Anda di halaman 1dari 30

DAMPAK KORUPSI TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN

MATAKULIAH PENDIDIKAN DAN BUDAYA ANTI KORUPSI

DOSEN PENGAMPU ERNI NURYANTI, S.Kep, Ns, M.Kes

Oleh :

Kelompok 4

D-III Keperawatan tingkat 3A

ERAWATI (P1337420415037)
IKA RETNOWATI (P1337420415039)
DHEA MAHARAI F.S (P1337420415041)
SITI NOVA AULIATUL FAIZAH (P1337420415043)
FEBRI RISMA WATI (P1337420415045)
ERLINA PUSPITA DEWI (P1337420415047)

JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI DIII KEPERAWATAN BLORA
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah dengan judul “Dampak Birokrasi Pemerintahan”

mata kuliah Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi di Politeknik Kesehatan

Kemenkes Semarang.

Penyusunan makalah ini berkat bantuan dan motivasi berbagai pihak.

Untuk itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada

rekan-rekan yang telah membantu.

Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan karena

keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu kami mengharapkan saran dan

kritik yang bersifat konstruktif sehingga kami dapat menyempurnakan

makalah ini.

Blora, Deember 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ........................................................................................................ 2

Daftar Isi...................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.........................................................................................4

1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................5

1.3. Tujuan Penulisan .....................................................................................5

1.4. Manfaat Penulisan ...................................................................................5

1.5. Metode Penulisan ....................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Birokrasi ................................................................................6

2.2. Fungsi Birokrasi .....................................................................................7

2.3. Dampak Korupsi terhadap pemerintahan ...............................................8

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ................................................................................................27

3.2 Saran ...........................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................29

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Korupsi merupakan suatu tindakan yang dapat merugikan Negara

.Banyak dampak negative yang disebabkan oleh korupsi. Salah satunya

Dempak Ekonomi ,Indonesia saat ini sangat dirugikan dalam hal keuangan

dari tindakan korupsi para petinggi-petinggi Negara karena sistem hokum di

Indonesia yang kurang tegas diterapkannya.

Kondisi birokrasi di Indonesia menyalahgunaan wewenang, kolusi,

korupsi dan nepotisme. Birokrasi dijadikan alat status quo mengkooptasi

masyarakat guna mempertahankan dan memperluas kekuasaan monolitik.

Birokrasi Orde Baru dijadikan secara struktural untuk mendukung

pemenangan partai politik pemerintah. Padahal birokrasi diperlukan sebagai

aktor public services yang netral dan adil, dalam beberapa kasus menjadi

penghambat dan sumber masalah berkembangnya keadilan dan demokrasi,

terjadi diskriminasi dan penyalahgunaan fasilitas, program dan dana negara.

Reformasi merupakan langkah-langkah perbaikan terhadap proses

pembusukan politik, termasuk buruknya kinerja birokrasi. Berdasarkan

pemaparan tersebut kami selaku kelompok lima akan membahas mengenai

pokok bahasan Dampak Ekonomi Reformasi Birokrasi.

4
1.2. Rumusan Masalah

1.2.1 Apa Pengetian Birokrasi ?

1.2.2 Apa Fungsi Birokrasi?

1.2.3 Bagaimana dampak korupsi terhadap Demokrasi Pemerintahan ?

1.3. Tujuan Penulisan

1.3.1 Mampu memahami dan menjelaskan Pengertian Birokrasi

1.3.2 Mampu memahami dan menjelaskan Fungsi Birokrasi

1.3.3 Mampu memahami dan menjelaskan dampak korupsi terhadap

Demokrasi Pemerintahan

1.4. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan makalah ini Mahasiswa dan pembaca

memperoleh pengetahuan tambahan mengenai pokok bahasan Dampak

Birokrasi Pemerintahan dalam mata kuliah Pendidikan dan Budaya Anti

Korupsi.

1.5. Metode Penulisan

Dalam penulisan makalah ini Kami menggunakan metode penulisan

yaitu penelusuran IT. Pada metode penelusuran IT, kami mencari tambahan

refrensi pada internet untuk melengkapi data-data yang telah kami peroleh

pada literature.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Birokrasi

Secara etimologi Birokrasi berasal dari istilah ‘buralist’ yang

dikembangkan oleh Reiheer von Stein pada 1821, kemudian menjadi

‘bureaucracy’ yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang

rasional, impersoal dan leglistik (Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002).

Birokrasi menurut Evers dalam Zauhar (1996) dapat diklasifikasikan ke

dalam tiga kategori yaitu:

Birokrasi dipandang sebagai rasionalisme prosedur pemerintahan dan

aparat administrasi publik. Makna ini adalah sejalan dengan ide Weber

tentang birokrasi, dan oleh Evers dinamakan Birokrasi Weber (BW).

Birokrasi dipandang sebagai bentuk organisasi yang membengkak dan1

jumlah pegawai yang besar. Konsep inilah yang sering disebut Parkinson

Law.

