Disusun oleh :
PERINA-NICU
MAYAPADA HOSPITAL TANGERANG
TAHUN 2023
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Atresia ani adalah kelainan congenital dimana lubang anus tertutup secara
abnormal. Atresia ani atau anus imperforate memiliki anus tampak rata, cekung ke
dalam, atau kadang berbentuk anus tetapi lubang anus yang ada tidak terbentuk secara
sempurna sehingga lubang tersebut tidak terhubung dengan saluran rectum. Rectum
yang tidak terhubung dengan anus maka feses tidak dapat dikeluarkan dari dalam tubuh
secara normal. Tidak adanya lubang anus ini karena terjadi gangguan pemisahan kloaka
pada saat kehamilan.
Indonesia memiliki angka kejadian atresia ani sangat tinggi yaitu 90%.
Masyarakat pada daerah perkotaan sangat erat kaitannya dengan kepadatan penduduk
dan lingkungan yang kumuh. Lingkungan yang kumuh dapat menjadi factor pendukung
terjadinya atresia ani. Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah dan pola nutrisi
yang kurang baik memungkinkan bahwa keluarga dengan ibu hamil kurang memperoleh
informasi mengenai kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan bayi dalam kandungan.
Lingkungan yang terpapar dengan zat zat racun seperti asap rokok, alcohol dan nikotin
dapat mempengaruhi perkembangan janin. Atresia ani merupakan suatu penyakit yang
terjadi karena factor genetic, lingkungan dan atau keduanya. Kelainan ini harus segera
ditangani, jika tidak maka akan terjadi komplikasi seperti obstruksi intestinal, konstipasi
dan inkontinensia feses.
Maka dari itu untuk menambah wawasan khususnya keluarga dengan ibu hamil
penulis mengangkat tema atresia ani ini untuk mengurangi angka kejadian atresia ani di
Indonesia. Makalah ini ditulis bertujuan untuk mengetahui komplikasi, penatalaksanaan,
dan asuhan keperawatan mengenai atresia ani.
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui definisi atresia ani.
1.2.2 Mengetahui epidemiologi atresia ani.
1.2.3 Mengetahui etiologi atresia ani.
1.2.4 Mengetahui tanda dan gejala atresia ani.
1.2.5 Mengetahui patofisiologi atresia ani.
1.2.6 Mengetahui komplikasi dan prognosis atresia ani.
1.2.7 Mengetahi cara pengobatan pada atresia ani.
2
1.2.8 Mengetahui pencegahan atresia ani.
1.2.9 Mengetahui asuhan keperawatan pada klien atresia ani.
3
BAB 2. TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Atresia ani disebut juga anorektal anomali atau imperforata anus. Merupakan
kelainan kongenital dimana terjadi perkembangan abnormal pada anorektal di saluran
gastrointestinal. Atresia ani atau anus imperforata adalah malformasi congenital dimana
rectum tidak mempunyai lubang ke luar (Wong,2004). Pada Atresia ani bentuk anus
tampak rata, cekung ke dalam, kadan berbentuk seperti anus tetapi tidak ada lubang atau
lubang abnormal sehingga tidak terhubung dengan rectum. Atresia ani terjadi karena
gangguan pemisahan kloaka pada saat kehamilan.
2.2 Epidemiologi
Atresia Ani adalah kegagalan pemisahan kloaka saat embrional dalam kandungan
ibu yang sehungga tidak terbentuknya lubang anus. Sebenarnya kelainan ini sangat
mudah diketahui, tetapi bisa juga terlewatkan karena kurangnya pemeriksaan pada
perineum. Malformasi anorektal lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada
perempuan. Dengan angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia
adalah 1 dalam 5000 pada setiap kelahiran.
Dari data yang ditemukan kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi laki-laki
adalah Fistula rektouretra lalu diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi
perempuan, jenis malformasi anorektal yang paling banyak ditemui adalah anus
imperforate kemudian diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal.
Pada Orang tua yang mempunyai gen karier terhadap Atresia ani mempunyai
peluang sekitar 25% untuk diturunkan kepada anaknya dan 30% Anak dengan kelainan
genetik, kelainan kromosom atau kelainan kongenital lain yang juga beresiko untuk
menderita atresia ani.
Pada umumnya gambaran atresia ani yang terjadi pada 1,5%-2% atresia ani adalah
Atresia rektum, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 4:0. Kejadian yang tinggi
terjadi pada daerah India selatan (M Kisra, 2005).
Malformasi anorektal letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan
malformasi anorektal letak tinggi itu adalah hasil penelitian Boocock dan Donna di
Manchester.
