Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN HIPERBILIRUBIN

PADA BY. BIN. N DI RS PKU MUHAMMADIYAH SELOGIRI

Laporan ini dibuat guna memenuhi tugas Praktik Klinik Stase Keperawatan Anak

Pembimbing Klinik : Danik Astuti, S.Kep.,Ns.

Dosen Pembimbing klinik : Irdawati,S.Kep,Ns.,Mi.Med

DISUSUN OLEH :

SAFIRA BELA ANNISA

J210190004

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2021
PEMBAHASAN

A. Definisi
Bilirubin yaitu senyawa pigmen kuning yang merupakan produk katabolisme
enzimatik biliverdin oleh biliverdin reduktase. Bilirubin di produksi sebagian besar
(70-80%) dari eritrosit yang telah rusak. Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi)
dibawa ke hepar dengan cara berikatan dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi)
kemudian diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Bayi memiliki usus yang
belum sempurna, karna belum terdapat bakteri pemecah, sehingga pemecahan
bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin indirek yang kemudian ikut masuk
dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus bersirkulasi (Atikah & Jaya, 2016 ).
Hiperbilirubinemia dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Secara fisiologis bayi
mengalami kuning pada bagian wajah dan leher, atau pada derajat satu dan dua
(12mg/dl), di indikasikan untuk pemberian fototerapi, jika kadar bilirubin >20mg/dl
maka bayi akan di indikasikan untuk transfusi tukar (Aviv, 2015; Atikah & Jaya,
2015).
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana menguningnya sklera, kulit
atau jaringan lain akibat perlekatan bilirubuin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin
dalam darah lebih dari 5mg/ml dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya gangguan
fungsional dari liper, sistem biliary, atau sistem hematologi ( Atikah & Jaya, 2016 ).
Atikah dan Jaya, (2016), membagi ikterus menjadi 2 yaitu :
a. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis sering dijumpai pada bayi dengan berat lahir rendah,
dan biasanya akan timbul pada hari kedua lalu menghilang setelah
minggu kedua. Ikterus fisiologis muncul pada hari kedua dan ketiga.
Bayi aterm yang mengalami hiperbilirubin memiliki kadar bilirubin
yang tidak lebih dari 12 mg/dl, pada BBLR 10 mg/dl, dan dapat hilang
pada hari ke-14. Penyebabnya ialah karna bayi kekurangan protein Y,
dan enzim glukoronil transferase
b. Ikterus Patologis
Ikterus patologis merupakan ikterus yang timnbul segera dalam 24 jam
pertama, dan terus bertamha 5mg/dl setiap harinya, kadal bilirubin
untuk bayi matur diatas 10 mg/dl, dan 15 mg/dl pada bayi prematur,
kemudian menetap selama seminggu kelahiran. Ikterus patologis
sangat butuh penanganan dan perawatan khusus, hal ini disebabkan
karna ikterus patologis sangat berhubungan dengan penyakit sepsis.
Tanda-tandanya ialah : 1) Ikterus muncul dalam 24jam pertama dan
kadal melebihi 12mg/dl. 2) Terjadi peningkatan kadar bilirubin
sebanyak 5 mg/dl dalam 24jam. 3) Ikterus yang disertai dengan
hemolisis. 4) Ikterus akan menetap setelah bayi berumur 10 hari pada
bayi aterm , dan 14 hari pada bayi BBLR.
B. Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan.
Penyebab yang sering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat
inkopatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini dapat
pula timbul karna adanya perdarahan tertutup (hematoma cepal, perdarahan
subaponeurotik) atau inkompatibilitas golongan darah Rh. Infeksi juga memegang
peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia; keadaaan ini terutama terjadi
pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Faktor lain yaitu hipoksia atau asfiksia,
dehidrasi dan asiosis, hipoglikemia, dan polisitemia (Atikah & Jaya, 2016). Nelson,
(2011), secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi yaitu sebagai
berikut :
a. Produksi yang berlebihan
Produksi yang berlebihan ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim
G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis
b. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar,
akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim
glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu
defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam
“uptake” bilirubin ke sel hepar
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke
hepar.Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan
lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah
yang mudah melekat ke sel otak
d. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar
hepar.Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan
bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan
hepar oleh penyebab lain