Birokrasi dipandang sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan

maksud mengontrol kegiatan masyarakat. Oleh Evers (dalam Zauhar)

disebut Orwelisasi. Dengan demikian maka Istilah Birokrasi dalam

masyarakat dimaknai secara diametral (bertentangan satu sama lain yang

tidak mungkin mencapai titik temu):

6
1. Secara Positif: Birokrasi sebagai alat yang efisien dan efektif untuk

mencapai tujuan tertentu. Dengan adanya alat yang efisien dan efektif

ini maka tujuan suatu organisasi (privat maupun publik) lebih mudah

tercapai.

2. Secara Negatif: Birokrasi sebagai alat untuk memperoleh,

mempertahankan dan melaksanakan kekuasaan. Birokrasi adalah

sesuatu yang penuh dengan kekakuan (inflexibility) dan kemandegan

struktural (structural static), tatacara yang berlebihan (ritualism) dan

penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat pengabaian (alienation)

serta otomatis (automatism) dan menutup diri terhadap perbedaan

pendapat (constrain of dissent). Birokrasi seperti ini menurut Marx

bersifat parasitik dan eksploitatif.

2.2 Fungsi Birokrasi

Menurut Tjokrowinoto, sebagaimana dikutip oleh Tamin, menyatakan

ada 4 (empat) fungsi birokrasi:

a. Fungsi instrumental, yaitu menjabarkan perundang-undangan dan

kebijaksanaan publik dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk

memproduksi jasa, pelayanan, komoditi, atau mewujudkan situasi

tertentu.

b. Fungsi politik, yaitu memberi input berupa saran informasi, visi, dan

profesionalisme untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan.

7
c. Fungsi katalis public interest, yaitu mengartikulasikan aspirasi dan

kepentingan publik dan mengintegrasikan atau menginkorporasikannya

di dalam kebijaksanaan dan keputusan pemerintah.

d. Fungsi Entrepreneurial, yaitu memberi inspirasi bagi kegiatan-kegiatan

inovatif dan non rutine, mengaktifkan sumber-sumber potensial yang

ideal, dan menciptakan resource-mix yang optimal untuk mencapai

tujuan.

Dalam pelaksanaannya kinerja birokrasi pemerintah tersebut

diperlukan organisasi pemerintah yang solid dan kinerja tinggi. Demikian

juga termasuk aparatur negaranya masing-masing mau tidak mau harus

mampu berlari dengan lompatan berkecepatan tinggi secara terukur,

rasional dan realitis dalam keseluruhan kreatifitas dan inovasinya.

2.3 Dampak Korupsi terhadap Demokrasi Pemerintahan

a. Pelayanan publik menjadi tidak efisien

Korupsi pada birokrasi level bawah jumlahnya banyak tetapi nilai

tidak begitu besar, tetapi sangat terasa karena langsung menyangkut

masyarakat termasuk masyarakat kecil yang memerlukan pelayanan

sama. Kegiatan korupsi ditubuh birokrasi sudah menjalar kesemua

jenjang/level birokrasi apalagi yang berhubungan langsung dengan

pelayanan kepada masyarakat dan perijinan, sehingga pelayanan

masyarakat menjadi tidak efisien. Seluruh pelayanan public dilakukan

secara berbelit-belit dan diulur-ulur agar mendapat celah dalam

8
melakukan tindak korupsi. Masyarakat pun merasa frsutasi dan memilih

untuk membayar lebih (menyuap) agar mendapat pelayanan terdepan.

Hal tersebut tentu sangat merugikan masyarakat yang seharusnya

mendapatkan pelayanan yang sesuai tanpa membayar ekstra.

Contohnya adalah masalah administrasi. penyakit administrasi di sini

adalah segala bentuk korupsi, penyalahgunaan jabatan, penyelewengan

kekuasaan, ketidak adilan pelayanan publik, atau berbelit-belitnya

pelayanan dalam birokrasi yang semua itu disebabkan oleh

kepentingan-kepentingan pribadi aparatur maupun ketidak mampuan

mereka dalam mengelola administrasi publik. Penyakit adminsitarsi

terdapat dalam setiap interaksi antara birokrasi dengan masyarakat

umum, sejak jenjang paling atas sampai dengan jenjang paling bawah.

Praktek korupsi dalam jajaran birokrasi dan pejabatan negara bervariasi

dan tergantung levelnya. Kegiatan-kegiatan yang rawan korupsi

diantaranya:

1) Pelayanan yang bersifat administratif, surat-surat pengantar atau

rekomendasi seperti untuk pengurusan KTP/KK, Akta Kelahiran,

Kartu Kuning, SKCK (dulu Kelakuan Baik), rekomendasi ijin rame-

rame, keterangan tanah dan mutasi tanah, Serifikasi Tanah dan

sebagainya. Bahkan dibeberapa daerah Kepala Desa menentukan

besaran tertentu/M2 untuk jatah Kepala Desa setiap terjadi mutasi

tanah di Desanya diluar biaya saksi PPAT.

