Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

“HIPERBILIRUBINEMIA”

DISUSUN OLEH :

SENNI SARAGIH
NIM. SNR 212250043

PROGRAM STUDI NERS


INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN
MUHAMMADIYAH KALIMANTAN BARAT
2023
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Hiperbilirubin
1. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar serum bilirubin dalam
darah sehingga melebihi nilai normal. Pada bayi baru lahir biasanya
dapat mengalami hiperbilirubinemia pada minggu pertama setelah
kelahiran. Keadaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan
oleh meningkatnya produksi bilirubin atau mengalami hemolisis,
kurangnya albumin sebagai alat pengangkut, penurunan uptake oleh hati,
penurunan konjugasi bilirubin oleh hati, penurunan ekskresi bilirubin,
dan peningkatan sirkulasi enterohepatik (Nurafif & Kusuha, 2016).
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana meningkatnya kadar
bilirubin dalam darah secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan
perubahan pada bayi baru lahir yaitu warna kuning pada mata, kulit, dan
atau biasa disebut dengan jaundice. Hiperbilirubinemia atau penyakit
kuning adalah penyakit yang disebabkan karena tingginya kadar bilirubin
pada darah sehingga menyebabkan bayi baru lahir berwarna kuning pada
kulit dan pada bagian putih mata (Nurani et al., 2017).
2. Etiologi
a. Faktor Bayi
Faktor yang bisa memicu terjadinya ikterus neonatorum yaitu
berat badan lahir < 2500 gram karena belum matangnya fungsi hati
pada bayi untuk memproses eritrosit (Nurafif & Kusuha, 2016). Bayi
yang lahir dengan riwayat asfiksia, hal ini terjadi karena kurangnya
asupan oksigen pada organ-organ tubuh neonatus, sehingga fungsi
kerja organ tidak optimal. Asfiksia juga dapat mengakibatkan
perubahan fungsi hati karena kurangnya oksigen. Glikogen yang
dihasilkan tubuh di dalam hati berkurang, sehingga hal tersebut
mengakibatkan terjadinya ikterus dalam jangka panjang
b. Faktor ASI
Hipotesis terbaru menunjukkan bahawa ikterus ASI yang terjadi
sebenarnya akibat peningkatan jumlah glukronidase yang terkandung
di dalam ASI, yang akan memicu peningkatan absorpsi bilirubin
oleh usus, ikterus yang berhubungan dengan pemberian ASI suatu
kejadian yang berbeda, tampak berhubungan dengan berhasil atau
tidaknya proses menyusui pada bayi baru lahir. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa bayi baru lahir yang tidak menyusu dengan
baik lebih cenderung memiliki kadar bilirubin yang lebih dari rata-
rata dari pada yang menyusu dengan baik. Peningkatan kadar
bilirubin yang berhubungan dengan ikterus ASI memerlukan terapi
sinar dan penghentian pemberian ASI sementara. Ikterus yang
berhubungan dengan ASI biasanya bersifat sementara (Nurafif &
Kusuha, 2016).
Pemberian ASI awal yang tidak sesuai dikaitkan dengan
pengurangan asupan kalori, penurunan berat badan yang drastis dan
peningkatan bilirubin serum yang tinggi dalam hari pertama
kehidupan. Kurangnya asupan kalori dapat meningkatkan sirkulasi
enterohepatik dan mekanisme menyusui yang sesuai diperkirakan
mengurangi intensitas kenaikan bilirubin didalam kehidupan awal
yaitu karena pengeluaran mekonium awal dari saluran pencernaan
sehingga dapat mencegah sirkulasi bilirubin dari saluran pencernaan
melalui portal sistem ke sirkulasi sistemik .
c. Faktor Ibu
Neonatus yang mengalami ikterik, sebagaian besar lahir pada umur
kehamilan aterm, ibu dengan multipara, ibu melahirkan dengan usia
29-35 tahun, jarak persalinan ≥2 tahun, lahir secara normal/spontan
(Nurafif & Kusuha, 2016).
d. Faktor Lain
Faktor lain yang bisa memicu yaitu hipoksia atau anoksia, dehidrasi,
hipoglikemia, polisitemia, usia sel darah merah yang sedikit akibat
imaturitas, dapat memicu peningkatan sirkulasi hepatik infeksi.
