OLEH:
NI MADE SUYASMINI
NIM. P07120320078
PRODI NERS KELAS C
2. Penyebab/Faktor Predisposisi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan.
Penyebab yang sering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat
inkopatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Infeksi juga
memegang peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia; keadaaan ini
terutama terjadi pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Faktor lain yaitu
hipoksia atau asfiksia, dehidrasi dan asiosis, hipoglikemia, dan polisitemia
(Atikah & Jaya, 2016).
Nelson, (2011), secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat
dibagi:
a. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya
pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0,
golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan
tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar,
akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim
glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu
defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam
“uptake” bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih
banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar
hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh
penyebab lain.
Etiologi ikterus yang sering ditemu-kan ialah: hiperbilirubinemia
fisiologik, inkompabilitas golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk
jaundice, infeksi, bayi dari ibu penyandang diabetes melitus, dan
polisitemia/hiperviskositas.
Etiologi yang jarang ditemukan yaitu: defisiensi G6PD, defisiensi
piruvat kinase, sferositosis kongenital, sindrom Lucey-Driscoll, penyakit
Crigler-Najjar, hipo-tiroid, dan hemoglobinopati (Mathindas, dkk, 2013).
3. Pohon Masalah
Hemoglobin
Globin Hema
Bilivirdin Feco
5. Gejala Klinis
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin
serumnya kira-kira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2007). Ikterus sebagai akibat
penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai kecenderungan
menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi
(bilirubin direk) memperlihatkan warna kuningkehijauan atau kuning kotor.
Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat.
a. Gambaran klinis ikterus secara umum
1) Kulit berwarna kuning sampai jingga
2) Pasien tampak lemah
3) Nafsu makan berkurang
4) Reflek hisap kurang
5) Urine pekat
6) Perut buncit
7) Pembesaran lien dan hati
8) Gangguan neurologic
9) Feses seperti dempul
10) Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
11) Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa.
12) Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, sepsis atau ibu dengan diabetk atau infeksi.
13) Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak
pada hari ke 3 -4 dan menurun ha
b. ri ke 5-7 yang biasanya merupakan jaundice fisiologi.Gambaran klinis
ikterus fisiologis:
1) Tampak pada hari 3,4
2) Bayi tampak sehat (normal)
3) Kadar bilirubin total <12mg%
4) Menghilang paling lambat 10-14 hari
5) Tak ada faktor resiko
6) Sebab: proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis)
(Sarwono et al, 2005).
c. Gambaran klinik ikterus patologis:
1) Timbul pada umur <36 jam
2) Cepat berkembang
3) Bisa disertai anemia
4) Menghilang lebih dari 2 minggu
5) Ada faktor resiko
6) Dasar: proses patologis (Sarwono et al, 2005).
Tampak ikterus pada sklera, kuku, dan sebagian besar kulit serta membran
mukosa. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama sejak bayi lahir
disebabkan oleh penyakit hemolitik, sepsis atau ibu dengan diabetik dan
infeksi. Jaundice yang tampak pada hari ke-2 atau ke-3 dan mencapai puncak
pada hari ke-3 sampaike-4 serta menurun pada hari ke-5 sapai hari ke-7
biasanya merupakan jaundice fisiologis. Gejala kernikterus berupa kulit
kuning kehijauan, muntah, anorexia, fatique, warna urine gelap, warna tinja
seperti dempul, letargi (lemas), kejang, tak mau menetek, tonus otot meninggi
dan akhirnya opistotonus. (Ngastiyah, 2005).
6. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a. Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan bilirubin mencapai puncak kira-kira 6 mg/dl,
antara 2 sampai 4 hari kehidupan. Apabila nilainya diatas 10 mg/dl, tidak
fisiologis. Pada bayi dengan prematur kadar bilirubin mencapai
puncaknnya 10-12 mg/dl, antara 5 dan 7 hari kehidupan. Kadar bilirubin
yang lebih dari 14 mg/dl adalah tidak fisiologis. Dari Brown AK dalam
text-books of Pediatrics 1996: ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan,
bilirubin indirek munculnya ikterus 2 sampai 3 hari dan hilang 4 sampai
5 hari dengan kadar bilirubin yang mencapai puncak 10-12 mg/dl.