Etiologi ikterus yang sering ditemukan antara lain hiperbilirubinemia


fisiologik, inkompabilitas golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk jaundice,
infeksi, bayi dari ibu penyandang diabetes melitus, dan polisitemia/hiperviskositas.
Etiologi yang jarang ditemukan yaitu: defisiensi G6PD, defisiensi piruvat kinase,
sferositosis kongenital, sindrom Lucey-Driscoll, penyakit Crigler-Najjar, hipo-tiroid,
dan hemoglobinopati. (Mathindas, dkk , 2013)

C. Klasifikasi
1. Fisiologis
Pada bayi baru lahir kadar bilirubin serum total biasanya mencapai
puncak pada hari ke-3 sampai 5 kehidupan dengan kadar bilirubin 5-6 mg/dL,
dan akan menurun kembali pada minggu pertama setelah lahir. Pada ikterus
fisiologis tersebut bervariasi sesuai dengan prematuritas, ras, dan faktor –
faktor lain. Sebagai contoh misalnya bayi ras cina lebih cenderung memiliki
kadar puncak bilirubin maksimal pada hari ke 4 dan ke 5 setelah kelahiran
bayi tersebut, faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada
bayi baru lahir meliputi peningkatan kadar bilirubin karena polisitemia relatif,
pemendekan masa hidup eritrosit, peningkatan sirkulasi enterohepatik
(Maternity, 2018).
Menurut Maulida (2014), klasifikasi fisiologis yaitu :
a. Warna kuning pada kulit dan sclera akan timbul pada hari ke-2 atau ke-
3, dan terlihat jelas pada hari ke 5-6, dan menghilang pada hari ke-10
b. Bayi terlihat biasa, bisa minum/menyusu dengan baik, dan berat badan
bisa mengalami peningkatan/baik
c. Kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulantidak lebih dari 1 mg/dL.
Pada BBLR 10 mg/dL, dan akan hilang pada hari ke14 setelah
kelahiran. Ikterus normal yang terjadi pada bayi baru lahir, dan tidak
mempunyai dasar patologis sehingga tidak berpotensi menjadi kern
ikterus. Kadar bilirubin direk tidak lebih dari 1 mg%, dan tidak
terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis (Dewi,
2010).
2. Patologis
Menurut Maulida (2014) klasifikasi patologis yaitu :
a. Ikterus akan muncul dalam 24 jam pertama kehidupan, serum bilirubin
total lebih dari 12 mg/dl
b. Peningkatan kadar bilirubin 5 mg/dl atau lebih dari 24 jam
c. Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg/dl pada bayi ≤ 37 minggu
(BBLR) dan 12,5 mg/dl pada bayi yang sudah cukup bulan
d. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,
defisiensi enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD), dan sepsis).
Ikterus yang disertai berat bayi lahir kurang 2500 gram, masa gestasi
kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom, gangguan 11
pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hipokapnia, hiperosmolatitas darah
(Manggiasih & Jaya, 2016).
3. Kern Ikterus
Kern Ikterus adalah ensefalopati bilirubin yang biasanya sering
ditemukan pada neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin indirek
tidak lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit hemolitik berat pada autopsy
diketahui bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara klinis berbentuk
kelainan saraf spatis yang terjadi secara kronik (Manggiasih & Jaya, 2016).
4. Ikterus Hemolitik
Ikterik hemolitik dapat muncul karena disebabkan oleh inkompatibilitas
rhesus, golongan darah AB-O golongan darah lain, kelainan eritrosit
kengenital, atau defisiensi enzim G6PD ( Manggiasih& Jaya, 2016 )
5. Ikterus Obstruktif
Obstruktif dalam penyaluran empedu dapat terjadi didalam hepar dan luar
hepar. Akibat obstruktif ini terjadi penumpukan bilirubin tak terkonjugasi.
Bila kadar bilirubin terkonjugasi melebihi 1 mg% maka kita harus curiga
adanya hal-hal yang bisa menyebabkan obstruksi saluran empedu. Dalam
menghadapi hal seperti ini sangat penting untuk diperiksa kadar bilirubin
serum, tak terkonjugasi dan terkonjugasi selanjutnya apakah terdapat bilirubin
air kencing dan tinja (Manggiasih & Jaya, 2016).
D. Manifestasi Klinis
Pemeriksaan klinis tersebut bisa dilakukan pada bayi baru lahir normal dengan
menggunakan pencahayaan yang sesuai. Kulit kuning pada bayi akan terlihat lebih
jelas bila dilihat dengan sinar lampu dan tidak dapat terlihat dengan penerangan yang
kurang. Tekan kulit dengan perlahan menggunakan jari tangan untuk memastikan
warna kulit dan jaringan subkutan: Hari ke-1 tekan ujung hidung atau dahi, Hari ke-2
tekan pada lengan atau tungkai, Hari ke-3 dan seterusnya, tekan pada tangan dan kaki.
Bilirubin pada saat pertama kali muncul yaitu di wajah , menjalar kearah tubuh, dan
ekstremitas. Tentukan tingkat keparahan ikterus secara kasar 17 dengan melihat
warna kuning pada seluruh tubuh (metode Kramer) (Manggiasih & Jaya, 2016).
E. Patofisiologi
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari
katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Karena sifat
hidrofobiknya, bilirubin tak terkonjugasi diangkut dalam plasma, terikat erat pada
albumin. Ketika mencapai hati, bilirubin diangkut ke dalam hepatosit, terikat dengan
ligandin. Setelah diekskresikan ke dalam usus melalui empedu, bilirubin direduksi
menjadi tetrapirol tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Bilirubin tak terkonjugasi
ini dapat diserap kembali ke dalam sirkulasi, sehingga meningkatkan bilirubin plasma
total (Mathindas ,dkk, 2013).
Bilirubin mengalami peningkatan pada beberapa keadaan. Kondisi yang sering
ditemukan ialah meningkatnya beban berlebih pada sel hepar, yang mana sering
ditemukan bahwa sel hepar tersebut belum berfungsi sempurna. Hal ini dapat
ditemukan apabila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia,
pendeknya umur eritrosit pada janin atau bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber
lain, dan atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik (Atikah & Jaya, 2016).
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah rusak.
Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan cara berikatan
dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian diekskresikan melalui
traktus gastrointestinal. Bayi memiliki usus yang belum sempurna, karna belum
terdapat bakteri pemecah, sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi
bilirubin indirek yang kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin
terus bersirkulasi (Atikah & Jaya, 2016)
F. Pathway
G. Penatalaksanaan
Menurut Atikah dan Jaya, 2016, cara mengatasi hiperbilirubinemia yaitu :
a. Mempercepat proses konjugasi, misalnya pemberian fenobarbital.
Fenobarbital dapat bekerja sebagai perangsang enzim sehingga
konjugasi dapat dipercepat
b. Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi.
Contohnya ialah pemberian albumin untuk meningkatkan bilirubion
bebas
c. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi ini ternyata setelah
dicoba dengan alat-alat bantuan sendiri dapat menurunkan bilirubin
dengan cepat

