Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTIK PROFESI NERS KEPERAWATAN ANAK


DENGAN DIAGNOSA MEDIS HIPERBILIRUBINEMIA
DI RUANG HCU NEONATUS RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA
Disusun untuk memenuhi tugas praktik klinik keperawatan profesi ners
Dosen Pembimbing : Dewi Suryandari, S.Kep., Ns., M.Kep

Oleh :
Khomariyah Kholifatul Sara
SN211076

PROGRAM STUDI PROFESI NERS PROGRAM PROFESI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN
PRAKTIK PROFESI NERS KEPERAWATAN ANAK
DENGAN DIAGNOSA MEDIS HIPERBILIRUBINEMIA
DI RUANG HCU NEONATUS RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar bilirubin serum yang
disebabkan oleh salah satunya yaitu kelainan bawaan sehingga menyebabkan
ikterus (Imron, 2015). Hiperbilirubinemia atau penyakit kuning adalah
penyakit yang disebabkan karena tingginya kadar bilirubin pada darah sehingga
menyebabkan bayi baru lahir berwarna kuning pada kulit dan pada bagian putih
mata (Mendri dan Prayogi, 2017).
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana menguningnya sklera,
kulit atau jaringan lain akibat perlekatan bilirubuin dalam tubuh atau akumulasi
bilirubin dalam darah lebih dari 5mg/ml dalam 24 jam, yang menandakan
terjadinya gangguan fungsional dari liper, sistem biliary, atau system
hematologi ( Atikah & Jaya, 2016 ).

2. Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan.
Penyebab yang sering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat
inkopatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini
dapat pula timbul karna adanya perdarahan tertutup (hematoma cepal,
perdarahan subaponeurotik) atau inkompatibilitas golongan darah Rh. Infeksi
juga memegang peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia;
keadaaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Faktor
lain yaitu hipoksia atau asfiksia, dehidrasi dan asiosis, hipoglikemia, dan
polisitemia (Atikah & Jaya, 2016).
Menurut Nelson (2011) secara garis besar etiologi ikterus atau
hiperbilirubinemia pada neonatus dapat dibagi menjadi :
a. Produksi bilirubin yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan
neonatus untuk mengeluarkan zat tersebut. Misalnya pada hemolisis yang
meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain,
defisiensi enzim G6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim
glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu
defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam
uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi bilirubin. Bilirubin dalam darah terikat
pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin
ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang
bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat
obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya
disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat
infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

3. Manifestasi Klinis
Menurut Ridha (2015) bayi baru lahir dikatakan mengalami
hiperbilirubinemia apabila tampak tanda-tanda sebagai berikut :
a. Sklera, selaput lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat
penumpukan bilirubin.
b. Terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
c. Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24 jam.
d. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 12,5
mg/dL pada neonatus kurang bulan.
e. Ikterik yang disertai proses hemolisis.
f. Ikterik yang disertai berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi
kurang dari 36 minggu, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi
trauma lahir kepala, hipoglikemia, hiperkarbia.

4. Komplikasi
Yang paling utama dalam Hiperbilirubin yaitu potensinya dalam
menimbulkan kerusakan sel-sel saraf meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya
juga dapat terjadi bilirubin. Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim
mitokondria serta mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga dapat
menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus
auditorius) sehingga meninggalkan gejala sisa berupa tuli saraf. Kerusakan
jaringan otak yang terjadi seringkai tidak sebanding dengan konsentrasi
bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi
ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap
jaringan (Tando, 2016).
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera
diatasi dapat mengakibatkan bilirubin encephalopathy (komplikasi serius).
Pada keadaan lebih fatal, hiperbilirubinemia pada neonates dapat menyebabkan
kern ikterus, yaitu kerusakan neurologis, cerebral palsy, dan dapat
menyebabkan retardasi mental, hiperaktivitas, bicara lambat, tidak dapat
mengoordinasikan otot dengan baik, serta tangisan yang melengking (Atikah &
Jaya, 2016).

