Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

“HIPERBILIRUNE) “

Tugas ini disusun sebagai salah satu bentuk penugasan dalam Praktek Klinik Keperawatan 3
di Ruang WK D RSUD SUDONO MADIUN.

Disusun Oleh :

DEVITA PUTRI HAYU NANDANI

NIM. 17613000

PRODI D III KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2020
LEMBAR PENGESAHAN

LaporanPendahuluanOleh : DEVITA PUTRI HAYU NANDANI

Judul : HIPERBILIRUBIN

Telah disetujui dalam rangka mengikuti Praktek Klinik Keperawatan III Mahasiswa D
III Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Pada
tanggal 21 Juli 2020

Ponorogo,20 Juni 2020

Penyusun

Devita Putri Hayu Nandani

Pembimbing Lahan Pembimbing Institusi

( ) ( )
KONSEP DASAR

1. PENGERTIAN

Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam


darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan
kernikterus jika tidak segera ditangani dengan baik. Kernikterus adalah suatu
kerusakan otak akibat peningkatan bilirubin indirek pada otak terutama pada
corpus striatum, thalamus, nukleus thalamus, hipokampus, nukleus merah dan
nukleus pada dasar ventrikulus ke-4. Kadar bilirubin tersebut berkisar antara 10 mg
/ dl pada bayi cukup bulan dan 12,5 mg / dl pada bayi kurang bulan (Ngastiyah,
2015).
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar
bilirubin tidak dikendalikan(Mansjoer, 2018).
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong
non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’. Digolongkan
sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar
serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani (Etika
et al,2016).

2. ETIOLOGI

Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat
dibagi :
a. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat
kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat
disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin,
gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab
lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam
uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian
diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh
obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih
banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam
hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh
kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan
hepar oleh penyebab lain. (Hassan et al.2015).

3. PATOFISIOLOGI

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi


dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti
mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan
hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian
mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan
memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang
disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi,
indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin
untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan
melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan
larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi,
direk) (Sacher,2014).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk
ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin
diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah
menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen
direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya
kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam
empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi
sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama
urin (Sacher, 2014).
Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi yang baru
lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl (Cloherty et al, 2018).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh
kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan
dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati
juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin
tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar
2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi
kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice (Murray et al,2019).

4. MANIFESTASI KLINIS

Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya
kira-kira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2017).
Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai
kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus
obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuningkehijauan atau kuning
kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat (Nelson,
2017).
Gambaran klinis ikterus fisiologis :
a. Tampak pada hari 3,4
b. Bayi tampak sehat (normal)
c. Kadar bilirubin total <12mg%
d. Menghilang paling lambat 10-14 hari
e. Tak ada faktor resiko
f. Sebab : proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis) (Sarwono et
al, 2005).
Gambaran klinik ikterus patologis :
a. Timbul pada umur <36 jam
b. Cepat berkembang
c. Bisa disertai anemia
d. Menghilang lebih dari 2 minggu
e. Ada faktor resiko
f. Dasar : proses patologis (Sarwono et al, 2015).
Tampak ikterus pada sklera, kuku, dan sebagian besar kulit serta membran
mukosa. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama sejak bayi lahir disebabkan
oleh penyakit hemolitik, sepsis atau ibu dengan diabetik dan infeksi. Jaundice yang
tampak pada hari ke-2 atau ke-3 dan mencapai puncak pada hari ke-3 sampaike-4
serta menurun pada hari ke-5 sapai hari ke-7 biasanya merupakan jaundice
fisiologis.
Gejala kernikterus berupa kulit kuning kehijauan, muntah, anorexia,
fatique, warna urine gelap, warna tinja seperti dempul, letargi (lemas), kejang, tak
mau menetek, tonus otot meninggi dan akhirnya opistotonus. (Ngastiyah, 2015).
5. PATHWAYS
6. PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut :


a. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini
kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah
dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini
sudah jarang dipakai lagi.
b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin
(misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan
albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa
dilakukan tanpa hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat
mempermudah proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini
menyebabkan kadar bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena
bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan
dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar.

c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.


d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak
toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar (Mansjoer et al,
2017).

Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:


a. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg%
b. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
c. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
d. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji Coombs direct
positif (Hassan et al, 2015).

Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
a. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin
dengan membuka pakaian bayi.
b. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat
memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi
bayi.
c. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang
terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
d. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang
terkena cahaya dapat menyeluruh.
e. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
f. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
g. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan
hemolisis.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan laboratorium.
 Test Coomb pada tali pusat BBL
 Hasil positif test Coomb indirek menunjukkan adanya antibody Rh-positif,
anti-A, anti-B dalam darah ibu.
 Hasil positif dari test Coomb  direk menandakan adanya sensitisasi ( Rh-
positif, anti-A, anti-B) SDM dari neonatus.
 Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi incompatibilitas ABO.
 Bilirubin total.
 Kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5 mg/dl yang
mungkin dihubungkan dengan sepsis.
 Kadar indirek (tidak terkonjugasi) tidak boleh melebihi 5 mg/dl dalam 24
jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 1,5
mg/dl pada bayi praterm tegantung pada berat badan.
 Protein serum total
 Kadar kurang dari 3,0 gr/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan terutama
pada bayi praterm.
 Hitung darah lengkap
 Hb mungkin rendah (< 14 gr/dl) karena hemolisis.
 Hematokrit mungin meningkat (> 65%) pada polisitemia, penurunan (< 45%)
dengan hemolisis dan anemia berlebihan.
 Glukosa
 Kadar dextrostix mungkin < 45% glukosa darah lengkap <30 mg/dl atau test
glukosa serum < 40 mg/dl, bila bayi baru lahir hipoglikemi dan mulai
menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam lemak.
 Daya ikat karbon dioksida
 Penurunan kadar menunjukkan hemolisis .
 Meter ikterik transkutan
 Mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan bilirubin serum.
 Pemeriksaan bilirubin serum
 Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4
hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.
 Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-
7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak fisiologis
 Smear darah perifer
 Dapat menunjukkan SDM abnormal/ imatur, eritroblastosis pada penyakit
RH atau sperositis pada incompabilitas ABO
 Test Betke-Kleihauer
 Evaluasi smear darah maternal tehadap eritrosit janin.
b. Pemeriksaan radiology
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan
diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma.
c. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra
hepatic.
d. Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar
seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu
juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.
KONSEP KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Identitas
Biasa ditemukan pada bayi baru lahir sampai  minggu I, Kejadian ikterus  :  60
% bayi cukup bulan & 80 % pada bayi kurang bulan. Perhatian utama  :  ikterus
pada 24 jam pertama & bila kadar bilirubin > 5mg/dl dalam 24 jam.
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kehamilan
Kurangnya antenatal care yang baik. Penggunaan obat – obat yang
meningkatkan ikterus ex: salisilat sulkaturosic oxitosin yang dapat
mempercepat proses konjungasi sebelum ibu partus.
2) Riwayat Persalinan
Persalinan dilakukan oleh dukun, bidan, dokter. Atau data obyektif : lahir
prematur/kurang bulan, riwayat trauma persalinan, hipoksia dan asfiksia.
3) Riwayat Post natal
Adanya kelainan darah, kadar bilirubin meningkat kulit bayi tampak kuning.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Seperti ketidak cocokan darah ibu dan anak polisitemia, gangguan saluran
cerna dan hati ( hepatitis )
5) Riwayat Pikososial
Kurangnya kasih sayang karena perpisahan, perubahan peran orang tua
6) Pengetahuan Keluarga
Penyebab perawatan pengobatan dan pemahan ortu terhadap bayi yang ikterus.
c. Pemeriksaan fisik dan pengkajian fungsional
1) Aktivitas / Istirahat
 Letargi, malas.
2) Sirkulasi
 Mungkin pucat menandakan anemia.
3) Eliminasi
 Bising usus hipoaktif.
 Pasase mekonium mungkin lambat.
 Feses mungkin lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin.
 Urin gelap pekat; hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
4) Makanan / Cairan
 Riwayat perlambatan / makan oral buruk, mungkin lebih disusui daripada
menyusu botol. Pada umumnya bayi malas minum ( reflek menghisap dan
menelan lemah, sehingga BB bayi mengalami penurunan). Palpasi
abdomen dapat menunjukkan pembesaran limfa, hepar.
5) Neuro sensori
 Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang
parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran / kelahiran ekstraksi
vakum.
 Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada
dengan inkompatibilitas Rh berat.
 Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat opistotonus dengan kekakuan
lengkung punggung, fontanel menonjol, menangis lirih, aktivitas kejang
(tahap krisis).
6) Pernafasan
 Riwayat asfiksia
7) Keamanan
 Riwayat positif infeksi / sepsis neonatus
 Dapat mengalami ekimosis berlebihan, ptekie, perdarahan intracranial.
 Dapat tampak ikterik pada awalnya pada daerah wajah dan berlanjut pada
bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi Bronze) sebagai
efek samping fototerapi..

1. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air (IWL) tanpa
disadari akibat dari fototerapi dan kelemahan menyusu.
b. Resiko terjadi komplikasi; kernikterus b.d peningkatan kadar bilirubin.
c. Gangguan rasa nyaman dan aman berhubungan dengan akibat pengobatan/terapi
sinar.
d. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan fototerapi.

2. RENCANA TINDAKAN

SDKI SIKI SLKI


1. Resiko Defisit cairan OUTCOME MANAJEMEN CAIRAN
(I.03098)
Definisi:
 Keseimbangan
Berisiko mengalami penurunan, cairan 1. Observasi
meningkat   ( L.03 o Monitor status hidrasi
peningkatan atau pecepatan
021) ( mis, frek nadi, kekuatan
perpindahan cairan dari nadi, akral, pengisian
intravaskuler, atau Tujuan:
interstisial kapiler, kelembapan
Setelah diberikan mukosa, turgor kulit,
intraseluler asuhan tekanan darah)
keperawatan  selama ... o Monitor berat badan
FAKTOR RESIKO ..x 24 jam, cairan harian
tubuh neonatus o Monitor hasil
adekuat dengan kriteria pemeriksaan laboratorium
 Prosedur pembedahan
hasil : (mis. Hematokrit, Na, K,
mayor
 Tugor kulit baik Cl, berat jenis urin , BUN)
 Trauma/perdarahan
 Membran mukosa o Monitor status
 Luka bakar
lembab hemodinamik ( Mis.
 Apheresis
 Intake dan output MAP, CVP, PCWP jika
 Asites cairan seimbang tersedia)
 Obstruksi intestinal Nadi, respirasi dalam 2. Terapeutik
 Peradangan pankreas o Catat intake output dan
 Penyakit ginjal dan batas normal (N:
hitung balans cairan
kelenjar 120-160 x/menit, RR : dalam 24 jam
 Disfungsi intestinal o Berikan  asupan cairan
35 x/menit ), suhu
sesuai kebutuhan
( 36,5-37,5 C ) o Berikan cairan intravena
bila perlu
3. Kolaborasi
o Kolaborasi pemberian
diuretik,  jika perlu

B. PEMANTAUAN CAIRAN
(I.03121)

1. Observasi
o Monitor frekuensi dan
kekuatan nadi
o Monitor frekuensi nafas
o Monitor tekanan darah
o Monitor berat badan
o Monitor waktu pengisian
kapiler
o Monitor elastisitas atau
turgor kulit
o Monitor jumlah, waktu
dan berat jenis urine
o Monitor kadar albumin
dan protein total
o Monitor hasil
pemeriksaan serum (mis.
Osmolaritas serum,
hematocrit, natrium,
kalium, BUN)
o Identifikasi tanda-tanda
hipovolemia (mis.
Frekuensi nadi meningkat,
nadi teraba lemah,
tekanan darah menurun,
tekanan nadi menyempit,
turgor kulit menurun,
membrane mukosa kering,
volume urine menurun,
hematocrit meningkat,
haus, lemah, konsentrasi
urine meningkat, berat
badan menurun dalam
waktu singkat)
o Identifikasi tanda-tanda
hypervolemia 9mis.
Dyspnea, edema perifer,
edema anasarka, JVP
meningkat, CVP
meningkat, refleks
hepatojogular positif,
berat badan menurun
dalam waktu singkat)
o Identifikasi factor resiko
ketidakseimbangan cairan
(mis. Prosedur
pembedahan mayor,
trauma/perdarahan, luka
bakar, apheresis, obstruksi
intestinal, peradangan
pankreas, penyakit ginjal
dan kelenjar, disfungsi
intestinal)
2. Terapeutik
o Atur interval
waktu pemantauan sesuai
dengan kondisi pasien
o Dokumentasi
hasil pemantauan
3. Edukasi

