Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN

CASE SCIENCE SESSION (CSS)

NEONATUS HIPERBILIRUBINEMIA

Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D)

Ilmu Kesehatan Anak

Disusun oleh:

Sassty Julya H 12100122682

Preseptor:

dr. Dewi Mulyani Irianti, Sp.A., M.Kes

SMF ILMU KESEHATAN ANAK

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER (P3D)


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RSUD CIBABAT KOTA CIMAHI
2024
Pendahuluan
Hiperbilirubinemia neonatus didefinisi-kan sebagai kadar total serum bilirubin >5
mg/dL pada bayi baru lahir sampai 28 hari pertama kehidupan. Bilirubin adalah salah
satu produk akhir dari katabolisme hemoglobin. Deposisi bilirubin dalam kulit dan
membran mukosa dapat menyebabkan warna kekuningan yang disebut dengan ikterus.
Sebanyak 85% neonatus akan mengalami ikterus neonatorum. Angka kejadian ikterus
neonatorum berkisar sekitar 60% pada bayi cukup bulan dan 80% pada bayi pre-matur
pada minggu pertama kehidupan, dan sebanyak 10% bayi yang menyusui tetap ikterus
pada umur satu bulan.
Pada keadaan normal kadar bilirubin indirek pada tali pusat bayi baru lahir yaitu
1 – 3 mg/dL dan terjadi peningkatan kurang dari 5 mg/dL per 24 jam. Bayi baru lahir
biasanya akan tampak kuning pada hari kedua dan ketiga dan memuncak pada hari
kedua sampai hari keempat dengan kadar 5 – 6 mg/dL dan akan turun pada hari ketiga
sampai hari kelima. Pada hari kelima sampai hari ketujuh akan terjadi penurunan kadar
bilirubin sampai dengan kurang dari 2 mg/dL. Pada kondisi ini bayi baru lahir
dikatakan mengalami hiperbilirubinemia fisiologis.
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan proses fisiologis atau patologis dan dapat
juga disebabkan oleh kombinasi keduanya. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi baru
lahir tampak kuning, keadaan tersebut timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z,
15Z bilirubin IX alpha) yang berwarna ikterus atau kuning pada sklera dan kulit. Pada
hiperbilirubinemia non fisiologis atau patologis, ikterus atau kuning akan muncul pada
24 jam pertama kehidupan. Kadar 10 bilirubin akan meningkat lebih dari 0,5 mg/dL per
jam. Hiperbilirubinemia patologis akan menetap pada bayi aterm setelah 8 hari dan
setelah 14 hari pada bayi preterm. Pada kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi merupakan fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa
bayi akan terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi
menjadi toksik. Hal ini akan menyebabkan kematian bayi baru lahir dan apabila bayi
bertahan hidup dalam jangka panjang akan menyebabkan sekuele neurologis.
Penegakan diagnosis dapat dilakukan berdasarkan anamnesis. Riwayat ikterus
pada keluarga, riwayat kondisi tertentu pada keluarga (anemia, defisiensi G6PD,
penyakit hati). Ibu dan komplikasi (obat-obatan, ibu dengan Diabetes Mellitus, gawat
janin, malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal, trauma persalinan, usia gestasi. riwayat
persalinan dengan tindakan), dan riwayat pemberian ASI penting untuk ditanya.
A. Etiologi
Hiperbilirubinemia disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin karena
tingginya jumlah sel darah merah, dimana sel darah merah mengalami pemecahan sel
yang lebih cepat. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan karena
penurunan uptake dalam hati, penurunan konjugasi oleh hati, dan peningkatan
sirkulasi enterohepatik.
Kejadian ikterik atau hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan oleh
disfungsi hati pada bayi baru lahir sehingga organ hati pada bayi tidak dapat berfungsi
maksimal dalam melarutkan bilirubin ke dalam air yang selanjutkan disalurkan ke
empedu dan diekskresikan ke dalam usus menjadi urobilinogen. Hal tersebut
meyebabkan kadar 11 bilirubin meningkat dalam plasma sehingga terjadi ikterus pada
bayi baru lahir (Anggraini, 2016).
Menurut Nelson (2011) secara garis besar etiologi ikterus atau hiperbilirubinemia
pada neonatus dapat dibagi menjadi :
a. Produksi bilirubin yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan neonatus
untuk mengeluarkan zat tersebut. Misalnya pada hemolisis yang meningkat
pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim
G6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim
glukoronil transferase (sindrom crigglerNajjar). Penyebab lain yaitu defisiensi
protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin
ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi bilirubin. Bilirubin dalam darah terikat pada albumin
kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam
darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam
hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar 12 biasanya disebabkan oleh
kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain.
Ikterus pada neonatus juga dapat disebabkan oleh kekurangan asupan ASI (breast
feeding jaundice) atau disebabkan oleh ASI (breast milk jaundice).
B. Patogenesis

