Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA BAYI DENGAN ATRESIA ANI

Disusun oleh :

Nama : Spatika Parasdyasih


NIK : A01687

PERINA-NICU
MAYAPADA HOSPITAL TANGERANG
TAHUN 2023

1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Atresia ani adalah kelainan congenital dimana lubang anus tertutup secara
abnormal. Atresia ani atau anus imperforate memiliki anus tampak rata, cekung ke
dalam, atau kadang berbentuk anus tetapi lubang anus yang ada tidak terbentuk secara
sempurna sehingga lubang tersebut tidak terhubung dengan saluran rectum. Rectum
yang tidak terhubung dengan anus maka feses tidak dapat dikeluarkan dari dalam tubuh
secara normal. Tidak adanya lubang anus ini karena terjadi gangguan pemisahan kloaka
pada saat kehamilan.
Indonesia memiliki angka kejadian atresia ani sangat tinggi yaitu 90%.
Masyarakat pada daerah perkotaan sangat erat kaitannya dengan kepadatan penduduk
dan lingkungan yang kumuh. Lingkungan yang kumuh dapat menjadi factor pendukung
terjadinya atresia ani. Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah dan pola nutrisi
yang kurang baik memungkinkan bahwa keluarga dengan ibu hamil kurang memperoleh
informasi mengenai kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan bayi dalam kandungan.
Lingkungan yang terpapar dengan zat zat racun seperti asap rokok, alcohol dan nikotin
dapat mempengaruhi perkembangan janin. Atresia ani merupakan suatu penyakit yang
terjadi karena factor genetic, lingkungan dan atau keduanya. Kelainan ini harus segera
ditangani, jika tidak maka akan terjadi komplikasi seperti obstruksi intestinal, konstipasi
dan inkontinensia feses.
Maka dari itu untuk menambah wawasan khususnya keluarga dengan ibu hamil
penulis mengangkat tema atresia ani ini untuk mengurangi angka kejadian atresia ani di
Indonesia. Makalah ini ditulis bertujuan untuk mengetahui komplikasi, penatalaksanaan,
dan asuhan keperawatan mengenai atresia ani.

1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui definisi atresia ani.
1.2.2 Mengetahui epidemiologi atresia ani.
1.2.3 Mengetahui etiologi atresia ani.
1.2.4 Mengetahui tanda dan gejala atresia ani.
1.2.5 Mengetahui patofisiologi atresia ani.
1.2.6 Mengetahui komplikasi dan prognosis atresia ani.
1.2.7 Mengetahi cara pengobatan pada atresia ani.
2
1.2.8 Mengetahui pencegahan atresia ani.
1.2.9 Mengetahui asuhan keperawatan pada klien atresia ani.

1.3 Implikasi keperawatan


Penerapan asuhan keperawatan pada penyakit atresia ani dapat menyajikan suatu
lingkup praktik keperawatan secara professional. Penggunaan asuhan keperawatan pada
penderita atresia ani sangat bermanfaat bagi pasien dan keluarga. Dalam hal ini pasien
dan keluarga diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses keperawatan. Bagi
perawat, proses keperawatan ini dapat meningkatankan kepuasan dalam bekerja dan
meningkatkan perkembangan profesionalisme dan meningktkan suatu pengembangan
dan kreatifitas dalam menangani masalah atresia ani.

3
BAB 2. TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Atresia ani disebut juga anorektal anomali atau imperforata anus. Merupakan
kelainan kongenital dimana terjadi perkembangan abnormal pada anorektal di saluran
gastrointestinal. Atresia ani atau anus imperforata adalah malformasi congenital dimana
rectum tidak mempunyai lubang ke luar (Wong,2004). Pada Atresia ani bentuk anus
tampak rata, cekung ke dalam, kadan berbentuk seperti anus tetapi tidak ada lubang atau
lubang abnormal sehingga tidak terhubung dengan rectum. Atresia ani terjadi karena
gangguan pemisahan kloaka pada saat kehamilan.