5. Patofisiologi dan Pathway


Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang
telah rusak. Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar
dengan cara berikatan dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian
diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Bayi memiliki usus yang belum
sempurna, karna belum terdapat bakteri pemecah, sehingga pemecahan
bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin indirek yang kemudian ikut
masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus bersirkulasi (Atika dan Jaya,
2016).
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial,
selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin.
Neonatus mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin
karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang
kurang. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan
syaraf pusat dan bersifat toksik (Kosim, 2012).
Pigmen kuning ditemukan di dalam empedu yang terbentuk dari
pemecahan hemoglobin oleh kerja heme oksigenase, biliverdin, reduktase, dan
agen pereduksi non enzimatik dalam sistem retikuloendotelial. Setelah
pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh protein
intraseluler “Y protein” dalam hati. Pengambilan tergantung pada aliran darah
hepatik dan adanya ikatan protein. Bilirubin tak terkonjugasi dalam hati diubah
atau terkonjugasi oleh enzim asam uridin disfoglukuronat (uridine
disphoglucuronid acid) glukurinil transferase menjadi bilirubin mono dan
diglucuronida yang polar, larut dalam air (bereaksi direk). Bilirubin yang
terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi melaui ginjal. Dengan
konjugasi, bilirubin masuk dalam empedu melaui membran kanalikular.
Kemudian ke sistem gastrointestinal dengan diaktifkan oleh bakteri menjadi
urobilinogen dalam tinja dan urine. Beberapa bilirubin diabsorbsi kembali
menjadi sirkulasi enterohepatik (Suriadi dan Yuliani 2010).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati untuk mengekskresikan bilirubin yang telah
diekskresikan dalam jumlah normal. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat
disebabkan oleh obstruksi saluran ekskresi hati. Apabila konsentrasi bilirubin
mencapai 2 – 2,5 mg/dL maka bilirubin akan tertimbun di dalam darah.
Selanjutnya bilirubin akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian akan
menyebabkan kuning atau ikterus (Khusna, 2013).
Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang
larut lemak, tak terkonjugasi, non polar (bereaksi indirek). Pada bayi dengan
hiperbilirubinemia kemungkinan merupakan hasil dari defisiensi atau tidak
aktifnya glukoronil transferase. Rendahnya pengambilan dalam hepatic
kemungkinan karena penurunan protein hepatik sejalan dengan penurunan
darah hepatik (Suriadi dan Yuliani 2010).
Jaundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan hasil dari
hambatan kerja glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam lemak bebas
yang terdapat dalam ASI. Terjadi empat sampai tujuh hari setelah lahir. Dimana
terdapat kenaikan bilirubin tak terkonjugasi dengan kadar 25 – 30 mg/dL
selama minggu kedua sampai ketiga. Jika pemberian ASI dilanjutkan
hiperbilirubinemia akan menurun berangsur-angsur dapat menetap selama tiga
sampai sepuluh minggu pada kadar yang lebih rendah. Jika pemberian ASI
dihentikan, kadar bilirubin serum akan turun dengan cepat, biasanya mencapai
normal dalam beberapa hari. Penghentian ASI selama satu sampai dua hari
dengan penggantian ASI dengan susu formula mengakibatkan penurunan
bilirubin serum dengan cepat. (Suriadi dan Yuliani 2010).
Pathway

Produksi yang Gangguan Gangguan Gangguan


berlebihan dalam proses transportasi dalam ekskresi
uptek dan
kojugasi hepar

Peningkatan dekstruksi eritrosit (gangguan konjugasi bilirubin atau gangguan


transport bilirubin atau peningkatan siklus enterolepetik) hb dan eritrosit normal

