Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS


Dosen Pengampu : Sutarmi, MN

Disusun Oleh :
Dini Rahayu Septiyani
Tingkat II A
P1337420415019

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG


PRODI DIII KEPERAWATAN BLORA
TAHUN AJARAN 2016/2017
HIPERBILIRUBINEMIA
A. DEFINISI
Menurut Slusher (2013) Hiperbilirubin merupakan suatu kondisi di mana produksi
bilirurin yang berlebihan di dalam darah. Menurut Lubis (2013), Hiperbilirubinemia
merupakan salah satu fenomena klinis tersering ditemukan pada bayi baru lahir, dapat
disebabkan oleh proses fisiologis, atau patologis, atau kombinasi keduanya.
Ikterus neonatorum adalah suatu keadaan pada bayi baru lahir dimana kadar bilirubin
serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama dengan ditandai adanya ikterus yang
bersifat patologis (Alimun,H,A : 2005). Jadi, dari beberapa pengertian di atas dapat di
simpulkan bahwa hiperbilirubin merupakan suatu kondisi di mana kadar bilirubin yang
berlebihan dalam darah yang biasa terjadi pada neonatus baik secara fisologis, patologis
maupun keduanya.
B. KLASIFIKASI
Ikterus neonatorum dibagi menjadi ikterus fisiologis dan patologis ( Ngastiyah,1997).
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang
tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan
atau mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas
pada bayi. Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah ikterus
yang memiliki karakteristik sebagai berikut menurut (Hanifah, 1987), dan (Callhon,
1996), (Tarigan, 2003) dalam (Schwats, 2005):
a. Timbul pada hari kedua - ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus
cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
e. Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai hubungan dengan
keadaan patologis tertentu.
g. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia dengan
karakteristik sebagai berikut Menurut (Surasmi, 2003) bila:
1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus < bulan dan 12,5
mg% pada neonatus cukup bulan.
4) Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD
dan sepsis).
5) Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia,
hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia,
hiperosmolalitas darah.
2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin
dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern
ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan
keadaan yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin
mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly
menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
3. Kern Ikterus.
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak
terutama pada korpus striatum, talamus, nucleus subtalamus, hipokampus, nukleus
merah, dan nukleus pada dasar ventrikulus IV.
Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus
cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit
hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus
secara klinis berbentuk kelainan syaraf simpatis yang terjadi secara kronik.
C. Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus :
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan
dapat disusun sebagai berikut :
a. Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
b. Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri)
c. Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
a. Kadar Bilirubin Serum berkala.
b. Darah tepi lengkap.
c. Golongan darah ibu dan bayi.
d. Test Coombs.
e. Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila perlu.
2. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.
a. Biasanya Ikterus fisiologis.
b. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan lain.
Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24
jam.
c. Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
d. Polisetimia.
e. Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis, pendarahan Hepar, sub
kapsula dll).
Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang perlu
dilakukan:
a. Pemeriksaan darah tepi.
b. Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
c. Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
d. Pemeriksaan lain bila perlu.
3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.
a. Sepsis.
b. Dehidrasi dan Asidosis.
c. Defisiensi Enzim G6PD.
d. Pengaruh obat-obat.
e. Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.
4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:
a. Karena ikterus obstruktif.
b. Hipotiroidisme
c. Breast milk Jaundice.
d. Infeksi.
e. Hepatitis Neonatal.
f. Galaktosemia.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:
a. Pemeriksaan Bilirubin berkala.
b. Pemeriksaan darah tepi.
c. Skrining Enzim G6PD.
d. Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.
D. ETIOLOGI
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena keadaan sebagai
berikut ;
1. Polychetemia (Peningkatan jumlah sel darah merah)
2. Isoimmun Hemolytic Disease
3. Kelainan struktur dan enzim sel darah merah
4. Keracunan obat (hemolisis kimia; salisilat, kortikosteroid, kloramfenikol)
5. Hemolisis ekstravaskuler
6. Cephalhematoma
7. Ecchymosis
8. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi empedu (atresia
biliari), infeksi, masalah metabolik galaktosemia, hipotiroid jaundice ASI
9. Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi, hipoglikemi. Menurunnya ikatan albumin; lahir
prematur, asidosis.
E. Rumus Kramer
Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin

1 Kepala dan Leher 5 mg%

2 Daerah 1 + badan bagian atas 9 mg%

3 Daerah 1, 2 + badan bagian bawah dan 11 mg%


tungkai

4 Daerah 1, 2, 3 + lengan dan kaki dibawah 12 mg%


lutut

5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16 mg%


F. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin adalah :
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik pada
bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak pada hari
ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai hari ke tujuh yang
biasanya merupakan jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung tampak
kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak
berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus
yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul
6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus, kejang,
stenosis yang disertai ketegangan otot.
G. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan sel darah
merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan masuk sirkulasi, diimana hemoglobin
pecah menjadi heme dan globin. Gloobin {protein} digunakan kembali oleh tubuh sedangkan
heme akan diruah menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin
pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi,
meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi
enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat
oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan
gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita
gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu
intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak.
Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang
memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar
darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari
tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin
indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas.
Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang
karena trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang
sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang
berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit,
Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau
pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik
dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan
terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah
otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul
apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin
melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin
Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan BBLR ,
hipoksia, dan hipoglikemia.
H. PATHWAY

I. KOMPLIKASI
1. Bilirubin encephahalopathi
2. Kernikterus ;kerusakan neurologis ; cerebral palis, retardasi mental, hyperaktif, bicara
lambat, tidak ada koordinat otot dan tangisan yang melengking.
3. Asfiksia
4. Hipotermi
5. Hipoglikemi
J. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratorium (Pemeriksan Darah)
a. Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih dari 14 mg/dl
dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan keadaan yang tidak
fisiologis.
b. Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
c. Protein serum total.
2. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
3. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan hapatitis dan atresia
billiari.
K. PENATALAKSANAAN
1. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini (pemberian ASI).
2. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran, misalnya sulfa
furokolin.
3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
4. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi.
Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang mana dapat meningkatkan
billirubin konjugasi dan clereance hepatik pigmen dalam empedu. Fenobarbital tidak
begitu sering digunakan.
5. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
6. Fototerapi
Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin patologis dan berfungsi
untuk menurunkan billirubin dikulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada
billirubin dari billiverdin.
7. Transfusi tukar.
Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto terapi.
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia
diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia.
Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus
Albumin dan Therapi Obat. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
1. Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti
untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang
tinggi ( a bound of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum ) akan
menurunkan Bilirubin dalam kulit.Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara
memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang
diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut
Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui
mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim
ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum
untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch,
1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat
dikeluarkan melalui urine.Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan
peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan
Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.Secara umum Fototherapi harus diberikan pada
kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari
1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan
mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi
Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
2. Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
b. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
c. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
d. Tes Coombs Positif
e. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
f. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
g. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
h. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
i. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
a. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah
merah terhadap Antibodi Maternal.
b. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
c. Menghilangkan Serum Bilirubin
Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan
Bilirubin Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera
(kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung
antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek.
Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.
3. Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan
pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan.
Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek
sampingnya (letargi).Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya
lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.
L. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan Data
a. Riwayat Penyakit
Perlunya ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama, apakah
sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obat atau jamu tertentu baik dari dokter
maupun yang di beli sendiri, apakah ada riwayat kontak denagn penderiata sakit
kuning, adakah rwayat operasi empedu, adakah riwayat mendapatkan suntikan atau
transfuse darah. Ditemukan adanya riwayat gangguan hemolissi darah
(ketidaksesuaian golongan Rh atau darah ABO), polisitemia, infeksi, hematoma,
gangguan metabolisme hepar, obstruksi saluran pencernaan dan ASI, ibu menderita
DM.
b. Riwayat orang tua
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia,
Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
c. Pengkajian Psikososial
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa
bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
d. Pengetahuan Keluarga meliputi
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal
keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari
Hiperbilirubinemia.
e. Pola Kebutuhan sehari-hari.
Data dasar klien:
 Aktivitas / istirahat : Latergi, malas
 Sirkulasi : Mungkin pucat, menandakan anemia.
 Eliminasi : Bising usus hipoaktif, Pasase mekonium mungkin lambat, Feses
lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin,Urine gelap pekat, hitam
kecoklatan ( sindrom bayi bronze )
 Makanan/cairan : Riwayat perlambatan/makan oral buruk, ebih mungkin disusui
dari pada menyusu botol, Palpasi abdomen dapat menunjukkan perbesaran limfa,
hepar.
 Neurosensori : Hepatosplenomegali, atau hidropsfetalis dengan inkompatibilitas
Rh berat. Opistetanus dengan kekakuan lengkung punggung,menangislirih,
aktivitas kejang (tahap krisis).
 Pernafasan : Riwayat afiksia