Sedangkan pada bayi prematur, bilirubin indirek munculnya 3 sampai 4
hari dan hilang 7 sampai 9 hari dengan kadar bilirubin yang mencapai
puncak 15 mg/dl. Dengan peningkatan kadar bilirubin indirek kurang
dari 5 mg/dl/hari. Pada ikterus patologis meningkatnya bilirubin lebih
dari 5 mg/dl perhari, dan kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl.
b. Ultrasound untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu
c. Radioisotope scan dapat digunakan untuk membantu membedakan
hepatitis dari atresia biliary.
d. Bilirubin total
Kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5 mg/dl,
yang mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tidak
terkonjugasi) tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam,
atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dl
pada bayi praterm (tergantung pada berat badan).
e. Hitung darah lengkap
Hemoglobin (Hb) mungkin rendah (kurang dari 14 g/dl) karena
hemolisis. Hematokrit (Ht) mungkin meningkat (lebih besar dari 65%)
pada polisitemia, penurunan (kurang dari 45%) dengan hemolisis dan
anemia berlebihan (Marlynn, 2001).
7. Penatalaksanaan Medis
Dalam penanganan ikterus cara-cara yang dipakai diantaranya:
a. Menyusui bayi
Bilirubin juga dapat dipecah jika bayi banyak mengeluarkan feses
dan urine. Untuk itu bayi harus mendapat ASI yang cukup. Pemberian
ASI akan meningkatkan motilitas usus dan juga menyebabkan bakteri
diintroduksi ke usus. Bakteri dapat mengubah bilirubin direk menjadi
urobilin yang tidak dapat diarbsorbsi kembali. Dengan demikian, kadar
bilirubin serum akan turun.
b. Terapi sinar matahari
Meletakkan bayi di bawah sinar matahari selama 15 – 20 menit, ini
dilakukan setiap hari antara pukul 06.30 – 08.00. Biasanya dianjurkan
setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Selama ikterus masih terlihat,
perawat harus memperhatikan pemberian minum. Hindari posisi yang
membuat bayi melihat langsung kea rah matahari karena dapat merusak
matanya ( Suriadi, 2001).
Penatalaksanaan
a. Fototerapi
Fototerapi rumah sakit merupakan tindakan yang efektif untuk
mencegah kadar total bilirubin serum meningkat. Terapi sinar atau
fototerapi dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar
bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan
fototerapi bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecah dan menjadi mudah
larut dalam air tanpa harus diubah dahulu oleh organ hati dan dapat
dikeluarkan melalui urine dan feses sehingga kadar bilirubin menurun. Di
samping itu, pada terapi sinar terapi ditemukan pola peninggian
konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum dan
menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus
sehingga peristaltic usus meningkat dan bilirubin akan keluar bersama
feses.
Penggunaan fototerapi sesuai anjuran dokter biasanya diberikan pada
neonatus dengan kadar bilirubin indirek lebih dari 10 mg%, sebelum
transfusi tukar, atau sesudah transfusi tukar. Terapi sinar tidak banyak
bermanfaat untuk njeonatus dengan gangguan motilitas usus, obstruksi
usus atau saluran cerna, neonatus yang tidak mendapat minum secara
adekuat, karena penurunan perilstaltik usus akan mengakibatkan
meningkatnya reabsorpsi enterohepatik bilirubin sehingga seolah-olah
terapi sinar tidak bekerja secara efektif.
Selama fototerapi, bayi yang tidak berpakaian diletakkan kira-kira 36
cm sampai 40 cm dibawah cahaya selama beberapa jam atau beberapa
hari sampai kadar bilirubin serum menurun ke nilai yang bisa diterima.
Setelah terapi dihentikan, bayi harus periksa kembali beberapa jam
kemudian untuk memastikan apakah nilai bilirubin tidak meningkat lagi
(Jensen, 2005).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan terapi sinar
ialah:
1) Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500 jam,
untuk menghindarkan turunnya energi yang dihasilkan oleh lampu
yang digunakan.
2) Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena
sinar.
3) Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya untuk mencegah kerusakan retina. Penutup mata dilepas saat
pemberian minum dan kunjungan orang tua untuk memberikan
rangsang visual pada neonatus. Pemantauan iritasi mata dilakukan
tiap 6 jam dengan membuka penutup mata.
4) Daerah kemaluan ditutup, dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya untuk melindungi daerah kemaluan dari cahaya fototerapi.
5) Posisi lampu diatur dengan jarak 20-30 cm di atas tubuh bayi, untuk
mendapatkan energi yang optimal.
6) Posisi bayi diubah tiap 8 jam, agar tubuh mendapat penyinaran
seluas mungkin
7) Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila perlu.
8) Pemasukan cairan dan minuman dan pengeluaran urine, feses dan
muntah diukur, di catat dan dilakukan pemantaun tanda dehidrasi.