Sel darah merah pada neonatus berumur sekitar 70-90 hari, lebih pendek dari
pada sel darah merah orang dewasa, yaitu 120 hari. Secara normal pemecahan sel
darah merah akan menghasilkan heme dan globin. Heme akan dioksidasi oleh enzim
heme oksigenase menjadi bentuk biliverdin (pigmen hijau). Biliverdin bersifat larut
dalam air. Biliverdin akan mengalami proses degradasi menjadi bentuk bilirubin. Satu
gram hemoglobin dapat memproduksi 34 mg bilirubin. Produk akhir dari metabolisme
ini adalah bilirubin indirek yang tidak larut dalam air dan akan diikat oleh albumin
dalam sirkulasi darah yang akan mengangkutnya ke hati.
Bilirubin indirek diambil dan dimetabolisme di hati menjadi bilirubin direk.
Bilirubin direk akan diekskresikan ke dalam sistem bilier oleh transporter spesifik.
Setelah diekskresikan oleh hati akan disimpan di kantong empedu berupa empedu.
Proses minum akan merangsang pengeluaran empedu ke dalam duodenum. Bilirubin
direk tidak diserap oleh epitel usus tetapi akan dipecah menjadi sterkobilin dan
urobilinogen yang akan dikeluarkan melalui tinja dan urin. Sebagian kecil bilirubin
direk akan didekonjugasi oleh β-glukoronidase yang ada pada epitel usus menjadi
bilirubin indirek. Bilirubin indirek akan diabsorpsi kembali oleh darah dan diangkut
kembali ke hati terikat oleh albumin ke hati, yang dikenal dengan sirkulasi
enterohepatik.
C. Klasifikasi Hiperbilirubinemia
a. Hiperbilirubinemia Fisiologis
• Ikterus muncul setelah usia 24 jam
• Peningkatan bilirubin tidak lebih dari 5 mg/dL dalam 24 jam
• Mencapai kadar puncak pada hari ke-3 sampai hari ke-5 (bayi kurang bulan:
kadar puncak pada hari ke-4 hingga hari ke-7) dan kadar maksimal tidak lebih
dari 15 mg/dL
• Menghilang pada hari ke-7 (bayi kurang bulan: menghilang pada hari ke-14)
b. Hiperbilirubinemia Non Fisiologis
• Muncul pada 24 jam pertama
• Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL per 24 jam
• Ikterus menetap setelah hari ke-7 (aterm) atau setelah hari ke-14 (preterm)
• Kadar bilirubin total > 15 mg/dL
c. Hiperbilirubinemia Fisiologis
Hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan pemberian ASI dapat berupa
breastfeeding jaundice (BFJ) dan breastmilk jaundice (BMJ). Perbedaannya dapat
dilihat pada Tabel 1. Bayi yang mendapat ASI eksklusif dapat mengalami
hiperbilirubinemia yang dikenal dengan BFJ. Penyebab BFJ adalah kekurangan
asupan ASI. Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu ASI belum
banyak.
Breastfeeding jaundice tidak memerlukan pengobatan dan tidak perlu
diberikan air putih atau air gula. Bayi sehat cukup bulan mempunyai cadangan
cairan dan energi yang dapat mempertahankan metabolismenya selama 72 jam.
Pemberian ASI yang cukup dapat mengatasi BFJ. Ibu harus memberikan
kesempatan lebih pada bayinya untuk menyusu. Kolostrum akan cepat keluar
dengan hisapan bayi yang terus menerus. ASI akan lebih cepat keluar dengan
inisiasi menyusu dini dan rawat gabung. (idai)
Breastmilk jaundice mempunyai karakteristik kadar bilirubin indirek yang
masih meningkat setelah 4-7 hari pertama. Kondisi ini berlangsung lebih lama
daripada hiperbilirubinemia fisiologis dan dapat berlangsung 3-12 minggu tanpa
ditemukan penyebab hiperbilirubinemia lainnya. Penyebab BMJ berhubungan
dengan pemberian ASI dari seorang ibu tertentu dan biasanya akan timbul pada
setiap bayi yang disusukannya. Semua bergantung pada kemampuan bayi tersebut
dalam mengkonjugasi bilirubin indirek (bayi prematur akan lebih berat
ikterusnya). Penyebab BMJ belum jelas, beberapa faktor diduga telah berperan
sebagai penyebab terjadinya BMJ. Breastmilk jaundise diperkirakan timbul akibat
terhambatnya uridine diphosphoglucoronic acid glucoronyl transferase (UDPGA)
oleh hasil metabolisme progesteron yaitu pregnane-3-alpha 20 beta-diol yang ada
dalam ASI ibu-ibu tertentu.
D. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia apabila tampak tanda-
tanda sebagai berikut :
a. Sklera, selaput lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat penumpukan
bilirubin.
b. Terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
c. Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24 jam.
d. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 12,5
mg/dL pada neonatus kurang bulan.
e. Ikterik yang disertai proses hemolisis.
f. Ikterik yang disertai berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi
kurang dari 36 minggu, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi
trauma lahir kepala, hipoglikemia, hiperkarbia.
E. Komplikasi
Komplikasi dari hiperbilirubinemia adalah Kern Icterus atau ensefalopati
bilirubin yaitu suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak
terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus subthalamus, hipokampus, dan
nucleus pada dasar ventrikel IV
F. Pemeriksaan
Berdasarkan anamnesis, pasien lemas dan malas minum sebelum masuk rumah
sakit, selain itu anamnesis tamabahannya seperti :
 Tentukan berat lahir, usia gestasi, usia postnatal
 Tentukan keadaan umum bayi (baik atau tampak sakit)
 Tentukan apakah termasuk ikterus fisiologis atau patologis
 Tentukan adanya pucat, bukti infeksi, perdarahan (memar), penurunan berat badan
 Nilai tanda-tanda kernikterus
Cara menentukan ikterus secara visual berdasarkan panduan WHO adalah sebagai
berikut.
1. Pemeriksaan dilakukan pada pencahayaan yang cukup
2. Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di bawah
kulit dan jaringan subkutan
3. Keparahan ikterus ditentukan berdasarkan usia bayi dan bagian tubuh yang
tampak kuning.
Pemeriksaan klinis ikterus dapat dilakukan dengan menggunakan derajat Kramer