9
2) Pelayanan perijinan seperti Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), Surat

Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Surat Keterangan Domisili Usaha,

Rencana Penggunaan Lahan (RPL) dan Rencana Tapak (site plan),

Analisa Dampak Lingkungan/UKLUPL, Ijin Lokasi/Pembebasan

Tanah, Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Ijin Lingkungan (HO),

Ijin Pengunaan Air Bawah Tanah (Sumur Pompa Dalam) dan

sebagainya.

3) Bantuan-bantuan langsung kepada masyarakat baik untuk sarana

maupun prasarana, rumah ibadah, bantuan kepada lembaga-lembaga

kemasyarakatan (bansos). Lebih diarahkan kepada kelompok-

kelompok yang mempunyai hubungan tertentu terutama berkaitan

dengan sosial politik.

b. Pelayanan publik yang mengecewakan dan terabaikan

Banyak aparat birokrasi melakukan korupsi. Salah satunya adalah

korupsi waktu yang merugikan masyarakat dalam mendapatkan

pelayanan. Aparat pelayanan yang ideal seharusnya tidak memiliki

kegiatan atau pekerjaan lain seperti pekerjaan sambilan di luar pekerjaan

kantor yang dapat mengganggu tugas-tugas penyelenggaraan pelayanan.

Kinerja pelayanan aparat birokrasi akan dapat maksimal apabila bila

semua waktu dan konsentrasi aparat benar-benar tercurah untuk melayani

masyarakat pengguna jasa.

10
Kondisi pelayanan yang ideal di atas dalam realitasnya sangat sulit

untuk diwujudkan dalam birokrasi. Ketidakelasan pembagian wewenang,

inkonsistensi pembagian kerja, serta sikap pimpinan kantor yang

sewenang-wenang memberikan tugas kepada aparat bawahan tanpa

memperhitungkan aspek sifat pekerjaan, urgensi pekerjaan, dan dampak

pemberian tugas terhadap kualitas pemberian pelayanan kepada

masyarakat. Hal-hal tersebut merupakan beberapa fakta penyebab

sulitnya aparat birokrasi berkonsentrasi secara penuh pada tugas-tugas

pelayanan masyarakat. Aparat birokrasi seringkali meninggalkan tugas

pelayanan dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk tugas-tugas lain

di luar tugas pelayanan.

Kondisi tersebut membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi

terganggu. Masih seringnya aparat birokrasi meninggalkan tugas-tugas

pelayanan kepada masyarakat, erat kaitannya dengan adanya tugas-tugas

tambahan yang dibebankan oleh pimpinan kepada aparat pada tingkat

bawah yang menjalankan tugas pelayanan langsung kepada masyarakat.

Hal tersebut sangat sering menimpa aparat birokrasi di tingkat desa,

kelurahan, atau kecamatan yang merupakan tingkatan pemerintahan

terendah yang langsung berhadapan dengan masyarakat.

c. APBN menurun, hutang Negara meningkat

Akibat dari adanya korupsi pada birokrasi pemerintahan, banyak

pejabat-pejabat yang melakukan tindak korupsi. Akibat dari itu, hutang-

hutang negara pun meningkat. Banyak terjadinya kesenjangan ekonomi.

11
Kita ambil saja sebagai contoh pada masa pemerintahan Susilo

Bambang Yudoyono. Pada saat itu hasil dari korupsi itu sendiri menjadi

kabar buruk bagi Indonesia yang sekitar 16 persen APBN-nya ditutup

dengan pinjaman luar negeri, termasuk penjualan obligasi. Mengingat

faktor country risk, naiknya bunga obligasi Pemerintah AS membuat

Pemerintah Indonesia harus menjual obligasi/SUN dalam dollar AS di

pasar modal dengan bunga lebih tinggi lagi agar tetap laku.

Pemerintah tampak percaya diri. Beban utang belum dianggap

ancaman. Masalahnya, perhitungan PDB Indonesia merujuk

output/produksi ekonomi nasional, termasuk yang dihasilkan perusahaan

maupun tenaga kerja asing. Meningkatnya PDB Indonesia tak hanya

dibentuk oleh kinerja orang Indonesia, tetapi juga peran asing sehingga

balas jasa faktor produksi pada pihak asing menyita PDB Indonesia.

Gambaran kemajuan ekonomi Indonesia menjadi bias.

Pertumbuhan ekonomi relatif tinggi, tetapi jumlah pengangguran dan

kemiskinan cenderung statis.

Menurunnya rasio utang terhadap PDB diikuti meningkatnya stok

utang. Tahun 2004, total utang pemerintah jika dirupiahkan Rp 1.295

triliun. Tahun 2008 menjadi Rp 1.486 triliun, naik 15 persen dalam

empat tahun.

Utang baru

Anatomi APBN terdiri dari penerimaan pajak, bea cukai, dan

PNBP. Utang dan pengeluaran berunsur biaya rutin (pembayaran gaji

12
PNS), biaya pembangunan, bagian daerah (dana alokasi khusus dan dana

alokasi umum), pembayaran bunga utang, dan pengembalian utang.

