Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN

DEKOMPENSASI CORDIS

Daiajukan Untuk Memenuhi Tugas Stase Keperawatan Medikal Bedah

Pada Program Studi Profesi Ners

OLEH :

DEDE TOWIYAH

PROGRAM STUDIPROFESI NERS

STIKES MUHAMMADIYAH CIAMIS

1
LAPORAN PENDAHULUAN
DECOMPENSASI CORDIS

A. KONSEP MEDIS DECOMPENSASI CORDIS


1. Pengertian Decompensasi Cordis
Gagal jantung adalah suatu keadaan ketika jantung tidak mampu
mempertahankan sirkulasi yang cukup bagi kebutuhan tubuh, meskipun tekanan
pengisian vena normal. Namun, definisi lain mengatakan bahwa gagal jantung bukan
suatu penyakit terbatas pada suatu sistem organ, melainkan suatu sindrom klinis akibat
kelainan jantung yang ditandai dengan suatu bentuk respon hemodinamik, renal dan
hormonal, suatu keadaan patologis kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan
jantung pemompa darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan atau hanya dapat
memenuhinya dengan meningkatkan tekanan pengisian. (Muttaqin, 2012)
Decompensasi cordis atau gagal jantung adalah suatu keadaan ketika jantung
tidak mampu mempertahankan sirkulasi yang cukup bagi kebutuhan tubuh, meskipun
tekanan vena normal. (Muttaqin, 2012)
Decompensasi cordis atau gagal jantung adalah sindrome klinis (sekumpulan
tanda dan gejala) yang ditandai dengan sesak nafas dan fatik saat istirahat atau saat
aktivitas yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi pada jantung (Nurarif dan
Kusuma, 2013).
Gagal jantung dapat disebabkan oleh gangguan yang mengakibatkan
terjadinya pengurangan pengisian ventrikel (disfungsi diastolik) dan/ atau kontraktilita
miokardial (disfungsi sistolik). (Nanda, 2015)
Gagal jantung adalah suatu kondisi dimana jantung mengalami kegagalan
dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh akan nutrien dan
okseigen secara adekuat (Udjiati, 2013).
Dekompensasi cordis adalah suatu keberadaan dimana terjadi penurunan
kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa
jantung. (Nanda, 2012)
Decompensasi cordis adalah keadaan patofisiologik dimana jantung pompa
tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan (Price, 2010).

Pengertian lain menyebutkan bahwa dekompensasi cordis adalah


ketidakmampuan jantung memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme dan kebutuhan oksigen jaringan (Doenges, 2012).
Suatu kondisi bila cadangan jantung normal (peningkatan frekuensi jantung,

2
dilatasi, hipertrophi, peningkatan isi sekuncup) untuk merespon terhadap stress tidak
adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh, jantung gagal untuk melakukan
tugasnya sebagai pompa, dan akibatnya gagal jantung (Carry, 2011).
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dekompensasi
cordis merupakan keadaan jantung yang sudah tidak mampu lagi memompa darah
sesuai dengan kebutuhan tubuh.

2. Klasifikasi Decompensasi Cordis


a. Klasifikasi gagal jantung menurut letaknya
1) Gagal jantung kiri
Kegagalan ventrikel kiri untuk mengisi atau mengosongkan dengan
benar dan dapat lebih lanjut diklasifikasikan menjadi disfungsi sitolik dan
diastolik (Nurarif dan Kusuma, 2013).
Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu d’effort, fatigue, ortopnea,
dispnea nocturnal paroksismal, batuk, pembesaran jantung, irama derap,
ventricular heaving, bunyi derap S3 dan S4, pernapasan cheyne stokes,
takikardi, pulsus alternans, ronkhi dan kongesti vena pulmonalis.
Gagal jantung kanan
Kegagaln ventrikel kanan untuk memompa darah secara adekuat
(Nurarif dan Kusuma, 2013).
Pada gagal jantung kanan timbul edema, liver engorgement,
anoreksia, dan kembung. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hipertrofi jantung
kanan, heaving ventrikel kanan, irama derap atrium kanan, murmur, tanda
tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat, bunyi P2
mengeras, asites, hidrothoraks, peningkatan tekanan vena, hepatomegali, dan
pitting edema.
2) Gagal jantung kongestif
Kegagalan ventrikel kanan dan kiri secara bersamaan (Udjiati, 2013).
Pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri
dan kanan.

b. Klasifikasi gagal jantung menurut derajat sakitnya


Derajat Keterangan
1 Pasien masih dapat melakukan aktivitas fisik sehari-hari
(Tanpa keluhan) tanpa disertai kelelahan ataupun sesak nafas.

3
2 Aktivitas fisik sedang menyebabakna kelelahan atau sesak
(Ringan) nafas tetapi jika aktivitas ini dihentikan maka keluhan akan
hilang.
3 Aktivitas fisik ringan menyebabakna kelelahan atau sesak
(Sedang) nafas, tetapi keluhan akan hilang jika aktivitas dihentikan.
4 Tidak dapat melakukan aktivitas fisik sehari-hari bahkan
(Berat) pada saat istirahatpun keluhan masih tetap ada dan semakin
berat jika melakukan aktivitas walaupun aktifitas ringan.
(Nurarif dan Kusuma, 2013).

3. Etiologi Decompensasi Cordis


Mekanisme fisiologi yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis
adalah keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang
menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal
seperti regurgitas aorta, dan cacat septum ventrikel. Beban akhir meningkat pada
keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau hipertensi sistemik. Kontraktilitas
miokardium dapat menurun pada infark miokard atau kardiomyopati. Faktor lain yang
dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah gangguan pengisian dan
ejeksi ventrikel (Perikardis konstriktif dan temponade jantung). Dari seluruh penyebab
tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut
mengakibatkan pada gangguan penghantaran kalsium didalam sarkomer atau didalam
sistesis atau fungsi protein kontraktil. (Nanda, 2012)
Menurut Price (2010) penyebab decompensasi cordis adalah sebagai berikut:
a. Kelainan mekanis.
1) Peningkatan beban tekanan
a) Sentral (stenosis aorta dan sebagainya)
b) Perifer (hipertensi sistemik dan sebagainya)
2) Peningkatan beban volume (regurgitasi katub, pirau, peningkatan beban awal
dan sebagainya)
3) Obstruksi terhadap pengisian ventrikel (stenosis mitralis atau trikus pidalis).
4) Tamponade perikardium.
5) Restriksi endokardium atau miokardium.
6) Aneurisme ventrikel.
7) Dis sinergi ventrikel.
b. Kelainan miokardium
1) Primer
4
a) Kardiomiopati.
b) Miokarditis.
c) Kelainan metabolik.
d) Toksisitas, (alkohol, obat dan sebagainya).
e) Presbikardia.
2) Kelainan dis-dinamik sekunder (sekunder terhadap kelainan mekanis).
a) Kekurangan oksigen (penyakit jantung koroner).
b) Kelainan metabolik.
c) Inflamasi.
d) Penyakit sistemik.
e) Penyakit paru obstruktif menahun.
c. Berubahnya irama jantung atau urutan konduksi.
1) Henti jantung.
2) Fibrilasi.
3) Takikardi atau bradikardi yang berat.
4) Asinkronisasi listrik, gangguan konduksi.
Menurut Smeltzer, (2013),penyebab gagal jantung meliputi :
a. Kelainan otot jantung misalnya : aterosklerosis koroner (keadaan patologis dimana
terjadi penebalan arteri koronoris oleh lemak “streak”).
b. Hipertensi sistemik (peningkatan tekanan darah diatas 140/90 MmHg) atau hipertensi
pulmonal (peningkatan tekanan darah diparu-paru akibat kongesti pulmonal).
c. Peradangan dan penyakit degeneratif, misalnya : miokarditis (peradangan pada otot
jantung), endokarditis (penyakit infeksi pada endokard atau katup2 jantung) rematik
(setiap kondisi yang disertai nyeri dan kaku pada musculoskeletal)
d. Penyakit jantung lain, misalnya : pada mekanisme gangguan aliran darah melalui
jantung (stenosis atau penyempitan katup semilunar dan katup alveonar), pada
peningkatan afterload mendadak hipertensi maligna (peningkatan tekanan darah berat
disertai kelainan pada retina,ginjal dan kelainan serebal).

e. Faktor siskemik, misal : pada meningkatnya laju metabolisme (demam tiroktosikosis)


meningkatnya kebutuhan oksigen jaringan (hipoksia atau berkurangnya oksigen dalam
darah, anemia atau berkurangnya kadar hemoglobin), asidosis metabolik dan abnormal
elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas otot jantung.

5
4. Faktor Resiko
Kondisi- kondisi risiko tinggi meliputi :
a. Hipertensi
b. Merokok
c. Kurang olah raga
d. Diabetes Militus
e. Alkohol
f. Diit tinggi lemak jenuh

5. Insiden
Insidensi Diperkirakan lebih dari 2 juta pasien di Amerika Serikat menderita
gagal jantung dan kira- kira 400.000 pasien baru berkembang menjadi gagal jantung
kongestif per tahun. Angka kesakitan dan angka kematiannya cukup tinggi. Setiap
tahun kira- kira 900.000 pasien dirawat di rumah sakit dengan gagal jantung kongestif
dan 200.000 pasien mati pada keadaan ini. Rata- rata setiap tahun angka kematian
sebesar 40% sampai 50% pada pasien dengan gagal jantung kongestif yang berat. Pada
study framingham menunjukan angka mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria dan
42% pada wanita (Sitompul et all, 2014).

