Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat-Nya sehingga makalah dengan judul “Atresia Ani” dapat
terselesaikan dengan baik. Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklain
untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban Mata Kuliah Keperawatan
anak II serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas
yang diberikan.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dosen pengampu serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian
makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kami menyadari bahwa askep ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi referensi
bagi pembaca.
Terimakasih.
WassalamualaikumWr. Wb
i
ii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Atresia ani adalah kelainan congenital dimana lubang anus tertutup
secara abnormal. Atresia ani atau anus imperforate memiliki anus tampak
rata, cekung ke dalam, atau kadang berbentuk anus tetapi lubang anus yang
ada tidak terbentuk secara sempurna sehingga lubang tersebut tidak terhubung
dengan saluran rectum. Rectum yang tidak terhubung dengan anus maka
feses tidak dapat dikeluarkan dari dalam tubuh secara normal. Tidak adanya
lubang anus ini karena terjadi gangguan pemisahan kloaka pada saat
kehamilan.
Indonesia memiliki angka kejadian atresia ani sangat tinggi yaitu 90%.
Masyarakat pada daerah perkotaan sangat erat kaitannya dengan kepadatan
penduduk dan lingkungan yang kumuh. Lingkungan yang kumuh dapat
menjadi factor pendukung terjadinya atresia ani. Tingkat pendidikan dan
pengetahuan yang rendah dan pola nutrisi yang kurang baik memungkinkan
bahwa keluarga dengan ibu hamil kurang memperoleh informasi mengenai
kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan bayi dalam kandungan.
Lingkungan yang terpapar dengan zat zat racun seperti asap rokok, alcohol
dan nikotin dapat mempengaruhi perkembangan janin. Atresia ani merupakan
suatu penyakit yang terjadi karena factor genetic, lingkungan dan atau
keduanya. Kelainan ini harus segera ditangani, jika tidak maka akan terjadi
komplikasi seperti obstruksi intestinal, konstipasi dan inkontinensia feses.
Maka dari itu untuk menambah wawasan khususnya keluarga dengan
ibu hamil penulis mengangkat tema atresia ani ini untuk mengurangi angka
kejadian atresia ani di Indonesia. Makalah ini ditulis bertujuan untuk
mengetahui komplikasi, penatalaksanaan, dan asuhan keperawatan mengenai
atresia ani.
1
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui definisi atresia ani.
1.2.2 Mengetahui epidemiologi atresia ani.
1.2.3 Mengetahui etiologi atresia ani.
1.2.4 Mengetahui tanda dan gejala atresia ani.
1.2.5 Mengetahui patofisiologi atresia ani.
1.2.6 Mengetahui komplikasi dan prognosis atresia ani.
1.2.7 Mengetahi cara pengobatan pada atresia ani.
1.2.8 Mengetahui pencegahan atresia ani.
1.2.9 Mengetahui asuhan keperawatan pada klien atresia ani.
2
BAB 2. TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Atresia ani disebut juga anorektal anomali atau imperforata anus.
Merupakan kelainan kongenital dimana terjadi perkembangan abnormal pada
anorektal di saluran gastrointestinal. Atresia ani atau anus imperforata adalah
malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang ke luar
(Wong,2004). Pada Atresia ani bentuk anus tampak rata, cekung ke dalam,
kadan berbentuk seperti anus tetapi tidak ada lubang atau lubang abnormal
sehingga tidak terhubung dengan rectum. Atresia ani terjadi karena gangguan
pemisahan kloaka pada saat kehamilan.
2.2 Epidemiologi
Atresia Ani adalah kegagalan pemisahan kloaka saat embrional dalam
kandungan ibu yang sehungga tidak terbentuknya lubang anus. Sebenarnya
kelainan ini sangat mudah diketahui, tetapi bisa juga terlewatkan karena
kurangnya pemeriksaan pada perineum. Malformasi anorektal lebih banyak
ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Dengan angka kejadian rata-
rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000 pada setiap
kelahiran.