Dari segi APBN, beberapa tahun terakhir ini, penerimaan negara di

luar utang sudah lebih kecil dari biaya rutin dan pengeluaran

pembangunan. Artinya untuk menambah biaya rutin dan pembangunan,

pemerintah membuat utang baru. Untuk mengangsur utang lama dan

bunga utang, pemerintah membuat utang baru.

Di sini ada dua aspek berbahaya: utang baru selalu lebih besar dari

angsuran utang lama. Akibatnya, utang kita terus meningkat. Kedua,

utang baru pemerintah berbunga lebih tinggi (11 persen/tahun), berjangka

lebih pendek (5-10 tahun), dan dari pasar modal. Bunga utang pada masa

lalu amat rendah (1-3 persen/tahun), berjangka panjang (di atas 20

tahun), bersifat antarpemerintah, dalam skema bilateral atau multilateral.

Tak relevan penjelasan Menteri Keuangan yang membandingkan

situasi kita dengan Jepang mengingat Jepang memiliki kinerja ekonomi

amat maju, aset ekonomi produktifnya tersebar di seluruh dunia,

utangnya dalam yen dan dari dalam negeri, praktis tanpa utang keluar

negeri. GNP Indonesia lebih kecil dari PDB. Negara-negara berekonomi

kuat, GNP-nya lebih besar dari PDB.

Menyadari ada kebutuhan berutang, mestinya IMF yang telah

direformasi menjadi alternatif, bukan mengambil pinjaman berbunga

tinggi. IMF menawarkan pinjaman non-conditional dengan bunga murah,

hanya 2,0 persen/tahun. Meksiko telah memanfaatkan 47 miliar dollar

13
AS. Brasil memakai dana IMF 35 miliar dollar AS, Korsel dan Singapura

dalam antrean.

Menghambat Investasi Dalam/Luar Negeri

Tindak korupsi sangat mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia.

Seperti pada saat pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY),

beliau mempertegas untuk melakukan beberapa upaya investasi. Karena

keuangan negara pada saat itu mulai melemah dan sangat

mengkhawatirkan. Ini pun berdampak pada pertumbuhan ekonomi di

negara kita. Banyak penduduk yang mengalami kesenjangan sosial.

d. Menghambat Investasi dalam/luar negeri

Douglas mengemukan jenis-jenis kebijakan pemerintah yang

rentan terhadap penyelewengan administratif anata lain:

1. Kebijakan pemerintah yang membiarkan kontrak-kontrak besar berisi

syarat-syarat yang dapat menguntungkan para kontraktor.

2. Ketika pemerintah memungut pajak yang sangat tinggi sehingga

mendorong para pengusaha untuk menyuap aparat perpajakan sebagai

imbalan pengurangan pajak.

3. Penetapan tarif umum industri-industri termasuk seperti kereta api,

listrik dan telepun, juga harga-harga komoditas tertentu. Ini

mendorong perusahan-perusahaan besar dan konglomerat untuk

mencoba mengendalikan tarif dan harga.

14
4. Jika pemerintah menggunakan kekuasaan untuk memilih pihak-pihak

yang boleh memasuki suatu indistri misal pertambangan dan

peleburan logam, pertelevisian, atau juga angkutan umum.

5. Tatkala pemerintah memberikan pinjaman atau pembebasan pajak

untuk pabrik atau peralatan jangka pendek.

6. Apabila bagian-bagian tertentu dari birokrasi pemerintah memiliki

kekuasaan untuk mengalokasikan bahan-bahan mentah.

7. Ketika subsidi pemerintah dibayar untuk proyek-proyek umum, baik

secara terbuka maupun secara diam-diam.

e. Birokrasi terkesan bukan milik masyarakat untuk memperoleh

lapangan kerja

Dewasa ini korupsi terjadi bukan hanya ada dilingkungan birokrasi

dan eksekutif saja, baru-baru ini Mentri dari Kabinet kita ditangkap KPK,

beberapa Gubernur dan Bupati/Walikota, Dirjen dan Direkturnya, Kepala

Dinas beserta stafnya. Bahkan pimpinan perusahaan Swasta yang

berkolusi dengan pejabat-pejabat tersebut turut terlibat, sampai pada

pimpinan Partai Politik.Korupsi merambah pula pada jajaran lembaga

pemegang kekuasaan legislatif banyak anggota DPR RI, DPRD Provinsi

dan DPRD Kabupaten/Kota yang mewakili berbagai partai politik telah

divonis Pengadilan bersalah melakukan tindakan korupsi. Termasuk pada

orang-orang yang berada pada lembaga penegakkan hukum Polisi, Jaksa

dan Hakim bahkan sampai pada Ketua Mahkamah Konstitusi, yang

15
merupakan pimpinan lembaga Tinggi Negara dalam rangka penegakkan

keadilan dan kebenaran.

Juni Safrien Jahya (2013,7) menyatakan bahwa : Pada hakekatnya,

korupsi ibarat kanker yang mengancam proses pembangunan dengan

berbagai akibat, antara lain pada anggaran belanja negara yang

sumbernya sudah langka dan menjauh dari pembangunan. Korupsi juga

menghambat investasi, karena meningkatkan berbagai risiko bagi

investor, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negri. Gambaran

diatas menunjukan betapa merugikannya kegitan korupsi bagi

terpenuhinya kebutuhan masyarakat atas pelayanan dari pemerintah.