Pemecahan bilirubin berlebih

Suplai bilirubin melebih tampungan hepar Bilirubin > 15 mg %


Icterus seluruh tubuh bayi

Suplai bilirubin melebih tampungan hepar


Ikterik neonatus (D.0024)
Hepar tidak mampu melakukan konjugasi

Sebagian masuk kembali ke siklus enterohepatik Resiko cedera (D.0136)

Peningkatan bilirubin unkojugasi (indirect bilirubin) dalam darah pengeluaran


meconium terlembat atau obstruksi usus, tinja berwarna pucat

Icterus pada sklera, leher dan badan, peningkatan bilirubin indirect > 12 mg/dl

Indikasi fototerapi

Sinar dengan intensitas tinggi

Gangguan integritas kulit Risiko hypovolemia Hipertermia


/jaringan (D.0129) (D.0034) (D.0130)
6. Penatalaksanaan (Medis dan Keperawatan)
Tata laksana awal ikterus neonatorum (WHO) (Maternity, Anjani, Blomed,
& Evrianasari, 2018):
a. Mulai dengan sinar fototerapi bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus
berat.
b. Tentukan apakah bayi memiliki faktor faktor kehamilan 37 minggu,
hemolisis atau sepsis.
c. Ambil contoh darah dan periksalah kadar bilirubin serum dan hemoglobin,
tentukan golongan darah bayi, dan lakukan tes coombs.
d. Bila kadar bilirubin serum dibawah nilai yang di butuhkannya maka
hentikan pemberian sinar fototerapi.
e. Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya
sinar fototerapi, maka lakukan sinar fototerapi.
f. Bila faktor rhesus dan golongan darah AB-O bukan penyebab hemolisis
atau bila memungkinkan.
g. Tentukan diagnosis hiperbilirubinemia.
Cara mengatasi Hiperbilirubin :
a. Pemberian fenobarbital
Mempercepat proses konjugasi, (pemberian fenobarbital diberikan 1-2 hari
sebelum ibu melahirkan). Fenobarbital dapat bekerja sebagai perangsang
enzim sehingga konjugasi bisa dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak
begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam an baru terjadi penurunan
hiperbilirubin yang berarti, mungkun bermanfaat pada ≤ 2 hari sebelum
kelahiran bayi (Manggiasih & Jaya, 2016 ).
b. Pemberian Substrat
Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi inkonjugasi
pemberian albumin. Contohnya yaitu pemberian albumin untuk
meningkatkan kadar bilirubin bebas. Albumin dapat diganti dengan
plasma dengan dosis 30mg/kg BB. Pemberian glukosa perlu untuk
konjugasi hepar sebagai sumber energi (Manggiasih & Jaya, 2016).
c. Fototerapi
Fototerapi merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah kadar
total bilirubin serum (TSB) meningkat. Uji klinis pada fototerapi ini telah
