PADA ANAK”
DISUSUN OLEH:
ANISA (P2012004)
DOKASEPTINA YERUSA (P2012049)
VIVIAN LESNUSSA (P20120290)
2022/2023
KATA PENGANTAR
Dengan ini kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA ATRESIA ANI”
Makalah ini kami susun untuk menambah ilmu serta untuk memenuhi salah satu tugas yang
diberikan oleh dosen Yosef Marsianus Karno,S.kep.,Ns.,M.kes pada mata kuliah Keperawatan
Anak II.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
menuju kearah yang lebih baik.
Dengan tersusunnya makalah ini semoga bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca
pada umumnya. Untuk itu kami sampaikan terima kasih dan maaf atas segala kekurangan dan
keterbatasan informasi yang kami miliki.
penulis
BAB I
PENDAHULUAN
B. Etiologi
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan
kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan pembentukan anus dari
tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan rectum,
sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen
autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier
penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan.
30% anak yang mempunyai sindrom genetic, kelainan kromosom atau kelainan congenital
lain juga beresiko untuk menderita atresia ani. Sedangkan kelainan bawaan rectum terjadi
karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus urogenital sehingga biasanya
disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkannya.
Faktor predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir
seperti :
1. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal,
jantung, trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe).
2. Kelainan sistem pencernaan.
3. Kelainan sistem pekemihan.
4. Kelainan tulang belakang.
C. Klasifikasi
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu:
1. Tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai melalui
saluran fistula eksterna.
Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina atau
rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi,
maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu.
2. Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalan keluar tinja.
Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi
spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
a. Anomali rendah
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat
sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan
tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
b. Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan sfingter
eksternal berada pada posisi yang normal.
c. Anomali tinggi
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini
biasanya berhubungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria) atau
rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum
lebih dari 1 cm.
Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi menjadi 2
golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I dibagi
menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rectum, perineum datar dan fistel
tidak ada. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra,
mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis menentukan
letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih,
berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin
mengandung mekonium maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar,
penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rectum tindakannya sama pada
perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada
invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi.
Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan
kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rectum dan fistel tidak ada. Pada fistel
vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar
sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat
divulva.
Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi
mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat
direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada
pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses
umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.Pada atresia rectum,
anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih
dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera
dilakukan kolostomi.
Golongan II pada laki – laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum,
membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada wanita ;
lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak
bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan
terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan, tindakan
definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara < 1 cm dari kulit pada
invertogram, perlu juga dilakukan pembedahan.
Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu kelainan fistel
perineum, stenosis anus dan fistel tidak ada. Lubang fistel perineum biasanya terdapat
diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu
menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya,
tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan
terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1cm dari kulit dapat
segera dilakukan pembedahan definitive. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu
segera dilakukan kolostomi.
D. Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit
karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik.Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur.
Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada
kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan.
Berkaitan dengan sindrom down. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan.
Terdapat tiga macam letak :
1. Tinggi (supralevator) : Rektum berakhir di atas M.Levator ani (m.puborektalis)
dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit perineum >1 cm. Letak
upralevator biasanya disertai dengan fistel kesaluran kencing atau saluran genital.
2. Intermediate : Rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak
menembusnya.
3. Rendah : Rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan
ujung rectum paling jauh 1 cm
Gangguan Pertumbuhan
Pembentukan Anus Dari
Tonjolan Embrionik
Vistel
Feces Tidak
Rektovaginal
Keluar
Dysuria
Operasi: Mual, Penumpukan Sisa
Anoplasti Muntah Metabolisme
Colostomi
Nyeri
Iritasi
Mukosa
Gangguan Rasa
Nyaman
Resti Kerusakan
Integritas Kulit
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya mekonium
setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal dan fistula
eksternal pada perineum (Suriadi, 2001). Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika bayi
tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran
abdomen, pembuluh darah di kulit abdomen akan terlihat menonjol (Adele,1996).
Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan salah satu
manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena cairan
empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium.
F. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai
berikut :
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
3. USG terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan
mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
a. Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang disebut diseksi
posterosagital atau plastik anorektal posterosagital.
b. Colostomi sementara
BAB III
KASUS
3.1 Pengkajian
Diperlukan pengkajian yang cermat dan teliti untuk mengetahui masalah
pasien dengan tepat, sebab pengkajian merupakan awal dari proses keperawatan. Dan
keberhasilan proses keperawatan tergantung dari pengkajian. Konsep teori yang
digunakan penulis adalah model konseptual keperawatan dari Gordon.
a. Menurut Gordon data dapat dikelompokkan menjadi 11 konsep yang meliputi:
1) Persepsi Kesehatan – Pola Manajemen Kesehatan
Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan perawatan di rumah.
2) Pola nutrisi – Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien dengan atresia
ani post kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual
dan munta dampak dari anestesi.
3) Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh
dibersihkan dari bahan - bahan yang melebihi kebutuhan dan dari produk
buangan. Oleh karena pada atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus,
sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi (Whaley & Wong,
1996).
4) Pola Aktivitas dan Latihan
Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menhindari kelemahan otot.
5) Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan
masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
6) Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka
inisisi.
7) Konsep Diri dan Persepsi Diri
Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort.
Terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan operasi
(Doenges, 1993).
c. Diagnosa Keperawatan
Data yang diperoleh perlu dianalisa terlebih dahulu sebelum mengemukkan
diagnosa keperawatan, sehingga dapat diperoleh diagnosa keperawatan yang spesifik.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien atresia ani yaitu:
Sebelum proses pembedahan :
1) Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik berhubungan dengan tidak
lengkapnya pembentukan anus (Suriadi, 2001).
2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
dan atu muntah (Doenges,1993).
3) Kecemasan keluarga berhubungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi
bayi (Suriadi, 2001).
d. Intervensi Keperawatan
Fokus intervensi keperawatan pada atresia ani adalah sebagai berikut :
Sebelum proses pembedahan :
1) Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik) berhubungan dengan tidak
lengkapnya pembentukan anus (Suriadi, 2001).
Tujuan : terjadi peningkatan fungsi usus
Kriteria hasil : pasien akan menunjukkan konsistensi tinja lembek,
terbentuknya tinja, tidak ada nyeri saat defekasi, tidak terjadi perdarahan.
Intervensi :
a) Dilatasikan anal sesuai program.
b) Pertahankan puasa dan berikan terapi hidrasi IV sampai fungsi usus normal.
2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
dan atau muntah (Doenges, 1993).
Tujuan : kebutuhan nurtisi tubuh tercukupi
Kriteria hasil : menunjukkan peningkatan BB, nilai laboratorium normal,
bebas tanda mal nutrisi.
Intervensi :
a) Pantau masukan/ pengeluaran makanan / cairan.
b) Kaji kesukaan makanan anak.
c) Beri makan sedikit tapi sering.
d) Pantau berat badan secara periodik.
e) Libatkan orang tua, misal membawa makanan dari rumah, membujuk anak
untuk makan.
f) Beri perawatan mulut sebelum makan.
g) Berikan isirahat yang adekuat.
h) Pemberian nutrisi secara parenteral, untuk mempertahankan kebutuhan
kalori sesuai program diit.
3) Kecemasan keluarga berhungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi bayi
(Suriadi, 2001 : 159).
Tujuan : memberi support emosional pada keluarga
Kriteria hasil : keluarga akan mengekspresikan perasaan dan pemahaman
terhadap kebutuhan intervensi perawatan dan pengobatan.
Intervensi :
a) Ajarkan untuk mengekspresikan perasaan.
b) Berikan informasi tentang kondisi, pembedahan dan perawatan di rumah.
c) Ajarkan keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan pasien.
d) Berikan pujian pada keluarga saat memberikan perawatan pada pasien.
e) Jelaskan kebutuhan terapi IV, NGT, pengukuran tanda – tanda vital dan
pengkajian.
Setelah proses pembedahan :
1) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi (Doenges, 1996).
Tujuan : tidak terjadi gangguan integritas kulit
Kriteria hasil : penyembuhan luka tepat waktu, tidak terjadi kerusakan di
daerah sekitar anoplasti.
Intervensi :
a. Kaji area stoma.
b. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar pada area
stoma.
c. Sebelum terpasang colostomy bag ukur dulu sesuai dengan stoma.
d. Yakinkan lubang bagian belakang kantong berperekat lebih besar sekitar 1/8
dari ukuran stoma.
e. Selidiki apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.
2) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges, 1993).
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil : tidak ada tanda – tanda infeksi, TTV normal, lekosit normal.
Intervensi :
a) Pertahankan teknik septik dan aseptik secaa ketat pada prosedur medis atau
perawatan.
b) Amati lokasi invasif terhadap tanda-tanda infeksi.
c) Pantau suhu tubuh, jumlah sel darah putih.
d) Pantau dan batasi pengunjung, beri isolasi jika memungkinkan.
e) Beri antibiotik sesuai advis dokter. .
3) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan (Doenges,
1996).
Tujuan : pasien akan melaporkan nyeri hilang atau terkontrol, pasien akan
tampak rileks
Kriteria hasil : ekspresi wajah pasien relaks, TTV normal.
e. Implementasi
Adalah tahap pelaksanaan atau implementasi terhadap rencana tindakan
keperawatan yang telah dibuat atau ditetapkan untuk perawat bersama klien ataupun
tenaga kesehatan lainnya guna mengatasi masalah kesehatan klien. Pelaksanaan
dilakukan sesuai dengan rencana tindakan yang telah divalidasi sesuai dengan kebutuhan
klien.
f. Evaluasi
Merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan ini adalah
membandingkan hasil yang telah dicapai setelah tahap pelaksanaan tidakan keperawatan
dengan tujuan dan criteria hasil yang diharapkan dalam tahap perrencanaan. Perawat
mempunyai 3 alternatif dalam mengevaluasi atau menentukan sejauh mana tujuan
tersebut tercapai, diantaranya adalah :
1. Tujuan tercapai : jika data subjektif dan objektif ditemukan pada saat
evaluasi telah memenuhi kriteria hasil.