2.2 Epidemiologi
Atresia Ani adalah kegagalan pemisahan kloaka saat embrional dalam kandungan
ibu yang sehungga tidak terbentuknya lubang anus. Sebenarnya kelainan ini sangat
mudah diketahui, tetapi bisa juga terlewatkan karena kurangnya pemeriksaan pada
perineum. Malformasi anorektal lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada
perempuan. Dengan angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia
adalah 1 dalam 5000 pada setiap kelahiran.
Dari data yang ditemukan kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi laki-laki
adalah Fistula rektouretra lalu diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi
perempuan, jenis malformasi anorektal yang paling banyak ditemui adalah anus
imperforate kemudian diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal.
Pada Orang tua yang mempunyai gen karier terhadap Atresia ani mempunyai
peluang sekitar 25% untuk diturunkan kepada anaknya dan 30% Anak dengan kelainan
genetik, kelainan kromosom atau kelainan kongenital lain yang juga beresiko untuk
menderita atresia ani.
Pada umumnya gambaran atresia ani yang terjadi pada 1,5%-2% atresia ani adalah
Atresia rektum, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 4:0. Kejadian yang tinggi
terjadi pada daerah India selatan (M Kisra, 2005).
Malformasi anorektal letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan
malformasi anorektal letak tinggi itu adalah hasil penelitian Boocock dan Donna di
Manchester.

4
2.3 Etiologi
Penyebab dari atresia ani masih belum diketahui pasti. Pada beberapa penelitian,
atresia ani dapat disebabkan oleh kelainan genetic maupun factor lingkungan yang
terpapar oleh zat-zat beracun, lingkungan yang kumuh dan pola nutrisi bayi selama
dalam kandungan.
Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu :
1. Putusnya saluran pencernaan atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur.
2. Adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara sempurna karena gangguan
pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan dimana terjadi kegagalan pertumbuhan
saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
4. Kelainan bawaan yang diturunkan dari orang tua. Jika kedua orang tua menjadi carier
maka 25%-30% menjadi peluang untuk terjadinya atresia ani, kemudian adanya
kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak normal dan kelainan congenital
lainnya juga dapat beresiko menderita atresia ani.
5. Terjadinya gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital,
biasanya karena gangguan perkembangan septum urogenital pada minggu ke-5
sampai ke-7 pada usia kehamilan,

2.4 Klasifikasi
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) dijelaskan bahwa, atresia ani dibagi 2
golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.
a. Golongan I yaitu pada anak penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi menjadi 4
kelainan yaitu
1. Kelainan pada fistelurin
2. Atresia rectum,
3. Perineum yang datar
4. Tidak adanya Fistel.
Namun jika ada fistelurin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum
uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara menentukan
letak fistelnya adalah dengan memasang kateter urin. Dan jika kateter telah terpasang
kemudian urin yang keluar jernih, itu pertanda bahwa fistel terletak di uretra karena fistel
tersebut tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke
5
vesika urinaria kemudian pengeluaran feses tersebut tidak lancar, itu pertanda penderita
memerlukan kolostomi segera agar fases keluar dengan semestinya. Pada perempuan
penderita atresia rectum, tindakannya sama seperti laki-laki yaitu harus dibuat kolostomi
dan Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera
dilakukan kolostomi juga.
b. Golongan II yaitu pada penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi 4 kelainan yaitu
1. Kelainan pada fistel perineum
2. Membran anal
3. Stenosis anus
4. Fisteltidakada.
Fistel perineum yang ada pada laki-laki ini sama dengan pada wanita yaitu
lubangnya terdapat anterior dari letak anus yang normal. Sedangkan pada membran
anal, biasanya terlihat bayangan mekonium di bawah selaput. Saat evakuasi feses
sedang tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis
anus, sama dengan perempuan yaitu tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak
ada fistel dan udara.
c. Golongan I pada perempuang dibagi 5 kelainan yaitu :
1. Kelainan kloaka
2. Fistel vagina
3. Fistel rektovestibular
4. Atresia rectum
5. Fistel tidak ada
6. Invertogram : udara >1 cm dari kulit
Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi fecesnya
menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum,
muara fistel terdapat di vulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita
hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan
padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila
terdapat kloaka maka tidak perlu ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus
genetalis dan jalan cernanya. Evakuasi pengeluaran feses yang umumnya tidak
sempurna sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Pada atresia rectum, anus
tampak normal tetapi pada pemerikasaan dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2
cm. Dan tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu juga segera dilakukan
kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuatin vertogram.
6
d. Golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu
 Kelainan pada fistel perineum,
 Stenosis anus
 Fistel tidak ada
 Invertogram : udara <1 cm dari kulit.
Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus
normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada stenosis
anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi
feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitive. Bila
tidak ada fistel dan pada invertogram udara.
Selanjutnya klasifikasi atresia ani juga dibagi menjadi ada 4 yaitu :
1. Anal stenosis yaitu terjadinya penyempitan anus sehingga feses tidak dapat keluar
pada semestinya.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membrane pada anus.
3. Anal agenesis yaitu penderita masih memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
4. Rectal atresia adalah penderita yang tidak memiliki rektum.