Setiap faktor yang dapat menurunkan jumlah enzim atau yang
mengakibatkan penurunan kadar bilirubin oleh sel-sel hati (cacat
genetic dan prematuritas) dapat meningkatkan ikterus (Manggiasih
& Jaya, 2016). Peningkatan kadar bilirubin bisa juga disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu infeksi, kelainan sel darah
merah, dan toksin dari luar tubuh, serta dari tubuh itu sendiri
(Nurafif & Kusuha, 2016).
3. Manifestasi Klinik
a. Kulit berwarna kuning sampai jingga.
b. Bayi tampak lemah.
c. Refleks hisap kurang
d. Urine pekat
e. Pemeriksaan abdomen terjadi bentuk perut yang membuncit
f. Feces seperti dempul/pucat
g. Tonus otot yang lemah
h. Turgor kulit jelek
i. Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl
j. Terdapat ikterus pada skelera, kuku atau kulit dan membrane
mukosa
k. Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis atau ibu dengan diabetk atau
infeksi. Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai
puncak pada hari ke 3 sampai 4 dan menurun hari ke 5 – 7 yang
biasanya merupakan jaundice fisiologi (Surasmi, 2013)
4. Pathway
5. Komplikasi
Yang paling utama dalam Hiperbilirubin yaitu potensinya dalam
menimbulkan kerusakan sel-sel saraf meskipun kerusakan sel-sel tubuh
lainnya juga dapat terjadi bilirubin. Bilirubin dapat menghambat enzim-
enzim mitokondria serta mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga dapat
menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada
nervus auditorius) sehingga meninggalkan gejala sisa berupa tuli saraf.
Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkai tidak sebanding dengan
konsentrasi bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak
yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin
terhadap jaringan (Nurafif & Kusuha, 2016).
Kern ikterus (ensefalopati biliaris) merupakan suatu kerusakan otak
akibat adanya bilirubin indirek pada otak. Kern ikterus ini ditandai
dengan kadar bilirubin darah yang tinggi ( > 20 mg% pada bayi cukup
bulan atau > 18 mg% pada bayi berat lahir rendah ) disertai dengan
tanda-tand kerusakan otak berupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau
mengisap, tonus otot meningkat, leher kaku, epistotonus, dan sianosis,
serta dapat juga diikuti dengan ketulian, gangguan berbicara, dan
retardasi mental dikemudian hari (Nurafif & Kusuha, 2016)
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan bilirubin mencapai puncak kira-kira 6 mg/dl,
antara 2 sampai 4 hari kehidupan. Apabila nilainya diatas 10 mg/dl,
tidak fisiologis. Pada bayi dengan prematur kadar bilirubin mencapai
puncaknnya 10-12 mg/dl, antara 5 dan 7 hari kehidupan. Kadar
bilirubin yang lebih dari 14 mg/dl adalah tidak fisiologis. Dari
Brown AK dalam text-books of Pediatrics 1996: ikterus fisiologis
pada bayi cukup bulan, bilirubin indirek munculnya ikterus 2 sampai
3 hari dan hilang 4 sampai 5 hari dengan kadar bilirubin yang
mencapai puncak 10-12 mg/dl. Sedangkan pada bayi prematur,
bilirubin indirek munculnya 3 sampai 4 hari dan hilang 7 sampai 9
hari dengan kadar bilirubin yang mencapai puncak 15 mg/dl. Dengan
peningkatan kadar bilirubin indirek kurang dari 5 mg/dl/hari. Pada
ikterus patologis meningkatnya bilirubin lebih dari 5 mg/dl perhari,
dan kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl.
b. Ultrasound untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu
c. Radioisotope scan dapat digunakan untuk membantu membedakan
hepatitis dari atresia biliary.
d. Bilirubin total
Kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5 mg/dl,
yang mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tidak
terkonjugasi) tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24
jam, atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau
15 mg/dl pada bayi praterm (tergantung pada berat badan).
e. Hitung darah lengkap
Hemoglobin (Hb) mungkin rendah (kurang dari 14 g/dl) karena
hemolisis. Hematokrit (Ht) mungkin meningkat (lebih besar dari
65%) pada polisitemia, penurunan (kurang dari 45%) dengan
hemolisis dan anemia berlebihan.