Disisi lain begitu merugikan masyarakat untuk memperoleh lapangan

kerja dan penghasilan dari kegiatan investasi sektor swata.

Investasi sektor swasta memiliki multiplier effect yang besar

terhadap daerah bukan hanya terbukanya lapangan kerja baru,

bertambahnya masyarakat yang memiliki penghasilan, tetapi tumbuhnya

kesempatan berusaha yang berkontribusi terhadap pendapatan

negara/daerah juga. Rt. Hon Clare Shot MP (200, 3) menyampaikan

hasil jaja pendapat yang dilakukan World Bank di 40 negara yang

penduduknya miskin yang hasilnya menunjukan bahwa korupsi telah

menimbulkan rasa kesal dan frustasi, karena korupsi menyebabkan segi-

segi pelayanan masyarakat (seperti jaminan kesehatan, pendidikan, dan

ketersediaan bahan makanan yang cukup) menjadi terabaikan. Bahkan

selama korupsi berlangsung berarti kesejahtraan masyarakat tidak akan

16
tercapai sampai kapanpun. Untuk itu dalam menekan korupsi dijajaran

birokrasi melelui reformasi birokrasi sangat diharapkan. Reformasi

birokrasi dalam lingkungan eksekutif/pemerintahan nampaknya tidak

cukup, karena setiap saat birokrasi dilembaga legislatif dan yudikatifpun

berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat,

sektor swasta dan lembaga-lembaga kekuasan lainnya. Karena itu perlu

pula dikembangkan kesadaran dari masyakat untuk tidak permisif

terhadap usaha-usaha yang dilakukan birokrasi yang mengarah pada

kegiatan korupsi. Demikian halnya sektor swasta, sebaiknya tidak lagi

memanfaatkan birokrasi untuk berkolusi dalam mendapat fasilitas

kegiatan usahanya atau berkooptasi dengan pemegang kekuasaan baik

yang ada dalam jajaran eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Hal lain

yang tidak kalah pentingnya dalam usaha pemberantasan Korupsi yaitu

reformasi dilembaga legislatif, sementara lembaga yudikatif sudah

ditrager oleh adanya KPK. Karena birokrasi berhubungan langsung

dengan lembaga tersebut terutama pada saat pembuatan kebijakan dalam

bentuk aturan (Perundang-undangan) maupun dalam menyusun

APBN/APBD, hearing evaluasi pelaksanaan anggaran perubahan

anggaran atau tambahan (ABT). Kewajiban birokrasi sebagai pelaksana

kebijakan publik harus mengutamakan kepentingan masyarakat, memiliki

moral yang tangguh, integritas dan kompeten yang mampu melahirkan

profesionalisme, berpegang teguh pada filosofi prinsip kehati-hatian

yaitu amanah dan transparan dalam setiap langkah dan perbuatan. Perlu

17
diingat bahwa negara kita adalah negara hukum, karena itu kebijakan

harus berlandaskan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan adil.

f. Birokrasi terkesan bukan milik masyarakat namun milik yang

berkuasa

Menurut Muhammad (2007), tantangan reformasi birokrasi

meliputi tiga masalah pokok, yaitu pertama, faktor internal yang meliputi

ketidakmampuan birokrasi mengubah dirinya menjadi lebih baik. Kedua,

faktor eksternal berkenaan dengan tingginya intervensi politik yang

membuat birokrasi kehilangan konsentrasi dalam menjalankan fungsi

pelayanan. Ketiga, faktor keraguan publik terhadap efektivitas kebijakan

yang direncanakan dan diimplementasikan oleh birokrasi.

Faktor pertama disebabkan oleh kelemahan birokrasi dalam

memperbaharui kinerjanya sesuai perkembangan lingkungan. Tingginya

dinamika masyarakat dalam menuntut pelayanan yang lebih baik tak

serta merta diimbangi oleh kemampuan birokrasi dalam mengembangkan

kecerdasan, kecakapan dan keterampilan dalam pengelolaan

pemerintahan. Pola-pola pendekatan dan pelayanan kepada masyarakat

secara nyata menunjukkan indikasi perilaku traditional. Pelayanan

birokrasi disandarkan pada hubungan kekeluargaan yang bersifat

emosional, jauh dari karakter ideal birokrasi, yaitu suatu hubungan yang

bersifat impersonal. Harus diakui bahwa perbedaan kultur di dunia barat

dan timur merupakan kenyataan yang harus diakui dalam pemberian

pelayanan pada masyarakat.