2. Tujuan teratasi sebagian : jika data subjektif dan objektif yang ditemukan hanya
sebagian yang sesuai dengan kriteria hasil.
3. Tujuan belum tercapai : jika data subjektif dan objektif yang ditemukan tidak
sesuai dengan kriteria hasil.
TINJAUAN KASUS
3.1.1 PENGKAJIAN
An.A dibawa kerumah sakit pada jam 07:00 WIT pada tanggal 13 oktober 2022 Di RS
bhakti rahayu ambon, Keluarga pasien mengatakan bahwa Anak tersebut mengalami
Muntah, perut kembung dan membuncit tidak bisa buang air besar, kemudiaan anak
sering menagis dan terlihat gelisah saat meminum ASI. Kemudiaan keluarga pasien
membawa anak tersebut setelah ditanyakan pada keluarga dari kapan anak tersebut
seperti ini , keluarga mengatakan bahwa sudah sejak 4 hari sebelum kelahiran anak tetapi
baru disadari orang tua sejak anak berusia 8 hari,kemudiaan dilakukan TTV, Tanda-tanda
vital Nadi : 110 X/menit, Respirasi : 32 X/menit, Suhu axila :37º Celsius.
AKTIFITAS 0 1 2 3 4
Mandi
Berpakaian
Eliminasi
Mobilitas ditempat tidur
Pindah
Ambulansi
Makan .
Keterangan :
0 : Mandiri
1 : Dengan menggunakan alat bantu
2 : Dengan menggunakan bantuan dari orang lain
3 : Dengan bantuan orang lain dan alat bantu
4 : Tergantung total, tidak berpartisipasi dalam beraktifitas
h. Pola istirahat/tidur
Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga yang lain
i. Pola nutrisi metabolik
Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
e.Pola eliminasi
Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
f. Pola kognitif perseptual
Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientas i dengan baik pada
orang lain
g. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa dikaji
2) Ideal diri : belum bisa dikaji
3) Gambaran diri : belum bisa dikaji
4) Peran diri : belum bisa dikaji
5) Harga diri : belum bisa dikaji
h. Pola seksual Reproduksi
Klien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti tentang kepercayaan
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi dengan orang lain secara
mandiri
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu berespon terhadap
adanya suatu masalah
3.1.5 PEMERIKSAAN FISIK
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus
tampak merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer
yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan
hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan
vagina (FKUI, Ilmu Kesehatan Anak:1985).
26
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rectum tidak mempunyai lubang
keluar (Walley, 1996). Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada
sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan
pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Secara fungsional, atresia ani dibagi
menjadi 2 yaitu tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis
dan tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalan keluar tinja.
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan Sinar X terhadap abdomen, Ultrasound terhadap abdomen, CT Scan dan
Pemeriksaan fisik rektum. Penatalaksanaan Medis yang sering dilakukan pada pasien
atresia ani yaitu pada Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang
disebut diseksi posterosagital atau plastik anorektal posterosagital dan Colostomi
sementara.
4.2 Saran
Sebagai seorang perawat yang professional, maka seharusnya kita bisa melakukan
pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir terutama pada anggota badan yang rentan
mengalami kelainan kongenital seperti anus. Hal yang harus dilakukan adalah bayi
dilakukan colok dubur untuk mengetahui apakah bayi mempunyai anus atau tidak. Lalu
dianjurkan bayi untuk menginap di klinik atau RS dalam waktu 24 jam untuk mengetahui
apakah bayi sudah mengeluarkan mekonium atau tidak, kalau dalam jangka waktu
tersebut bayi sudah mengeluarkan mekonium maka bayi tidak mengalami kelainan.
Untuk ibu bayi yang mengalami atresia ani sebaiknya bias berkolaborasi dengan tim
medis dalam melakukan perawatan bayinya tersebut. Bayi terkadang dilakukan
pembedahan kolostomi dan harus dirawat secara ekstra agar kolostomi tersebut tidak
mengalami infeksi.
27
DAFTAR PUSTAKA
jtptunimus-gdl-sriwenidew-5112-2-bab2.pdf
http://hidayat2.wordpress.com/2009/04/11/askep-atresia-ani/
http://ainicahayamata.wordpress.com/nursing-only/keperawatan-anak/askep-
atresia-ani/
http://www.kapukonline.com/2010/03/askepatresiaani.html
28