4
2.3 Etiologi
Penyebab dari atresia ani masih belum diketahui pasti. Pada beberapa penelitian,
atresia ani dapat disebabkan oleh kelainan genetic maupun factor lingkungan yang
terpapar oleh zat-zat beracun, lingkungan yang kumuh dan pola nutrisi bayi selama
dalam kandungan.
Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu :
1. Putusnya saluran pencernaan atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur.
2. Adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara sempurna karena gangguan
pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan dimana terjadi kegagalan pertumbuhan
saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
4. Kelainan bawaan yang diturunkan dari orang tua. Jika kedua orang tua menjadi carier
maka 25%-30% menjadi peluang untuk terjadinya atresia ani, kemudian adanya
kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak normal dan kelainan congenital
lainnya juga dapat beresiko menderita atresia ani.
5. Terjadinya gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital,
biasanya karena gangguan perkembangan septum urogenital pada minggu ke-5
sampai ke-7 pada usia kehamilan,
2.4 Klasifikasi
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) dijelaskan bahwa, atresia ani dibagi 2
golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.
a. Golongan I yaitu pada anak penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi menjadi 4
kelainan yaitu
1. Kelainan pada fistelurin
2. Atresia rectum,
3. Perineum yang datar
4. Tidak adanya Fistel.
Namun jika ada fistelurin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum
uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara menentukan
letak fistelnya adalah dengan memasang kateter urin. Dan jika kateter telah terpasang
kemudian urin yang keluar jernih, itu pertanda bahwa fistel terletak di uretra karena fistel
tersebut tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke
5
vesika urinaria kemudian pengeluaran feses tersebut tidak lancar, itu pertanda penderita
memerlukan kolostomi segera agar fases keluar dengan semestinya. Pada perempuan
penderita atresia rectum, tindakannya sama seperti laki-laki yaitu harus dibuat kolostomi
dan Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera
dilakukan kolostomi juga.
b. Golongan II yaitu pada penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi 4 kelainan yaitu
1. Kelainan pada fistel perineum
2. Membran anal
3. Stenosis anus
4. Fisteltidakada.
Fistel perineum yang ada pada laki-laki ini sama dengan pada wanita yaitu
lubangnya terdapat anterior dari letak anus yang normal. Sedangkan pada membran
anal, biasanya terlihat bayangan mekonium di bawah selaput. Saat evakuasi feses
sedang tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis
anus, sama dengan perempuan yaitu tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak
ada fistel dan udara.
c. Golongan I pada perempuang dibagi 5 kelainan yaitu :
1. Kelainan kloaka
2. Fistel vagina
3. Fistel rektovestibular
4. Atresia rectum
5. Fistel tidak ada
6. Invertogram : udara >1 cm dari kulit
Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi fecesnya
menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum,
muara fistel terdapat di vulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita
hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan
padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila
terdapat kloaka maka tidak perlu ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus
genetalis dan jalan cernanya. Evakuasi pengeluaran feses yang umumnya tidak
sempurna sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Pada atresia rectum, anus
tampak normal tetapi pada pemerikasaan dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2
cm. Dan tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu juga segera dilakukan
kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuatin vertogram.
6
d. Golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu
Kelainan pada fistel perineum,
Stenosis anus
Fistel tidak ada
Invertogram : udara <1 cm dari kulit.
Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus
normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada stenosis
anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi
feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitive. Bila
tidak ada fistel dan pada invertogram udara.
Selanjutnya klasifikasi atresia ani juga dibagi menjadi ada 4 yaitu :
1. Anal stenosis yaitu terjadinya penyempitan anus sehingga feses tidak dapat keluar
pada semestinya.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membrane pada anus.
3. Anal agenesis yaitu penderita masih memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
4. Rectal atresia adalah penderita yang tidak memiliki rektum.
7
Gambaran malforasi anorektal pada perempuan
2.6 Patofisiologi
Atresia ani terjadi dikarenakan kegagalan penurunan septum anorektal pada
embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Kloaka
yang merupakan bakal genitourinaria dan struktur anorektal berkembang awalnya
dari ujung ekor dari bagian belakang. Penyempitan pada kanal anorektal
menyebabkan terjadinya stenosis anal. Atresia ani sendiri terjadi karena tidak ada
8
kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 minggu
dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi tersebut juga diakibatkan karena
kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Di usus
besar yang keluar hingga anus tidak terjadi pembukaan sehingga menyebabkan fekal
tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Manifestasi klinis
diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi tersebut berakibat
distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan
diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir ke arah
traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan
terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% dengan
fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki
biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate.
(rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju ke uretra (rektourethralis).
9
2.7.2 Prognosis
Kelainan anorektal letak rendah biasanya dapat diperbaiki dengan
pembedahan melalui perineum dan prognosis baik untuk kontinensia fekal.
Sedangkan beda dengan kelainan anorektal letak tinggi diperbaiki dengan
pembedahan sakroperineal atau abdominoperineal. Adapun pada kelainan ini,
sfingterani eksternus tidak memadai dan tidak ada sfingter ani internus, maka
kontinensia fekal tergantung fungsi otot puborektalis (DeLorimer 1981 ; Iwai et
al 1988). Ong dan Beasley (1990) mendapatkan hasil penelitian klinis, dalam
jangka panjang dari kelainan anorektal letak rendah yang dilakukan operasi
perineal lebih dari 90% penderita mencapai kontrol anorektal yang secara sosial
dapat diterima. Insidensi “soiling” pada penderita umur lebih 10 tahun lebih
rendah dibanding penderita yang lebih muda. Pada kelainan anorektal letak tinggi
hasilnya hanya 1/3 yang baik, 1/3 lagi dapat mengontrol kontinensia fekal. Pada
wanita hasilnya lebih baik daripada laki-laki karena pada wanita lesi seringkali
intermediet. Kebanyakan lesi supralevator dengan tindakan PSARP dapat
dikerjakan melalui perineum tanpa membuka abdomen (Smith, 1990). masalah-
masalah kontinensia biasanya terjadi pada beberapa penderita dengan kelainan
anorektal letak tinggi terutama ketika dilakukan pembedahan dibanding letak
rendah.
2.8 Pengobatan
Penatalaksanaan atresia ani ini berbeda, tergantung pada letak ketinggian akhiran rectum
dan ada tidaknya fistula. Leape (1987) menganjurkan pada:
1. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu,
setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP)
2. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes
provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus
3. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion yaitu tindakan pembedahan untuk
membuat lubang anus pada anus malformasi fistel rendah misalnya pada anocutan
fistel, anus vestibular yang tidak adekuat dan pada anus membranaseus
4. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin
10
Pelaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu sebagai berikut:
a. Kolostomi
Kolostomi adalah suatu tindakan membuat lubang pada dinding abdomen
untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya sementara atau permanen
dari usus besar atau colon iliaka. Saat ini tatalaksana atresia ani yang paling ideal
adalah divided descending colostomy karena kolostomi ini memungkinkan terjadinya
dekompresi yang adekuat, dan segmen kolon distal non-fungsional yang pendek
namun tidak mengganggu proses pull-through pada tahap terapi definitive.
Kolostomi pada sigmoid juga dianggap lebih menguntungkan dibanding dengan
kolostomi transversal, karena proses pembersihan kolon distal pada proses kolostomi
menjadi lebih mudah. Loop colostomy memungkinkan masuknya feses dari stoma
proksimal ke distal, dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi, dilatasi rektal, dan
impaksi feses. Kolostomi pada rektosigmoid bagian bawah sering terjadi kesalahan
karena proses ini membuat segmen distal menjadi terlalu pendek dan sulit untuk
dimobilisasi pada proses pull through.
b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
PSARP adalah suatu tindakan membelah muskulus sfingter eksternus dan
muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rectum dan
pemotongan fistel. PSARP umumnya ditunda 9 sampai 12 bulan untuk memberi
waktu pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini
juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan bertambah baik
status nutrisinya.
c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah
operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Awalnya BAB akan sering tetapi
seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan agak padat.
d. Perawatan Postoperasi
Setelah menjalani operasi, dua minggu kemudian pasien menjalani anal
dilatasi dua kali setiap hari sampai ukuran busi sesuai dengan umur pasien dan saat
businasi terasa lancar dan tidak terasa sakit. Kemudian dilakukan tappering businasi
dengan menurunkan frekuensi sampai beberapa bulan, biasanya sekitar 6 bulan.
Orang tua pasien harus diikutsertakan dalam program ini karena orang tua yang
menjalankan dan orang yang paling dekat dengan anak.
11
2.9 Pencegahan
1. Melakukan pendidikan kesehatan kepada keluarga khususnya ibu hamil mengenai
informasi kesehatan ibu hamil, pertumbuhan dan perkembangan janin dalam
kandungan.
2. Promosi kesehatan mengenai sanitasi lingkungan.
3. Menjauhkan ibu hamil dari bahan beracun seperti asap rokok, nikotin, dan zat yang
berbahaya lainnya.