18
Menyandarkan pelayanan dengan meletakkan prinsip

impersonalitas secara kaku sebagaimana dimaksud Weber tidaklah

menciptakan rasa keadilan yang memadai. Setiap masyarakat yang

dilayani terdiri dari masyarakat yang mampu dan tak mampu secara fisik

dan non fisik. Mereka yang secara fisik tak mampu, tentu saja

membutuhkan pendekatan untuk dilayani secara jemput-bola. Sedangkan

mereka yang tak mampu secara non fisik, seperti masalah finansial, harus

diberikan insentif yang seimbang agar pelayanan tetap diberikan secara

merata. Sebaliknya, menyandarkan pelayanan dengan meletakkan

hubungan personalitas secara keseluruhan sama halnya dengan

menciptakan diskriminasi bagi kelompok masyarakat yang tak memiliki

akses secara langsung pada pemerintah, sebab hanya mereka yang

dikenal secara personal saja yang akan dilayani. Ketidakmampuan

birokrasi memahami pluralitas dalam masyarakat seringkali

menimbulkan ketidakadilan dalam pelayanan. Dalam konteks ini

diperlukan birokrasi yang mampu beradaptasi dengan perkembangan

masyarakat, serta mampu menjawab setiap persoalan tidak saja secara

struktural, namun fungsional.

Pendekatan struktural dalam pelayanan seringkali berhadapan

dengan aturan dan norma yang berlaku, sehingga sulit menyelesaikan

masalah secara tuntas. Pola penyelesaian masalah dengan menyandarkan

semua pada aspek regulasi tak selalu membawa hasil maksimal.

Masyarakat seringkali merasa frustasi karena pelayanan mereka

19
mengalami kebuntuan hanya karena ketidakmampuan birokrasi saat

menerjemahkan aturan yang berlaku. Sebaliknya, kelompok birokrat

terkesan seperti robot yang kehilangan rasa kemanusiaan ketika semua

perkara diselesaikan berdasarkan aturan yang berlaku. Persoalaannya,

bagaimana jika tuntutan masyarakat melampaui aturan itu sendiri yang

kadangkala datang terlambat, atau bahkan terjadi kekosongan regulasi.

Apakah dengan alasan yang sama pemerintah mesti menolak pelayanan

kepada masyarakat? Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan fungsional

yang dapat menyelesaikan hingga ke akar masalah. Dalam konteks ini

birokrasi seringkali menyimpan dan merawat masalah untuk kepentingan

tertentu, tidak berupaya menyelesaikan masalah secara tuntas.

Pendekatan fungsional dalam pelayanan merupakan pola pendekatan

untuk mengimbangi pendekatan struktural yang terkadang menghambat,

berbelit-belit, membutuhkan waktu lama serta mengeluarkan biaya yang

tak sedikit. Perlu diingat bahwa melandaskan semua pelayanan secara

fungsional juga tidak tepat, sebab semua pelayanan pada dasarnya

membutuhkan pelembagaan formal sehingga dapat diawasi dan

dikendalikan. Dewasa ini, pola pendekatan fungsional mengalami banyak

kemajuan, khususnya di level pemerintah pusat. Lahirnya badan,

lembaga dan komisi yang bersifat mezzo-struktur disamping lembaga

formal yang telah ada, merupakan cerminan dari pola penyelesaian

masalah dengan menggabungkan pendekatan struktural dan fungsional.

Sekalipun demikian bukan berarti tanpa catatan, lembaga-lembaga

20
tersebut tidak saja membebani anggaran birokrasi pemerintah secara

umum, namun menimbulkan overlap serta kurang produktif.

Faktor kedua yang menjadi tantangan reformasi birokrasi adalah

tingginya intervensi politik dalam birokrasi. Politisasi birokrasi

mendapatkan ruang ketika kelompok elit partai politik memanfaatkan

momentum pemilukada untuk menggerakkan birokrasi sebagai mesin

politik sekaligus aktivis politik. Akibatnya, seperti yang dikatakan oleh

Dwiyanto (2011), birokrasi mengalami pemecahan konsentrasi, sekaligus

pada saat yang sama gagal melayani masyarakat sesuai misi yang

dipikulnya. Pecahnya konsentrasi birokrasi disebabkan sirkulasi kepala

daerah setiap lima tahun sekali. Mereka yang dominan bersandar pada

calon incumbent seringkali mengalami disorientasi saat kalah dalam

kompetisi pemilukada. Politisasi birokrasi menciptakan hubungan antara

eksekutif dan legislatif mengalami dinamisasi serius kalau tidak

ketegangan yang berkesinambungan. Akibatnya, birokrasi yang

mengambil jalan kompromi pada akhirnya turut mempersubur tingkat

kebocoran anggaran baik di pusat maupun daerah, karena melakukan

persengkokolan kolektif. Indikasi tersebut bisa diketahui lewat ramainya

kebocoran anggaran APBN oleh Badan Anggaran, serta bobolnya APBD

pada saat perencanaan dan penetapannya. Birokrasi yang mengambil

jarak secara tegas dengan kelompok politisi justru mengalami ketegangan

karena rentan kehilangan jabatan. Sisanya kelompok birokrat yang

mengambil sikap apatis terhadap dinamika yang terjadi dalam setiap

21
rotasi pemerintahan. Intervensi politik terhadap birokrasi telah

merangsang nafsu aparat untuk membangun komitmen rahasia dengan

para elit dalam masa sirkulasi kekuasaan. Komitmen tersebut berupa

transaksi politik yang berujung pada persoalan siapa dapat apa, berapa

banyak dan kapan. Dalam konteks ini terbangun koalisi efektif antara

eksekutif dan legislatif dalam pembobolan anggaran. Kekuasaan yang

besar membuat birokrasi terombang-ambing serta sulit menentukan

netralitasnya sebagai pelayan masyarakat. Semua itu di dukung oleh

kemampuan kepala daerah dalam memobilisasi sumber daya melalui

sebagian anggota tim sukses yang berasal dari jajaran birokrasi.