divalidasi kemajuan fototerapi dalam mengurangi hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi yang berlebihan, dan implementasinya mengalami perubahan
secara drastis membatasi tranfusi tukar. Sinar fototerapi yang diberikan
adalah sinar yang konvensional. Sumber sinar yang digunakan memiliki
spesifikasi, lampu fluorescent 4 buah merk Philips dengan kekuatan
masing-masing 20 watt, panjang gelombang yang digunakan 420-470 um,
intensitas cahaya 10 W/cm2, jarak antara bayi dan sumber sinar 30 cm, dan
dan digunakan alas linen putih pada basinet atau incubator dan tirai di
sekitar daerah unit sinar fototerapi untuk memantulkan cahaya sebanyak
mungkin kepada bayi, terapi sinar diberikan secara berkelanjutan dan hanya
dihentikan pada saat bayi menyusus atau dimandikan (dewi, Kardana, &
Suarta, 2016).
d. Tranfusi Tukar
Tranfusi tukar dilakukan akan dilakukan apabila terapai sinar tidak
berhasil dalam mengendalikan kadar bilirubin. Tranfusi tukar merupakan
cara yang dilakukan dengan tujuan untuk mencegah peningkatan kadar
bilirubin dalam darah. Pemberian tranfusi tukar dilakukan apabila kadar
bilirubin 20mg/dL, kenaikan pada kadar bilirubin yang cepat yaitu 0,3-1
mg/jam, anemia berat dengan gejala gagal jantung dan kadar hemoglobin
tali pusat 14 mg/dL, dan uji coombs direk menyatakan hasil yang positif.
Menurut (Manggiasih & Jaya, 2016) inilah cara melaksanakan tranfusi
tukar diantaranya yaitu :
a. Dianjurkan pasien bayi puasa 3-4 jam sebelum tranfusi tukar.
b. Pasien bayi sebelum di lakukan tranfusi tukar disiapkan didalam kamar
khusus.
c. Pasang lampu pemanas dan arahkan kepala bayi.
d. Baringkan pasien bayi dalam keadaan terlentang, buka pakaian pada
daerah perut, dan tutup mata bayi dengan kain yang tidak tembus
cahaya.
e. Lakukan tranfusi tukar dengan protap.
f. Lakukan observasi keadaan umum pasien, catat jumlah darah yang
keluar dan masuk.
g. Atur posisi setiap 6 jam.
h. Lakukan pengawasan adanya perdarahan pada tali pusat.
i. Periksa kadar hemoglobin dalam kadar bilirubin pada pasien setiap 12
jam.
e. Pemberian ASI
ASI merupakan sumber energi makanan terbaik bagi bayi selain
mengandung komposisi yang cukup sebagai nutrisi bagi bayi,
pemberian ASI juga dapat meningkatkan dan lebih menambah kasih sayang
antara ibu dan dengan bayi itu sendiri, serta meningkatkan daya kekebalan
tubuh bagi bayi. Pemberian ASI yang sering, bilirubin yang dapat
menyebabakan terjadinya ikterus akan dihancurkan dan dikeluarkan
melalui urine, oleh sebab itu, pemberian ASI sangat baik dan dianjurkan
untuk mencegah terjadinya ikterus pada bayi baru lahir (BBL) (Herawati &
Indriati, 2017).