7. Penatalaksanaan
Menurut (Hardi, 2015) penatalaksanaan pada bayi hiperbilirubinemia
yaitu :
a. Pemberian antibiotik dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi
baru lahir disebabkan oleh infeksi.
b. Tindakan fototerapi dapat dilakukan apabila telah ditegakkan
hiperbiliribunemia pada bayi baru lahir bersifat patologis. Fototerapi
berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melaui tinja dan
urine dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin.
c. Fenobarbital dapat mengekskresikan bilirubin dalam hati dan
memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil
transferase yang dapat meningkatkan bilirubin konjugasi dan
clearance hepatik pada pigmen dalam empedu, sintesis protein
dimana dapat meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubin. Akan
tetapi fenobarbital tidak begitu sering dianjurkan untuk mengatsi
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
d. Transfusi tukar dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi baru
lahir sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi.
B. Konsep Asuhan Keperawatan Hiperbilirubin
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah proses pengumpulan data untuk
mendapatkan berbagai informasi yang berkaitan dengan masalah yang
dialami klien. Pengkajian dilakukan dengan berbagai cara yaitu
anamnesis, observasi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik yang
dilakukan di laboratorium (Surasmi, 2013).
a. Anamnese orang tua/keluarga
Meliputi : Nama bayi, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin,
anak ke berapa, BB/ PB dan alamat, nama orang tua bayi.
b. Riwayat keperawatan
1) Riwayat kehamilan
Kurangnya antenal care yang baik. Penggunaan obat-obat yang
meningkatkan ikterus. Misalnya salisilat sulkaturosic oxitosin
yang dapat mempercepat proses konjugasi sebelum ibu partus.
2) Riwayat persalinan
Persalinan dilakukan oleh dukun, bidan atau dokter. Lahir
prematur/ kurang bulan, riwayat trauma persalinan, hipoxin dan
aspixin.
3) Riwayat postnatal
Adanya kelainan darah tapi kadar bilirubin meningkat, kulit bayi
tampak kuning.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Seperti ketidak cocokan darah ibu dan anak Polychitemia,
gangguan saluran cerna dan hati (hepatitis).
5) Riwayat psikososial
Kurangnya kasih sayang karena perpisahan, perubahan peran
orang tua
6) Pengetahuan keluarga
Penyebab perawatan pengobatan dan pemahaman orang tua
tentang bayi yang ikterus.
c. Kebutuhan sehari-hari
1) Nutrisi
Pada umumnya bayi malas minum (refleks mengisap dan
menelan lemah) sehingga berat badan (BB) bayi mengalami
penurunan. Palpasi abdomen dapat menunjukan pembesaran
limpa, hepar.
2) Eliminasi
Biasanya bayi mengalami diare, urin mengalami perubahan
warna gelap pekat, hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze) dan
feses mungkin lunak/ cokelat kehijauan selama pengeluaran
bilirubin. Bising usus hipoaktif, pasase mekonium mungkin
lambat.
3) Istirahat
Bayi tampak cengeng dan mudah terbangun.
4) Aktifitas
Bayi biasanya mengalami penurunan aktifitas, letargi,
hipototonus dan mudah terusik.
5) Personal hygiene
Kebutuhan personal hygiene bayi oleh keluarga terutama ibu.
6) Neurosensori
Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua
tulang parietal yang berhubungan dengan trauma
kelahiran/kelahiran ekstraksi vakum. Edema umum,
hepatosplenomegali, atau hidros fetalis mungkin ada dengan
inkompatibilitis Rh berat.
7) Pernapasan
Riwayat asfiksia Krekels, mukus bercak merah muda (edema
pleural, hemoragi pulmonal)
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : Tampak lemah, pucat, ikterus dan aktivitas
menurun.
2) Kepala, leher : Bisa dijumpai ikterus pada mata (sclera) dan
selaput / mukosa pada mulut. Dapat juga diidentifikasi ikterus
dengan melakukan Tekanan langsung pada daerah menonjol
untuk bayi dengan kulit bersih ( kuning), dapat juga dijumpai
cianosis pada bayi yang hypoksia
3) Dada : Selain akan ditemukan tanda ikterus juga dapat
ditemukan tanda peningkatan frekuensi nafas, status kardiologi
menunjukkan adanya tachicardia, khususnya ikterus yang
disebabkan oleh adanya infeksi.