Mobilisasi sumber daya dilakukan bahkan secara terang-benderang

melalui rekrutmen pegawai berdasarkan hubungan primordial dan

patronase, bukan merit sistem apalagi kompetensi. Keadaan ini jelas

mengembangkan perilaku koruptif dalam birokrasi sebagai konsekuensi

dari hubungan yang bersifat transaksional. Akibatnya, birokrasi terkesan

bukan milik masyarakat namun elit berkuasa, yang dapat dilihat dari

sikap dan orientasinya yang cenderung melihat keatas, daripada melihat

kebawah.

g. Keraguan Masyarakat terhadap setiap kebijakan yang dilaksanakan

oleh Birokrasi

Birokrasi pada pemerintahan daerah sebagai penyelenggara

pelayanan publik sering atau selalu dikeluhkan karena ketidak efisien dan

efektif, birokrasi sering kali dianggap tidak mampu melakukan hal-hal

22
yang sesuai dan tepat, serta kinerja birokrasi yang tidak inovatif dan

responsive, cenderung kaku oleh aturan yang ada bukan pada lingkungan

masyarakat. Hal ini sangat memerlukan perhatian yang besar, seharusnya

birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan public itu memudahkan

masyarakat menerima setiap pelayanan yang diperlukannya.

Kecenderungan tersebut diatas memang saat ini selalu menyertai

pelaksanaan pelayanan public di pemerintahan daerah,sebagian besar

pelayanan public di saat ini masih memiliki kekompleksan sendiri dalam

menghadapi persoalan tersebut. Upaya reformasi birokrasi yang terus

digenjot untuk kemudian menjawab persoalan tersebut, saat ini malah

diperhadapkan dengan etika aparatur birokrasi dan terutama adalah

dimiliki oleh aparatur daerah, dalam memenuhi fungsinya dalam

pelayanan public yang harus bertanggung jawab secara hukum, kemudian

disisi lainnya memenuhi fungsinya untuk melakukan pelayanan public

yang responsive, efektif,efektif dan efisien khususnya di daerah sebagai

street level bureaucracy.

Salah satu kendala dalam pelayanan public terutama di daerah saat

ini, terkait kewenangan yang dimiliki aparat yang langsung bersentuhan

dengan pelayanan pemenuhan kebutuhan public. Karena itu kemudian,

terkadang aparatur tingkat bawah atau bias disebut street level

bureaucracy diperhadapkan oleh aturan yang ada untuk menyediakan

pelayanan public, yang tuntutannya sangat beragam dari masyarat,

sehingga cerminan pelayanan public model demikian cenderung kurang

23
fleksibel, tidak responsive dan cenderung kaku dengan aturan yang ada.

Padahaal pelayanan harus segera dilakukan terhadap berbagai

karakteristik permasalahan masyarakat. Kecenderungan ini menyebabkan

keraguan masyarakat terhadap setiap kebijakan.

h. Meningkatnya demonstrasi masyarakat dan pihak swasta yang

merasa dirugikan oleh setiap kebijakan yang ditetapkan.

Rendahnya pendidikan serta kurangnya analisis terhadap setiap

kebijakan yang diproduk, menjadikan birokrasi tak mampu membuat

kebijakan yang efektif dalam menyelesaikan masalah. Tingginya

resistensi yang ditandai oleh meningkatnya demonstrasi masyarakat dan

pihak swasta yang merasa dirugikan oleh setiap kebijakan yang

ditetapkan menunjukkan dua alasan diatas. Keraguan masyarakat dan

pihak swasta terhadap efektivitas kebijakan birokrasi disebabkan selain

oleh dua faktor diatas, juga masalah kredibilitas birokrasi. Rendahnya

kredibilitas birokrasi dalam mendesain suatu kebijakan dapat diketahui

dari rendahnya keterlibatan pakar dalam bentuk asistensi, ketiadaan

naskah akademik terhadap rancangan peraturan (khususnya peraturan

daerah), serta rendahnya konsultasi publik terhadap rancangan peraturan

yang dibuat. Keseluruhan indikasi tersebut bermuara pada rendahnya

kualitas rancangan kebijakan sehingga menimbulkan resistensi dari para

pemangku kepentingan (stakeholders).