9) Hidrasi bayi diperhatikan, bila perlu konsumsi cairan ditingkatkan.
10) Lamanya terapi sinar dicatat.
b. Transfusi tukar
Transfuse tukar adalah cara yang paling tepat untuk mengobati
hiperbilirubinemia pada neonatus. Transfuse tukar dilakukan pada
keadaan hiperbilirubinemia yang tidak dapat diatasi dengan tindakan lain
misalnya telah diberikan terapi sinar tetapi kadar bilirubin tetap tinggi.
Indikasi untuk melakukan transfuse tukar adalah kadar bilirubin indirek
lebih dari 20 mg%, kenaikan kadar bilirubin indirek cepat, yaitu 0,3-1 mg
%/ jam (Surasmi, 2013).
b. Bilirubin Direk
Penatalaksanaannya yaitu dengan pemberian intake ASI yang adekuat.
Hal ini disarankan karna bilirubin direk dapat larut dalam air, dan akan
dikeluarkan melalui sistem pencernaan. (Atikah & Jaya, 2016 ; Widagdo,
2012).
8. Komplikasi
Kadar bilirubin indirek yang sangat tinggi dapat menembus sawar otak
dan sel-sel otak, hal ini dapat menyebabkan terjadinya disfungsi saraf bahkan
kematian. Mekanisme dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
disfungsi saraf ini masih belum jelas. Bilirubin ensefalopati adalah
manifestasi klinis yang timbul akibat efek toksik bilirubin pada sistem saraf
pusat yaitu basal ganglia dan pada beberapa nuklei batang otak (Lauer dan
Nancy, 2011). Kern ikterus adalah perubahan neuropatologi yang ditandai
oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama di
ganglia basalis, pons dan serebelum. Akut bilirubin ensefalopati terdiri dari 3
fase yaitu:
a. Fase Inisial: ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya gerakan
bayi dan reflek hisap buruk.
b. Fase Intermediate: tanda-tanda kardinal fase ini adalah moderate stupor,
iritabilitas dan peningkatan tonus (retrocollis dan opisthotonus). Demam
muncul selama fase ini.
c. Fase Lanjut: ditandai dengan stupor yang dalam atau koma, peningkatan
tonus, tidak mampu makan, high-pitch cry dan kadang kejang.
Manifestasi klinis kernikterus: pada tahap kronis bilirubin ensefalopati,
bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa bentuk athetoid
cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran, paralisis upward gaze dan
displasia dental- enamel (American Academy of Pediatrics, 2004).
Kebutuhan sehari-hari
a. Nutrisi
Pada umumnya bayi malas minum (refleks mengisap dan menelan
lemah) sehingga berat badan (BB) bayi mengalami penurunan. Palpasi
abdomen dapat menunjukan pembesaran limpa, hepar.
b. Eliminasi
Biasanya bayi mengalami diare, urin mengalami perubahan warna gelap
pekat, hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze) dan feses mungkin lunak/
cokelat kehijauan selama pengeluaran bilirubin. Bising usus hipoaktif,
pasase mekonium mungkin lambat.
c. Istirahat
Bayi tampak cengeng dan mudah terbangun.
d. Aktifitas
Bayi biasanya mengalami penurunan aktifitas, letargi, hipototonus dan
mudah terusik.
e. Personal hygiene
Kebutuhan personal hygiene bayi oleh keluarga terutama ibu.
f. Neurosensori
Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang
parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran/kelahiran ekstraksi
vakum. Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidros fetalis mungkin
ada dengan inkompatibilitis Rh berat.
g. Pernapasan Riwayat asfiksia
Krekels, mukus bercak merah muda (edema pleural, hemoragi pulmonal)
Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum: Tampak lemah, pucat, ikterus dan aktivitas menurun
b. Kepala, leher: Bisa dijumpai ikterus pada mata (sclera) dan selaput /
mukosa pada mulut. Dapat juga diidentifikasi ikterus dengan melakukan
Tekanan langsung pada daerah menonjol untuk bayi dengan kulit bersih
(kuning), dapat juga dijumpai cianosis pada bayi yang hypoksia
c. Dada: Selain akan ditemukan tanda ikterus juga dapat ditemukan tanda
peningkatan frekuensi nafas, status kardiologi menunjukkan adanya
tachicardia, khususnya ikterus yang disebabkan oleh adanya infeksi
d. Perut: Peningkatan dan penurunan bising usus /peristaltic perlu dicermati.
Hal ini berhubungan dengan indikasi penatalaksanaan fototerapi.
Gangguan Peristaltik tidak diindikasikan fototerapi, Perut membuncit,
muntah, mencret merupakan akibat gangguan metabolisme bilirubin
enterohepatik, splenomegali dan hepatomegali dapat dihubungkan
dengan Sepsis bacterial, tixoplasmosis, rubella
e. Urogenital: Urine kuning dan pekat, Adanya faeces yang pucat / acholis /
seperti dempul atau kapur merupakan akibat dari gangguan / atresia
saluran empedu
f. Ekstremitas: Menunjukkan tonus otot yang lemah
g. Kulit: Tanda dehidrasi ditunjukkan dengan turgor jelek. Elastisitas
menurun, Perdarahan bawah kulit ditunjukkan dengan ptechia,
echimosis, ikterus pada kulit dan sklera mata.
h. Pemriksaan Neurologis: Adanya kejang, epistotonus, lethargy dan lain-
lain menunjukkan adanya tanda- tanda kern – ikterus (Surasmi, 2013)
Pemeriksaan Penunjang
a. Darah: DL, Bilirubin > 10 mg %.
b. Biakan darah, CRP menunjukkan adanya infeksi.
c. Screnning enzim G6PD (glucose 6 phosphate dheydrogenase)
menunjukkan adanya penurunan.
d. Screnning Ikterus melalui metode Kramer.
e. Pemeriksaan Bilirubin Direct >0,2 mg/dl.
f. Pemeriksaan Bilirubin Indirect >0,60-10,50 mg/dl.
g. Pemeriksaan Bilirubin Total >12 mg/dl (Suriadi, 2001).
2. Diagnosis Keperawatan
a. Ikterik neonatus
b. Termoregulasi tidak efektif
c. Risiko hipovolemia
d. Resiko gangguan integritas kulit/jaringan
Subjektif
(Tidak Tersedia)
Objektif
€ Kulit dingin/hangat
€ Menggigil
€ Suhu tubuh fluktuatif
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
(Tidak Tersedia)
Objektif
€ Piloreksi
€ Pengisian kapiler >3
detik
€ Tekanan darah
meningkat
€ Pucat
€ Frekuensi napas
meningkat
€ Takikardia
€ Kejang
€ Kulit kemerahan
€ Dasar kuku sianotik
Kondisi Klinis Terkait
€ Cedera Medula
Spinalis
€ Infeksi/sepsis
€ Pembedahan
€ Cedera Otak Akut
€ Trauma
3. Risiko Hipovolemia Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipovolemia
Definisi: keperawatan selama …...x…... Observasi:
menit diharapkan Status cairan • Periksan tanda dan gejala
Berisiko mengalami
Membaik dengan kriteria hasil: hipovolemias (mis. Nadi
penurunan volume cairan
meningkat, nadi teraba
instravaskular, interstisial, • Kekuatan nadi (5)
lemah, tekanan darah
dan/atau intraseslukler. • Turgor kulit (5)
menurun, tekanan nadi
• Output urine (5)
Faktor Risiko: menyempit, turgor kulit
• Pengsisian vena (5)
menurun, membrane mukosa
• Kehilangan cairan aktif • Frekuensi nadi (5)
kering, volume urine
• Kegagalan mekanisme • Tekanan darah (5)
regulasi • Tekanan nadi (5) menurun, hematokrit
• Peningkatan • Membrane mukosa (5) meningkat, haus, lemah)
permeabilitas kapiler • Jugular Venous Pressure • Monitor intake dan output
• Kekurangan intake (JVP) (5) cairan
cairan Terapeutik
• Evaporasi
• Hitung kebutuhan cairan
• Kekurangan intake
• Berikan posisi modified
cairan
Trendelenburg
• Efek agen
• Berikan asuoan cairan oral
farmakologis
Edukasi
Kondisi Klinis Terkait:
• Anjurnkan memperbanyak
• Penyakit Addison
asupan cairan oral
• Trauma atau
• Anjurkan menghindari
perdarahan
perubahan posisi mendadak
• Luka bakar
Kolaborasi
• AIDS
• Penyakit Crohn • Kolaborasi pemberian cairan
• Muntah IV isotonis (mis. NaCl, RL)
• Diare • Kolaborasi pemberian cairan
IV hipotonis (mis. Glukosa
2,5%, NaCl 0,4%)
• Kolaborasi pemberian cairan
koloid (mis. Albumin,
Plasmanate)
• Kolaborasi pemberian
produk darah.