12
BAB 3 PATHWAYS
Trauma jaringan
Abnormalitas
Resiko kerusakan spinter rektal
integritas kulit
Perawatan tidak
adekuat 13
Nyeri
Resiko infeksi
1
BAB 4 ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
4.1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : -
Demografi: lingkungan yang kumuh dan pemukiman yang padat dapat
mempengaruhi terjadinya atresia ani
Umur: 1 hari
Jenis Kelamin: laki-laki
Atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki laki daripada
perempuan
No. Reg: -
Tanggal Masuk RS: -
Diagnosa Medis: Atresia Ani
2
menutup kemungkinan menyebabkan awalan terjadinya penyakit atresia ani
pada janin yang masih didalam kandungan.
4.1.3 POLA FUNGSI KESEHATAN
a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Pasien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa yang
dirasakan dan apa yang diinginkan karena pasien merupakan bayi.
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena masih
bayi.
c. Pola istirahat/tidur
Pasien merasakan nyeri sehingga mengganggu waktu istirahatnya.
Diperoleh dari keterangan ibu bayi atau keluarga yang lainnya, ketika saat
jam istirahat, pasien gelisah dan rewel.
d. Pola nutrisi metabolik
Pasien yang merupakan bayi hanya minum ASI atau susu kaleng, namun
bisa saja dimuntahkan kembali ketika perut terasa penuh, dan akibat
terhambatnya melakukan konstipasi.
e. Pola eliminasi
Pasien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium yang
seharusnya dikeluarkan melalui anus.
f. Pola kognitif perseptual
Pasien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi dengan
baik pada orang lain dikarenakan masih bayi. Keluarga pasien pun belum
terlalu paham mengenai penyakit yang diderita pasien.
g. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa terkaji
2) Ideal diri : belum bisa terkaji
3) Gambaran diri : belum bisa terkaji
4) Peran diri : belum bisa terkaji
5) Harga diri : belum bisa terkaji
h. Pola seksual Reproduksi
Pasien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena pasien belum mengerti tentang kepercayaan.
3
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena pasien belum mampu berinteraksi dengan orang
lain secara mandiri.
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena pasien masih bayi dan belum mampu berespon
terhadap adanya suatu masalah.
4
9. Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
10. Abdomen
Inspeksi : datar, lemas, tampak stoma kesan vital, produksi feses positif.
Auskultasi : bising usus positif, normal
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa.
Perkusi : timpani
11. Genetalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak ada
hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
12. Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar, kadang-kadang
tampak ileus obstruksi. Thermometer yang dimasukan kedalam anus
tertahan oleh jaringan. Pada auskultasi terdengar peristaltic.
13. Ektrimitas atas dan bawah
Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan maupun kaki
dan kukunya tampak agak pucat.
14. Punggung
Tidak ada penonjolan spina gifid
15. Pemeriksaan Reflek
a. Suching +
b. Rooting +
c. Moro +
d. Grip +
e. Plantar +
5
b) Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi
terlebih dahulu, setelah 8 minggu kemudian dilakukan tindakan
definitif. Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan
invertrogram. Bila akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak
rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki
fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP
tanpa kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan
kolostomi terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram.
Apabila akhiran < 1 cm dari kulit dilakukan postero sagital
anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostomi
terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium
didapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka kelainan
adalah letak rendah. Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah
letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah
lahir agar usus terisi oleh udara, dengan cara Wangenstein Reis yaitu kedua
kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah atau knee chest
position yaitu posisi sujud yang bertujuan agar udara berkumpul didaerah
paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi (Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien dengan atresia ani tidak selalu
menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Pada pemeriksaan klinis harus
segera ditegakkan diagnosis setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan
dengan memasukkan termometer melalui anus. (Levitt M, 2007)
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula
rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama
beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar
melalui fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian
distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang
menjaga rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup
tinggi untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu,
harus ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi
6
untuk menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M,
2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum,
ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan
bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini
berhubungan dengan atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan colostomy
(Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani
letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin
tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat
keluarnya mekonium) (Levitt M, 2007).
7
4.2 Diagnosa
a. Gangguan pola eliminasi konstipasi berhubungan dengan abnormalitas organ.
b. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan feses masuk ke uretra.
c. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan mencerna makanan.
e. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi
f. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit, vistel
retrovaginal, dysuria, trauma jaringan post operasi.
g. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan perawatan tidak adekuat, trauma jaringan
post operasi.
h. Ansietas berhubungan dengan pembedahan dan mempunyai anak yang tidak
sempurna.
