Anda di halaman 1dari 7

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN HIPERBILIRUBIN

PADA BY. M.A USIA

Disusun Oleh :

Gloria Virginia Kaat

NIK :

A02236

2023

MAYAPADA HOSPITAL TANGERANG

RUANG PERINA-NICU
LAPORAN PENDAHULUAN HIPERBILIRUBIN

A. PENGERTIAN
Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin dalam darah,
baik oleh faktor fisiologik maupun non-fisiologik, yang secara klinis ditandai dengan
ikterus ( Mathindas, dkk, 2013).
Hiperbilirubinemia merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi baru
lahir. Pasien dengan hiperbilirubinemia neonatal diberi perawatan dengan fototerapi
dan transfusi tukar (Kristianti ,dkk, 2015).
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana menguningnya sklera, kulit
atau jaringan lain akibat perlekatan bilirubuin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin
dalam darah lebih dari 5mg/ml dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya gangguan
fungsional dari liper, sistem biliary, atau sistem hematologi ( Atikah & Jaya, 2016 ).
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam
darah berlebihan sehingga menimbulkan jaundice pada neonatus di sclera mata, kulit,
membran mukosa dan cairan tubuh (Ayu Niwang, 2016).
Ikterus fisiologis adalah warna kekuningan pada kulit yang timbul pada hari
ke-2 sampai ke-3 setelah lahir yang tidak mempunyai dasar patologis dan akan
menghilang dengan sendirinya pada hari ke-10 (Susilaningrum dkk, 2013).
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat
penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5
mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya gangguan fungsional dari hepar,
sistem biliary, atau sistem hematologi (Rukiyah & Yulianti, 2019).
Ikterus, jaundice, atau “sakit kuning” adalah warna kuning pada sclera mata,
mukosa, dan kulit oleh karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah
(hyperbilirubinemia) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan bilirubin dalam
cairan luar sel (extracellular fluid) (Widagdo, 2012).
Ikterus Neonatorum adalah diskolorisasi kuning penumpukan pada kulit/organ
lain akibat penumpukan bilirubin dalam darah (Sukarni & Sudarti, 2014).

B. KLASIFIKASI
Atikah dan Jaya, (2016), membagi ikterus menjadi 2 :
a. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis sering dijumpai pada bayi dengan berat lahir rendah, dan
biasanya akan timbul pada hari kedua lalu menghilang setelah minggu kedua.
Ikterus fisiologis muncul pada hari kedua dan ketiga. Bayi aterm yang mengalami
hiperbilirubin memiliki kadar bilirubin yang tidak lebih dari 12 mg/dl, pada BBLR
10 mg/dl, dan dapat hilang pada hari ke-14. Penyebabnya ialah karena bayi
kekurangan protein Y, dan enzim glukoronil transferase.
b. Ikterus Patologis
Ikterus patologis merupakan ikterus yang timnbul segera dalam 24 jam pertama,
dan terus bertamha 5mg/dl setiap harinya, kadal bilirubin untuk bayi matur diatas
10 mg/dl, dan 15 mg/dl pada bayi prematur, kemudian menetap selama seminggu
kelahiran. Ikterus patologis sangat butuh penanganan dan perawatan khusus, hal
ini disebabkan karna ikterus patologis sangat berhubungan dengan penyakit
sepsis. Tanda-tandanya ialah :
1) Ikterus muncul dalam 24jam pertama dan kadal melebihi 12mg/dl.
2) Terjadi peningkatan kadar bilirubin sebanyak 5 mg/dl dalam 24jam.
3) Ikterus yang disertai dengan hemolisis.
4) Ikterus akan menetap setelah bayi berumur 10 hari pada bayi aterm , dan 14
hari pada bayi BBLR.

Menurut Kramer, ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Untuk
penilaian ikterus, Kramer membagi tubuh bayi baru lahir dalam lima bagian yang di
mulai dari kepala dan leher, dada sampai pusat, pusat bagian bawah sampai tumit,
tumit pergelangan kaki dan bahu pergelangan tangan dan kaki serta tangan termasuk
telapak kaki dan telapak tangan.
Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk di tempat yang
tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut, dan lain lain. Kemudian
penilaian kadar bilirubin dari tiap tiap nomor di sesuaikan dengan angka rata-rata
dalam gambar. Cara ini juga tidak menunjukkan intensitas ikterus yang tepat di dalam
plasma bayi baru lahir. Nomor urut menunjukkan arah meluasnya ikterus.
Tabel. Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer

Perkiraan
Daerah Ikterus Kadar
Bilirubin
I Kepala dan leher 5,0 mg%
II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 9,0 mg%
III Sampai badan bawah (di bawah umbilikus) 11,4 mg/dl
hingga tungkai atas (di atas lutut)
IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg/dl
V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg/dl

Atikah & Jaya (2016)

C. ETIOLOGI
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan.
Penyebab yang sering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat
inkopatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini dapat
pula timbul karna adanya perdarahan tertutup (hematoma cepal, perdarahan
subaponeurotik) atau inkompatibilitas golongan darah Rh. Infeksi juga memegang
peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia; keadaaan ini terutama terjadi
pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Faktor lain yaitu hipoksia atau asfiksia,
dehidrasi dan asiosis, hipoglikemia, dan polisitemia (Atikah & Jaya, 2016).
Nelson, (2011), secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
a. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah
lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase
(sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam
hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar.Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar
hepar.Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

Etiologi ikterus yang sering ditemu-kan ialah: hiperbilirubinemia fisiologik,


inkompabilitas golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk jaundice, infeksi,
bayi dari ibu penyandang diabetes melitus, dan polisitemia/hiperviskositas.
Etiologi yang jarang ditemukan yaitu: defisiensi G6PD, defisiensi piruvat kinase,
sferositosis kongenital, sindrom Lucey-Driscoll, penyakit Crigler-Najjar, hipo-
tiroid, dan hemoglobinopati. (Mathindas, dkk , 2013).

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Tampak ikterus; sklera, kuku, atau kulit dan membran mukosa, jaundice yang
tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik pada bayi baru
lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetic atau infeksi. Jaundice yang tampak pada
hari ke-2 atau hari ke-3 dan mencapai puncak pada hari ke-3 atau ke-4 dan
menurun pada hari ke-5 sampai hari ke-7 yang biasanya merupakan jaundice
fisiologis. Ikterus adalah akibat dari pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang
cenderung tampak kuning terang atau orange, icterus pada tipe obstruksi (bilirubin
direk) kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh.perbedaan ini hanya
dapat dilihat pada iterus yang berat.
2. Muntah, anoreksia, fatigue, warna urine gelap, warna tinja pucat.

Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada bayi dengan hiperbilirubinemia


diantaranya :

1. Ikterus pada kulit dan konjungtiva, mukosa, dan alat-alat tubuh lainnya. Bila
ditekan akan timbul kuning.
2. Bilirubin direk ditandai dengan kulit kuning kehijauan dan keruh pada ikterus
berat.
3. Bilirubin indirek ditandai dengan kulit kuning terang pada ikterus berat.
4. Bayi menjadi lesu.
5. Bayi menjadi malas minum.
6. Tanda-tanda klinis ikterus jarang muncul.
7. Letargi.
8. Tonus otot meningkat.
9. Leher kaku.
10. Opistotonus.
11. Muntah, anorexia, fatigue, warna urine gelap, warna tinja pucat.

(Mitayani, 2012 : 192


E. PATOFISIOLOGI
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari
katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Karena sifat
hidrofobiknya, bilirubin tak terkonjugasi diangkut dalam plasma, terikat erat pada
albumin. Ketika mencapai hati, bilirubin diangkut ke dalam hepatosit, terikat dengan
ligandin. Setelah diekskresikan ke dalam usus melalui empedu, bilirubin direduksi
menjadi tetrapirol tak berwarna oleh mikroba di usus besar.
Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diserap kembali ke dalam sirkulasi,
sehingga meningkatkan bilirubin plasma total (Mathindas ,dkk, 2013). Bilirubin
mengalami peningkatan pada beberapa keadaan. Kondisi yang sering ditemukan ialah
meningkatnya beban berlebih pada sel hepar, yang mana sering ditemukan bahwa sel
hepar tersebut belum berfungsi sempurna. Hal ini dapat ditemukan apabila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, pendeknya umur eritrosit pada janin
atau bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, dan atau terdapatnya peningkatan
sirkulasi enterohepatik (Atikah & Jaya, 2016).
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah rusak.
Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan cara berikatan
dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian diekskresikan melalui
traktus gastrointestinal. Bayi memiliki usus yang belum sempurna, karna belum
terdapat bakteri pemecah, sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi
bilirubin indirek yang kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin
terus bersirkulasi (Atikah & Jaya, 2016).