Kemudian Kalsifikasi pasien penderita Atresia ani diklasifikasikan lebih lanjut


menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
1. Anomali rendah / infralevator
Pada anomaly rendah, rektum mempunyai jalur desenden yang normal melalui otot
puborektalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan
fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet
Pada anomaly intermediet, rektum berada pada atau di bawah tingkat otot
puborectalis, lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3. Anomali tinggi / supralevator
Pada anomaly tinggi ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak
ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistula genitourinarius – retrouretral (pria)
atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum
lebih dari 1 cm.

7
Gambaran malforasi anorektal pada perempuan

2.5 Tanda dan gejala


1. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula
2. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran bayi.
3. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam
4. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
5. Pengukuran suhu rektal pada bayi tidak dapat dilakukan.
6. Adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula) dan distensi bertahap
7. Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
8. Lebih dari 50% pasien dengan atresia ani mempunyai kelainan congenital lain.
9. Perut kembung 4-8 jam setelah lahir. (Betz. Ed 7. 2002)

2.6 Patofisiologi
Atresia ani terjadi dikarenakan kegagalan penurunan septum anorektal pada
embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Kloaka
yang merupakan bakal genitourinaria dan struktur anorektal berkembang awalnya
dari ujung ekor dari bagian belakang. Penyempitan pada kanal anorektal
menyebabkan terjadinya stenosis anal. Atresia ani sendiri terjadi karena tidak ada
8
kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 minggu
dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi tersebut juga diakibatkan karena
kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Di usus
besar yang keluar hingga anus tidak terjadi pembukaan sehingga menyebabkan fekal
tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Manifestasi klinis
diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi tersebut berakibat
distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan
diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir ke arah
traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan
terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% dengan
fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki
biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate.
(rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju ke uretra (rektourethralis).

2.7 Komplikasi & prognosis


2.7.1 Komplikasi
a. Asidosis hiperkloremia.
b. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
c. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
d. Komplikasi jangka panjang yaitu
a) eversi mukosa anal,
b) stenosis (akibat konstriksi jaringan perut dianastomosis).
c) Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan
d) Prolaps mukosa anorektal.
e) Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
f) Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan dan infeksi).
(Ngastiyah, 2005).
Factor factor yang dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi pada atresia ani
adalah kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak
adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, dan keterampilan operator yang
kurang serta perawatan post operasi yang buruk.

9
2.7.2 Prognosis
Kelainan anorektal letak rendah biasanya dapat diperbaiki dengan
pembedahan melalui perineum dan prognosis baik untuk kontinensia fekal.
Sedangkan beda dengan kelainan anorektal letak tinggi diperbaiki dengan
pembedahan sakroperineal atau abdominoperineal. Adapun pada kelainan ini,
sfingterani eksternus tidak memadai dan tidak ada sfingter ani internus, maka
kontinensia fekal tergantung fungsi otot puborektalis (DeLorimer 1981 ; Iwai et
al 1988). Ong dan Beasley (1990) mendapatkan hasil penelitian klinis, dalam
jangka panjang dari kelainan anorektal letak rendah yang dilakukan operasi
perineal lebih dari 90% penderita mencapai kontrol anorektal yang secara sosial
dapat diterima. Insidensi “soiling” pada penderita umur lebih 10 tahun lebih
rendah dibanding penderita yang lebih muda. Pada kelainan anorektal letak tinggi
hasilnya hanya 1/3 yang baik, 1/3 lagi dapat mengontrol kontinensia fekal. Pada
wanita hasilnya lebih baik daripada laki-laki karena pada wanita lesi seringkali
intermediet. Kebanyakan lesi supralevator dengan tindakan PSARP dapat
dikerjakan melalui perineum tanpa membuka abdomen (Smith, 1990). masalah-
masalah kontinensia biasanya terjadi pada beberapa penderita dengan kelainan
anorektal letak tinggi terutama ketika dilakukan pembedahan dibanding letak
rendah.