Walaupun demikian fototerapi tidak dapat menggantikan transfusi tukar pada


proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca transfusi
tukar. Penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara terapeutik :

1. Fototerapi Dilakukan apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 10 mg% dan
berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urin
dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin. Langkah-langkah
pelaksanaan fototerapi yaitu :
 Membuka pakaian neonatus agar seluruh bagian tubuh neonatus kena
sinar
 Menutup kedua mata dan gonat dengan penutup yang memantulkan
cahaya
 Jarak neonatus dengan lampu kurang lebih 40 cm
 Mengubah posisi neonatus setiap 6 jam sekali
 Mengukur suhu setiap 6 jam sekali
 Kemudian memeriksa kadar bilirubin setiap 8 jam atau sekurang-
kurangnya sekali dalam 24 jam
 Melakukan pemeriksaan HB secara berkala terutama pada penderita
yang mengalami hemolisis
2. Fenoforbital
Fenoforbital dapat mengekskresi bilirubin dalam hati dan memperbesar
konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatis glukoronil transferase yang mana
dapat meningkatkan bilirubin konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen
dalam empedu, sintesis protein dimana dapat meningkatkan albumin untuk
mengikat bilirubin. Fenobarbital tidak begitu sering dianjurkan.
3. Transfusi Tukar
Apabila sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi atau kadar bilirubin
indirek lebih dari 20 mg%. Langkah penatalaksanaan saat transfusi tukar
adalah sebagai berikut :
 Sebaiknya neonatus dipuasakan 3-4 jam sebelum transfusi tukar
 Siapkan neonatus dikamar khusus
 Pasang lampu pemanas dan arahkan kepada neonatus
Tidurkan neonatus dalam keadaan terlentang dan buka pakaian ada
daerah perut
 Lakukan transfusi tukar sesuai dengan protap
 Lakukan observasi keadaan umum neonatus, catat jumlah darah yang
keluar dan masuk
 Lakukan pengawasan adanya perdarahan pada tali pusat
 Periksa kadar Hb dan bilirubin setiap 12 jam. (Suriadi dan Yulianni
2006)
H. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian pada kasus hiperbilirubinemia meliputi :
a. Identitas, seperti : Bayi dengan kelahiran prematur, BBLR, dan lebih
sering diderita oleh bayi laki-laki
b. Keluhan utama
Bayi terlihat kuning dikulit dan sklera, letargi, malas menyusu, tampak
lemah, dan bab berwarna pucat
c. Riwayat kesehatan
 Riwayat kesehatan sekarang
Keadaan umum bayi lemah, sklera tampak kuning, letargi,
refleks hisap kurang, pada kondisi bilirubin indirek yang
sudah .20mg/dl dan sudah sampai ke jaringan serebral maka
bayi akan mengalami kejang dan peningkatan tekanan
intrakranial yang ditandai dengan tangisan melengking
 Riwayat kesehatan dahulu Biasanya ibu bermasalah dengan
hemolisis. Terdapat gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian
golongan Rh atau golongan darah A,B,O). Infeksi, hematoma,
gangguan metabolisme hepar obstruksi saluran pencernaan, ibu
menderita DM. Mungkin praterm, bayi kecil usia untuk gestasi
(SGA), bayi dengan letardasio pertumbuhan intra uterus
(IUGR), bayi besar untuk usia gestasi (LGA) seperti bayi
