Anda di halaman 1dari 8

Referat

Ikterus

Arif Kusuma Firdaus


201810330311108

Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang
2022

1
BAB I
PENDAHULUAN
Ikterus pada bayi merupakan sebuah tanda yang harus diperhatikan dalam merawat
bayi. Hal ini dikarenakan icterus sendiri bisa jadi merupakan bentuk fisiologis, atupun bentuk
patologis, sehingga mencari tahu penyebab icterus menjadi prinsip dalam penanganan icterus.
Meskipun begitu jika kadar bilirubin sangat tinggi, tetap perlu dilakukan pengananan untuk
menjaga kadar bilirubin agar tidak terlampau tinggi dan menyebabkan komplikasi yang fatal
dan irreversible. Sehingga memahami konsep dan teori icterus akan sangat penting dan berguna
untuk dapat menangani kasus icterus atau jaundice di klinis.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Ikterus neonatorum yaitu warna kuning pada kulit dan sklera bayi baru
lahir yang dihasilkan dari hiperbilirubinemia.
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi
baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dl (Kosim, 2012). Ikterus adalah
menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin
dalam tubuh. Keadaan ini merupakan tanda penting penyakit hati atau kelainan
fungsi hati, saluran empedu dan penyakit darah. Bila kadar bilirubin darah
melebihi 2mg%, maka ikterus akan terlihat. Namun pada neonatus ikterus masih
belum terlihat meskipun kadar bilirubin darah sudah melampaui 5mg%. Ikterus
terjadi karena peninggian kadar bilirubin indirek (“unconjugated”) dan atau
kadar bilirubin direk (“conjugated”).

2.2 Klasifikasi

Ikterus Fisiologis memiliki ciri sebagai berikut :

1. Kadar bilirubin dalam serum tali pusat indirek adalah 1-3mg/dl dan naik
dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam.
2. Timbul pada hari ke-2 sampai ke-3, biasanya berpuncak antara hari ke-2
dan ke-4 dengan kadar bilirubin 5-6 mg/dl dan menurun sampai dibawah
2 mg/dl antara umur hari ke-5 dan ke- 7
3. Bayi biasa, minum baik, BB naik normal
4. Kadar bilirubin serum bayi cukup bulan tidak lebih dari 12 mg/dl dan
BBLR tidak lebih dari 10 mg/dl
5. Ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan meliputi puncak kadar bilirubin
indirek tidak lebih dari 12 mg/dl pada usia hari ketiga. Pada bayi
prematur puncaknya lebih tinggi (15 mg/dl) dan terjadi lebih lambat (hari
kelima). Puncak kadar bilirubin indirek selama ikterus fisiologis lebih
tinggi pada bayi ASI (15-17 mg/dl) daripada bayi non-ASI (12 mg/dl).
6. Bayi yang mendapat ASI cenderung mengalami hiperbilirubinemia
daripada bayi yang mendapat susu formula. Kondisi ini secara acak
dibagi menjadi awitan cepat yang terjadi pada usia 2-4 hari dan awitan
lambat yang mulai terjadi pada usia 4-7 hari. Pada bayi baru lahir yang

2
mendapat ASI, kadar bilirubin umumnya mencapai puncak yang berkisar
10-30 mg/dl yang akan menetap selama 4-10 hari pada kadar tersebut
sebelum menurun secara perlahan pada usia 3-12 minggu. Bayi kurang
bulan yang mendapat ASI juga memiliki kadar bilirubin yang secara
signifikan lebih tinggi daripada bayi kurang bulan yang mendapat susu
formula. Tidak terdapat perbedaan antara angka produksi bilirubin pada
bayi yang mendapat susu formula dan bayi yang mendapat ASI sehingga
tingginya tingkat hiperbilirubinemia tidak berkaitan dengan produksi,
tetapi berkaitan dengan konjugasi dan ekskresi bilirubin.

Ikterus Patologis adalah Ikterus yang mempunyai dasar patologis


dengan kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia
dengan ciri-ciri :

1. Ikterus terjadi pada 24 jam pertama


2. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl atau lebih setiap 24 jam
3. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg/dl pada neonatus kurang
bulan dan 12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan
4. Bilirubin direk lebih dari 1mg/dl, atau kenaikan bilirubin serum
1mg/dl/jam
5. Ikterus yang disertai oleh Proses hemolisis karena inkompatibilitas darah.
Defisiensi enzim G-6-PD( glukosa 6 fosfat dehidrokinase), sepsis,
BBLR, masa gestasi 36 minggu, asfiksia, dan infeksi.

Pemeriksaan yang menunjukkan adanya ikterus patologis adalah timbul


pada usia 24-36 jam, peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg/dl/24 jam,
bilirubin lebih dari 12 mg/dl pada bayi cukup bulan tanpa faktor resiko
ikterus fisiologis, dan ikterus menetap setelah usia 10-14 hari.