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia menurut
Widagdo, 2012 meliputi:
1) Pemeriksaan Umum
a) Keadaan umum
Tingkat keparahan penyakit, kesadaran, status nutrisi,
postur/aktivitas anak, dan temuan fisis sekilas yang prominen dari
organ/sistem, seperti ikterus, sianosis, anemi, dispneu, dehidrasi,
dan lain-lain.
b) Tanda vital
Suhu tubuh, laju nadi, tekanan darah, dan laju nafas.
c) Data antropometri
Berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, tebal lapisan lemak
bawah kulit, serta lingkar lengan atas.

2) Pemeriksaan Organ
a) Kulit
Warna, ruam kulit, lesi, petekie, pigmentasi, hiper/hipohidrolisis,
dan angiektasis.
b) Kepala
Bentuk, ubun-ubun besar, sutura, keadaan rambut, dan bentuk wajah
apakah simestris kanan atau kiri.
c) Mata
Ketajaman dan lapangan penglihatan, hipertelorisme, supersilia,
silia, esksoptalmus, strabismus, nitagmus, miosis, midriasis,
konjungtiva palpebra, sclera kuning, reflek cahaya direk/indirek,
dan pemeriksaan retina dengan funduskopi.
d) Hidung
Bentuk, nafas cuping hidung, sianosis, dan sekresi.
e) Mulut dan tenggorokan
Warna mukosa pipi/lidah, ulkus, lidah kotor berpeta, tonsil
membesar dan hyperemia, pembengkakan dan perdarahan pada
gingival, trismus, pertumbuhan/ jumlah/ morfologi/ kerapatan gigi.
f) Telinga
Posisi telinga, sekresi, tanda otitis media, dan nyeri
tekan.
g) Leher
Tiroid, kelenjar getah bening, skrofuloderma, retraksi, murmur,
bendungan vena, refluks hepatojugular, dan kaku kuduk.
h) Thorax
Bentuk, simetrisisitas, pembengkakan, dan nyeri
tekan.
i) Jantung
Tonjolan prekordial, pulsasi, iktus kordis, batas
jantung/kardiomegali. Getaran, bunyi jantung, murmur, irama
gallop, bising gesek perikard (pericard friction rub)
j) Paru-paru
Simetrsitas static dan dinamik, pekak, hipersonor, fremitus, batas
paru-hati, suara nafas, dan bising gesek pleura (pleural friction rub)
k) Abdomen
Bentuk, kolteral, dan arah alirannya, smiling umbilicus, distensi,
caput medusa, gerakan peristaltic, rigiditas,nyeri tekan, masa
abdomen, pembesaran hati dan limpa, bising/suara peristaltik usus,
dan tanda-tanda asites.
l) Anogenetalia
Atresia anus, vesikel, eritema, ulkus, papula,
edema skrotum.
m) Ekstremitas
Tonus/trofi otot, jari tabuh, sianosis, bengkak dan nyeri
otot/tulang/sendi, edema pretibial, akral dingin, capillary revill time,
cacat bawaan.
b. Pemeriksaan Penunjang (Diagnostik/ Laboratorium)
1) Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan, kadar bilirubin mencapai puncak kira-kira 6
mg/dL, antara 2 dan 4 hari kehidupan. Apabila nilainya diatas 10
mmg/dL maka dikatakan hiperbilirubinemia non fisiologis atau
patologis. Pada bayi dengan kurang bulan, kadar bilirubin mencapai
puncaknya pada nilai 10 – 12 mg/dL, antara lima dan tujuh hari
kehidupan. Apabila nilainya diatas 14 mg/dL maka dikatakan
hiperbilirubinemia non fisiologis atau patologis).
2) Ultrasonograf (USG)
Pemeriksaan USG digunakan untuk mengevaluasi anatomi cabang
kantong empedu.
3) Radioscope Scan
Pemeriksaan radioscope scan dapat digunakan untuk membantu
membedakan hepatitis atau atresia biliary.

2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa Keperawatan pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia yaitu :
a. Ikterik neonates berhubungan dengan usia kurang dari 7 hari (D.0024)
b. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan efek samping
terapi radiasi (D.0129)
c. Hipertermi berhubungan dengan terpapar lingkungan panas (D.0130)
d. Risiko hypovolemia berhubungan dengan efek agen farmakologis (D.0034)