F. PENCEGAHAN

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara terapeutik :
1) Fototerapi
Dilakukan apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 10 mg% dan berfungsi untuk
menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urin dengan oksidasi foto pada
bilirubin dari biliverdin. Langkah-langkah pelaksanaan fototerapi yaitu : a)
Membuka pakaian neonatus agar seluruh bagian tubuh neonatus kena sinar. b)
Menutup kedua mata dan gonat dengan penutup yang memantulkan cahaya. c)
Jarak neonatus dengan lampu kurang lebih 40 cm d) Mengubah posisi neonatus
setiap 6 jam sekali. e) Mengukur suhu setiap 6 jam sekali. f) Kemudian
memeriksa kadar bilirubin setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam 24
jam. g) Melakukan pemeriksaan HB secara berkala terutama pada penderita yang
mengalami hemolisis.
2) Fenoforbital
Dapat mengekskresi bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi.
Meningkatkan sintesis hepatis glukoronil transferase yang mana dapat
meningkatkan bilirubin konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen dalam
empedu, sintesis protein dimana dapat meningkatkan albumin untuk mengikat
bilirubin. Fenobarbital tidak begitu sering dianjurkan.
3) Transfusi Tukar
Apabila sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi atau kadar bilirubin indirek
lebih dari 20 mg%. Langkah penatalaksanaan saat transfusi tukar adalah sebagai
berikut : a. Sebaiknya neonatus dipuasakan 3-4 jam sebelum transfusi tukar. b.
Siapkan neonatus dikamar khusus. c. Pasang lampu pemanas dan arahkan kepada
neonatus. d. Tidurkan neonatus dalam keadaan terlentang dan buka pakaian ada
daerah perut. e. Lakukan transfusi tukar sesuai dengan protap. f. Lakukan
observasi keadaan umum neonatus, catat jumlah darah yang keluar dan masuk. g.
Lakukan pengawasan adanya perdarahan pada tali pusat. h. Periksa kadar Hb dan
bilirubin setiap 12 jam. (Suriadi dan Yulianni, 2006).

Penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara alami :


1) Bilirubin Indirek Penatalaksanaanya dengan metode penjemuran dengan sinar
ultraviolet ringan yaitu dari jam 07.00 – 09.00 pagi. Karena bilirubin fisioplogis
jenis ini tidak larut dalam air.
2) Bilirubin Direk Penatalaksanaannya yaitu dengan pemberian intake ASI yang
adekuat. Hal ini disarankan karna bilirubin direk dapat larut dalam air, dan akan
dikeluarkan melalui sistem pencernaan. (Atikah & Jaya, 2016 ; Widagdo, 2012).

H. DAFTAR PUSTAKA
Lagut, N. Y. F. N. (2023). PERAWATAN BAYI DENGAN
HIPERBILIRUBINEMIA. Evidence-Based Practice Pada Perawatan Bayi Baru
Lahir, 201.
Atikah,M,V & Jaya,P. 2016. Buku Ajar Kebidanan Pada Neonatus, Bayi, dan Balita. Jakarta.
CV.Trans Info Media
Mathindas, S. Wiliar,R. Wahani,A . 2013. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Jurnal
Biomedik, Volume 5, Nomor 1, Suplemen
Kristanti ,H,M. Etika,R. Lestari,P . 2015. Hyperbilirubinemia Treatment Of Neonatus. Folia
Medica Indonesian Vol. 51

Anda mungkin juga menyukai