2.8 Pengobatan
Penatalaksanaan atresia ani ini berbeda, tergantung pada letak ketinggian akhiran rectum
dan ada tidaknya fistula. Leape (1987) menganjurkan pada:
1. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu,
setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP)
2. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes
provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus
3. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion yaitu tindakan pembedahan untuk
membuat lubang anus pada anus malformasi fistel rendah misalnya pada anocutan
fistel, anus vestibular yang tidak adekuat dan pada anus membranaseus
4. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin

10
Pelaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu sebagai berikut:
a. Kolostomi
Kolostomi adalah suatu tindakan membuat lubang pada dinding abdomen
untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya sementara atau permanen
dari usus besar atau colon iliaka. Saat ini tatalaksana atresia ani yang paling ideal
adalah divided descending colostomy karena kolostomi ini memungkinkan terjadinya
dekompresi yang adekuat, dan segmen kolon distal non-fungsional yang pendek
namun tidak mengganggu proses pull-through pada tahap terapi definitive.
Kolostomi pada sigmoid juga dianggap lebih menguntungkan dibanding dengan
kolostomi transversal, karena proses pembersihan kolon distal pada proses kolostomi
menjadi lebih mudah. Loop colostomy memungkinkan masuknya feses dari stoma
proksimal ke distal, dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi, dilatasi rektal, dan
impaksi feses. Kolostomi pada rektosigmoid bagian bawah sering terjadi kesalahan
karena proses ini membuat segmen distal menjadi terlalu pendek dan sulit untuk
dimobilisasi pada proses pull through.
b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
PSARP adalah suatu tindakan membelah muskulus sfingter eksternus dan
muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rectum dan
pemotongan fistel. PSARP umumnya ditunda 9 sampai 12 bulan untuk memberi
waktu pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini
juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan bertambah baik
status nutrisinya.
c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah
operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Awalnya BAB akan sering tetapi
seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan agak padat.
d. Perawatan Postoperasi
Setelah menjalani operasi, dua minggu kemudian pasien menjalani anal
dilatasi dua kali setiap hari sampai ukuran busi sesuai dengan umur pasien dan saat
businasi terasa lancar dan tidak terasa sakit. Kemudian dilakukan tappering businasi
dengan menurunkan frekuensi sampai beberapa bulan, biasanya sekitar 6 bulan.
Orang tua pasien harus diikutsertakan dalam program ini karena orang tua yang
menjalankan dan orang yang paling dekat dengan anak.

11
2.9 Pencegahan
1. Melakukan pendidikan kesehatan kepada keluarga khususnya ibu hamil mengenai
informasi kesehatan ibu hamil, pertumbuhan dan perkembangan janin dalam
kandungan.
2. Promosi kesehatan mengenai sanitasi lingkungan.
3. Menjauhkan ibu hamil dari bahan beracun seperti asap rokok, nikotin, dan zat yang
berbahaya lainnya.

12
BAB 3 PATHWAYS

Kelainan kongengital  Gangguan pertumbuhan Factor lingkungan


 Fusi
 Pembentukan anus dari
tonjolan embriogenik

Feses menumpuk Feses tidak Atresia Ani Vistel rektrovaginal


keluar

Feses masuk uretra


Reabsorbsi sisa Peningkatan tekanan
metabolism tubuh intra abdominal
Mikroorganisme masuk
Operasi kolostomi ke saluran kemih
Keracunan

anxietas Perubahan Dysuria Gangguan eliminasi urin


Mual, muntah
defekasi:
- pengeluar
Ketidakseimba an tak
ngan nutrisis Gangguan rasa nyaman
terkontrol
kurang dari - iritasi
kebutuhan mukosa
tubuh

Trauma jaringan
Abnormalitas
Resiko kerusakan spinter rektal
integritas kulit
Perawatan tidak
adekuat 13

Nyeri
Resiko infeksi
1
BAB 4 ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
4.1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : -
Demografi: lingkungan yang kumuh dan pemukiman yang padat dapat
mempengaruhi terjadinya atresia ani
Umur: 1 hari
Jenis Kelamin: laki-laki
Atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki laki daripada
perempuan
No. Reg: -
Tanggal Masuk RS: -
Diagnosa Medis: Atresia Ani