Pemeriksaan fisik berdasarkan derajat kramer pasien termasuk grade IV dengan


daerah ikterus sampai lengan, tungkai dan bawah lutut. Pemeriksaan klinik
menunjukkan kadar bilirubin total yang tinggi mencapai 21.0 mg/dl, angka ini termasuk
ke dalam kategori high risk untuk usia bayi 7 hari dan termasuk ikterus patologis
karena >12 mg/dl pada bayi aterm. Kadar bilirubin direk juga mengalami peningkatan
dengan hasil 0.7 mg/dl, sehingga didapatkan kadar bilirubin indirek 20.3 mg/dl.
G. Pemeriksaan laboratorium
 Bilirubin total serum dan bilirubin direk
 Golongan darah dan Rhesus dari bayi dan ibu
 Pemeriksaan Coomb’s
 Pemeriksaan hitung darah lengkap (Hb, Ht, total dan hitung jenis sel darah putih,
morfologi sel
 darah merah)
 Hitung retikulosit
 Jika ada hemolisis dan tidak ada ketidaksesuaian Rhesus atau ABO, mungkin
diperlukan
 pemeriksaan hemoglobin elektroforesis, penapisan G6PD atau pengujian
kerentanan osmotik
 untuk mendiagnosis defek sel darah merah (esensial)
H. Manajemen
Tatalaksana neonatus jaundice meliputi :
1. Fototerapi :
Fototerapi adalah terapi utama untuk hiperbilirubinemia. Teknik melakukan
fototerapi sebagai berikut :
• Yang terbaik adalah lampu biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.
• Bayi tidak diberi pakaian kecuali popok dan penutup mata. Penutup mata harus
pas tapi tidak
• boleh terlalu kencang atau menutup cuping hidung.
• Lampu harus berada 5-8 cm di atas inkubator dan 50 cm di atas bayi.
• Pertahankan lingkungan suhu netral, pantau suhu dan ukur setiap hari.
• Keseimbangan cairan bayi harus dipantau dengan hati-hati dan dehidrasi
dicegah dengan
• cara menentukan kebutuhan cairan bayi dan menggantikan insensible water
loss (IWL) sesuai
• perhitungan.
• Frekuensi pengambilan bilirubin serum adalah setiap 6-12 jam, tapi mungkin
setiap 4 jam.
• Kadar bilirubin harus dipantau sedikitnya 24 jam setelah terapi sinar dihentikan
(esensial)
2. Tranfusi Tukar
Transfusi tukar akan dilakukan pada neonatus dengan kadar bilirubin indirek sama
dengan atau lebih tinggi dan 20 %, pada neonatus dengan kadar bilirubin tali pusat
kurang dari 14 mg% dan coombs test langsung positif (Prawirohardjo, 2005).
Tujuan transufi tukar :
a) Menurunkan kadar bilirubin indirek
b) Mengganti eritrosit yang dapat dihemolisis
c) Membuang antibodi yang menyebabkan hemolisis
d) Mengoreksi anemia Prosedur pelaksanaan pemberian transfusi tukar
antara lain :
a. Bayi ditidurkan rata diatas meja dengan fiksasi longgar.
b. Pasang monitor jantung, alarm jantung diatur diluar batas 100 –180 kali /
menit.
c. Masukkan kateter ke dalam vena umbilikalis