8
4.3 Perencanaan dan pelaksanaan
9
intake cairan
11
pasien informasi
tentang
kebutuhan
nutrisi kepada
keluarga pasien
12
adekuat, infeksi pasien antibiotic bila n teknik isolasi
trauma berkurang perlu infection 3. Memberikan
jaringan Kriteria Hasil: protection terapi antibiotic
post Resiko infeksi 4. Monitor tanda bila perlu
operasi berkurang dan gejala infeksi infection
karena sistemik dan local protection
lingkungan 5. Berikan 4. Memonitor
yang bersih perawatan pada tanda dan gejala
serta penangan lokasi infeksi infeksi sistemik
cepat yang 6. Inspeksi kondisi dan local
dilakukan. luka 5. Memberikan
7. Inspeksi kulit dan perawatan pada
membran mukosa lokasi infeksi
terhadap 6. Melakukan
kemerahan, inspeksi kondisi
panas, drainase luka
8. Dorong 7. Melakukan
masukkan nutrisi inspeksi kulit
yang cukup dan membran
9. Ajarkan keluarga mukosa
pasien (bayi) terhadap
tanda dan gejala kemerahan,
infeksi panas, drainase
8. Mendorong
masukkan
nutrisi yang
cukup
9. Mengajarkan
keluarga pasien
(bayi) tanda dan
gejala infeksi
4.4 Evaluasi
Evaluasi dalam asuhan keperawatan merupakan respon pasien terhadap intervensi
yang telah dilakukan. Evaluasi mengacu pada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Penulis
menggunakan evaluasi SOAP dalam asuhan keperawatan atresia ani sebagai berikut :
S: subjectiv
O: objektif
A: assesment
P: plan
Berikut evaluasi dari 3 diagnosa yang kami ambil:
14
DX 1: Gangguan pola eliminasi konstipasi b.d abnormalitas organ
S: Bayi rewel ketika tidak dapat melakukan konstipasi
O: Keringat dingin, suhu tubuh tinggi, bising usus pekak
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
DX 2: Gangguan rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit, vistel retrovaginal, dysuria, trauma
jaringan post operasi
S: Bayi gelisah dan rewel
O: Kebersihan area penyakit/trauma belum terpenuhi, tidak ada keluarga yang
mendampingi saat itu
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
DX 3: Nyeri akut b.d trauma jaringan
S: Bayi menangis ketika bergerak atau lokasi penyakit tersentuh
O : Skala nyeri bayi di angka 4
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
15
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Atresia ani merupakan suatu penyakit dimana tidak ada lubang anus pada tempat
yang seharusnya. Penyakit ini biasanya terjadi pada bayi baru lahir. Atresia ani ini
dapat disebabkan oleh kelainan genetic dan lingkungan. Untuk mencegah
terjadinya atresia ani ini dapat dilakukan melalui pendidikan kesehatan kepada
keluarga khususnya ibu hamil mengenai informasi kesehatan ibu hamil,
pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan, promosi kesehatan
mengenai sanitasi lingkungan, dan menjauhkan ibu hamil dari bahan beracun
seperti asap rokok, nikotin, dan zat yang berbahaya lainnya. Untuk penanganannya
dapat dilakukan dengan kolostomi, yaitu pembuatan lubang pada abdomen yang
fungsinya sebagai pengganti anus.
5.2 Saran
Untuk mencegah penyakit atresia ani ini sebaiknya keluarga dengan ibu hamil
memperbaiki pola nutrisi saat kehamilan, serta menjaga kebersihan lingkungan
sekitar. Dan bagi perawat, sebaiknya dapat memberikan asuhan keperawatan secara
professional.
16
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediarik” Edisi ke-3.
Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6. Jakarta: EGC
Sri Kurnianingsih (ed), Monica Ester (Alih bahasa). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik..
Edisi ke-4. Jakarta: EGC
Faradilla, dkk. 2009. Anastesi pada tindakan posterosagital anorektoplasti pada kasus
malforasi anorektal. Faculty of Medicine – University of Riau Pekanbaru. [serial
online]
https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/06/
malformasi_anorektal_files_of_drsmed.pdf
Hidayat, A. Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika
[serial online]
https://www.academia.edu/8685826/ASKEP_PADA_PASIEN_ATRESIA_ANI [diakses
pada tanggal 29 Februari 2016]
[serial online]
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/767/bab21.PDF?sequence=6
[diakses pada tanggal 1 Maret 2016]
[serial online]
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/109/jtptunimus-gdl-heldanilag-5416-2-babii.pdf
[diakses pada tanggal 1 Maret 2016]
[serial online]
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23480/3/Chapter%20II.pdf [diakses pada
tanggal 1 Maret 2016]
17