2.3 Etiologi

Etiologi ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun
disebabkan beberapa faktor, diantaranya:
1) Produksi yang berlebihan, lebih dari kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya misalnya pada : hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas darah Rh, golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD,
pyruvate kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar akibat asidosis, hipoksia dan infeksi
atau tidak terdapatnya enzim glucoronil transferase (criggler najjar
syndrome). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel–sel hepar.
3) Gangguan dalam transportasi. Bilirubin dalam darah terikat oleh albumin
kemudian di angkut ke hepar. Ikatan bilirubin dan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat–obat misalnya salisilat, sulfaforazole. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang
bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4) Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi

3
dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya akibat
infeksi atau kerusakan hepar.
2.4 Patofisiologi

Meningkatnya kadar bilirubin dapat juga disebabkan produksi yang


berlebihan. Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi eritrosit yang
menua. Pada neonatus 75% bilirubin berasal dari mekanisme ini. Satu gram
hemoglobin dapat menghasilkan 34 mg bilirubin indirek (free billirubin) dan
sisanya 25% disebut early labeled bilirubin yang berasal dari pelepasan
hemoglobin karena eritropoeis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang,
jaringan yang mengandung protein heme dan heme bebas. Pembentukan
bilirubin diawali dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin.
Setelah mengalami reduksi biliverdin menjadi bilirubin bebas, yaitu zat yang
larut dalam lemak yang bersifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah
melewati membran biologik seperti plasenta dan sawar otak.
Di dalam plasma, bilirubin tersebut terikat/bersenyawa dengan
albumin dan dibawa ke hepar. Dalam hepar menjadi mekanisme ambilan
sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hepar dan masuk ke
dalam hepatosit. Di dalam sel bilirubin akan terikat dan bersenyawa dengan
ligandin (protein Y), protein Z dan glutation S- tranferase membawa
bilirubin ke reticulum endoplasma hati.
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin
diglukoronide dan sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Ada 2
enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukoronide yaitu uridin
difosfat glukoronide transferase (UDPG:T) yang mengkatalisasi
pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi
diglukoronide terjadi di membran kanalikulus.

2.5 Diagnosis
Pemeriksaan Klinis
Pengamatan ikterus kadang-kadang agak sulit apalagi dalam
cahaya buatan. Paling baik pengamatan dilakukan dalam cahaya matahari
dan dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk
menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi darah.
Ada beberapa cara untuk menentukan derajat ikterus yang
merupakan resiko terjadinya kern-icterus, misalnya secara klinis ( rumus
Kramer) dilakukan di bawah sinar biasa (day light). Sebaiknya penilaian
ikterus dilakukan secara laboratories, apabila tidak memungkinkan, dapat
dilakukan secara klinis.

Pemeriksaan diagnostik menurut Green (2012) , yaitu :


a) Golongan darah : untuk menentukan golongan darah dan status Rh
bayi bila transfusi sulih diperlukan
b) Uji Coombs direk : untuk menentukan diagnosis penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir ; hasil positif mengindikasikan sel darah merah

4
bayi telah terpajan (diselimuti antibodi)
c) Uji Coombs indirek : mengukur jumlah antibodi Rh positif dalam
darah ibu
d) Kadar Bilirubin total dan direk : untuk menegakkan diagnosis
heperbilirubinemia
e) Darah periksa lengkap dengan diferensial : untuk mendeteksi
hemolisis, anemia (Hb < 14 gr/dl) atau polisitemia (Ht lebih dari
65%); Ht kurang dari 40% (darah tali pusat) mengindikasi hemolisis
berat
f) Protein serum total : untuk mendeteksi penurunan kapasitas ikatan
(3,0 mg/dl)
g) Glukosa serum : untuk mendeteksi hipoglikemia (< 40 mg/dl)

2.6 Tatalaksana dan Pencegahan


Dalam penanganan ikterus, cara–cara yang dipakai ialah untuk mencegah dan
mengobati, sampai saat ini cara–cara itu dapat dibagi dalam empat jenis usaha, yaitu :
1) Mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin.
Pemberian fenobarbital untuk antikonvulsan, dosis muatan 15-20
mg/kg oral, intravena, dosis rumatan untuk neonatus 3-4 mg/kg/hari dan
dapat diulang setiap 12-24 jam.
Pemberian fenobarbital yang dapat memperbesar konjugasi dan
ekskresi bilirubin. Pemberiannya akan membatasi perkembangan ikterus
fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90
mg/24 jam sebelum persalinan atau pada bayi saat lahir dengan dosis 10
mg/kg/24 jam. Meskipun demikian, fenobarbital tidak secara rutin
dianjurkan untuk mengobati ikterus pada bayi neonatus karena
pengaruhnya pada metabolisme bilirubin biasanya tidak terlihat sebelum
mencapai beberapa hari pemberian, efektivitas obat ini lebih kecil dari
pada fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin, dan dapat mempunyai
pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan serta tidak menambah respon
terhadap fototerapi.
Early breast feeding, menyusui bayi dengan ASI. Bilirubin juga
dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk itu bayi
harus mendapat cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik
bagi bayi yang dapat memperlancar BAB dan BAK. Akan tetapi
pemberian ASI juga harus dibawah pengawasan dokter karena pada
beberapa kasus ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk
jaundice).
Pemberian ASI diberikan pada bayi secara berulang-ulang karena
bayi malas minum. ASI yang cukup untuk penanganan pada bayi dengan
ikterus yaitu 8-12 kali sehari. Jika tidak mau menghisap dot berikan pakai
sendok. Jika tidak habis berikan melalui sonde.
2) Terapi sinar matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan.
Terapi ini biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit.