Kelemahan rancangan kebijakan pada tahap perencanaan hingga

tahap implementasi tak serta merta membuat birokrasi melakukan

24
evaluasi yang berkelanjutan, namun berusaha menutupi kelemahan

kebijakan tersebut. Sikap ekslusivisme dan seakan tau semua masalah

mendorong birokrasi pada perilaku arogan ketika merespon setiap

tuntutan masyarakat. Disamping itu, keraguan masyarakat terhadap

efektivitas kebijakan birokrasi tumbuh disebabkan oleh melimpahnya

program yang dijanjikan namun kehilangan fokus saat implementasi.

Akibatnya, lebih banyak program yang bersifat list service, daripada

realitas yang diharapkan. Masyarakat terkadang merasa muak terhadap

kelambanan dan kerakusan birokrasi sebagaimana disinyalir oleh

Barzelay (1982) dalam ‘Breaking Through Bureaucracy’. Pada akhirnya,

keraguan masyarakat terhadap reformasi birokrasi secara umum tumbuh

disebabkan oleh rendahnya kepercayaan pada sistem dan sumber daya

manusianya. Buruknya sistem dalam pelayanan birokrasi membuat

masyarakat tak merasa jelas dalam penyelesaian masalahnya. Demikian

pula buruknya perilaku birokrasi dalam hal pelayanan membuat

masyarakat tak percaya apa yang selama ini dikerjakan oleh pemerintah.

Gambaran ini setidaknya disinggung oleh Osborne & Gaebler (1992)

dalam ‘Reinventing Government, bahwa masalah pemerintah terkadang

bukan pada apa yang mereka kerjakan, namun bagaimana pelayanan

tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

25
26
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Korupsi berdampak merugikan pada berbagai aspek, salah satunya

berdampak terhadap birokrasi pemerintahan di suata Negara. Birokrasi

dipandang sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud

mengontrol kegiatan masyarakat. Istilah Birokrasi dalam masyarakat

dimaknai secara diametral (bertentangan satu sama lain yang tidak mungkin

mencapai titik temu).Secara Positif, birokrasi diartikan sebagai alat yang

efisien dan efektif untuk mencapai tujuan tertentu. Secara Negatif, birokrasi

diartikan sebagai alat untuk memperoleh, mempertahankan dan melaksanakan

kekuasaan. Birokrasi adalah sesuatu yang penuh dengan kekakuan

(inflexibility) dan kemandegan struktural (structural static), tatacara yang

berlebihan (ritualism) dan penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat

pengabaian (alienation) serta otomatis (automatism) dan menutup diri

terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent). Birokrasi sendiri

memiliki fungsi instrumental, politik, katalis public interest, dan

Entrepreneurial.

Dampak korupsi terhadap birokrasi pemerintahan antara lain: pelayanan

yang tidak efisien, pelayanan public yang mengecewakan dan terabaikan,

APBN menurun dan hutang Negara meningkat, menghambat investasi dalam

dan luar negeri, merugikan masyarakat untuk memperoleh lapangan kerja,

27
birokrasi terkesan bukan milik masyarakat namun elite yang berkuasa,

keraguan masyarakat terhadap setiap kebijakan yang dilaksanakan oleh

birokrasi, serta meningkatnya demonstrasi masyarakat dan pihak swasta yang

merasa dirugikan oleh setiap kebijakan yang ditetapkan.

3.2 Saran

Dengan penulisan makalah ini, penulis berharap agar para pembaca

tidak melakukan hal-hal yang termasuk ke dalam tindak korupsi yang

tentunya akan merugikan banyak kalangan.

28
DAFTAR PUSTAKA

Parliamentary.2010.Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik.(Online).Available:

http://kebebasaninformasi.org/2010/10/26/kinerja-birokrasi-pelayanan-publik/

(diakses pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 17.00 WITA)

Suryana.Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Mengikis Korupsi di

Lingkungan Birokrasi.(Online). Available:

http://digilib.unpas.ac.id/download.php?id=4225 (diakses pada tanggal 9 Maret

2015 pukul 17.15 WITA)

Butuni, Al. 2010. Diskresi Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik

Peluang dan Tantangan. (Online). Available:

http://www.academia.edu/4834674/DISKRESI_PEMERINTAH_DAERAH_DAL

AM_PELAYANAN_PUBLIK_PELUANG_DAN_TANTANGAN (diakses pada

tanggal 10 Maret 2015 pukul 10.15 WITA)

(Online) Available :

http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=11207&coid=1&caid=26&gid=

2 (diakses pada tanggal 10 Maret 2015 pukul 11.42 WITA)

Anonym. Birokrasi Merugikan Masyarakat Untuk Memperoleh Lapangan

Kerja. Online Available:

http://digilib.unpas.ac.id/gdl.php%3Fmod%3Dbrowse%26op%3Dread%26id%3D

jbptunpaspp-gdl-suryana-4618 (Diakses pada tanggal 9 Maret 2015, pukul 23.30

WITA)

29
Anonym. Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik. Online

Available:

https://www.scribd.com./doc/120239121/Birokrasi-dalam-Era-Keterbukaan-

Informasi-Publik-pdf (Diakses pada tanggal 9 Maret 2015, pukul 23.00 WITA)

30

Anda mungkin juga menyukai