Dari data yang ditemukan kelainan yang paling banyak ditemui pada
bayi laki-laki adalah Fistula rektouretra lalu diikuti oleh fistula perineal.
Sedangkan pada bayi perempuan, jenis malformasi anorektal yang paling
banyak ditemui adalah anus imperforate kemudian diikuti fistula
rektovestibular dan fistula perineal.
Pada Orang tua yang mempunyai gen karier terhadap Atresia ani
mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan kepada anaknya dan 30%
Anak dengan kelainan genetik, kelainan kromosom atau kelainan kongenital
lain yang juga beresiko untuk menderita atresia ani.
Pada umumnya gambaran atresia ani yang terjadi pada 1,5%-2% atresia ani
adalah Atresia rektum, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 4:0.
Kejadian yang tinggi terjadi pada daerah India selatan (M Kisra, 2005).
3
Malformasi anorektal letak rendah lebih banyak ditemukan
dibandingkan malformasi anorektal letak tinggi itu adalah hasil penelitian
Boocock dan Donna di Manchester.
2.3 Etiologi
Penyebab dari atresia ani masih belum diketahui pasti. Pada beberapa
penelitian, atresia ani dapat disebabkan oleh kelainan genetic maupun factor
lingkungan yang terpapar oleh zat-zat beracun, lingkungan yang kumuh dan
pola nutrisi bayi selama dalam kandungan.
Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu :
1. Putusnya saluran pencernaan atas dengan daerah dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2. Adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara sempurna karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan dimana terjadi kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
4. Kelainan bawaan yang diturunkan dari orang tua. Jika kedua orang tua
menjadi carier maka 25%-30% menjadi peluang untuk terjadinya atresia
ani, kemudian adanya kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak
normal dan kelainan congenital lainnya juga dapat beresiko menderita
atresia ani.
5. Terjadinya gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus
urogenital, biasanya karena gangguan perkembangan septum urogenital
pada minggu ke-5 sampai ke-7 pada usia kehamilan,
2.4 Klasifikasi
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) dijelaskan bahwa, atresia ani
dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.
a. Golongan I yaitu pada anak penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi
menjadi 4 kelainan yaitu
4
1. Kelainan pada fistelurin
2. Atresia rectum,
3. Perineum yang datar
4. Tidak adanya Fistel.
Namun jika ada fistelurin, tampak mekonium keluar dari orifisium
eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika
urinaria. Cara menentukan letak fistelnya adalah dengan memasang kateter
urin. Dan jika kateter telah terpasang kemudian urin yang keluar jernih, itu
pertanda bahwa fistel terletak di uretra karena fistel tersebut tertutup kateter.
Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesika
urinaria kemudian pengeluaran feses tersebut tidak lancar, itu pertanda
penderita memerlukan kolostomi segera agar fases keluar dengan semestinya.
Pada perempuan penderita atresia rectum, tindakannya sama seperti laki-laki
yaitu harus dibuat kolostomi dan Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari
kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi juga.
b. Golongan II yaitu pada penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi 4
kelainan yaitu
1. Kelainan pada fistel perineum
2. Membran anal
3. Stenosis anus
4. Fisteltidakada.
Fistel perineum yang ada pada laki-laki ini sama dengan pada
wanita yaitu lubangnya terdapat anterior dari letak anus yang normal.
Sedangkan pada membran anal, biasanya terlihat bayangan mekonium di
bawah selaput. Saat evakuasi feses sedang tidak ada sebaiknya dilakukan
terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan
perempuan yaitu tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel
dan udara.
c. Golongan I pada perempuang dibagi 5 kelainan yaitu :
1. Kelainan kloaka
2. Fistel vagina
5
3. Fistel rektovestibular
4. Atresia rectum
5. Fistel tidak ada
6. Invertogram : udara >1 cm dari kulit
Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi
fecesnya menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi.
Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat di vulva. Umumnya evakuasi
feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai
terhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat
direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka
maka tidak perlu ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis
dan jalan cernanya. Evakuasi pengeluaran feses yang umumnya tidak
sempurna sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Pada atresia rectum,
anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan dubur, jari tidak dapat
masuk lebih dari 1-2 cm. Dan tidak ada evakuasi mekonium sehingga
perlu juga segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuatin
vertogram.
d. Golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu
Kelainan pada fistel perineum,
Stenosis anus
Fistel tidak ada
Invertogram : udara <1 cm dari kulit.
Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan
tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu
menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat
yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga
biasanya harus segera dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan
pada invertogram udara.
Selanjutnya klasifikasi atresia ani juga dibagi menjadi ada 4 yaitu :
1. Anal stenosis yaitu terjadinya penyempitan anus sehingga feses tidak
dapat keluar pada semestinya.
6
2. Membranosus atresia adalah terdapat membrane pada anus.
3. Anal agenesis yaitu penderita masih memiliki anus tetapi ada daging
diantara rectum dengan anus.
4. Rectal atresia adalah penderita yang tidak memiliki rektum.
7
Gambaran malforasi anorektal pada perempuan
2.6 Patofisiologi
Atresia ani terjadi dikarenakan kegagalan penurunan septum
anorektal pada embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik
bagian belakang. Kloaka yang merupakan bakal genitourinaria dan
struktur anorektal berkembang awalnya dari ujung ekor dari bagian
belakang. Penyempitan pada kanal anorektal menyebabkan terjadinya
stenosis anal. Atresia ani sendiri terjadi karena tidak ada kelengkapan
migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 minggu dalam
perkembangan fetal. Kegagalan migrasi tersebut juga diakibatkan karena
kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan
8
vagina. Di usus besar yang keluar hingga anus tidak terjadi pembukaan
sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal
mengalami obstruksi. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi
dan adanya fistula. Obstruksi tersebut berakibat distensi abdomen,
sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin
akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses
mengalir ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau
perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak tinggi,
umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate.
(rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju ke uretra
(rektourethralis).
2.7 Komplikasi & prognosis
2.7.1 Komplikasi
a. Asidosis hiperkloremia.
b. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
c. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet
training.
d. Komplikasi jangka panjang yaitu
a) eversi mukosa anal,
b) stenosis (akibat konstriksi jaringan perut dianastomosis).
c) Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan
d) Prolaps mukosa anorektal.
e) Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
f) Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan
dan infeksi).(Ngastiyah, 2005).
Factor factor yang dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi pada
atresia ani adalah kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan
operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, dan
9
keterampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang
buruk.
2.7.2 Prognosis
Kelainan anorektal letak rendah biasanya dapat diperbaiki
dengan pembedahan melalui perineum dan prognosis baik untuk
kontinensia fekal. Sedangkan beda dengan kelainan anorektal letak
tinggi diperbaiki dengan pembedahan sakroperineal atau
abdominoperineal. Adapun pada kelainan ini, sfingterani eksternus
tidak memadai dan tidak ada sfingter ani internus, maka
kontinensia fekal tergantung fungsi otot puborektalis (DeLorimer
1981 ; Iwai et al 1988). Ong dan Beasley (1990) mendapatkan hasil
penelitian klinis, dalam jangka panjang dari kelainan anorektal
letak rendah yang dilakukan operasi perineal lebih dari 90%
penderita mencapai kontrol anorektal yang secara sosial dapat
diterima. Insidensi “soiling” pada penderita umur lebih 10 tahun
lebih rendah dibanding penderita yang lebih muda. Pada kelainan
anorektal letak tinggi hasilnya hanya 1/3 yang baik, 1/3 lagi dapat
mengontrol kontinensia fekal. Pada wanita hasilnya lebih baik
daripada laki-laki karena pada wanita lesi seringkali intermediet.
Kebanyakan lesi supralevator dengan tindakan PSARP dapat
dikerjakan melalui perineum tanpa membuka abdomen (Smith,
1990). masalah-masalah kontinensia biasanya terjadi pada
beberapa penderita dengan kelainan anorektal letak tinggi terutama
ketika dilakukan pembedahan dibanding letak rendah.