5
Caranya dijemur selama 15 menit dengan posisi yang berbeda-beda.
Lakukan antara jam 07.00-09.00 karena inilah waktu dimana sinar
ultraviolet dengan panjang gelombang cahaya 425-550 nm cukup efektif
mengurangi kadar bilirubin. Hindari posisi yang membuat bayi melihat
langsung ke matahari karena dapat merusak matanya.

3) Terapi sinar (Fototerapi)


Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai
kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan
fototerapi bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecah dan menjadi mudah
larut dalam air tanpa harus diubah dahulu oleh organ hati dan dapat
dikeluarkan melalui urin dan tinja sehingga kadar bilirubin menurun.
Di samping itu pada terapi sinar ditemukan pula peninggian
konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum dan
menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus
sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan keluar bersama
feses. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus
meningkat sehingga menimbulkan resiko yang lebih fatal.
4) Transfusi tukar
Darah bayi dikeluarkan (biasanya dua kali volume, yaitu 2 x 80
ml/kg) dan diganti dengan darah yang ditransfusikan. Transfusi tukar dapat
mengeluarkan bilirubin dan antibodi, serta mengoreksi anemia.
Komplikasinya mencakup trombosis, embolus, kelebihan atau kekurangan
cairan, kelainan metabolik, infeksi, kelainan koagulasi. Kematian mungkin
sekitar 1%.
Transfusi tukar dilakukan pada keadaan hiperbilirubinemia yang
tidak dapat diatasi dengan tindakan lain misalnya telah diberikan terapi
sinar tetapi kadar bilirubin tetap tinggi. Pada umumnya transfusi tukar
dilakukan pada ikterus yang disebabkan karena proses hemolisis yang
terdapat pada ketidakselarasan Rhesus, ABO, dan defisiensi G-6-PD.
Indikasi untuk melakukan transfusi tukar adalah kadar bilirubin indirek
lebih dari 20 mg%, kenaikan kadar bilirubin indirek cepat, yaitu 0,3-1 mg
%/jam, anemia berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung, dan hasil
pemeriksaan uji comb positif.
Penatalaksanaan hiperbilirubinemia dengan fototerapi dan
transfusi tukar dibedakan sesuai berdasarkan berat badan bayi, bayi baru
lahir relatif sehat, dan bayi cukup bulan. Efek samping transfusi tukar
adalah hipokalsemia dan hipomagnesia, hipoglikemia, gangguan
kardiovaskuler, perdarahan, dan infeksi.

BAB III
KESIMPULAN

Ikterus merupakan tanda yang dapat dilihat pada bayi jika kadar bilirubin dalam
darah sudah mencapai nilai tertentu. Penanganan dari icterus menyesuaikan keadaan
dari pasien. Identifikasi dan penanganan faktor penyebab icterus sangat penting agar
kelainan ini dapat diatasi dengan baik. Meskipun begitu kadar dari bilirubin direk
maupun indirek harus dikontrol agar tidak terlalu tinggi yang dapat menyebabkan bayi

6
jatuh dalam keadaan kern icteric yang memiliki dampak yang buruk dan ireversibel.

7
DAFTAR PUSTAKA

Pratt & Kaplan. 2012. Jaundice. Dalam Longo, Fauci, Kasper, Jameson, Loscalzo (Ed.).
Harrison’s Principle of Internal Medicine 18th Ed (volume I), 324-29. United States of
America: The McGraw-Hill Companies.

Roche & Kobos. 2004. Jaundice in Adult Patient. Am Fam Physician (69), 299-304. Retrieved
on May 18, 2015, from http://www.aafp.org/afp/2004/0115/p299.html

Sulaiman. 2014. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Sri Setiati, Idrus Alwi, Aru
W.S., Marcellus S.K., Bambang setiyohadi, Ari Fahrial Syam (Ed.). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam (jilid 2, edisi IV), 1935-40. Jakarta: Internal Publishing.

Rohsiswatmo, Rinawati. 2013. Indikasi Terapi Sinar pada Bayi Menyusui yang Kuning.
Diambil dari : https://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/indikasi-terapi-sinar-pada-
bayi-menyusui-yang-kuning

Rohsiswatmo, Rinawati; Amandito, Radhian. 2018. Hiperbilirubinemia pada


Neonatus >35 Minggu di Indonesia: Pemeriksaan dan Tatalaksana Terkini. Sari
Pediatri, Vol. 20, No. 2, Agustus 2018

Anda mungkin juga menyukai