3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk
mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (Tim Pokja SDKI PPNI, 2017).
Tujuan kriteria hasil dan intervensi yang tertuang dalam Tim Pokja SLKI
(2019) & Tim Pokja SIKI PPNI (2018), adalah sebagai berikut :
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan
Keperawatan Hasil (SLKI) (SIKI)
(SDKI)
1 Ikterik neonates Setelah dilakukan Fototerapi Neonatus
berhubungan Intervensi keperawatan (I.03091)
dengan usia selama 1x6 Jam maka Observasi :
kurang dari 7 hari integritas kulit/jaringan a. Monitor ikterik pada
(D.0024) meningkat. Dengan sklera dan kulit bayi
kriteria hasil (L.14125) b. Identifikasi
: kebutuhan cairan
a. Kerusakan jaringan sesuai dengan usia
menurun gestasi dan berat
b. Kerusakan lapisan badan
kulit menurun c. Monitor suhu dan
c. Suhu kulit membaik tanda vital setiap 4
jam sekali
d. Monitor efek
samping fototerapi
Terapeutik :
a. Siapkan lampu dan
fototerapi dan
ikubator atau kotak
bayi
b. Lepaskan pakaian
bayi kecuali popok
c. Berikan penutup
mata pada bayi
d. Ukur jarak antara
lampu dan
permukaan kulit
bayi
e. Biarkan tubuh bayi
terpapar sinar
fototerapi secara
berkelanjutan
f. Ganti segera alas
dan popok bayi jika
BAB/BAK
g. Gunakan linen
berwarna putih agar
memantulkan
cahaya sebanyak
mungkin
Edukasi :
a. Anjurkan ibu
menyusui sekitar
20-30 menit
b. Kolaborasi
pemeriksaan darah
vena bilirubin direk
dan indirek
2 Gangguan Setelah dilakukan Perawatan integritas
integritas Intervensi keperawatan kulit (I.11353)
kulit/jaringan selama 1x6 Jam maka Observasi :
berhubungan integritas kulit/jaringana. Identifikasi
dengan efek meningkat. Dengan penyebab gangguan
samping terapi kriteria hasil (L.14125) integritas kulit
radiasi (D.0129) : Terapeutik :
d. Kerusakan jaringan a. Ubah posisi tiap 2
menurun jam jika tirah baring
e. Kerusakan lapisan b. Bersihkan perianal
kulit menurun dengan air hangat
f. Suhu kulit membaik Edukasi :
a. Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
3 Hipertermi Setelah dilakukan Manajemen hipertermi
berhubungan intervensi keperawatan (I.15506)
dengan terpapar 1x6 Jam maka Observasi :
lingkungan panas termoregulasi a. Monitor suhu tubuh
membaik. Dengan Terapeutik :
kriteria hasil (L.14134) a. Ganti linen setiap
: hari
a. Menggigil menurun b. Berikan cairan oral
b. Pucat cukup Edukasi :
menurun a. Anjurkan tirah
c. Suhu tubuh baring
membaik Kolaborasi :
d. Suhu kulit membaik a. Kolaborasi
pemberian cairan
dan elektrolit
intravena
4 Risiko Setelah dilakukan Pemantauan Cairan
hypovolemia intervensi keperawatan (I.03121)
berhubungan 1x6 Jam maka Status Obsevasi :
dengan efek agen Cairan membaik. a. Monitor berat badan
farmakologis Dengan kriteria hasil b. Monitor waktu
(D.0034) (L.03028) : pengisian kapiler
a. Membrane mukosa c. Monitor elastisitas
lembap cukup atau turgor kulit
meningkat d. Monitor hasil
b. Intake cairan cukup pemeriksaan serum
membaik e. Identifikasi tanda-
c. Suhu tubuh cukup tanda hypovolemia
membaik Terapeutik :
a. Atur interval waktu
pemantauan sesuai
dengan kondisi
pasien
b. Dokumentasikan
hasil pemantauan
Edukasi :
a. Informasikan hasil
pemantauan