4. Risiko Gangguan Setelah dilakukan tindakan Perawatan Integritas Kulit
Integritas Kulit/Jaringan keperawatan selama … x …., Observasi :
Definisi : diharapkan Integritas Kulit / • Identifikasi penyebab
Berisiko mengalami Jaringan Meningkat dengan gangguan integritas kulit
kerusakan kulit (dermis, kriteria hasil : (mis. Perubahan sirkulasi,
dan/atau epidermis) atau • Elastisitas (5) perubahan status nutrisi,
jaringan (membrane • Perfusi jaringan (5) penurunan kelembaban
mukosa, kornea, fasia, otot, • Hidrasi (5) kulit, suhu lingkungan
tendon, tulang, kartilago, • Kerusakan jaringan (5) ekstrem, penurunan
kapsul sendi dan/atau • Kerusakan lapisan kulit (5) mobilisasi)
ligament) • Nyeri (5) Terapeutik
Faktor Risiko : • Perdarahan (5) • Ubah posisi setiap 2 jam
• Perubahan sirkulasi • Kemerahan (5) sekali
• Perubahan status nutrisi • Hematoma (5) • Lakukan pemijatan pada
(kelebihan atau • Pigmentasi abnormal (5) area penonjolan tulang, jika
kekurangan) • Nekrosis (5) perlu
• Kekurangan atau • Abrasi kornea (5) • Bersihkan perineal dengan
kelebihan volume cairan • Suhu kulit (5) air hangat, terutama selama
• Penurunan mobilitas • Sensai (5) periode diare
• Bahan kimia iritatif • Tekstur (5) • Gunakan produk berbahan
• Suhu lungkungan yang • Pertumbuhan rambut (5) petroleum atau minyak pada
ekstrem kulit kering
• Factor mekanis (mis. • Gunakan produk berbahan
Penekanan, gesekan) ringan / alami dan
atau factor elektris hipoalergik pada kulit
(elektrodiatermi, energi sensitive
listrik bertegangan • Hindari produk berbahan
tinggi) dasar alcohol pada kulit
• Terapi radiasi kering
• Kelembaban Edukasi :
• Proses penuaan • Anjurkan penggunaan
• Neuropati perifer pelembab (mis. Lotion atau
• Perubahan pigmentasi serum)
• Perubahan hormonal • Anjurkan minum air yang
• Penekanan pada tonjolan cukup
tulang • Anjurkan meningkatkan
• Kurang terpapar asupan nutrisi
informasi tentang upaya • Anjurkan meningkatkan
mempertahankan asupan buah dan sayur
/melindungi integritas • Anjurkan menghindari suhu
jaringan ekstrem
Kondisi Klinis Terkait • Anjurkan menggunakan
• Imobilisasi tabir surya SPF minimal 30
• Gagal jantung kongestif saat berada di luar rumah
• Diabetes melitus • Anjurkan mandi dan
• Imunodefisiensi (mis. menggunakan sabun
AIDS) secukupnya
• Katerisasi jantung
4. Implementasi keperawatan
Implementasi disesuaikan dengan intervensi keperawatan.
5. Evaluasi
a. Evaluasi Formatif (merefleksikan observasi perawat dan analisis
terhadap klien terhadap respon langsung pada intervensi keperawatan).
b. Evaluasi Sumatif (merefleksikan rekapitulasi dan sinopsis observasi dan
analisis mengenai status kesehatan klien terhadap waktu).
DAFTAR PUSTAKA
Atikah.M.V & Jaya,P. 2015. Buku Ajar Kebidanan Pada Neonatus, Bayi, dan
Balita. Jakarta. CV.Trans Info Media
Kristanti.H.M. Etika,R. Lestari,P . 2015. Hyperbilirubinemia Treatment Of
Neonatus. Folia Medica Indonesian Vol. 51
Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius
Mathindas, S. Wiliar,R. Wahani,A . 2013. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus.
Nelson. Waldo E. dkk. 2011. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1.
Jakarta. EGC
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC
Sarwono, Erwin, et al. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/ UPF Ilmu
Kesehatan Anak. Ikterus Neonatorum(Hyperbilirubinemia Neonatorum).
Surabaya: RSUD Dr.Soetomo
Surasmi, A. Handayani, S. Kusuma, H, N. 2003. Perawatan bayi risiko tinggi.
Jakarta . EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
PPNI.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Intervensi Keperawatan Indoneisa:
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat PPNI.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat PPNI.
LEMBAR PENGESAHAN
Denpasar, . . . . . . . . . . . .2020
Mengetahui,
Nama Pembimbing Nama Mahasiswa