2.8 Pengobatan
Penatalaksanaan atresia ani ini berbeda, tergantung pada letak ketinggian
akhiran rectum dan ada tidaknya fistula. Leape (1987) menganjurkan pada:
1. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau
TCD dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif
(PSARP)
10
2. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas
otot sfingter ani ekternus
3. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion yaitu tindakan
pembedahan untuk membuat lubang anus pada anus malformasi fistel
rendah misalnya pada anocutan fistel, anus vestibular yang tidak adekuat
dan pada anus membranaseus
4. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin
11
otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi
untuk menambah berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya.
c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari
setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Awalnya BAB akan
sering tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan
agak padat.
d. Perawatan Postoperasi
Setelah menjalani operasi, dua minggu kemudian pasien menjalani
anal dilatasi dua kali setiap hari sampai ukuran busi sesuai dengan umur
pasien dan saat businasi terasa lancar dan tidak terasa sakit. Kemudian
dilakukan tappering businasi dengan menurunkan frekuensi sampai
beberapa bulan, biasanya sekitar 6 bulan. Orang tua pasien harus
diikutsertakan dalam program ini karena orang tua yang menjalankan dan
orang yang paling dekat dengan anak.
2.9 Pencegahan
1. Melakukan pendidikan kesehatan kepada keluarga khususnya ibu hamil
mengenai informasi kesehatan ibu hamil, pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam kandungan.
2. Promosi kesehatan mengenai sanitasi lingkungan.
3. Menjauhkan ibu hamil dari bahan beracun seperti asap rokok, nikotin,
dan zat yang berbahaya lainnya.
12
13
BAB 4 ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
4.1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : -
Demografi: lingkungan yang kumuh dan pemukiman yang padat
dapat mempengaruhi terjadinya atresia ani
Umur: 1 hari
Jenis Kelamin: laki-laki
Atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki laki
daripada perempuan
No. Reg: -
Tanggal Masuk RS: -
Diagnosa Medis: Atresia Ani
4.1.2 RIWAYAT KESEHATAN
a. Keluhan Utama
Pasien tidak memiliki anus sejak lahir
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama
kelahiran, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air
besar, meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat
dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kedua orang tua merupakan carier dari atresia ani, adanya
kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak normal dan
kelainan congenital lainnya. Riwayat penggunaan obat-obatan
tanpa resep, konsumsi jamu-jamuan, riwayat jatuh, trauma pada
perut disangkal.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya riwayat keluarga yang juga memiliki kelainan tidak
memiliki anus sejak lahir.
14
e. Riwayat Kesehatan Lingkungan
umumnya kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi secara
langsung kasus atresia ani ini. Hanya saja, lingkungan yang
kumuh dan padat tidak menutup kemungkinan menyebabkan
awalan terjadinya penyakit atresia ani pada janin yang masih
didalam kandungan.
4.1.3 POLA FUNGSI KESEHATAN
a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Pasien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang
apa yang dirasakan dan apa yang diinginkan karena pasien
merupakan bayi.
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri
karena masih bayi.
c. Pola istirahat/tidur
Pasien merasakan nyeri sehingga mengganggu waktu
istirahatnya. Diperoleh dari keterangan ibu bayi atau keluarga
yang lainnya, ketika saat jam istirahat, pasien gelisah dan rewel.
d. Pola nutrisi metabolik
Pasien yang merupakan bayi hanya minum ASI atau susu
kaleng, namun bisa saja dimuntahkan kembali ketika perut
terasa penuh, dan akibat terhambatnya melakukan konstipasi.
e. Pola eliminasi
Pasien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
yang seharusnya dikeluarkan melalui anus.
f. Pola kognitif perseptual
Pasien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi
dengan baik pada orang lain dikarenakan masih bayi. Keluarga
pasien pun belum terlalu paham mengenai penyakit yang
diderita pasien.
g. Pola konsep diri
15
1) Identitas diri : belum bisa terkaji
2) Ideal diri : belum bisa terkaji
3) Gambaran diri : belum bisa terkaji
4) Peran diri : belum bisa terkaji
5) Harga diri : belum bisa terkaji
h. Pola seksual Reproduksi
Pasien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena pasien belum mengerti tentang
kepercayaan.
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena pasien belum mampu berinteraksi
dengan orang lain secara mandiri.
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena pasien masih bayi dan belum mampu
berespon terhadap adanya suatu masalah.
16
4. Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada
pernafasan cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.
5. Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak
macroglosus, tidak cheilochisis.
6. Telinga
Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago
berbentuk sempurna
7. Leher
Tidak ada webbed neck.
8. Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel
shest, pernafasan normal
9. Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
10. Abdomen
Inspeksi : datar, lemas, tampak stoma kesan vital, produksi
feses positif.
Auskultasi : bising usus positif, normal
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa.
Perkusi : timpani
11. Genetalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak
ada hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
12. Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar,
kadang-kadang tampak ileus obstruksi. Thermometer yang
dimasukan kedalam anus tertahan oleh jaringan. Pada
auskultasi terdengar peristaltic.
13. Ektrimitas atas dan bawah
17
Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan
maupun kaki dan kukunya tampak agak pucat.
14. Punggung
Tidak ada penonjolan spina gifid
15. Pemeriksaan Reflek
a. Suching +
b. Rooting +
c. Moro +
d. Grip +
e. Plantar +
18
cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti,
apabila akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostomi
terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila
mekonium didapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel
perianal maka kelainan adalah letak rendah. Bila Pada pemeriksaan
fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah.
Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar
usus terisi oleh udara, dengan cara Wangenstein Reis yaitu kedua
kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah atau
knee chest position yaitu posisi sujud yang bertujuan agar udara
berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan
fistulografi (Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien dengan atresia ani tidak selalu
menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Pada pemeriksaan
klinis harus segera ditegakkan diagnosis setelah lahir dengan
inspeksi daerah perianal dan dengan memasukkan termometer
melalui anus. (Levitt M, 2007)
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi
dengan fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen
tidak ditemukan selama beberapa jam pertama setelah lahir dan
mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau
fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada
bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga
rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus
cukup tinggi untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi
rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk
menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan apakah
akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M, 2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat
perineum, ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple
19
mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang
sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak
tinggi dan harus dilakukan colostomy (Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan
atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum,
"bucket-handle" (skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan
adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium) (Levitt
M, 2007).
20
7. CT Scan digunakan untuk menentukan lesi.
4.2 Diagnosa
a. Gangguan pola eliminasi konstipasi berhubungan dengan abnormalitas
organ.
b. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan feses masuk ke uretra.
c. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna makanan.
e. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi
f. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit,
vistel retrovaginal, dysuria, trauma jaringan post operasi.
g. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan perawatan tidak adekuat,
trauma jaringan post operasi.
h. Ansietas berhubungan dengan pembedahan dan mempunyai anak yang
tidak sempurna.
21
4.3 Perencanaan dan pelaksanaan
22
pasien (bayi)
7. Mendukung
intake cairan
23
melakukan
penanganan
nyeri
3 Gangguan Setelah 1. Dorong 1. Mendorong
rasa dilakukan keluarga untuk keluarga
nyaman perawatan menemani untuk
b.d gejala 1x24 jam nyeri pasien (bayi) menemani
terkait berkurang 2. Jaga kebersihan pasien (bayi)
penyakit, Kriteria hasil: daerah 2. Menjaga
vistel Pasien penyakit/trauma kebersihan
retrovagin (bayi) tidak , pantau respon daerah
al, dysuria, lagi rewel pasien penyakit/trau
trauma karena 3. Beri pendidikan ma, pantau
jaringan area/lokasi kesehatan pada respon pasien
post penyakit keluarga pasien 3. Beri
operasi dan trauma (bayi) pendidikan
bersih dan kesehatan
selalu pada keluarga
dipantau pasien (bayi)
24
terpenuhi mendapatkan jumlah nutrisi
nutrisi yang 3. Mengkaji
dibutuhkan kemampuan
4. Berikan pasien untuk
informasi tentang mendapatkan
kebutuhan nutrisi nutrisi yang
kepada keluarga dibutuhkan
pasien 4. Memberikan
informasi
tentang
kebutuhan
nutrisi kepada
keluarga pasien
25
an dan area insisi
tekstur
jaringa
n
normal
26
pasien (bayi) kemerahan,
tanda dan gejala panas, drainase
infeksi 8. Mendorong
masukkan
nutrisi yang
cukup
9. Mengajarkan
keluarga pasien
(bayi) tanda dan
gejala infeksi
27
persepsi mengungkapka
n perasaan,
ketakutan,
persepsi
4.4 Evaluasi
Evaluasi dalam asuhan keperawatan merupakan respon pasien terhadap
intervensi yang telah dilakukan. Evaluasi mengacu pada penilaian, tahapan,
dan perbaikan. Penulis menggunakan evaluasi SOAP dalam asuhan
keperawatan atresia ani sebagai berikut :
S: subjectiv
O: objektif
A: assesment
P: plan
Berikut evaluasi dari 3 diagnosa yang kami ambil:
DX 1: Gangguan pola eliminasi konstipasi b.d abnormalitas organ
S: Bayi rewel ketika tidak dapat melakukan konstipasi
O: Keringat dingin, suhu tubuh tinggi, bising usus pekak
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
DX 2: Gangguan rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit, vistel retrovaginal,
dysuria, trauma jaringan post operasi
S: Bayi gelisah dan rewel
O: Kebersihan area penyakit/trauma belum terpenuhi, tidak ada keluarga
yang mendampingi saat itu
A: Masalah teratasi
28
P: Hentikan intervensi
DX 3: Nyeri akut b.d trauma jaringan
S: Bayi menangis ketika bergerak atau lokasi penyakit tersentuh
O : Skala nyeri bayi di angka 4
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Atresia ani merupakan suatu penyakit dimana tidak ada lubang anus
pada tempat yang seharusnya. Penyakit ini biasanya terjadi pada bayi
baru lahir. Atresia ani ini dapat disebabkan oleh kelainan genetic dan
lingkungan. Untuk mencegah terjadinya atresia ani ini dapat dilakukan
melalui pendidikan kesehatan kepada keluarga khususnya ibu hamil
mengenai informasi kesehatan ibu hamil, pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam kandungan, promosi kesehatan mengenai
sanitasi lingkungan, dan menjauhkan ibu hamil dari bahan beracun
seperti asap rokok, nikotin, dan zat yang berbahaya lainnya. Untuk
penanganannya dapat dilakukan dengan kolostomi, yaitu pembuatan
lubang pada abdomen yang fungsinya sebagai pengganti anus.
5.2 Saran
Untuk mencegah penyakit atresia ani ini sebaiknya keluarga dengan ibu
hamil memperbaiki pola nutrisi saat kehamilan, serta menjaga
kebersihan lingkungan sekitar. Dan bagi perawat, sebaiknya dapat
memberikan asuhan keperawatan secara professional.
29
Daftar Pustaka
Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediarik”
Edisi ke-3. Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC
[serial online]
https://www.academia.edu/8685826/ASKEP_PADA_PASIEN_ATRESIA_ANI
[diakses pada tanggal 29 Februari 2016]
[serial online]
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/767/bab21.PDF?
sequence=6 [diakses pada tanggal 1 Maret 2016]
[serial online]
30
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/109/jtptunimus-gdl-heldanilag-5416-2-
babii.pdf [diakses pada tanggal 1 Maret 2016]
[serial online]
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23480/3/Chapter%20II.pdf
[diakses pada tanggal 1 Maret 2016]
31