4. Implementasi keperawatan
Implementasi adalah aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh perawat
untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan. Implementasi
keperawatan merupakan langkah keempat dalam tahap proses keperawatan
dengan melaksanakan strategi keperawatan yang telah disusun dalam
intervensi keperawatan (Tim Pokja SDKI PPNI, 2017). Tindakan
keperawatan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tindakan mandiri dan
tindakan kolaborasi. Tindakan mandiri adalah aktivitas perawat yang
didasarkan pada keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau
perintah dari petugas kesehatan lain. Tindakan kolaborasi adalah tindakan
yang didasarkan hasil keputusan bersama, seperti dokter dan petugas
kesehatan lain (Tarwoto & Wartonah, 2015).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk dapat
menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan. Evaluasi pada dasarnya
adalah membandingkan status keadaan kesehatan klien dengan tujuan atau
kriteria hasil yang telah ditetapkan. Evaluasi perkembangan kesehatan klien
dapat dilihat dari hasil tindakan keperawatan, tujuannya adalah mengetahui
sejauh mana tujuan perawatan dapat dicapai dan memberikan umpan balik
terhadap asuhan keperawatan yang diberikan (Tarwoto & Wartonah, 2015).
Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP yang operasional. SOAP adalah
catatan yang bersifat sederhana, jelas, logis, dan tertulis dengan pengertian
sebagai berikut :
S : ungkapan perasaan dan keluhan yang dirasakan secara subjektif oleh ibu dan
keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan.
O : data dari hasil pengukuran atau observasi perawat secara langsung pada
pasien dan yang dirasakan pasien setelah tindakan keperawatan.
A : interpretasi makna data subjektif dan objektif untuk menilai sejauh mana
tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana keperawatan tercapai
P : rencana tindakan berdasarkan analisis. Jika tujuan telah dicapai, maka
perawat akan menghentikan rencana dan apabila belum tercapai, perawat akan
melakukan modifikasi rencana untuk melanjutkan rencana keperawatan pasien
(Dinarti, Aryani, Nurhaeni, Chairani, & Utiany., 2013).
Evaluasi pada pasien hiperbilirubin (SLKI, 2018) :
a. Kerusakan jaringan menurun
b. Kerusakan lapisan kulit menurun
c. Suhu kulit membaik
d. Menggigil menurun
e. Pucat cukup menurun
f. Suhu tubuh membaik
g. Suhu kulit membaik
h. Membrane mukosa lembap cukup meningkat
i. Intake cairan cukup membaik
j. Suhu tubuh cukup membaik
DAFTAR PUSTAKA

Atika, Vidia dan Pongki Jaya. 2016. Asuhan kebidanan pada Neonatus, Bayi, Balita
dan Anak Pra Sekolah. Jakarta: Trans Info Media
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2015. Metode Penelitian Sastra dan Pembelajarannya. Hand
Out Kuliah 2015/2016. Surakarta: FKIP – UMS.
Dewi, A.K.S., Kardana, I.M., Suarta, K.2016. Efektivitas Fototerapi Terhadap
Penurunan Kadar Bilirubin Total pada Hiperbilirubinemia Neonatal di
RSUP Sanglah.Jurnal Sari Pediatri. Vol. 18, No. 2
Herawati, Y., Indriati, M., 2017, Pengaruh Pemberian ASI Awal Terhadap Kejadian
Ikterus Pada Bayi Baru Lahir 0-7 Hari, Midwife Journal, 3, 67–72
Khusna, Nailal. 2013. Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Tema Kegemaran
pada Siswa Kelas III SD 06 Bulungcangkring dengan Model Pembelajaran
Problem Based Learning. Skripsi. Kudus: Universitas Muria Kudus.
M. Sholeh kosim, 2012. Buku Ajar Neonatologi. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta.
Manggiasih & Jaya. (2016). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Neonatus, Bayi,
Balita, Dan Anak Pra Sekolah. Jakarta : Trans Info Media
Maternity, D, Anjani, AD, dan Evrianasari, N. (2018) Asuhan Neonatus, Bayi
Balita, dan Anak Prasekolah. Yogyakarta: ANDI, pp. 223-233
Mendri NK, Prayogi AS. Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit dan
Bahaya Resiko Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Baru Press. 2017.
Nelson. 2011. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume 3.Editor Richard E, dkk.Editor
Edisi Bahasa Indonesia A. Samik W.Edisi 15. Jakarta: EGC
Ridha N. 2015. Buku Ajar Keperawatan Pada Anak. Jakarta: Pustaka Pelajar
Suriadi, Yuliani, Rita.2010. Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi 2. Jakarta :
CV. Sagung Seto
Tando, Naomy Marie. 2016. Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan Anak Balita.
Jakarta: EGC.
Tarwoto dan Wartonah. 2015. Kebutuhan dasar manusia dan proses keperawatan.
Edisi 4. Jakarta: Salemba Medika
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi
dan kriteria hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI,2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi
dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
Widagdo. 2012. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Demam.

Jakarta: Sagung Seto.

Anda mungkin juga menyukai