d. Melalui kateter, darah bayi dihisap sebanyak 20 cc dimasukkna ke dalam
tubuh bayi. Setelah menunggu 20 detik, lalu darah bayi 28 diambil lagi
sebanyk 20 cc dan dikeluarkan. Kemudian dimasukkan 29 darah pengganti
dengan jumlah yang sama, demikian siklus pengganti tersebut diulang
sampai selesai.
e. Kecepatan menghisap dan memasukkan darah ke dalam tubuh bayi
diperkirakan 1,8 kg/cc BB/menit. Jumlah darah yang ditransfusi tukar
berkisar 140 –180 cc/ kg BB tergantung pada tinggi kadar bilirubin sebelum
transfusi tukar.
Hal-hal yang perlu diperhatikan selama transfusi tukar :
1. Neonatus harus dipasangi alat monitor kardio-respirasi
2. Tekanan darah neonatus harus terus dipantau
3. Neonatus dipuasakan bila perlu dipasang selang nasogastrik
4. Neonatus dipasang infus
5. Suhu tubuh dipantau dan dijaga dalam batas normal
6. Disediakan peralatan resusitasi
I. Pencegahan
Penerapan pendidikan kesehatan terhadap ibu post partum tentang hiperbilirubin
pada bayi baru lahir mempengaruhi pengetahuan ibu dan keterampilan dalam
melakukan pencegahan terjadinya hiperbilirubin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rohsiswatmo R. Indikasi Terapi Sinar pada Bayi Menyusui yang Kuning [Internet].
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2013. Available from:
https://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/indikasi-terapi-sinar-pada-bayi-menyusui-
yang-kuning
2. Supari SF. Pelayana Obstetri Dan Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK)
Asuhan Neonatal Esensial. 2008.
3. Dewi AKS, Kardana IM, Suarta K. Efektivitas Fototerapi Terhadap Penurunan Kadar
Bilirubin Total pada Hiperbilirubinemia Neonatal di RSUP Sanglah. 2016;18(2):81–6.
4. Iswanti T, Dewi NR, Nurhayati S. Penerapan Pendidkan Kesehatan Terhadap Ibu Post
Partum Tentang Hipebilirubin Pada Bayi Baru Lahir. J Cendikia Muda.
2021;1(September).
5. Indrayani T, Riani A. Hubungan Fototerapi Dengan Penurunan Kadar Billirubin Total
Pada Bayi Baru Lahir Di RS Aulia Jagakarsa Jakarta Selatan Tahun 2019. Din
Kesehat J Kebidanan dan Keperawatan Vol [Internet]. 2019;10(1). Available from:
https://doi.org/10.33859/dksm.v10i1
6. Mustofa DH, Prastudia K, Binuko E. Seven Day Old Neonate with
Hyperbilirubinemia. Contin Med Educ. 2022;501–11.
7. Rohsiswatmo R, Amandito R. Hiperbilirubinemia pada Neonatus >35 Minggu di
Indonesia: Pemeriksaan dan Tatalaksana Terkini. 2018;20(71):115–22.
8. Adytia H, Herwanto. Hubungan persalinan seksio sesarea dengan hyperbilirubinemia
neonatus. Tarumanagara Med J. 2020;2(1):64–9.

Anda mungkin juga menyukai