6. Manifestasi Klinis
a. Gagal jantung kiri
1) Letargi dan diaphoresis
2) Dispnea atau orthopnea
3) Palpitasi (berdebar-debar)
4) Pernafasan cheyne-stokes
5) Batuk dan rinki basah
6) Edema paru
7) Oliguria atau anuria
8) Irama gallop’s
b. Gagal jantung kanan
1) Edema tungkai
2) CVP (central venosus pressure) meningkat
3) Pulsasi vena jugularis
4) JVP meningkat

6
5) Asites, hepatomegali, dan BB meningkat
6) Splenomegali, distensi abdomen, mual dan anoreksia.
(Udjiati, 2013).
Adapun tanda dan gejalanya menurut Chung (2008) adalah sebagai berikut:
a. Kelelahan/ kelemahan.
b. Dispnea.
c. Ortopne.
d. Dispne nokturia paroksimal.
e. Batuk.
f. Nokturia.
g. Anoreksia.
h. Nyeri kuadran kanan atas.
i. Takikardia.
j. Pernapasan cheyne-stokes.
k. Sianosis.
l. Ronkhi basah
m. Peninggian tingkat pulsasi vena jugularis.
n. Hepatosplenomegali.
o. Asites.
p. Edema perifer
Dampak dari cardiak output dan kongesti yang terjadi sisitem vena atau
sisitem pulmonal antara lain :
a. Lelah
b. Angina
c. Cemas
d. Oliguri. Penurunan aktifitas GI
e. Kulit dingin dan pucat
Tanda dan gejala yang disebakan oleh kongesti balikdari ventrikel kiri, antara
lain :
a. Dyppnea
b. Batuk
c. Orthopea
d. Reles paru
e. Hasil x-ray memperlihatkan kongesti paru.
f. Tanda-tanda dan gejala kongesti balik ventrikel kanan :

7
g. Edema perifer
h. Distensi vena leher
i. Hari membesar
j. Peningkatan central venous pressure (CPV)

7. Patofisiologi Decompensasi Cordis


Penyebab Decompensasi Cordis menurut Smeltzer,(2013), yaitu mekanisme
yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung,
yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal, bila curah
jantung berkurang system saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk
mempertahankan perfusi jaringan yang memadai maka volume sekuncuplah yang
harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung. Tetapi pada gagal
jantung masalah utamanya adalah kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung dan
volume sekuncup itu dipengaruhi tiga factor yaitu preload, kontraktilitas dan afterload
,jika salah satu dari ketiga factor tersebut terganggu maka curah jantungnya akan
berkurang. Curah jantung yang menurun menyebabkan kongesti jaringan yang terjadi
akibat peningkatan tekanan arteri atau vena kongesti paru terjadi karena ventrikel kiri
gagal memompa darah dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru
menyebabkan cairan terdorong keparu, manifestasinya meliputi dispnea, batuk,
mudah lelah, takikardi, bunyi jantung S3, kecemasan dan kegelisahan.
Bila ventrikel kanan gagal mengakibatkan kongesti visera dan jaringan
perifer, sebagai akibat sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan darah secara
adekuat. Manifestasinya yaitu Oedema dependen, hepatomegali, pertambahan berat
badan, asites, distensi vena jugularis.
Menurut Nettina (2012), penurunan kontraktilitas miokardium, pada awalnya
hal ini hanya timbul saat aktivitas berat atau olah raga dan tekanan vena juga mulai
meningkat dan terjadilah vasokontiksi luas, hal ini kemudianmeningkatkan afterload
sehingga curah jantung semakin turun.

Menurut Hudak (2010), respon terhadap penurunan curah jantung untuk


mempertahankan perfusi normal yaitu peningkatan tonus otot simpatis sehingga
meningkatkan frekuensi jantung, tekanan darah, kekuatan kontraksi dan respon
fisiologis kedua adalah terjadinya retensi air dan natrium, akibat adanyapenurunan
volume darah filtrasi.
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas myokard yang khas pada gagal jantung
akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel
8
yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah
sekuncup,dan meningkatkan volume residu ventrikel. Sebagai respon terhadap gagal
jantung, ada tiga mekanisme primer yang dapat di lihat :
a. Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik,
b. Meningkatnya beban awal akibat aktivasi system rennin angiotensin aldosteron, dan
c. Hipertrofi ventrikel.
Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk
mempertahankan curah jantung.
Kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya
tampak pada keadaan beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung maka
kompensasi akan menjadi semakin kurang efektif. Meurunnya curah sekuncup pada
gagal jantung akan membangkitkan respon simpatik kompensatorik. Meningkatnya
aktivitas adrenergic simpatik merangang pengeluaran katekolamin dari saraf saraf
adrenergic jantung dan medulla adrenal.Denyut jantuing dan kekuatan kontraksi akan
meningkat untuk menambah curah jantung.Juga terjadi vasokonstriksi arteria perifer
untuk menstabilkan tekanan arteria dan redistribusi volume darah dengan mengurangi
aliran darah ke organ organ yang rendah metabolismenya seperti kulit dan ginjal, agar
perfusi ke jantung dan otak dapat dipertahankan.
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian
peristiwa :
a. Penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerulus,
b. Pelepasan rennin dari apparatus juksta glomerulus,
c. Iteraksi rennin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan
angiotensin I,
d. Konversi angiotensin I menjadi angiotensin II,
e. Perangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal, dan
f. Retansi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul.
Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi
miokardium atau bertambahnya tebal dinding.Hipertrofi meningkatkan jumlah
sarkomer dalam sel-sel miokardium;tergantung dari jenis beban hemodinamik yang
mengakibatkan gagal jantung,sarkomer dapat bertambah secara parallel atau
serial.Respon miokardium terhadap beban volume,seperti pada regurgitasi
aorta,ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya tebal dinding

8. Komplikasi
Berikut komplikasi dari gagal jantung menurut (Wijaya & Putri 2013) antara
9
lain :
a. Adema paru akut dapat terjadi akibat gagal jantung kiri.
b. Syok kardiogenik.
Akibat penurunan dari curah jantung dan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke
organ vital (jantung dan otak).
c. Episode trombolik.
Thrombus terbentuk akibat imobilitas pasien dan gangguan sirkulasi, trombus dapat
menyebabkan penyumbatan pembuluh darah.
d. Efusi pericardial dan tamponade jantung.
Masuknya cairan ke kantung pericardium, cairan dapat meregangkan pericardium
sampai ukuran maksimal. Cardiac output menurun dan aliran balik vena ke jantung.

9. Prognosa
Prognosis gagal jantung tergantung secara primer pada sifat penyakit yang
mendasarinya dan pada ada atau tidak adanya faktor pencetus yang dapat diobati.
Prognosis jangka panjang untuk gagal jantung adalah paling baik jika bentuk penyakit
jantung yang mendasarinya dapat diterapi. Prognosis juga dapat diperkirakan dengan
mengamati respon terhadap terapi. Jika perbaikan klinis terjadi hanya dengan
pembatasan sedang garam dalam diet dan digitalis dan digitalis atau diuretik dosis
kecil, hasilnya jauh lebih baik dari pada jika, sebagai tambahan pengobatanini,
diperlukan terapi diuretik intensif dan vasodilator (Braunwald, 2000).
10. Pencegahan
a. Konsumsi makanan sehat dan membatasi asupan garam, lemak, dan gula. Kamu
wajib makan makanan sehat seperti buah dan sayur, makanan berprotein tinggi
(misalnya ikan, daging, atau kacang), makanan yang mengandung zat tepung
(misalnya beras, kentang, atau roti), dan makanan yang terbuat dari bahan susu atau
bahan olahan susu.
b. Menjaga berat badan dengan berolahraga secara rutin.
c. Berhenti merokok dan membatasi konsumsi minuman keras.
d. Menjaga kadar kolesterol dan tekanan darah pada batas sehat.

11. Pemeriksaan penunjang/diagnostik


a. Foto polos dada
1) Proyeksi A-P; konus pulmonalis menonjol, pinggang jantung hilang, cefalisasi
arteria pulmonalis.
2) Proyeksi RAO; tampak adanya tanda-tanda pembesaran atrium
10
kiri dan pembesaran ventrikel kanan.
b. EKG
Irama sinus atau atrium fibrilasi, gel. mitral yaitu gelombang P yang melebar serta
berpuncak dua serta tanda RVH, LVH jika lanjut usia cenderung tampak gambaran
atrium fibrilasi.
c. Kateterisas jantung dan Sine Angiografi
Didapatkan gradien tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri pada saat distol.
Selain itu dapat dideteksi derajat beratnya hipertensi pulmonal. Dengan mengetahui
frekuensi denyut jantung, besar curah jantung serta gradien antara atrium kiri dan
ventrikel kiri maka dapat dihitung luas katup mitral.

12. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan non farmakologis
1) Pembatasan natrium
2) Tirah baring
Kerja jantung dalam keadaan dekompensasi harus benar-benar
dikurangi, mengingat kebutuhan oksigen yang relatif meningkat

3) Pembatasan lemak
Umumnya diberikan makanan lunak dengan rendah (pembatasan)
garam. Jumlah kalori sesuai kebutuhan, pasien dengan gizi kurang diberi
makanan tinggi kalori tinggi protein. Cairan diberikan 80-100 ml/kgBB/hari.
b. Penatalaksanaan farmakologis
1) Pemberian O2
Pemberian oksigen secara rumat biasanya diperlukan 2 liter/menit
dalam keadaan sianosis sekali dapat lebih tinggi.
2) Terapi nitrat dan vasodilator
Terapi nitrat berupa salep nitrogliserin sedangkan vasodilator parenteral
berupa nitrogliserin parenteral atau nitropusid natrium
Obat vasodilator menurunkan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri dan
menghilangkan bendungan paru serta beban kerja jantung jadi berkurang.
Preparat vasodilator yang digunakan :
a) Nitrogliserin 0,4–0,6 mg sublingual atau 0,2–2 mg/kgBB/menit IV
b) Nitroprusid 0,5 – 1 mg/kgBB/menit IV
3) Diuretik kuat
Diuretik kuat bekerja pada ansa henle dengan menghambat transport
11
klorida terhadap natrium ke dalam sirkulasi (menghambat reabsorbsi natrium
pasif). Garam natrium dan air akan keluar bersama dengan kalium, kalsium, dan
magnesium. Obat yang termasuk dalam diuretik kuat adalah furosemid dan asam
etakrinat.
Diuresis dapat mengurangi beban awal (preload), tekanan pengisian
yang berlebihan dan secara umum untuk mengatasi retensi cairan yang
berlebihan. Yang digunakan : furosemid 40 – 80 mg. Pemberian dosis penunjang
bergantung pada respon, rata-rata 20 mg sehari.
4) Digitalis
Digitalis adalah obat utama untuk meningkatkan konraktilitas. Obat
yang termasuk dalam digitalis adalah digoksin dan digitoksi.
Digitalis akan memperbaiki kerja jantung dengan memperlambat dan
memperkuat kontraksi jantung serta meninggikan curah jantung.
Dosis digitalis :
a) Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5 – 2 mg dalam 4 – 6 dosis selama
24 jam dan dilanjutkan 2 x 0,5 mg selama 2 – 4 hari.
b) Cedilanid IV 1,2 – 1, 6 mg dalam 24 jam.
Dosis penunjang untuk gagal jantung :
Digoksin 0,25 mg sehari untuk pasien usia lanjut dan gagal ginjal dosis
disesuaikan.
Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg.
5) Inotropik positif
Obat dalam inotropik positif adalah dopamin yang fungsinya
meningkatkan denyut jantung pada keadaan bradikardi disaat atropin tidak
menunjukkan kerja yang efektif. Selain itu dobutamin juga dapat digunakan
sebagai peningkat kontraksi miokardium.
6) Sedatif
Phenobarbital dapat diberikan untuk mengurangi kegelisahan sehingga
pasien dapat beristirahat dan memberi relaksasi pada pasien.
c. Pengobatan penunjang lainnya bersifat simptomatik
1) Jika terjadi anemia, maka harus ditanggulangi dengan pemberian sulfa ferosus,
atau tranfusi darah jika anemia berat.
2) Jika terdapat infeksi sistemik berikan antibiotik
Untuk penderita gagal jantung anak-anak yang gelisah, dapat di-berikan
penenang; luminal dan morfin dianjurkan terutama pada anak yang gelisah.

12
(Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan, 2013).
3) Operatif
Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah antara lain :
a) Revaskularisasi (perkutan, bedah).
b) Operasi katup mitral.
c) Aneurismektomi.
d) Kardiomioplasti.
e) External cardiac support.
f) Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular.
g) Implantable cardioverter defibrillators (ICD).
h) Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart.
(Muttaqin, 2012).

13
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DECOMPENSASI CORDIS
1. Anamnesis / Pengkajian
a. Biodata
Gagal jantung dapat terjadi pada bayi, anak-anak, dan orang dewasa dengan defek
kongenital dan defek jantung akuisita (di dapat). Kurang lebih 1% penduduk pada
usia 50 tahun dapat terjadi gagal jantung, sedangkan 10% penduduk berusia lebih
dari 70 tahun berisiko gagal jantung (Kowalak, 2011).
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang paling sering menjadi alasan pasien untuk meminta
pertolongan kesehatan meliputi dispnea, kelemahan fisik, dan edema sistemik
(Muttaqin, 2012).
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian yang di dapat dengan adanya gejala-gejala kongestif vaskular
pulmonal adalah dyspnea, ortopnea, dyspnea nokturnal paroksimal, batuk, dan
edema pulmonal akut. Pada pengkajian dyspnea (dikarakteristikkan oleh
pernafasan cepat, dangakal, dan sensasi sulit dalam mendapatkan udara yang
cukup dan menekan pasien) menyebabkan insomnia, gelisah, dan kelemahan
(Muttaqin, 2012).
2) Riwayat penyakit dahulu
Pada pasien gagal jantung biasanya pasien pernah menderita infark miokardium,
hipertensi, DM, atau hiperlipidemia (Muttaqin, 2012).
3) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbul pada usia muda
merupakan faktor risiko utama penyakit jantung iskemik pada keturunannya
sehingga meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung (Muttaqin, 2012).
4) Riwayat kebiasaan
Pada penyakit gagal jantung pola kebiasaan biasanya merupakan perokok aktif,
meminum alkohol, dan obat-obatan tertentu (Muttaqin, 2012).
5) Psikososial
Kegelisahan dan kecemasan terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stres
akibat kesulitan bernafas, dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi
dengan baik

d. Pola kebiasaan sehari – hari

14
1) Tanda dan gejala pada aktivitas / istirahat
a) Keletihan, kelelahan sepanjang hari
b) Nyeri dada saat melakukan aktivitas
c) Insomnia
d) Terbangun pada malam hari karena sesak nafas
e) Gelisah, perubahan status mental: letargi, TTV berubah saat
f) beraktivitas
2) Nutrisi
a) Kehilangan nafsu makan
b) Mual dan muntah
c) Penambahan BB yang drastis
d) Diit rendah garam dan air
e) Penggunaan diuretik
f) Distensi abdomen
g) Edema
3) Eliminasi
a) Penurunan berkemih
b) Urin berwarna gelap
c) Nocturia
d) Diare / konstipasi
e) Hygine
f) Keletihan, kelemahan, kelehan dalam melakukan aktivitas perawatan
g) diri
(Muttaqin, 2012)
e. Pengkajian primer
1) A (Airway)
Pada pengkajian airway kaji ada tidaknya sumbatan jalan nafas (Tabrani, 2007).
2) B (Breathing)
Kaji saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oksimeter, untuk
mempertahnkan saturasi > 92 %. Pada pasien decompensasi cordis ditemukan
adanya sesak nafas sehingga memerlukan oksigen, bisa dengan nasal kanul,
simple mask, atau non rebrithingmask sesuai dengan kebutuhan oksigen
(Mediana, 2012).
3) C (Circulation)

15
Pada pasien decompensasi cordis terdengar suara gallop. Pada pasien
decompensasai cordis berikan cairan melalui IV dan pemasangan kateter untuk
mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh karena pada pasien dengan
decompensasi cordis mengalami kelebihan volume cairan (Mediana, 2012)
4) D (Disability)
Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVP atau GCS. Jika pasien
mengalami penurunan kesadaran menunjukkan pasien masuk kondisi ekstrim
dan membutuhkan pertolongan medis segera dan membutuhkan perawatan di
ICCU (Mediana, 2012).
5) E (Exposure)
Jika pasien stabil lakukan pemerksaan riwayat kesehatan dan fisik lainnya
(Mediana, 2012).
f. Pengkajina sekunder
Five intervensi atau full of vital sign
Pada pasien dengan decompensasi cordis intervensi yang harus dilakukan adalah
pemeriksaan EKG, dan pemesangan kateter untuk mengetahui adanya kelebihan
volume cairan (Mediana, 2012).
Give comfort
Pada pasien dengan decompensasi cordis harus diberi posisi senyaman mungkin
untuk mengurangi rasa sesak pasien.
g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Keadaan umum pasien gagal jantung biasanya di dapatkan kesadaran yang baik
atau composmetis dan akan berubah sesuai dengan tingkat gangguan yang
melibatkan perfusi sistem saraf pusat (Muttaqin, 2012).
2) Pemeriksaan fisik (B1-B6)
a) B1 (Breathing)
Pengkajian yang didapatkan dengan adanya tanda kongesti vaskular pulmonal
adalah dispnea, ortopnea, dispnea nokturnal paroksimal, batuk dan edema
pulmonal akut. Crackles atau ronkhi basah halus secara umum terdengar pada
dasar posterior paru. Hal ini dikenalsebagai bukti kegagalan ventrikel kiri
(Muttaqin, 2012).

b) B2 (Blood)

16
Inspeksi
Pasien dapat mengeluh lemah, mudah lelah, dan apatis. Gejala ini merupakan
tanda dari penurunan curah jantung. Selain itu sulit berkonsentrasi, defisit
memori, dan penurunan toleransi latihan juga merupakan tanda dari
penurunan cuah jantung. Pada inspeksi juga ditemukan distensi vena jugularis
akibat kegagalan ventrikel ventrikel kanan dalam memompa darah. Dan tanda
yang terakhir adalah edema tungkai dan terlihat pitting edema (Muttaqin,
2012).
Palpasi
Adanya perubahan nadi, dapat terjadi takikardi yang mencerminkan respon
terhadap perangsangan saraf simpatis. Penurunan yang bermakna dari curah
sekuncup dan adanya vasokonstriksi perifer menyebabkan bradikardi.
Hipertensi sistolik dapat ditemukan pada gagal jantung yang lebih berat.
Selain itu pada gagal jantung kiri dapat timbul pulsus alternans (perubahan
kekuatan denyut arteri) (Muttaqin, 2012).
Auskultasi
Tekanan darah biasanay menurun akibat penurunan isi sekuncup. Tanda fisik
yang berakitan dengan gagal jantung kiri adalah adanya bunyi jantung ke 3
dan ke empat (S3, S4) serta cracles pada paru-paru (Muttaqin, 2012).
Perkusi
Batas jantung ada pergeseran yang menandakan adanya hipertrofi jantung
atau kardiomegali (Muttaqin, 2012).
c) B3 (Brain)
Kesadaran composmetis, didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi
jaringan berat, wajah meringis, menangis, merintih, dan mereganag
(Muttaqin, 2012).
d) B4 (Bladder)
Adanya oliguria yang merupakan tanda syok kardiogenik dan adanya edema
ekstremitas merupakan tanda adanya retensi cairan yang parah (Muttawin,
2012).
e) B5 (Bowel)
Pasien biasanyanmual dan muntah, anoreksia akibat pembesaran vena dan
statis vena di dalam rongga abdomen, serta penurunan berat badan. Selain itu

17
dapat terjadi hepatomegali akibat pembesaran vena di hepar dan pada
akhirnya menyebabkan asites (Muttaqin, 2012).
f) B6 (Bone)
Hal-hal biasanya terjadi dan ditemukan pada pengkajian B6 adalah sebagai
berikut.
- Kulit dingin
Gagal depan pada ventrikel kiri meninbulkan tanda-tanda berkurangnya
perfusi ke organ. Karena darah di alihkan dari organ-organ non-vital demi
mempertahankan perfusi ke jantung dan otak, maka manisfestasi paling
dini paling depan adalah berkurangnya perfusi organorgan seperti kulit dan
otot-otot rangka. Kulit yang pucat dan dingin di akibatkan oleh
vasokontriksi perifer, penurunan lebih lanjut dari curah jantung dan
meningkatnya kadar hemoglobin tereduksi mengakibatkan sianosis.
- Mudah lelah
Mudah lelah terjadi akibat curah jantung yang kurang, sehingga
menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya
pembuangan sisa hasil katabolisme. (Muttaqin, 2012).
h. Pemeriksaan diagnostik menurut Doenges, Moorhouse, Geisster (2012), yaitu:
1) EKG :
Hipertropi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia dan kerusakan
pola mungkin terlihat. Disritmia misal : takikardi, fibrilasi atrial, kenaikan
segmen ST/T.`+
2) Scan jantung (Multigated Alquistion/MUGA) :
Memperkirakan gerakan dinding.
3) Katerisasi jantung :
Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal
jantung sisi kanan versus sisi kiri dan stenosis katup atau insufisiensi. Juga
mengkaji potensi arteri kororer.
4) Rontgen dada :
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi atau
hipertropi bilik, perubahan pembuluhdarah mencerminkan peningkatan tekanan
pulmonal, bulging pada perbatasan jantung kiri dapat menunjukkan aneurisma
ventrikel.

18
5) Enzim hepar :
Meningkat dalam gagal kongesti hepar.
6) Elektrolit :
Mungkin berubah karena perpindahan cairan ataupenurunan fungsi ginjal, terapi
diuretik.
7) Oksimetri nadi :
Saturasi oksigen mugkin rendah terutama jika gagal jantung kanan akut
memperburuk penyakit paru abstruksi menahun atau gagal jantung kronis.
8) Blood Urea Nitrogen, Kreatinin :
Peningkatan blood nitrogen menandakan penurunan fungsi ginjal. Kenaikan baik
blood urea nitrogen dan kreatin merupakan indikasi gagal ginjal.11
9) Albumin :
Mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan protein atau penurunan
sintesis protein dalam hepar yang mengalami kongesti.
10) Hitung sel darah merah :
mungkin terjadi anemia, polisitemia atau perubahan kepekatan menandakan
retensi urine. Sel darah putih mungkin meningkat mencerminkan miokard infark
akut, perikarditas atau status infeksi lain.
11) Pemeriksaan tiroid :
peningkatan aktivitas tiroid menunjukkan hiperaktivitas tiroid sebagai pre
pencetus gagal jantung kanan.
2. Diagnosis Keperawatan
a. Penurunan curah jantung (D.0008)
b. Pola nafas tidak efektif (D.0005)
c. Kelebiham volume cairan.
d. Intoleransi aktivitas.
e. Gangguan pertukaran gas
f. Defisit nutrisi.
g. Ansietas.
h. Gangguan pemenuhan istirahat tidur.
3. Intervensi/Perencanaan
a. Penurunan curah jantung
Penyebab
1) Perubahan irama jantung

19
2) Perubahan frekwensi jantung
3) Perubahan kontraktilitas
4) Perubahan preload
5) Perubahan afterload
Outcome
1) Curah Jantung Meningkat L.02008
Intervensi Keperawatan
1) Perawatan Jantung (I.02075)
Observasi
a) Identifikasi tanda/gejala primer Penurunan curah jantung (meliputi
dispenea, kelelahan, adema ortopnea paroxysmal nocturnal dyspenea,
peningkatan CPV)
b) Identifikasi tanda /gejala sekunder penurunan curah jantung (meliputi
peningkatan berat badan, hepatomegali ditensi vena jugularis, palpitasi,
ronkhi basah, oliguria, batuk, kulit pucat)
c) Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah ortostatik, jika perlu)
d) Monitor intake dan output cairan
e) Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama
f) Monitor saturasi oksigen
g) Monitor keluhan nyeri dada (mis. Intensitas, lokasi, radiasi, durasi,
presivitasi yang mengurangi nyeri)
h) Monitor EKG 12 sadapoan
i) Monitor aritmia (kelainan irama dan frekwensi)
j) Monitor nilai laboratorium jantung (mis. Elektrolit, enzim jantung, BNP,
Ntpro-BNP)
k) Monitor fungsi alat pacu jantung
l) Periksa tekanan darah dan frekwensi nadisebelum dan sesudah aktifitas
m) Periksa tekanan darah dan frekwensi nadi sebelum pemberian obat (mis.
Betablocker, ACE inhibitor, calcium channel blocker, digoksin)
Terapeutik
a) Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan kaki kebawah atau posisi
nyaman
b) Berikan diet jantung yang sesuai (mis. Batasi asupan kafein, natrium,
kolestrol, dan makanan tinggi lemak)

20
c) Gunakan stocking elastis atau pneumatik intermiten, sesuai indikasi
d) Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi hidup sehat
e) Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stres, jika perlu
f) Berikan dukungan emosional dan spiritual
g) Berikan oksigen untuk memepertahankan saturasi oksigen >94%
Edukasi
a) Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
b) Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
c) Anjurkan berhenti merokok
d) Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian
e) Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output cairan harian
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
b) Rujuk ke program rehabilitasi jantung
2) Perawatan Jantung Akut : Akut ( I.02076)
Observasi
a) Identifikasi karakteristik nyeri dada (meliputi faktor pemicu dan dan
pereda, kualitas, lokasi, radiasi, skala, durasi dan frekuensi)
b) Monitor EKG 12 sadapan untuk perubahan ST dan T
c) Monitor Aritmia( kelainan irama dan frekuensi)
d) Monitor elektrolit yang dapat meningkatkan resiko aritmia( mis. kalium,
magnesium serum)
e) Monitor enzim jantung (mis. CK, CK-MB, Troponin T, Troponin I)
f) Monitor saturasi oksigen
g) Identifikasi stratifikasi pada sindrom koroner akut(mis. Skor TIMI, Killip,
Crusade)
Terapiutik
a) Pertahankan tirah baring minimal 12 jam
b) Pasang akses intravena
c) Puasakan hingga bebas nyeri
d) Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi ansietas dan stres
e) Sediakan lingkungan yang kondusif untuk beristirahat dan pemulihan
f) Siapkan menjalani intervensi koroner perkutan, jika perlu
g) Berikan dukungan spiritual dan emosional

21
Edukasi
a) Anjurkan segera melaporkan nyeri dada
b) Anjurkan menghindari manuver Valsava (mis. Mengedan sat BAB atau
batuk)
c) Jelaskan tindakan yang dijalani pasien
d) Ajarkan teknik menurunkan kecemasan dan ketakutan
Kolbaorasi
a) Kolaborasi pemberian antiplatelat, jika perlu
b) Kolaborasi pemberian antiangina(mis. Nitrogliserin, beta blocker, calcium
channel bloker)
c) Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu
d) Kolaborasi pemberian inotropik, jika perlu
e) Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah manuver Valsava (mis.,
pelunak, tinja, antiemetik)
f) Kolaborasi pemberian trombus dengan antikoagulan, jika perlu
g) Kolaborasi pemeriksaan x-ray dada , jika perlu

b. Pola Nafas tidak efektif (D.0005).


Penyebab
1) Depresi pusat pernapasan
2) Hambatan upaya napas (mis. Nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan)
3) Deformitas dinding dada
4) Deformitas tulang dada
5) Gangguan neuro muskular
6) Gangguan neurologis (mis. Elektroensefalogram (EEG) positif, cedera kepala,
gangguan kejang)
7) Imaturitas neurologis
8) Penurunan energi
9) Obesitas
10) Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
11) Sindrom hipoventilasi
12) Kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf C5 ke atas)
13) Cedera pada medulla spinalis
14) Efek agen farmakologis

22
15) Kecemasan
Outcome
1) Pola Nafas Membaik (L.01004)
Intervensi Keperawatan
1) Pemantauan respirasi (i.01014)
Observasi
a) Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
b) Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot,ataksik)
c) Monitor kemampuan batuk efektif
d) Monitor adanya produksi sputum
e) Monitor adanya sumbatan jalan napas
f) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
g) Auskultasi bunyi napas
h) Monitor saturasi oksigen
i) Monitor nilai AGD
j) Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
a) Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
b) Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
2) Menejemen jalan napas (i. 01011)
Observasi
a) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
b) Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, weezing, ronkhi
kering)
c) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
a) Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-thrust
jika curiga trauma cervical)
b) Posisikan semi-Fowler atau Fowler
c) Berikan minum hangat

23
d) Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
e) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
f) Lakukan hiperoksigenasi sebelum
g) Penghisapan endotrakeal
h) Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsepMcGill
i) Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
a) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi.
b) Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu.

c. Kelebiham volume cairan.


Faktor Resiko
1) Ketidakseimbangan cairan (mis. Dehidrasi dan intoksikasi air)
2) Kelebihan volume cairan
3) Gangguan mekanisme regulasi (mis. Diabetes)
4) Efek samping prosedur (mis. Pembedahan)
5) Diare
6) Muntah
7) Disfungsi ginjal
8) Disfungsi regulasi endokrin
Outcome
1) Keseimbangan Elektrolit meningkat L.03021
Intervensi Keperawatan
1) Pemantauan elektrolit (i.03122)
Observasi
a) Identifkasi kemungkinan penyebab ketidakseimbangan elektrolit
b) Monitor kadar eletrolit serum
c) Monitor mual, muntah dan diare
d) Monitor kehilangan cairan, jika perlu
e) Monitor tanda dan gejala hypokalemia (mis. Kelemahan otot, interval QT
memanjang, gelombang T datar atau terbalik, depresi segmen ST,

24
gelombang U, kelelahan, parestesia, penurunan refleks, anoreksia,
konstipasi, motilitas usus menurun, pusing, depresi pernapasan)
f) Monitor tanda dan gejala hyperkalemia (mis. Peka rangsang, gelisah, mual,
munta, takikardia mengarah ke bradikardia, fibrilasi/takikardia ventrikel,
gelombang T tinggi, gelombang P datar, kompleks QRS tumpul, blok
jantung mengarah asistol)
g) Monitor tanda dan gejala hipontremia (mis. Disorientasi, otot berkedut, sakit
kepala, membrane mukosa kering, hipotensi postural, kejang, letargi,
penurunan kesadaran)
h) Monitor tanda dan gejala hypernatremia (mis. Haus, demam, mual, muntah,
gelisah, peka rangsang, membrane mukosa kering, takikardia, hipotensi,
letargi, konfusi, kejang)
i) Monitor tanda dan gejala hipokalsemia (mis. Peka rangsang, tanda
IChvostekI [spasme otot wajah], tanda Trousseau [spasme karpal], kram
otot, interval QT memanjang)
j) Monitor tanda dan gejala hiperkalsemia (mis. Nyeri tulang, haus, anoreksia,
letargi, kelemahan otot, segmen QT memendek, gelombang T lebar,
kompleks QRS lebar, interval PR memanjang)
k) Monitor tanda dan gejala hipomagnesemia (mis. Depresi pernapasan, apatis,
tanda Chvostek, tanda Trousseau, konfusi, disritmia)
l) Monitor tanda dan gejala hipomagnesia (mis. Kelemahan otot, hiporefleks,
bradikardia, depresi SSP, letargi, koma, depresi)
Terapeutik
a) Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
b) Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
2) Manajemen cairan (i.03098)
Observasi
a) Monitor status hidrasi ( mis, frek nadi, kekuatan nadi, akral, pengisian
kapiler, kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah)
b) Monitor berat badan harian

25
c) Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (mis. Hematokrit, Na, K, Cl, berat
jenis urin , BUN)
d) Monitor status hemodinamik ( Mis. MAP, CVP, PCWP jika tersedia)
Terapeutik
a) Catat intake output dan hitung balans cairan dalam 24 jam
b) Berikan asupan cairan sesuai kebutuhan
c) Berikan cairan intravena bila perlu
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian diuretik, jika perlu

d. Intoleransi aktivitas.
Penyebab
1) Ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
2) Tirah baring
3) Kelemahan
4) Imobilitas
5) Gaya hidup monoton
Outcome
1) Toleransi Aktivitas Meningkat (L.05047)
Intervensi Keperawatan
1) A. Manajemen energi (i. 05178)
Observasi
a) Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
b) Monitor kelelahan fisik dan emosional
c) Monitor pola dan jam tidur
d) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
Terapeutik
a) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. cahaya, suara,
kunjungan)
b) Lakukan rentang gerak pasif dan/atau aktif
c) Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan
d) Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan
Edukasi
a) Anjurkan tirah baring

26
b) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
c) Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang
d) Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
a) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan
2) B. Terapi aktivitas (i.05186)
Observasi
a) Identifikasi deficit tingkat aktivitas
b) Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam aktivotas tertentu
c) Identifikasi sumber daya untuk aktivitas yang diinginkan
d) Identifikasi strategi meningkatkan partisipasi dalam aktivitas
e) Identifikasi makna aktivitas rutin (mis. bekerja) dan waktu luang
f) Monitor respon emosional, fisik, social, dan spiritual terhadap aktivitas
Terapeutik
a) Fasilitasi focus pada kemampuan, bukan deficit yang dialami
b) Sepakati komitmen untuk meningkatkan frekuensi danrentang aktivitas
c) Fasilitasi memilih aktivitas dan tetapkan tujuan aktivitas yang konsisten
sesuai kemampuan fisik, psikologis, dan social
d) Koordinasikan pemilihan aktivitas sesuai usia
e) Fasilitasi makna aktivitas yang dipilih
f) Fasilitasi transportasi untuk menghadiri aktivitas, jika sesuai
g) Fasilitasi pasien dan keluarga dalam menyesuaikan lingkungan untuk
mengakomodasikan aktivitas yang dipilih
h) Fasilitasi aktivitas fisik rutin (mis. ambulansi, mobilisasi, dan perawatan
diri), sesuai kebutuhan
i) Fasilitasi aktivitas pengganti saat mengalami keterbatasan waktu, energy,
atau gerak
j) Fasilitasi akvitas motorik kasar untuk pasien hiperaktif
k) Tingkatkan aktivitas fisik untuk memelihara berat badan, jika sesuai
l) Fasilitasi aktivitas motorik untuk merelaksasi otot
m) Fasilitasi aktivitas dengan komponen memori implicit dan emosional (mis.
kegitan keagamaan khusu) untuk pasien dimensia, jika sesaui

27
n) Libatkan dalam permaianan kelompok yang tidak kompetitif, terstruktur,
dan aktif
o) Tingkatkan keterlibatan dalam aktivotasrekreasi dan diversifikasi untuk
menurunkan kecemasan ( mis. vocal group, bola voli, tenis meja, jogging,
berenang, tugas sederhana, permaianan sederhana, tugas rutin, tugas rumah
tangga, perawatan diri, dan teka-teki dan kart)
p) Libatkan kelarga dalam aktivitas, jika perlu
q) Fasilitasi mengembankan motivasi dan penguatan diri
r) Fasilitasi pasien dan keluarga memantau kemajuannya sendiri untuk
mencapai tujuan
s) Jadwalkan aktivitas dalam rutinitas sehari-hari
t) Berikan penguatan positfi atas partisipasi dalam aktivitas
Edukasi
a) Jelaskan metode aktivitas fisik sehari-hari, jika perlu
b) Ajarkan cara melakukan aktivitas yang dipilih
c) Anjurkan melakukan aktivitas fisik, social, spiritual, dan kognitif, dalam
menjaga fungsi dan kesehatan
d) Anjurka terlibat dalam aktivitas kelompok atau terapi, jika sesuai
e) Anjurkan keluarga untuk member penguatan positif atas partisipasi dalam
aktivitas
Kolaborasi
a) Kolaborasi dengan terapi okupasi dalam merencanakan dan memonitor
program aktivitas, jika sesuai
b) Rujuk pada pusat atau program aktivitas komunitas, jika perlu

28
DAFTAR PUSTAKA

Andicha. 2014. Laporan Pendahuluan Dekompensasi Kordis (http://tugas-stase-


kmb.blogspot.in/2014/08/lp-dekompensasi-kordis.html)

Brunner & Suddarth (2002). Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8, volume 2. EGC : Jakarta.

Brunner & Suddarth. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta :EGC

Carpenito, Linda Juall (2010). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan


(terjemahan).PT EGC, Jakarta.

Digiulio Mary, dkk (2007). Medical Surgical Nursing Demystified. New York Chicago.

Doenges,et al, (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan),PT EGC: Jakarta.

Doengoes, ME .2000 Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan


Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2, Jakarta : EGC.

Guyton, Arthur C., Hall, John E. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. EGC :
Jakarta.

Herdman, T. Heather. 2015. NANDA International 2015-2017. Jakarta: EGC.

Kowalak, M.W. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Muttaqin, A. 2012. Buku Ajar : Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem


Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta : Salemba Medika.

Muttaqin, Arief. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler.
Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler
dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

NANDA. 2012. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan NANDA NIC-NOC. Yogyakarja:


Media Hardy

Nurarif, A.H. dan Kusuma, H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Media Action.

Soeparman, (2011). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Sylvia dan Lorraine (2012). Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi empat, buku kedua.
EGC. Jakarta.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

29
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi
1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Udjiati, W. 2013. Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta : Salemba Medika.

30
Nursing Science Journal (NSJ) p-ISSN: 2722-4988
Volume 1, Nomor 1, Juni 2020 e-ISSN : 2722-5054
Hal 1-6

PEMBERIAN TERAPI OKSIGENASI DALAM MENGURANGI


KETIDAKEFEKTIFAN POLA NAFAS PADA PASIEN CONGESTIVE
HEART FAILURE (CHF) DI RUANG ICU/ICCU
RSUD DR. SOEDIRMAN KEBUMEN
Mugihartadi 1, Mei Rika Handayani2

Akademi Keperawatan Pemkab Purworejo


Purworejo, (0275) 3140576
E-mail : gik_kippi@yahoo.com

ABSTRAK
Latar Belakang : Congestive Heart Failure atau Gagal Jantung yaitu ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk melakukan metabolisme memenuhi kebutuhan
jaringan terhadap oksigen dan nutrient dengan kata lain, diperlukan peningkatan tekanan yang abnormal
pada jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Masalah utama pada klien dengan gagal
jantung kongestif yaaitu ketidakefektifan pola nafas. Untuk mengatasi pola nafas dilakukan dengan
pemberian terapi oksigen. Tujuan : mengetahui penerapan pemberian terapi oksigenasi dalam
mengurangi ketidakefektifan pola nafas pada pasien Congestive Heart Failure (CHF) di Ruang
ICU/ICCU RSUD DR. Soedirman Kebumen. Metode : Jenis penelitian ini adalah deskriptif
menggunakan metode pendekatan studi kasus. Subyek dalam penelitian ini adalah dua orang klien yang
mengalami gagal jantung kongestif dengan kriteria mengalami sesak nafas dan kesadaran
composmentis. Hasil: menunjukkan bahwa ada perubahan pola nafas menjadi lebih baik, tidak
mengalami sesak dan frekuensi pernafasan normal setelah diberikan terapi oksigenasi. Kesimpulan:
masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi dapat teratasi
dengan terapi pemberian oksigen dan peningkatan oksigen

Kata kunci : Congestive Heart Failure, Ketidakefektifan Pola Nafas, Terapi Pemberian Oksigen

ABSTRACT

Background : Congestive Heart Failure is the inability of the heart to pump enough blood to carry out
metabolism to meet the requirements for oxygen and nutrients in other words, it requires an abnormal
increase in pressure on the heart to meet the needs of metabolism. The main problem with clients with
congestive heart failure is ineffective breathing patterns. To overcome the breathing pattern is giving
oxygen therapy. Objective : to determine know the application of oxygenation therapy in reducing the
effectiveness of breathing patterns in patient congestive heart failure in ICU/ICCU Room DR.
Soedirman Kebumen Hospital. Method : This type of research is descriptive using a case study approach.
The subjects in this study were two clients who experienced congestive heart failure with criteria
experiencing shortness of breath and compositional awareness. Results : showed that there were changes
in breathing patterns for the better, not experiencing shortness and normal breathing frequency after
being given oxygenation therapy. Conclusion : Nursing problems with ineffective breathing patterns
associated with hyperventilation can be overcome with giving oxygen therapy, and increased oxygen.

Keywords: Congestive Heart Failure, Ineffective Breathing Patterns, Giving Oxygen Therapy

1
Latar Belakang merupakan penyakit tertinggi kedua setelah
Gagal jantung atau Congestive Heart penyakit hipertensi. Diperkirakan dari tahun
Failure adalah suatu keadaan ketika jantung 2015 adalah 603.840 kasus dan 18,33% dari
tidak mampu mempertahankan sirkulasi yang kasus tersebut ialah klien dengan penderita
cukup bagi kebutuhan tubuh, meskipun tekanan penyakit jantung. Data Riset Kesehatan Dasar
darah pada vena itu normal. Gagal jantung (Riskesdas) tahun 2018, angka kejadian
menjadi penyakit yang terus meningkat penyakit jantung dan pembuluh darah semakin
terutama pada lansia. Pada Congestive Heart meningkat dari tahun ke tahun. Setidaknya, 15
Failure atau Gagal Jantung adalah dari 1000 orang, atau sekitar 2.784.064
ketidakmampuan jantung untuk individu di Indonesia menderita penyakit
mempertahankan curah jantung yang adekuat jantung.
guna memenuhi kebutuhan metabolik dan Masalah keperawatan yang muncul
kebutuhan oksigen pada jaringan meskipun pada pasien dengan gagal jantung adalah resiko
aliran balik vena yang adekuat (Asmoro, 2017). tinggi penurunan curah jantung, nyeri dada,
Masalah kesehatan dengan gangguan resiko tinggi gangguan pertukaran gas,
sistem kardiovaskuler lebih tepatnya ketidakefektifan pola napas, kelebihan volume
Congestive Heart Failure (CHF) masih cairan, intoleransi aktifitas. Pada pasien gagal
menduduki peringkat yang tinggi, menurut data jantung dengan pola nafas tidak efektif terjadi
Whorld Health Organization (WHO) pada karena ventrikel kiri tidak mampu memompa
tahun 2007 dilaporkan bahwa Congestive Heart darah yang datang dari paru sehingga
Failure (CHF) mempengaruhi lebih dari 20 terjadi peningkatan tekanan dalam sirkulasi
juta pasien di dunia dan meningkat seiring paru yang menyebabkan cairan terdorong ke
pertambahan usia dan pada umumnya jaringan paru (Retno dkk, 2016).
mengenai pasien dengan usia sekitar lebih dari Menurut Retno, dkk (2016) pada pasien
65 tahun dengan presentase sekitar 6-10% lebih CHF sering kesulitan mempertahankan
banyak mengenai laki-laki dari pada wanita. oksigenasi sehingga mereka cenderung sesak
Pada tahun 2030 WHO memprediksi bahwa nafas. Mengingat masih banyaknya penderita
peningkatan penderita Congestive Heart gagal jantung kongestif dengan pola nafas tidak
Failure (CHF) mencapai 23 juta jiwa di dunia. efektif yang masih kurang tertangani oleh
Congestive Heart Failure (CHF) merupakan tenaga medis sehinga penulis tertarik untuk
salah satu masalah khas utama pada beberapa mengambil judul “Pemberian Terapi
negara industri maju dan Negara berkembang Oksigenasi dalam Mengurangi
seperti Indonesia (Austaryani, 2012). Ketidakefektifan Pola Nafas pada Pasien
Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Congestive Heart Failure (CHF) di Ruang
Provinsi Jawa Tengah (2015) menunjukan ICU/ICCU RSUD DR. Soedirman Kebumen”.
Penyakit jantung di Indonesia sendiri
Meto beberapa peralatan yang akan digunakan
de Desain penelitian ini adalah deskriptif,
dalam proses pengumpulan data yaitu
dalam bentuk studi kasus. Penelitian diarahkan
tensimeter jarum, stetoskop, jam tangan
untuk mendeskripsikan atau menggambarkan
dan alat tulis.
bagaimana penerapan asuhan keperawatan
3. Wawancara
pada pasien dengan Congestive Heart Failure
Dalam penelitian ini wawancara yang
(CHF) di ruangan ICCU selama 3 hari. Subyek
dilakukan dengan menggunakan
dala penelitian ini adalah dua orang klien yang
wawancara. Wawancara jenis ini
mengalami gagal jantung kongestif dengan
merupakan kombinasi dari wawancara
kriteria mengalami sesak nafas dan kesadaran
tidak terpimpin dan wawancara terpimpin.
composmentis.
4. Dokumentasi
Pelaksanaan pengumpulan data
Dokumentasi yang dilakukan oleh penulis
dilakukan di RSUD Dr. Soedirman Kebumen
yaitu pendokumentasi hasil pengkajian,
khususnya di ruang ICCU. Waktu penelitian
analisa data, diagnosa keperawatan,
studi kasus ini dimulai pada tanggal 26 – 28
rencana keperawatan, tindakan
Juni 2019 untuk partisipan I (Tn.S) dan pada
keperawatan, dan evaluasi dari tindakan.
tanggal 27 – 29 Juni 2019 untuk partisipan II
Instrumen pengumpulan data yang
(Tn.P) Waktu untuk studi kasus selama 3 hari
meliputi:
untuk partisipan pertama dan 3 hari untuk
1. Memasang nasal kanul Oksigen
partisipan yang kedua
menggunakan SOP Rumah Sakit.
Pengumpulan data tentang pemberian
2. Pedoman observasi respiratory rate (RR)
terapi oksigenasi dalam mengurangi
atau frekuensi nafas.
ketidakefektifan pola nafas pada pasien
Uji keabsahan data dimaksudkan untuk
Congestive Heart Failure (CHF), yaitu:
menguji kualitas data atau informasi yang
1. Observasi
diperoleh dalam penelitian sehingga
Dalam penelitian ini, penulis
menghasilkan data dengan validitas tinggi.
mengobservasi atau melihat keadaan
Triangulasi dalam penelitian ini menggunakan
umum partisipan dengan pemeriksaan
triangulasi observasi, yaitu hasil pengukuran
fisik (dengan pendekatan IPPA : inspeksi,
respiratory rate post test dan triangulasi waktu,
palpasi, perkusi, dan auskultasi).
yaitu dilakukan dengan mengukur respiratory
2. Pengukuran
rate setelah diberikan terapi oksigenasi.
Dalam penelitian ini, penulis mengukur
menggunakan alat ukur pemeriksaan,
Hasil
seperti melakukan pengukuran tekanan
Tn. S (umur 22 tahun) dan Tn. P (32
darah, menghitung frekuensi napas, dan
tahun) alamat Kebumen, Jawa Tengah, agama
menghitung frekuensi nadi, frekuensi
yang dianut adalah agama islam, tanggal masuk
nafas (RR). Penulis menggunakan
rumah sakit pada Tn. S 24 Juni 2019 sedangkan frekuensi pernafasan pada klien dengan respon
pada Tn. P pada tanggal 25 Juni 2019, diagnosa subyektif klien mengatakan sesak nafas, data
medis congestive heart failure (CHF). obyektif didapatkan klien tampak sesak nafas,
Saat pengkajian di dapatkan data bahwa RR 28x/menit, SPO2 96%. Penulis melakukan
alasan masuk klien ke rumah sakit yaitu klien pemasangan O2 kanul nasal 4l/menit dan
mengalami sesak nafas. Tn. S mengatakan jika memposisikan pasien semi fowler.
sebelumnya pernah dirawat di rumah sakit Pada hari kedua tanggal 27 Juni 2019
namun tidak sampai masuk ruang ICCU, klien pukul 08.30 WIB pada Tn. S penulis
sering mengatakan cemas dan sering memonitor status respirasi dan oksigen dengan
memikirkan tentang penyakit yang dideritanya data subyektif klien mengatakan masih sesak
saat ini, sedangkan pada Tn. P klien lebih nafas dan data data obyektif klien tampak
tenang dan rileks tentang penyakitnya saat ini. sesak, klien tampak cemas, 27x/menit,
Pengkajian primer pada Tn. S terpasang O2 kanul nasal 4l/menit.
didapatkan bahwa airway: klien tidak Pada hari ketiga tanggal 28 Juni 2019
mengalami sumbatan jalan nafas. Breathing : pukul 15.00 WIB memonitor status respirasi
frekuensi nafas 27x/menit, menggunakan otot dan status oksigen pada klien dengan data
bantu pernafasan, SPO2 96%, serta terpasang subyektif klien mengatakan merasakan sesak
kanul nasal 4l/menit. Circulation : tekanan nafas tetapi berkurang, RR : 22x/menit dan data
darah 120/81 mmHg, nadi 81x/menit, suhu obyektif klien tampak rileks dan sudah tidak
36,4° tidak terjadi perdarahan pada klien, akral terpasang kanul oksigen.
dingin. Disability : kesadaran klien Tn. S Pada Tn. P, saat hari pertama tanggal 27
composmentis dengan keadaan umum lemah, Juni 2019 pukul 07.00 WIB dilakukan
pupil isokor. monitoring status respirasi dan status oksigen
Pada Tn. P di dapatkan bahwa airway : dengan data subjektif klien mengatakan sesak
klien tidak mengalami sumbatan jalan nafas, nafas, dan data obyektif klien tampak sesak, RR
breathing, frekuensi nafas 25x/menit, 30x/menit, tampak adanya cuping hidung dan
menggunakan otot bantu pernafasan, SPO2 otot-otot bantu pernafasan. Penulis
98%, serta terpasang kanul nasal 4l/menit. memberikan posisi semifowler pada klien dan
Circulation : tekanan darah 118/70mmHg,nadi melakukan pemasangan O2 kanul nasal
68x/menit, suhu 36°C, tidak terjadi perdarahan 4l/menit.
pada klien, CRT <2 detik. Disability: kesadaran Pada hari kedua pada Tn. P, penulis
Tn. P composmentis dengan keadaan umum memonitor status respirasi dan oksigen dengan
lemah, pupil isokor. hasil klien mengatakan tidak merasakan sesak
Pada hari pertama tanggal 26 Juni 2019 seperti hari kemarin, data obyektif RR
pukul 07.00 WIB Tn. S dengan congestive 28x/menit, klien tampak lebih rileks dan
heart failure (CHF), penulis menemukan tenang, Penulis memberikan posisi semifowler
pada klien. Mengajarkan klien teknik nafas hiperventilasi. Hiperventilasi ini terjadi
dalam dan klien dapt melakukannya. karena metabolisme tubuh yang terlalu
Pada hari ketiga penulis memonitor tinggi sehingga mendesak alveolus
status respirasi dan oksigen dengan data melakukan ventilasi secara berlebihan
subyektif klien sudah tidak merasakan sesak (Somantri, 2009).
nafas, dan data obyektif RR 24x/menit, tampak 2. Gambaran frekuensi nafas (RR) setelah
rileks, dan lebih tenang. diberikan terapi oksigen
Berdasarkan hasil observasi yang Setelah diberikan terapi oksigen
didapatkan dari Tn. P dan Tn S menunjukkan Nasal kanul 4ltr/ menit pada Tn P dan Tn.
bahwa ada perubahan pola nafas menjadi lebih S tampak nyaman dan mampu mengatur
baik, tidak mengalami sesak dan frekuensi nafas dengan RR dalam batas normal (16-
pernafasan normal setelah diberikan terapi 24x/mnt), tidak menggunakan otot bantu
oksigenasi. pernafasan dan tidak ada cuping hidung.
Hal ini sesuai dengan pendapat Bahtiar

Pembahasan (2015) klien dengan gangguan system


1. Gambaran frekuensi nafas (RR) sebelum pernapasan tidak dapat memenuhi
diberikan terapi oksigen kebutuhan oksigen secara normal, oksigen
Pada kedua klien sebelum sangat berperan dalam pernafasan,
diberikan terapi oksigenasi dengan nasal oksigen berperan didalam tubuh dalam
kanul 4liter per menit didapatkan bahwa proses pembentukam metabolisme sel
jalan nafas tidak ada hambatan, frekuensi sehingga jika kekurangan oksigen maka
nafas meningkat antara 28-30x/menit, akan berdampak buruk bagi tubuh,
menggunakan otot bantu pernafasan, dan sehingga diperlukan terapi tambahan
tampak adanya cuping hidung serta SPO2 untuk pasien yang mengalami gangguan
98%. oksigenasi. Lalu memposisikan klien
Menurut Padila (2012) fokus dengan semifowler dengan data subyektif
pengkajian pada klien congestive heart klien mengatakan lebih nyaman posisi
failure dengan keluhan utama yaitu tersebut untuk mempermudah fungsi
dyspnea atau sesak nafas, kelemahan fisik, pernapasan dengan adanya gravitasi
edema sistemik. Penyebab adanya dipsnea (Kushariyadi, 2010).
secara umum adalah gagal jantung
kongestif karna perubahan posisi pada Kesimpulan
pasien akan menyebabkan perubahan Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
ventilasi dan perfusi (Djojodibroto, 2009). disimpulkan bahwa masalah keperawatan
Penyebab adanya sesak nafas pada dengan ketidakefektifan pola nafas
pasien jantung biasanya karena berhubungan dengan hiperventilasi dapat
teratasi dengan terapi pemberian oksigen, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana RSUP Sanglah Udayana.
peningkatan oksigen, untuk memperoleh
Diakses Pada Tanggal 22 April 2019
kriteria hasil yang akan dicapai. Pukul 15.08WIB.

Kasron. 2012. Buku Ajar Gangguan Sistem


Ucapan Terima Kasih Kardiovaskuler. Yogyakarta: Nuha
Medika. Kusharyadi. (2010). Asuhan
Dalam hal ini penulis mengucapkan Keperawatan pada klien dengan
terima kasih kepada Direktur Akper Pemkab gangguan sistem kardiovaskuler.
Jakarta: Salemba Medika.
Purworejo dan Ketua Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat yang telah Miati, luji. 2015. Asuhan Keperawatan Pada
Klien Dengan Congestive Heart
memberikan dukungan moril maupun materiil Failure Di ICU RS Muhammdiyah
dalam penyelesaian publikasi ini. Purwokerto. Fakultas Ilmu Kesehatan
Program Studi Profesi Ners
Universitas Muhammadiyah
Daftar Pustaka Purwokerto.

Asmoro, Didik Aji. 2017. Asuhan Muttaqin, A. 2009. Asuhan Keperawatan


Keperawatan pada Klien Congestive Klien dengan Gangguan Sistem
Heart Failure (CHF) dengan Pernapasan. Jakarta: Salemba
Penurunan Curah Jantung di Ruang Medika.
ICU RSU PKU Muhammadiyah
Gombong. Program Studi DIII Nurarif, Huda. 2015. Aplikasi Asuhan
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Kesehatan Muhammadiyah Gombong. Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi
Diakses pada tanggal 30 Maret 2019 Jilid 2. Jogjakarta : Mediaction Jogja.
Pukul 13.10 WIB
http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/ Nurcholifah, Frischalia, 2017. Analisis
id/eprint/668 Asuhan Keperawatan Pola Nafas
Tidak Efektif Pada pasien CHF di
Austaryani, Nessma Putri 2012. Asuhan Ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD
Keperawatan Pada Tn. J Dengan Cilacap. Program studi Profesi Ners
Congestive Heart Failure (CHF) Di Stikes Muhammadiyah Gombong. 1
Ruang Intensive Cardiovascular Care April 2019 Pukul 14.15 WIB.
Unit (Icvcu) Rumah Sakit http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/8
Dr.Moewardi Surakarta. Skripsi 12/1/FRISCHALIA%20NURCHOLI
thesis, Universitas Muhammadiyah FAH%20NIM.%20A31600953.pdf
Surakarta. Diakses pada tanggal 1
April 2019 Pukul 17.40 WIB. Oktavianus & Febriana Sartika Sari. 2014.
http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/22 Sistem Kardiovaskuler Dewasa.
066 Yogyakarta: Graha Ilmu.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2015. Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan
Profil Kesehatan Provinsi Jawa Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha
Tengah Semarang. Diakses pada Medika.
tanggal 8 April 2019 Pukul 21.12
WIB.http://www.depkes.go.id/resourc Sonia, Koni. 2018. Standar Prosedur
es/download/profil/PROFIL_KES_PR Operasional Pemberian Oksigen.
OVINSI_2015/13_Jateng_2015.pdf Diakses pada tanggal 22 April 2019
Pukul 16.15 WIB.
https://www.academia.edu/37691
Gede, Putu. 2017. Terapi Oksigen.
ANALISA JURNAL
PEMBERIAN DAN KEBUTUHAN OKSIGENASI
PADA PASIEN DEKOMPENSASI CORDIS

Daiajukan Untuk Memenuhi Tugas Stase Keperawatan Medikal Bedah


Pada Program Studi Profesi Ners

OLEH :

DEDE TOWIYAH

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES MUHAMMADIYAH CIAMIS
2020
ANALISA JURNAL PEMBERIAN DAN KEBUTUHAN OKSIGENASI PADA PASIEN ASMA

1. Judul Penelitian : Pemberian terapi oksigenasi dalam mengurangi ketidakefektifan pola nafas pada pasien congestive heart
failure (chf) di ruang icu/iccu Rsud dr. Soedirman kebumen.

2. Peneliti : Mugihartadi , Mei Rika Handayani


3. Tahun Terbit : Juni 2020
4. Penerbit : Nursing Science Journal (NSJ)
5. Tujuan Penelitian : Penelitian ini bertujuan mengetahui penerapan pemberian terapi oksigenasi dalam mengurangi
ketidakefektifan pola nafas pada pasien Congestive Heart Failure (CHF) di Ruang ICU/ICCU RSUD DR.
Soedirman Kebumen
6. Ringkasan Peneltian :
Gagal jantung atau Congestive Heart Failure adalah ketidakmampuan jantung untuk
mempertahankan curah jantung yang adekuat guna memenuhi kebutuhan metabolik dan kebutuhan
oksigen pada jaringan meskipun aliran balik vena yang adekuat (Asmoro, 2017).
Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskuler lebih tepatnya Congestive Heart
Failure (CHF) masih menduduki peringkat yang tinggi, menurut data Whorld Health Organization
(WHO) pada tahun 2007 dilaporkan bahwa Congestive Heart Failure (CHF) mempengaruhi lebih dari 20
juta pasien di dunia dan meningkat seiring pertambahan usia dan pada umumnya mengenai pasien
dengan usia sekitar lebih dari 65 tahun dengan presentase sekitar 6-10% lebih banyak mengenai laki-laki
dari pada wanita. Congestive Heart Failure (CHF) merupakan salah satu masalah khas utama pada
beberapa negara industri maju dan Negara berkembang seperti Indonesia (Austaryani, 2012).
Menurut Padila (2012) fokus pengkajian pada klien congestive heart failure dengan keluhan
utama yaitu dyspnea atau sesak nafas, kelemahan fisik, edema sistemik. Penyebab adanya dipsnea secara
umum adalah gagal jantung kongestif karna perubahan posisi pada pasien akan menyebabkan
perubahan ventilasi dan perfusi (Djojodibroto, 2009).
Penyebab adanya sesak nafas pada pasien jantung biasanya karena hiperventilasi. Hiperventilasi
ini terjadi karena metabolisme tubuh yang terlalu tinggi sehingga mendesak alveolus melakukan
ventilasi secara berlebihan (Somantri, 2009).
Bahtiar (2015) klien dengan gangguan system pernapasan tidak dapat memenuhi kebutuhan
oksigen secara normal, oksigen sangat berperan dalam pernafasan, oksigen berperan didalam tubuh
dalam proses pembentukam metabolisme sel sehingga jika kekurangan oksigen maka akan berdampak
buruk bagi tubuh, sehingga diperlukan terapi tambahan untuk pasien yang mengalami gangguan
oksigenasi. Lalu memposisikan klien dengan semifowler dengan data subyektif klien mengatakan lebih
nyaman posisi tersebut untuk mempermudah fungsi pernapasan dengan adanya gravitasi (Kushariyadi,
2010).

7. Analisa Jurnal (PICOT)


Patient/Population/Problem : Subyek dala penelitian ini adalah dua orang klien yang mengalami gagal jantung kongestif dengan
kriteria mengalami sesak nafas dan kesadaran composmentis.
Intervention : Desain penelitian ini adalah deskriptif, dalam bentuk studi kasus

Comparison/Control : Tidak ada


Outcome : Pada hari pertama tanggal 26 Juni 2019 pukul 07.00 WIB Tn. S dengan congestive heart failure
(CHF), penulis menemukan frekuensi pernafasan pada klien dengan respon subyektif klien mengatakan
sesak nafas, data obyektif didapatkan klien tampak sesak nafas, RR 28x/menit, SPO2 96%. Penulis
melakukan pemasangan O2 kanul nasal 4l/menit dan memposisikan pasien semi fowler.

Pada hari kedua tanggal 27 Juni 2019 pukul 08.30 WIB pada Tn. S penulis memonitor status
respirasi dan oksigen dengan data subyektif klien mengatakan masih sesak nafas dan data data obyektif
klien tampak sesak, klien tampak cemas, 27x/menit, terpasang O2 kanul nasal 4l/menit.
Pada hari ketiga tanggal 28 Juni 2019 pukul 15.00 WIB memonitor status respirasi dan status
oksigen pada klien dengan data subyektif klien mengatakan merasakan sesak nafas tetapi berkurang,
RR : 22x/menit dan data obyektif klien tampak rileks dan sudah tidak terpasang kanul oksigen.

Pada Tn. P, saat hari pertama tanggal 27 Juni 2019 pukul 07.00 WIB dilakukan monitoring
status respirasi dan status oksigen dengan data subjektif klien mengatakan sesak nafas, dan data
obyektif klien tampak sesak, RR 30x/menit, tampak adanya cuping hidung dan otot-otot bantu
pernafasan. Penulis memberikan posisi semifowler pada klien dan melakukan pemasangan O2 kanul
nasal 4l/menit.

Pada hari kedua pada Tn. P, penulis memonitor status respirasi dan oksigen dengan hasil klien
mengatakan tidak merasakan sesak seperti hari kemarin, data obyektif RR 28x/menit, klien tampak
lebih rileks dan tenang, Penulis memberikan posisi semifowler pada klien. Mengajarkan klien teknik
nafas dalam dan klien dapt melakukannya.

Pada hari ketiga penulis memonitor status respirasi dan oksigen dengan data subyektif klien
sudah tidak merasakan sesak nafas, dan data obyektif RR 24x/menit, tampak rileks, dan lebih tenang.
Berdasarkan hasil observasi yang didapatkan dari Tn. P dan Tn S menunjukkan bahwa ada
perubahan pola nafas menjadi lebih baik, tidak mengalami sesak dan frekuensi pernafasan normal
setelah diberikan terapi oksigenasi.

Time 26-29 Juni 2019

Anda mungkin juga menyukai