4.1.2 RIWAYAT KESEHATAN


a. Keluhan Utama
Pasien tidak memiliki anus sejak lahir
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama kelahiran,
perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air besar, meconium
keluar dari vagina atau meconium terdapat dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kedua orang tua merupakan carier dari atresia ani, adanya kelainan sindrom
genetic, kromosom yang tidak normal dan kelainan congenital lainnya.
Riwayat penggunaan obat-obatan tanpa resep, konsumsi jamu-jamuan,
riwayat jatuh, trauma pada perut disangkal.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya riwayat keluarga yang juga memiliki kelainan tidak memiliki anus
sejak lahir.
e. Riwayat Kesehatan Lingkungan
umumnya kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi secara langsung
kasus atresia ani ini. Hanya saja, lingkungan yang kumuh dan padat tidak

2
menutup kemungkinan menyebabkan awalan terjadinya penyakit atresia ani
pada janin yang masih didalam kandungan.
4.1.3 POLA FUNGSI KESEHATAN
a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Pasien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa yang
dirasakan dan apa yang diinginkan karena pasien merupakan bayi.
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena masih
bayi.
c. Pola istirahat/tidur
Pasien merasakan nyeri sehingga mengganggu waktu istirahatnya.
Diperoleh dari keterangan ibu bayi atau keluarga yang lainnya, ketika saat
jam istirahat, pasien gelisah dan rewel.
d. Pola nutrisi metabolik
Pasien yang merupakan bayi hanya minum ASI atau susu kaleng, namun
bisa saja dimuntahkan kembali ketika perut terasa penuh, dan akibat
terhambatnya melakukan konstipasi.
e. Pola eliminasi
Pasien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium yang
seharusnya dikeluarkan melalui anus.
f. Pola kognitif perseptual
Pasien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi dengan
baik pada orang lain dikarenakan masih bayi. Keluarga pasien pun belum
terlalu paham mengenai penyakit yang diderita pasien.
g. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa terkaji
2) Ideal diri : belum bisa terkaji
3) Gambaran diri : belum bisa terkaji
4) Peran diri : belum bisa terkaji
5) Harga diri : belum bisa terkaji
h. Pola seksual Reproduksi
Pasien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena pasien belum mengerti tentang kepercayaan.
3
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena pasien belum mampu berinteraksi dengan orang
lain secara mandiri.
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena pasien masih bayi dan belum mampu berespon
terhadap adanya suatu masalah.

4.1.4 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Fisik Head to toe
1. Tanda-tanda vital
• Nadi : 110 X/menit.
• Respirasi : 32 X/menit.
• Suhu axila :37º Celsius.
2. Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak ada
benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada chepal hematom.
3. Mata
Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan subkonjungtiva, tidak
ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus, conjungtiva tampak agak pucat.
4. Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada pernafasan
cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.
5. Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak macroglosus, tidak
cheilochisis.
6. Telinga
Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago berbentuk
sempurna
7. Leher
Tidak ada webbed neck.
8. Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel shest,
pernafasan normal

4
9. Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
10. Abdomen
Inspeksi : datar, lemas, tampak stoma kesan vital, produksi feses positif.
Auskultasi : bising usus positif, normal
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa.
Perkusi : timpani
11. Genetalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak ada
hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
12. Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar, kadang-kadang
tampak ileus obstruksi. Thermometer yang dimasukan kedalam anus
tertahan oleh jaringan. Pada auskultasi terdengar peristaltic.
13. Ektrimitas atas dan bawah
Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan maupun kaki
dan kukunya tampak agak pucat.
14. Punggung
Tidak ada penonjolan spina gifid
15. Pemeriksaan Reflek
a. Suching +
b. Rooting +
c. Moro +
d. Grip +
e. Plantar +

Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa menggunakan


cara sebagai berikut:
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila:
a) Jika Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal
membran berarti atresia ini termasuk atresia letak rendah maka
dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti (PSARP) tanpa
kolostomi.

5
b) Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi
terlebih dahulu, setelah 8 minggu kemudian dilakukan tindakan
definitif. Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan
invertrogram. Bila akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak
rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki
fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP
tanpa kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan
kolostomi terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram.
Apabila akhiran < 1 cm dari kulit dilakukan postero sagital
anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostomi
terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium
didapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka kelainan
adalah letak rendah. Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah
letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah
lahir agar usus terisi oleh udara, dengan cara Wangenstein Reis yaitu kedua
kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah atau knee chest
position yaitu posisi sujud yang bertujuan agar udara berkumpul didaerah
paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi (Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien dengan atresia ani tidak selalu
menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Pada pemeriksaan klinis harus
segera ditegakkan diagnosis setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan
dengan memasukkan termometer melalui anus. (Levitt M, 2007)
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula
rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama
beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar
melalui fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian
distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang
menjaga rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup
tinggi untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu,
harus ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi

6
untuk menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M,
2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum,
ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan
bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini
berhubungan dengan atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan colostomy
(Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani
letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin
tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat
keluarnya mekonium) (Levitt M, 2007).