 Keamanan : Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus , Tampak ikterik pada
awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh, kulit hitam kecoklatan
sebagai efek fototerapi.
 Penyuluhan/Pembelajaran : Faktor keluarga, misal: keturunan etnik, riwayat
hiperbilirubinemia pada kehamilan sebelumnya, penyakithepar,distrasias darah
(defisit glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G-6-PD). Faktor ibu, mencerna obat-
obat (misal: salisilat), inkompatibilitas Rh/ABO. Faktor penunjang
intrapartum, misal: persalinan pratern.
f. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus, ikterus terlihat
pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu eritema palmaris, jari tubuh
(clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk pemeriksaan organ hati (tentang
ukuran, tepid an permukaan); ditemukan adanya pembesaran limpa (splenomegali),
pelebaran kandung empedu, dan masa abdominal, selaput lender, kulit nerwarna
merah tua, urine pekat warna teh, letargi, hipotonus, reflek menghisap kurang/lemah,
peka rangsang, tremor, kejang, dan tangisan melengking
g. Pemeriksaan Diagnostik
 Golongan darah bayi dan ibu, mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
 Bilirubin total: kadar direk bermakna jika melebihi 1,0 – 1,5 mg/dL kadar indirek
tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dL dalam 24 jam, atau tidak boleh lebih
20 mg/dL pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dL pada bayi pratern.
 Darah lengkap: Hb mungkin rendah (< 1 mg/dL) karena hemolisis.
 Meter ikterik transkutan: mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan
bilirubin serum.
2. Pengelompokan Data
a. Data Subjektif
 Riwayat afiksia
 Riwayat trauma lahir
b. Data Objektif
 Tampak ikterik pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian
distal tubuh.
 Kulit hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi
 Hepatosplenomegali.
 Tahap krisis: epistetanus, aktivitas kejang
 Urine gelap pekat
 Bilirubin total:
 Kadar direk > 1,0 – 1,5 mg/dL
 Kadar indirek > 5 mg/dL dalam 24 jam, atau < 20 mg/dL pada bayi cukup
bulan atau 15 mg/dL pada bayi pratern.
 Protein serum total: < 3,0 g/dL
 Golongan darah bayi dan ibu inkompatibilitas ABI, Rh.
M. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul :
1. Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, serta
peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder fototherapi.
2. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi.
3. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
4. Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan perpisahan dan
penghalangan untuk gabung.
5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
7. Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit, infeksi) berhubungan
dengan tranfusi tukar.
8. PK : Kern Ikterus
N. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Risiko / defisit volume cairan b.d tidak adekuatnya intake cairan serta peningkatan IWL
dan defikasi sekunder fototherapi.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
deficit volume cairan dengan Kriteria Hasil :
 Jumlah intake dan output seimbang
 Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
 Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL
Intervensi & Rasional :
a. Kaji reflek hisap bayi
( Rasional / R : mengetahui kemampuan hisap bayi )
b. Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat
(R: menjamin keadekuatan intake )
c. Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces
( R : mengetahui kecukupan intake )
d. Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam
(R : turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda dehidrasi
)
e. Timbang BB setiap hari
(R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).
2. Risiko / hipertermi b.d efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
hipertermi dengan Kriteria Hasil :
 suhu aksilla stabil antara 36,5-37 0 C.
Intervensi dan Rasional :
a. Observasi suhu tubuh ( aksilla ) setiap 4 - 6 jam
(R : suhu terpantau secara rutin )
b. Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan kompres dingin
serta ekstra minum
( R : mengurangi pajanan sinar sementara )
c. Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi
( R : Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari hipertermi ).
3. Risiko / Gangguan integritas kulit b.d ekskresi bilirubin, efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
gangguan integritas kulit dengan Kriteria Hasil :
 tidak terjadi decubitus
 Kulit bersih dan lembab
Intervensi :
a. Kaji warna kulit tiap 8 jam
( R : mengetahui adanya perubahan warna kulit )
b. Ubah posisi setiap 2 jam
( R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu lama ).
c. Masase daerah yang menonjol
( R : melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di daerah
tersebut )
d. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab
( R : mencegah lecet )
e. Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun menjadi
7,5 mg% fototerafi dihentikan
( R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama )
4. Gangguan parenting ( perubahan peran orangtua ) b.d perpisahan dan penghalangan
untuk gabung.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan orang tua
dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment”, orang tua dapat mengekspresikan
ketidak mengertian proses Bounding.
Intervensi :
a. Bawa bayi ke ibu untuk disusui
( R : mempererat kontak sosial ibu dan bayi )
b. Buka tutup mata saat disusui
(R: untuk stimulasi sosial dengan ibu )
c. Anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya
(R: mempererat kontak dan stimulasi sosial ).
d. Libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan
( R: meningkatkan peran orangtua untuk merawat bayi ).
e. Dorong orang tua mengekspresikan perasaannya
( R: mengurangi beban psikis orangtua )
5. Kecemasan meningkat b.d therapi yang diberikan pada bayi.
Tujuan : Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang tua
menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif dalam
perawatan.
Intervensi :
a. Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien
( R : mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit )
b. Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya
( R : Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit )
c. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah
( R : meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam erawat bayi )
6. Risiko tinggi injury b.d efek fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
injury akibat fototerapi ( misal ; konjungtivitis, kerusakan jaringan kornea )
Intervensi :
a. Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya
( R : mencegah iritasi yang berlebihan ).
b. Biarkan neonatus dalam keadaan telanjang, kecuali pada mata dan daerah genetal
serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya usahakan agar
penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir
( R : mencegah paparan sinar pada daerah yang sensitif )
c. Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8
jam
(R: pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata )
d. Buka penutup mata setiap akan disusukan.
( R : memberi kesempatan pada bayi untuk kontak mata dengan ibu ).
e. Ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan
( R : memberi rasa aman pada bayi ).
7. Risiko tinggi terhadap komplikasi b.d tranfusi tukar
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 1x24 jam diharapkan tranfusi
tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi :
a. Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan
( R : menjamin keadekuatan akses vaskuler )
b. Basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan
( R : mencegah trauma pada vena umbilical )
c. Puasakan neonatus 4 jam sebelum tindakan
( R: mencegah aspirasi )
d. Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan setelah prosedur
( R : mencegah hipotermi )
e. Catat jenis darah ibu dan Rhesus memastikan darah yang akan ditranfusikan
adalah darah segar
( R : mencegah tertukarnya darah dan reaksi tranfusi yang berlebihan )
f. Pantau tanda-tanda vital, adanya perdarahan, gangguan cairan dan elektrolit,
kejang
selama dan sesudah tranfusi
( R : Meningkatkan kewaspadaan terhadap komplikasi dan dapat melakukan
tindakan lebih dini )
g. Jamin ketersediaan alat-alat resusitatif
( R : dapat melakukan tindakan segera bila terjadi kegawatan )
8. PK Kern Ikterus
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tanda-tanda
awal kern ikterus bisa dipantau
Intervensi :
a. Observasi tanda-tanda awal Kern Ikterus (mata berputar, letargi , epistotonus, dll)
b. Kolaborasi dengan dokter bila ada tanda-tanda kern ikterus.
DAFTAR PUSTAKA
Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter Pratama.
Jakarta.

Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta.

Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan Maternal / Bayi.
EGC. Jakarta

Alimul, Hidayat A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: Salemba medika.

Bulecheck, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, J. McCloskey. 2012.Nursing


Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Iowa : Mosby Elsavier.

Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan Maternal /
Bayi. EGC. Jakarta

Jhonson,Marion. 2012. Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC). St. Louis
,Missouri ; Mosby.

NANDA International. 2012. Nursing Diagnoses : Definitions & Classifications 2012-2014.


Jakarta : EGC

Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta

Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Pedoman Praktek Klinik: Ikatan Dokter Anak Indonesia (2011)

Potter, Patricia A. Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fudamental Keperawatan : Konsep,
Proses dan Praktis Volume 2. EGC :Jakarta
Slusher, et all (2013). Treatment Of Neonatal Jaundice With Filtered Sunlight In Nigerian
Neonates: Study Protocol Of A Non-Inferiority, Randomized Controlled Trial.
http://www.trialsjournal.com/content/14/1/446: TRIALS

Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter Pratama.
Jakarta.

Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

http://rosyerma94.blogspot.co.id/2015/01/laporan-pendahuluan-hiperbilirubin.html

http://normaanissayuliana.blogspot.co.id/2015/05/laporan-pendahuluan-hiperbilirubin-pada.html

http://dwilson-wilson.blogspot.co.id/2011/10/askep-pada-bayi-hiperbilirubin.html

Anda mungkin juga menyukai