dengan ibu diabetes. Terjadi lebih sering pada bayi pria
daripada bayi wanita
 Riwayat kehamilan dan kelahiran Antenatal care yang kurang
baik, kelahiran prematur yang dapat menyebabkan maturitas
pada organ dan salah satunya hepar, neonatus dengan berat
badan lahir rendah, hipoksia dan asidosis yang akan
menghambat konjugasi bilirubin, neonatus dengan APGAR
score rendah juga memungkinkan terjadinya hipoksia serta
asidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubin
 Pemeriksaan fisik
a) Kepala-leher
Ditemukan adanya ikterus pada sklera dan mukosa
b) Dada Ikterus dengan infeksi selain dada terlihat ikterus
juga akan terlihat pergerakan dada yang abnormal
c) Perut Perut membucit, muntah, kadang mencret yang
disebabkan oleh gangguan metabolisme bilirubin
enterohepatik
d) Ekstremitas Kelemahan pada otot
e) Kulit Menurut rumus kramer apabila kuning terjadi di
daerah kepala dan leher termasuk ke grade satu, jika
kuning pada daerah kepala serta badan bagian atas
digolongkan ke grade dua. Kuning terdapat pada kepala,
badan bagian atas, bawah dan tungkai termasuk ke
grade tiga, grade empat jika kuning pada daerah kepala,
badan bagian atas dan bawah serta kaki dibawah
tungkai, sedangkan grade 5 apabila kuning terjadi pada
daerah kepala, badan bagian atas dan bawah, tungkai,
tangan dan kaki
f) Pemeriksaan neurologis Letargi, pada kondisi bilirubin
indirek yang sudah mencapai jaringan serebral, maka
akan menyebabkan kejang-kejang dan penurunan
kesadaran
g) Urogenital Urine berwarna pekat dan tinja berwarna
pucat. Bayi yang sudah fototerapi biasa nya
mengeluarkan tinja kekuningan
 Pemeriksaan diagnostik
a) Pemeriksaan bilirubin serum Bilirubin pada bayi cukup
bulan mencapai puncak kira-kira 6 mg/dl, antara 2 dan 4
hari kehidupan. Jika nilainya diatas 10 mg/dl yang
berarti tidak fisiologis, sedangkan bilirubin pada bayi
prematur mencapai puncaknya 10-12 mg/dl, antara 5
dan 7 hari kehidupan. Kadar bilirubin yang lebih dari 14
mg/dl yaitu tidak fisiologis. Ikterus fisiologis pada bayi
cukup bulan bilirubin indirek munculnya ikterus 2
sampai 3 hari dan hilang pada hari ke 4 dan ke 5 dengan
kadar bilirubin yang mencapai puncak 10-12 mg/dl,
sedangkan pada bayi dengan prematur bilirubin indirek
munculnya sampai 3 sampai 4 hari dan hilang 7 sampai
9 hari dengan kadar bilirubin yang mencapai puncak 15
mg/dl/hari. Pada ikterus patologis meningkatnya
bilirubin lebih dari 5 mg/dl perhari
b) Ultrasound untuk mengevaluasi anatomi cabang
kantong empedu
c) Radioisotope scan dapat digunakan untuk membantu
membedakan hepatitis dan atresia biliary. (Surasmi,
dkk, 2003; Lynn & Sowden, 2009; Widagdo, 2012)
 Data penunjang
a) Pemeriksaan kadar bilirubin serum (total) (normal =
<2mg/dl)
b) Pemeriksaan darah tepi lengkap dan gambaran apusan
darah tepi
c) Penentuan golongan darah dari ibu dan bayi
d) Pemeriksaan kadar enzim G6PD
e) Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji
fungsi tiroid, uji urin terhadap galaktosemia
f) Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan
kultur darah, urin, IT rasio dan pemeriksaan C reaktif
protein (CPR)

1. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penilaian klinis yang ditunjukkan
mengenai respon pasien terhadap masalah kesehatan ataupun proses
kehidupan yang dialaminya baik yang bersifat aktual ataupun risiko, yang
bertujuan untuk mengidentifikasi respon pasien individu, keluarga, dan
komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (Tim Pokja SDKI
DPP PPNI, 2016). Pada kasus hiperbilirubin dapat diambil diagnosa
diantaranya :
a. Ikterus Neonatus b.d usia kurang dari 7 hari
b. Hipertermi b.d Terpapar lingkungan panas
c. Risiko infeksi b.d Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer :
Kerusakan integritas kulit
d. Risiko Hipovolemia b.d Kehilangan cairan secara aktif
e. Risiko Gangguan Integritas Kulit/Jaringan b.d terapi radiasi

2. Perencanaan
Perencanaan adalah teori dari prilaku keperawatan dimana tujuan yang
berpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan ditetapkan dan intervensi
keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut.Selama perencanaan,
dibuat prioritas. Selain berkolaborasi dengan klien dan keluarganya, perawatan
berkonsultasi dengan anggota tim perawat kesehatan lainnya, menelaah
literatur yang berkaitan memodifikasi asuhan, dan mencatat informasi yang
relevan tentang kebutuhan keperawatan kesehatan klien dan penatalaksanaan
klinik (Potter & Perry, 2010).

Diagnosa Tujuan dan Intervensi

Kriteria Hasil

(D.0024) (L.14125) (I.03091) Fototerapi Neonatus

Integritas kulit dan Observasi :


Ikterik jaringan 1) Monitor ikterik pada skelera
dan kulit bayi
neonatus b.d Setelah dilakukan 2) Identifikasi kebutuhan
cairan sesuai dengan usia
usia kurang intervensi gestasi dan berat badan
3) Monitor suhu dan tanda
dari 7 hari keperawatan 3x24 vital setiap 4 jam sekali
4) Monitor efek samping
jam maka integritas fisioterapi (mis. Hipertermi,
diare, rush pada kulit,
kulit dan jaringan penurunan berat badan lebih
dari 8 – 10 %)
membaik, dengan
Terapeutik :
Kriteria Hasil :
1) Siapkan lampu fisioterapi
1) Kerusakan dan incubator atau kotak
bayi
lapisan kulit 2) Lepaskan pakaian bayi
kecuali popok
menurun 3) Berikan penutup mata (eye
protector/ billiband) pada
2) Kemerahan bayi
4) Ukur jarak antara lampu dan
menurun permukaan kulit bayi (30
cm atau tergantung
3) Pigmentasi spesifikasi lampu fototerapi)
5) Biarkan tubuh bayi terpapar
abnormal sinar fototerapi secara
berkelanjutan
menurun 6) Ganti segera alas dan popok
bayi jika BAB/BAK
4) Suhu kulit 7) Gunakan linen berwarna
putih agar mmantulkan
membaik cahaya sebanyak mungkin