4.1.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang diketahui sebagai berikut:
1. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang
umum.
2. Pemeriksaan urin, jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa
adanya sel-sel epitel mekonium.
3. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat
menunjukkan adanya gas dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium
yang mencegah gas sampai keujung kantong rectal.
4. Ultrasound terhadap abdomen, dapat digunakan untuk menentukan letak
rectal kantong. Digunakan juga untuk melihat fungsi organ internal
terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya faktor reversible
seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
5. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum
tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat
jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
6. Pewarnaan radiopak dimasukkan kedalam traktus urinarius, misalnya suatu
sistrouretrogram mikturasi akan memperlihatkan hubungan rektrourinarius
dan kelainan urinarius.
7. CT Scan digunakan untuk menentukan lesi.
8.

7
4.2 Diagnosa
a. Gangguan pola eliminasi konstipasi berhubungan dengan abnormalitas organ.
b. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan feses masuk ke uretra.
c. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan mencerna makanan.
e. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi
f. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit, vistel
retrovaginal, dysuria, trauma jaringan post operasi.
g. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan perawatan tidak adekuat, trauma jaringan
post operasi.
h. Ansietas berhubungan dengan pembedahan dan mempunyai anak yang tidak
sempurna.

8
4.3 Perencanaan dan pelaksanaan

No Diagnosa Tujuan dan Intervensi Implementasi


Kriteria hasil
1 Gangguan Setelah 1. Monitor tanda 1. Memonitor
pola dilakukan dan gejala tanda dan
eliminasi 3x24 jam pola konstipasi gejala
konstipasi eliminasi 2. Monitor feses: konstipasi
b.d pasien cuku frekuensi, 2. Memonitor
abnormalit baik. konsistensi dan feses:
as organ Kriteria Hasil: volume frekuensi,
Eliminasi 3. Monitor bising konsistensi
konstipasi bayi usus dan volume
bisa, walau 4. Monitor tanda 3. Memonitor
hanya melalui dan gejala bising usus
anus buatan peritonitis(di 4. Memonitor
usus) tanda dan
5. Pantau tanda gejala
dan gejala peritonitis(di
konstipasi usus)
6. Jelaskan 5. Memantau
rasionalisasi dari tanda dan
tindakan yang gejala
dilakukan konstipasi
kepada keluarga 6. Menjelaskan
pasien (bayi) rasionalisasi
7. Dukung intake dari tindakan
cairan yang
dilakukan
kepada
keluarga
pasien (bayi)
7. Mendukung

9
intake cairan

2 Nyeri akut Setelah 1. Lakukan 1. Melakukan


b.d trauma dilakukan pengkajian nyeri pengkajian
jaringan perawatan secara nyeri secara
1x24 jam nyeri komprehensif, komprehensif,
pasien termasuk lokasi, termasuk
berkurang karakteristik, lokasi,
Kriteria Hasil: durasi, frekuensi, karakteristik,
Nyeri pada kualitasnya. durasi,
pasien(bayi) 2. Observasi reaksi frekuensi,
berkurang nonverbal dari kualitasnya
pada skala ketidaknyamanan 2. Mengobservas
nyeri1 setelah (misalnya: bayi i reaksi
dilakukan menangis) nonverbal dari
penanganan 3. Kontrol ketidaknyama
nyeri yang lingkungan yang nan
tepat serta dapat (misalnya:
didampingi mempengaruhi bayi
dengan nyeri seperti suhu menangis)
lingkungan ruangan, 3. Mengontrol
yang bersih pencahayaan,dll lingkungan
4. Pilih dan yang dapat
lakukan mempengaruh
penanganan i nyeri seperti
nyeri suhu ruangan,
pencahayaan,
dll
4. Memilih dan
melakukan
penanganan
nyeri
3 Gangguan Setelah 1. Dorong 1. Mendorong
rasa dilakukan keluarga untuk keluarga
10
nyaman perawatan menemani untuk
b.d gejala 1x24 jam nyeri pasien (bayi) menemani
terkait berkurang 2. Jaga kebersihan pasien (bayi)
penyakit, Kriteria hasil: daerah 2. Menjaga
vistel  Pasien penyakit/trauma kebersihan
retrovagin (bayi) tidak , pantau respon daerah
al, dysuria, lagi rewel pasien penyakit/trau
trauma karena 3. Beri pendidikan ma, pantau
jaringan area/lokasi kesehatan pada respon pasien
post penyakit keluarga pasien 3. Beri
operasi dan trauma (bayi) pendidikan
bersih dan kesehatan
selalu pada keluarga
dipantau pasien (bayi)