o Jelaskan tujuan dan


prosedur pemantauan
o Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu

2. Resiko gangguan integritas OUTCOME 1. PERAWATAN


INTEGRITAS KULIT
kulit
Integritas Kulit Dan (I.11353)
Definisi: Jaringan meningkat
(L.14125) 1. Observasi
Kerusakan kulit (dermis
dan /atau epidermis) atau Tujuang: o Identifikasi penyebab
Setelah dilakukan gangguan integritas kulit
jaringan (membran mukosa,
tindakan keperawatan (mis. Perubahan sirkulasi,
kornea, fasia, otot, tendon, selama ......x24 jam, perubahan status nutrisi,
diharapkan integritas peneurunan kelembaban,
tulang, karbiago, kapsul sendi
kulit kembali baik/ suhu lingkungan ekstrem,
dan/atau ligament) normal dengan penurunan mobilitas)
kriteria hasil :
Penyebab :
 Kadar bilirubin 2. Terapeutik
dalam batas normal o Ubah posisi
 Perubahan sirkulasi ( 0,2 – 1,0 mg/dl ) setiap 2 jam jika tirah
 Perubahan status nutrisi  Kulit tidak berwarna baring
(kelebihan atau kuning/ warna o Lakukan
kekurangan) kuning mulai pemijatan pada area
 Kekurangan/kelebihan berkurang penonjolan tulang, jika
volume cairan Tidak timbul lecet perlu
 Penurunan mobilitas akibat penekanan kulit o Bersihkan
 Bahan kimia iritatif perineal dengan air
 Suhu lingkungan yang yang terlalu lama hangat, terutama selama
ekstrem periode diare
 Faktor mekanis  (mis. o Gunakan produk
Penekanan pada tonjolan berbahan petrolium  atau
tulang, gesekan) atau minyak pada kulit kering
faktor elektris o Gunakan produk
(elektrodiatermi, energi berbahan ringan/alami
listrik bertegangan tinggi) dan hipoalergik pada
 Efek samping terapi kulit sensitif
radiasi o Hindari produk
 Kelembaban berbahan dasar alkohol
 Proses penuaan pada kulit kering
 Neuropati perifer 3. Edukasi
 Perubahan pigmentasi o Anjurkan
 Perubahan hormonal menggunakan pelembab
 Kurang terpapar informasi (mis. Lotin, serum)
tentang upaya o Anjurkan minum
memperthankan/melindun air yang cukup
gi integritas jaringan o Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi
o Anjurkan
meningkat asupan buah
dan saur
o Anjurkan
menghindari terpapar
suhu ektrime
o Anjurkan
menggunakan tabir surya
SPF minimal 30 saat
berada diluar rumah

2. PERAWATAN
LUKA( I.14564 )

1. Observasi
Monitor
karakteristik luka (mis:
drainase,warna,ukuran,ba
u
Monitor tanda –
tanda inveksi

1. Terapiutik
o lepaskan balutan
dan plester secara
perlahan
o Cukur rambut di
sekitar daerah luka, jika
perlu
o Bersihkan
dengan cairan NACL
atau pembersih non
toksik,sesuai kebutuhan
o Bersihkan
jaringan nekrotik
o Berika salep yang
sesuai di kulit /lesi, jika
perlu
o Pasang balutan
sesuai jenis luka
o Pertahan kan
teknik seteril saaat
perawatan luka
o Ganti balutan
sesuai jumlah eksudat
dan drainase
o Jadwalkan
perubahan posisi setiap
dua jam atau sesuai
kondisi pasien
o Berika diet
dengan kalori 30-35
kkal/kgBB/hari dan
protein1,25-1,5
g/kgBB/hari
o Berikan
suplemen vitamin dan
mineral (mis vitamin
A,vitamin C,Zinc,Asam
amino),sesuai indikasi
o Berikan terapi
TENS(Stimulasi syaraf
transkutaneous), jika
perlu
2. Edukasi
o Jelaskan tandan
dan gejala infeksi
o Anjurkan
mengonsumsi makan
tinggi kalium dan
protein
o Ajarkan prosedur
perawatan luka secara
mandiri
3. Kolaborasi
o Kolaborasi
prosedur
debridement(mis:
enzimatik biologis
mekanis,autolotik),
jika perlu
o Kolaborasi
pemberian antibiotik,
jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Ngastiyah. 2015. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arif. 2018. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aeseulupius

Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik SM. 2016. Hiperbilirubinemia pada neonatus.


Continuing education ilmu kesehatan anak
Hassan, R.,. 2015. Inkompatibilitas ABO dan Ikterus pada Bayi Baru Lahir. Jakarta :
Percetakan Infomedika.

Sacher, Ronald, A., Richard A., McPherson. 2014. Tinjaun Klinis Hasil Pemeriksaan
Laborotorium. 11th ed. Editor bahasa Indonesia: Hartonto, Huriawati. Jakarta: EGC

Cloherty, J. P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2018. Neonatal Hyperbilirubinemia in


Manual of Neonatal Care. Philadelphia: Lippincort Williams and Wilkins

Murray, R.K., et al. 2019. Edisi Bahasa Indonesia Biokimia Harper. 27th edition. Alih
bahasa Pendit, Brahm U. Jakarta : EGC

Sarwono, Erwin, et al. 2015. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/ UPF Ilmu Kesehatan
Anak. Ikterus Neonatorum(Hyperbilirubinemia Neonatorum). Surabaya: RSUD Dr.Soetomo.

Anda mungkin juga menyukai