5) Tekstur Edukasi :

membaik 1) Anjurkan ibu menyusui


sekitar 20 -30 menit
2) Anjurkan ibu menyusui
sesering mungkin

Kolaborasi :

1) Kolaborasi pemeriksaan
darah vena bilirubin direk
dan indirek

(D. 0130) (L. 14134) (I. 15506) Manajemen


Termoregulasi Hipertermia

Hipertermi Setelah dilakukan Observasi :

b.d Terpapar intervensi 1) Identifikasi penyebab

lingkungan keperawatan 3x24 hipertermia (mis.

panas jam maka Dehidrasi, terpapar

termoregulasi lingkungan panas,

membaik, dengan penggunaan inkubator)

Kriteria Hasil : 2) Monitor suhu tubuh

1) Menggigil 3) Monitor haluaran urin

menurun 4) Monitor komplikasi

2) Kulit merah akibat hipotermia

menurun Terapeutik :

3) Kejang 1) Sediakan lingkungan

menurun yang dingin

4) Suhu tubuh 2) Longgarkan atau

membaik lepaskan pakaian

5) Suhu kulit 3) Berikan cairan oral

membaik 4) Ganti linen setiap hari

6) Pengisian atau lebih sering jika

kapiler mengalami hiperhidrosis

membaik (keringat berlebih)

Edukasi :

1) Anjurkan tirah baring

Kolaborasi :

1) Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit

intravena, jika perlu

(D. 0142) (L. 14137) Tingkat (I. 14508) Manajemen

Risiko Infeksi imunisasi/ vaksinasi

infeksi b.d Setelah dilakukan Observasi :

Ketidakadek intervensi 1) Identifikasi riwayat

uatan keperawatan 3x24 kesehatan dan riwayat

pertahanan jam maka tingkat alergi

tubuh infeksi membaik, 2) Identifikasi

primer : dengan kontraindikasi

Kerusakan Kriteria Hasil : pemberian imunisasi

integritas 1) Kebersihan (mis. Reaksi anafilaksis,

kulit badan terhadap vaksin

meningkat sebelumnya dan atau

2) Demam sakit parah dengan atau

menurun tanpa demam)

3) Kemerahan Terapeutik :

menurun 1) Berikan suntikan pada

4) Periode bayi di bagian paha

menggigil anterolateral

menurun 2) Dokumentasikan

informasi vaksinasi (mis.

Nama produsen, tanggal

kedaluwarsa)

Edukasi :
1) Jelaskan tujuan, manfaat,

reaksi yang9 terjadi,

jadwal, dan efek

samping

2) Informasikan imunisasi

yang diwajibkan

pemerintah (mis.

Hepatitis B, BG, Difteri,

tetanus, pertusis, H.

Influenza, polio,

campak, measles, rubela)

(D. 0034) (L. 03028) Status (I. 03116) Manajemen

Risiko cairan hipovolemia

Hipovolemia Setelah dilakukan Observasi :

b.d intervensi 1) Periksa tanda dan gejala

Kehilangan keperawatan 3x24 hipovolemia (mis.

cairan secara jam maka status Frekunsi nadi

aktif cairan membaik, meningkat, nadi teraba

dengan lemah, tekanan darah

Kriteria Hasil : menurun, tekanan nadi

1) Turgor kulit menyempit, turgor kulit

meningkat menurun, membran

2) Output urine mukosa kering, volume

meningkat urin menurun,

3) Pengisian hematokrit meningkat,


vena haus, lemah)

meningkat Terapeutik :

4) Membran 1) Hitung kebutuhan cairan

mukosa 2) Berikan asupan cairan

membaik oral

5) Berat badan Edukasi :

membaik 1) Anjurkan

6) Intake cairan memperbanyak asupan

membaik cairan oral

7) Suhu tubuh Kolaborasi :

membaik 1) Kolaborasi pemberian

cairan IV isotonis (mis.