4 Ketidaksei Selama 1. Kolaborasi 1. Melakukan


mbangan dilakukan dengan ahli gizi kolaborasi
nutrisi perawatan untuk dengan ahli gizi
kurang 2x24 jam menentukan untuk
dari kebutuhan jumlah nutrisi menentukan
kebutuhan nutrisi pasien yang dibutuhkan jumlah nutrisi
tubuh b.d tercukupi pasien (bayi) yang
ketidakma Kriteria Hasil: 2. Monitor jumlah dibutuhkan
mpuan Nutrisi pasien nutrisi pasien (bayi)
mencerna sedikit demi 3. Kaji kemampuan 2. Memonitor
makanan sedikit pasien untuk jumlah nutrisi
terpenuhi mendapatkan 3. Mengkaji
nutrisi yang kemampuan
dibutuhkan pasien untuk
4. Berikan mendapatkan
informasi tentang nutrisi yang
kebutuhan nutrisi dibutuhkan
kepada keluarga 4. Memberikan

11
pasien informasi
tentang
kebutuhan
nutrisi kepada
keluarga pasien

5 Resiko Selama 1. Jaga kebersihan 1. Menjaga


kerusakan dilakukan dan pantau kebersihan dan
integritas perawatan didaerah yang di pantau didaerah
kulit b.d selama 3x24 kolostomi pada yang di
kolostomi jam tidak ada pasien (bayi) kolostomi pada
kerusakan 2. Oleskan lotion pasien (bayi)
jaringan pada atau minyak/baby 2. Mengoleskan
kulit. oil pada daerah lotion atau
Criteria hasil: yang beresiko minyak/baby
1. Tidak 3. Monitor status oil pada daerah
ada nutrisi pasien yang beresiko
tanda- 4. Monitor tanda 3. Memonitor
tanda dan gejala infeksi status nutrisi
infeksi pada area insisi pasien
pada 4. Memonitor
kulit tanda dan gejala
2. Ketebal infeksi pada
an dan area insisi
tekstur
jaringa
n
normal

6 Resiko Setelah 1. Jaga kebersihan 1. Menjaga


tinggi dilakukan lingkungan kebersihan
infeksi b.d perawatan 2. Pertahankan lingkungan
perawatan 3x24 jam teknik isolasi 2. Mempertahanka
tidak resiko tinggi 3. Berikan terapi

12
adekuat, infeksi pasien antibiotic bila n teknik isolasi
trauma berkurang perlu infection 3. Memberikan
jaringan Kriteria Hasil: protection terapi antibiotic
post Resiko infeksi 4. Monitor tanda bila perlu
operasi berkurang dan gejala infeksi infection
karena sistemik dan local protection
lingkungan 5. Berikan 4. Memonitor
yang bersih perawatan pada tanda dan gejala
serta penangan lokasi infeksi infeksi sistemik
cepat yang 6. Inspeksi kondisi dan local
dilakukan. luka 5. Memberikan
7. Inspeksi kulit dan perawatan pada
membran mukosa lokasi infeksi
terhadap 6. Melakukan
kemerahan, inspeksi kondisi
panas, drainase luka
8. Dorong 7. Melakukan
masukkan nutrisi inspeksi kulit
yang cukup dan membran
9. Ajarkan keluarga mukosa
pasien (bayi) terhadap
tanda dan gejala kemerahan,
infeksi panas, drainase
8. Mendorong
masukkan
nutrisi yang
cukup
9. Mengajarkan
keluarga pasien
(bayi) tanda dan
gejala infeksi

7 Ansietas Selama 1. Gunakan 1. Menggunakan


b.d dilakukan pendekatan yang pendekatan
13
pembedah perawatan menenangkan yang
an dan 1x24 jam 2. Jelaskan semua menenangkan
mempunya ansietas prosedur 2. Menjelaskan
i anak keluarga 3. Pahami semua prosedur
yang tidak pasien teratasi prespektif 3. Memahami
sempurna Kriteria Hasil: keluarga pasien prespektif
Keluarga terhadap situasi keluarga pasien
pasien sedikit stress terhadap situasi
berkurang rasa 4. Bantu keluarga stress
cemas setelah pasien mengenal 4. Membantu
diberi penkes situasi yang keluarga pasien
yang menimbulkan mengenal
berhubungan kecemasan situasi yang
dengan 5. Dorong keluarga menimbulkan
penyakit sang pasien untuk kecemasan
anak mengungkapkan 5. Mendorong
perasaan, keluarga pasien
ketakutan, untuk
persepsi mengungkapka
n perasaan,
ketakutan,
persepsi

4.4 Evaluasi
Evaluasi dalam asuhan keperawatan merupakan respon pasien terhadap intervensi
yang telah dilakukan. Evaluasi mengacu pada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Penulis
menggunakan evaluasi SOAP dalam asuhan keperawatan atresia ani sebagai berikut :
S: subjectiv
O: objektif
A: assesment
P: plan
Berikut evaluasi dari 3 diagnosa yang kami ambil:
14
DX 1: Gangguan pola eliminasi konstipasi b.d abnormalitas organ
S: Bayi rewel ketika tidak dapat melakukan konstipasi
O: Keringat dingin, suhu tubuh tinggi, bising usus pekak
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
DX 2: Gangguan rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit, vistel retrovaginal, dysuria, trauma
jaringan post operasi
S: Bayi gelisah dan rewel
O: Kebersihan area penyakit/trauma belum terpenuhi, tidak ada keluarga yang
mendampingi saat itu
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
DX 3: Nyeri akut b.d trauma jaringan
S: Bayi menangis ketika bergerak atau lokasi penyakit tersentuh
O : Skala nyeri bayi di angka 4
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi

15
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Atresia ani merupakan suatu penyakit dimana tidak ada lubang anus pada tempat
yang seharusnya. Penyakit ini biasanya terjadi pada bayi baru lahir. Atresia ani ini
dapat disebabkan oleh kelainan genetic dan lingkungan. Untuk mencegah
terjadinya atresia ani ini dapat dilakukan melalui pendidikan kesehatan kepada
keluarga khususnya ibu hamil mengenai informasi kesehatan ibu hamil,
pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan, promosi kesehatan
mengenai sanitasi lingkungan, dan menjauhkan ibu hamil dari bahan beracun
seperti asap rokok, nikotin, dan zat yang berbahaya lainnya. Untuk penanganannya
dapat dilakukan dengan kolostomi, yaitu pembuatan lubang pada abdomen yang
fungsinya sebagai pengganti anus.

5.2 Saran
Untuk mencegah penyakit atresia ani ini sebaiknya keluarga dengan ibu hamil
memperbaiki pola nutrisi saat kehamilan, serta menjaga kebersihan lingkungan
sekitar. Dan bagi perawat, sebaiknya dapat memberikan asuhan keperawatan secara
professional.

16
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediarik” Edisi ke-3.
Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6. Jakarta: EGC

Sri Kurnianingsih (ed), Monica Ester (Alih bahasa). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik..
Edisi ke-4. Jakarta: EGC

Faradilla, dkk. 2009. Anastesi pada tindakan posterosagital anorektoplasti pada kasus
malforasi anorektal. Faculty of Medicine – University of Riau Pekanbaru. [serial
online]
https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/06/
malformasi_anorektal_files_of_drsmed.pdf

Hidayat, A. Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika

[serial online]
https://www.academia.edu/8685826/ASKEP_PADA_PASIEN_ATRESIA_ANI [diakses
pada tanggal 29 Februari 2016]

[serial online]
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/767/bab21.PDF?sequence=6
[diakses pada tanggal 1 Maret 2016]

[serial online]
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/109/jtptunimus-gdl-heldanilag-5416-2-babii.pdf
[diakses pada tanggal 1 Maret 2016]

[serial online]
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23480/3/Chapter%20II.pdf [diakses pada
tanggal 1 Maret 2016]

17

Anda mungkin juga menyukai