti segera alas dan  popok 10) Agar tidak mengakibatkan iritasi  pada
bayi  jika BAB/BAK kulit  bayi
11) Anjurkan ibu menyusui 11) Intake yang  baik akan meningkatka
sesering mungkin metabolisme  pada klien sehingga klien
tidak mengalami dehidrasi

2. Hipertermia  berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipertermia 1) Untuk mengetahui apakah ada
dengan terpapar lingkungan keperawatan selama 2x24 maka 1) Monitor suhu sesering penigkatan suhu tubuh  pada bayi
panas, dehidrasi termoregulasi membaik dengan mungkin
kriteria hasil : 2) Monitor warna kulit 2) Untuk mengetahui  perubahan warna
a. Suhu tubuh membaik 3) Monitor Turgor Kulit kulit
b. Warna kulit pucat menurun 4) Monitor Gerak bayi 3) Turgor kulit yang tidak elastic
c. Turgor kulit membaik 5) Berikan cairan oral menandakan klien mengalami
hipertermia
4) Untuk mengetahui keatifan bayi
5) Asupan oral klien berupa Asi atau susu
formula guna meningkatkan
metabolisme

3. Risiko hipovolemia Setelah dilakukan intervensi 1) Manajemen hypovolemia 1) Klien merasa haus merupakan salah
hipovolemia  berhubungan keperawatan selama 2x24 jam maka 2) Periksa tanda dan gejala satu tanda gejala hypovolemia
dengan kekurangan intake risiko hipovolemia menurun dengan hipovolemia 2) Mengetahui dan membandin gkan bb
cairan, evaporasi kriteria hasil : 3) Timbang bb bayi
1) Turgor kulit meningkat 4) Monitor intake dan output 3) Untuk menjaga keseimbang an nutrisi
2) Output urine meningkat cairan bayi
3) Berat badan membaik 5) Hitung kebutuhan cairan 4) Untuk mengetahui  jumlah residu dan
4) Intake cairan membaik 6) Berikan asupan cairan oral sebagai  patokan  pemberian intake
5) Suhu tubuh membaik berupa  berupa asi atau susu 5) Asi atau susu formula merupakan
6) Asupan cairan meningkat formula makanan utama bayi klie
7) Dehidrasi menurun
8) Membran mukosa membaik
9) Mata cekung membaik

4. Resiko gangguan gangguan Setelah dilakukan intervensi Perawatan Integritas Kulit 1) Terapi fototerapi merupakan salah satu
integritas kulit keperawatan selama 2x24 jam maka 1) Identifikasi  penyebab penyebab gangguan integritas kulit
berhubungan dengan terapi integritas kulit dan  jaringan  jaringan gangguan integritas kulit 2) Agar kulit bayi tidak iritasi dan
radiasi membaik membaik dengan criteria 2) Ubah posisi tiap 2 jam menimbulkan luka
hasil : 3) Anjurkan meningkatkan 3) Meningkatkan asupan nutrisi  berupa
a. Kerusakan integritas asupan nutrisi berupa ASI atau susu formula akan
jaringan menurun (tidak ada 4) Anjurkan mandi dan meningkatkan elasitas kulit klien
kemerahan, warna kulit menggunakan sabun 4) Dengan mandi maka kelembapan kulit
normal, turgor kulit secukupnya
membaik) akan terjaga

5. Risiko cedera berhubungan Setelah dilakukan intervensi 1) Identifikasi kebutuhan 1) Mengetahui kebutuhan keselamatan
dengan ketidak normalan keperawatan selama 2x24 ja,maka keselamatan (mis.kondisi pasien
profil darah risko cedera menurun dengan criteria fisik, fungsi kognitif, riwayat 2) Dalam fototerapi  perangkat  pelindung
hasil : penyakit) yang diberikan adalah  biliband/
a. Kejadian cedera menurun 2) Gunakan  perangkat penutup  penutup mata guna
b. Luka/lecet menurun pelindung menghindari cedera mata akibat sinar
3) Tingkatkan frekuensi fototerapi
observasi dan pengawasan 3) Meningkatkan kewasdapaan dan
pasien,  pasien, sesuai menjaga  pasien terhadap
kebutuhan keselamatannya
4) Jelaskan alasan intervensi 4) Menjelaskan intervensi yang dilakukan
pencegahan ke pasien dan penting  penting guna memberikan
keluarga informasi yang detail kepada  pasien
pasien dan keluarga agar tidak terjadi
kesalahpaham an.
DAFTAR PUSTAKA

Atikah V dan Jaya P. (2016). Asuhan Kebidanan Pada Neonatus, Bayi, Balita dan
Anak Pra Sekolah. Jakarta : Trans Infomedia.
IDAI (2013). Air Susu Ibu dan Tumbuh Kembang Anak. Indonesia Pediatric
Society.http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/air-susu-ibu-dan-tumbuh
kembang-anak - diakses Oktober 2017. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang
Anak.
Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M, L. Swanson, E. 2016. Nursing interventions
clasification (NIC). United Kingdom. Mocomedia
Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M, L. Swanson, E. 2016. Nursing outcomes
clasification (NOC). United Kingdom. Mocomedia
Mendri NK dan Prayogi AS. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit.
Bahaya Risiko Tinggi. Yogyakarta : Pustaka Baru.
M. Sholeh kosim , dkk. (2012). Buku Ajar Neonatologi. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta .
Nelson JR. (2011). Teori dan Praktek Konseling dan Terapi Edisi Ke-4. Jakarta :
EGC.
Suriadi, Yuliani, Rita.2010. Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi 2. Jakarta :
CV. Sagung Seto

Anda mungkin juga menyukai