NaCl, RL)

2) Kolaborasi pemberian

cairan IV hipotonis (mis.

Glukosa 2,5 %, NaCl

0,4%)

(D.0139) (L. 14125) (I. 11353) Perawatan


Risiko
Gangguan Integritas kulit dan integritas kulit
Integritas
Kulit/Jaringan jaringan Observasi :
b.d terapi radiasi
Setelah dilakukan 1) Identifikasi penyebab

intervensi gangguan integritas kulit

keperawatan 3x24 (mis. Perubahan

jam maka integritas sirkulasi, pvrubahan

kulit dan jaringan status nutrisi, penurunan


membaik, dengan kelembaban, suhu

Kriteria Hasil : lingkungan ekstrem,

1) Elastisitas pvnurunan mobilitas)

meningkat Terapeutik :

2) Kerusakan 1) Ubah posisi tiap 2 jam

jaringan jika tirah baring

menurun 2) Lakukan pemijatan pada

3) Kerusakan arva penonjolan tulang,

lapisan kulit jika perlu

menurun 3) Bersihkan perineal

4) Suhu kulit dengan air hangat,

membaik terutama selama periode

5) Tekstur diare

membaik 4) Gunakan produk

berbahan petrolium atau

minyak pada kulit kering

5) Gunakan produk

berbahan ringan/ alami

dan hipoalergik pada

kulit sensitif

6) Hindari produk berbahan

alkohol pada kulit kerig

Edukasi :

1) Anjurkan menggunakan

pelembab (mis. Lotion,


serum)

2) Anjurkan menghindari

terpapar suhu ekstrem

I. Implementasi
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam implementasi juga meliputi pengumpulan
data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan
tindakan, serta menilai data yang baru. Pada proses keperawatan, implementasi
adalah fase ketika perawat mengimplementasikan intervensi keperawatan yang
telah direncanakan. Implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan
tindakan yang merupakan tindakan keperawatan yang khusus yang diperlukan untuk
melaksanakan intervensi atau rencana keperawatan. Perawat melaksanakan dan
mendelegasikan tindakan keperawatan untuk intervensi yang disusun dalam tahap
perencanaan dan kemudian mengakhiri tahap dalam implementasi dengan mencatat
tindakankeperawatan yang telah dilaksanakan dan respon pasien terhadap tindakan
keperawatan tersebut.

J. Evaluasi
Evaluasi adalah aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan, dan terarah
ketika pasien dan professional kesehatan menentukan kemajuan pasien menuju
pencapaian tujuan atau hasil, dan keefektifan rencana asuhan keperawatan. Tujuan
evaluasi keperawatan yaitu untuk menilai pencapaian tujuan pada rencana
keperawatan yang telah ditetapkan, mengidentifikasi variable-variabel yang akan
mempengaruhi pencapaian tujuan, dan mengambil keputusan apakah rencana
keperawatan diteruskan, dimodifikasi, atau dihentikan (Kozier, B., Erb, G., Berman,
A., & Snyder, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics. Subcommitteee on hyperbilirubinemia. Management of


hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Clinical
Practice Guidelines. Pediatrics. 2004;114:297-316..
Bhutani, V. K., R. J. Vilms, and L. Hamerman-Johnson. "Universal bilirubin screening for
severe neonatal hyperbilirubinemia." Journal of perinatology 30 (2010): S6-S15.
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Hiperbilirubinemia. Dalam: Neonatology;
Management. Procedures, On-Call Problems, Diseases and Drugs. New York. Lange
Medical Book/McGraw-Hill Co. 2004; 247-50.
Surjono A. hiperbilirubinemia pada neonatus : pendekatan kadar bilirubin bebas. Berkala
Ilmu Kedokteran 1995;27 43-46
Susiatmi,Sandi Ari; Mawarti, Retno hubungan Kelahiran premature dengan kejadian ikterus
neonatorum patologik pada bayi baru lahir di rsup panembahan senopati bantul tahun
2009.
Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A,
penyunting. Buku Ajar Neonatologi. Edisi 1. Jakarta: IDAI; 2008.h.147-69.
Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A,
penyunting. Buku Ajar Neonatologi (Edisi Ke-1). Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2010; p. 147-53.

Anda mungkin juga menyukai