4) Perut : Peningkatan dan penurunan bising usus /peristaltic perlu
dicermati. Hal ini berhubungan dengan indikasi penatalaksanaan
fototerapi. Gangguan Peristaltik tidak diindikasikan fototerapi,
Perut membuncit, muntah , mencret merupakan akibat gangguan
metabolisme bilirubin enterohepatik, splenomegali dan
hepatomegali dapat dihubungkan dengan Sepsis bacterial,
tixoplasmosis, rubella
5) Urogenital : Urine kuning dan pekat, Adanya faeces yang pucat /
acholis / seperti dempul atau kapur merupakan akibat dari
gangguan / atresia saluran empedu
6) Ekstremitas : Menunjukkan tonus otot yang lemah
7) Kulit : Tanda dehidrasi ditunjukkan dengan turgor jelek.
Elastisitas menurun, Perdarahan bawah kulit ditunjukkan dengan
ptechia, echimosis, ikterus pada kulit dan sklera mata.
8) Pemeriksaan Neurologis : Adanya kejang, epistotonus, lethargy
(Surasmi, 2013).
2. Diagnosa dan Perencanaan
No Diagnosa Luaran Intervensi
1. Ikterik Neonatus Setelah dilakukan Fototerapi Neonatus (I.03091)
b.d Kesulitan tindakan keperawatan Observasi
transisi kehidupan selama 2x24 jam 1.Monitor ikterik pada
ektra uteri Integritas Kulit sklera dan kulit bayi
(D.0024) (L.14125) Meningkat 2.Monitor suhu dan tanda vital
masalah teratasi setiap 4 jam sekali
dengan kriteria hasil : 3.Monitor efek samping
1. Kerusakan fototerapi (mis.hipertemi,
lapisan kulit diare, rush pada kulit,
menurun penurunan berat badan
2. Kemerahan lebih dari 8-10%)
Menurun Terapeutik
3. Pigmentasi 1. Siapkan lampu Fototerapi dan
abnormal menurun incubator atau kotak bayi
2. Lepaskan pakaian bayi kecuali
popok
3. Berikan penutup mata (eye
protector/ biliban) pada bayi
4. Ukur jarak antara lampu dan
permukaankulit bayi (30cm
atau tergantung spesifikasi
lampu fotoerapi)
5. Biarkan tubuh bayi terpapar
sinar fototerapi secara
berkelanjutan
6. Ganti segera alas dan popok
bayi jika BAB/BAK
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemeriksaan darah
vena bilirubin direk dan
indirek
2. Resiko defisit Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
nutrisi b.d tindakan keperawatan (I.03119)
ketidakmampuan selama 2x24 jam
Observasi
menelan makanan Status nutrisi bayi
1. Identifikasi status nutrisi
(D.0032) (L.03031) membaik
2. Identifikasi alergi dan
masalah teratasi
intoleransi makanan
dengan kriteria hasil
3. Monitor berat badan
:
4. Monitor hasil pemeriksaan
1. Berat badan
laboratorium
meningkat
Terapeutik
2. Panjang badan
meningkat
1. Lakukan oral care
3. Kulit kuning 2. Fasilitasi menentukan
menurun pedoman-pedoman diet
4. Skera kuning Kolaborasi
menurun Kolaborasi dengan ahli gizi
5. Pucat menurun untuk menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrien.
3 Risiko Setelah dilakukan Manajeman hipovolemia
hipovolemia tindakan keperawatan 1.03116
b/d selama 1x24 jam
Observasi
kehilangan Status cairan
1. Periksa tanda gejala
intake cairam (L.03028)
hypovolemia
(D.0034) Membaik
2. Monitor intake dan
Masalah teratasi
output cairan
dengan kriteria hasil :
Terapeutik
1. Turgor kulit 1. Hitung kebutuhan cairan
meningkat
2. Berikan posisi modified
2. Membran trendelenbrung
mukosa lembab 3. Berikan asupan cairan oral
meningkat Edukasi
3. Intake cairan 1. Anjurkan memperbanyak
membaik asupan cairan oral
4. Hemoglobin 2. Anjurkan menghindari
meningkat perubahan posisi mendadak
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian cairan IV
isotonis

4 Risiko Setelah dilakukan Manajemen Hipotermia


Hipotermia b/d tindakan keperawatan (I.14507)
terapi radiasi selama 1x24 jam Observasi
(D.0140) Termoregulasi 1. Monitor suhu tubuh
neonatus (L.14135) 2. Identifikasi penyebab
dapat membaik hipotermia (mis. Terpapar suhu
dengan kriteria hasil lingkungan rendah, kekurangan
: lemak sub kutan )
1. Suhu tubuh 3. Monitor tanda dan gejala
membaik hipotermia ( takipnea,
2. Frekuensi nadi mennggigil, oliguria dll)
membaik Terapeutik
3. CRT membaik 1. Sediakan lingkungan
4. Kadar glukosa yang hangat (mis.Suhu
membaik ruangan)
2. Ganti pakaian atau
linen yang basah
3. Lakukan penghatan
pasif (mis. Selimaut
dan perawatan metode
kanguru)
4. Lakukan
penghangatan aktif
internal (mis. Infus
cairan hangat, O2
hangat)
Edukasi
Anjurkan makan/minum
hangat

C. Implementasi keperawatan
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana
asuhankeperawatan kedalam bentuk rencana keperawatan guna
membantu pasien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perawat
melaksanakan atau mendelegasikan tindakan keperawatan untuk rencana
yang disusun dalam tahap perencanaan dan kemudian mengakhiri tahap
implementasi dengan mencatat tindakan keperawatan dan respons pasien
terhadap tindakan tersebut.
Monitor ikterik pada sklera dan kulit bayi, Memonitor suhu dan
tanda vital setiap 4 jam sekali, Memonitor efek samping fototerapi (mis,
hipertermi, diare, rush pada kulit, penurunan berat badan lebih dari 8-
10%), Menyiapkan lampu fototerapi dan inkubator atau kotak bayi,
Melepaskan pakaian bayi kecuali popok, Memberikan penutup mata pada
bayi, Mengukur jarak antara lampu dan permukaan kulit bayi,
Membiarkan tubuh bayi terpapar sinar fototerapi secara berkelanjutan,
Mengganti segera alas dan popok bayi jika BAB/BAK, Mengunakan
linen berwarna putih agar memantulkan cahaya sebanyak mungkin,
Menganjurkan ibu menyusui sekitar 20-30 menit, Berkolaborasi
pemeriksaan darah vena bilirubin direk dan indirek.
D. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah fase kelima dan fase terakhir proses keperawatan,
dalam konteks ini aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan dan terarah
ketika pasien dan professional kesehatan menentukan kemajuan
kemajuan pasien menuju pencapaian tujuan/hasil dan keefektifan rencana
asuhan keperawatan (Kozier et al.,2010). Evaluasi ikterik merupakan
salah satu dari berbagai tanggung jawab keperawatan yang membutuhkan
pemikiran kritis yang efektif. Perawat harusmelakukan observasi dengan
penuh perhatian dan mengetahui respon apa yang akan diantisipasi
berdasarkan kualitasn perubahan warna kulit dan waktu pemberian terapi.
(Perry & Potter, 2019).
1. Elastisitas kulit meningkat.
2. Hidrasi meningkat .
3. Perfiusi jaringan meningkat.
4. Kerusakan jaringan menurun.
5. Kerusakan lapisan kulit menurun.
6. Pigmentasi abnormal menurun.
7. Suhu kulit membaik.
8. Sensasi membaik.
9. Tekstur membaik.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Hardi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis dan Nanda NIC-NOC. Edisi revisi jilid 2. MediAction: Jogjakarta
Manggiasih & Jaya. (2016). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Neonatus, Bayi,
Balita, Dan Anak Pra Sekolah. Jakarta : Trans Info Media
Nurani, Namira Bening, Fiva Aprillia Kadi, and Tiene Rostini. 2017. “Incidence
of Neonatal Hyperbilirubinemia Based on Their Characteristics at Dr. Hasan
Sadikin General Hospital Bandung Indonesia.” Althea Medical Journal
4(3):431–34.
Nurarif, H., A & Kusuma, H. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction Jogja.
Surasmi. (2013). Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai