Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

Atresia Ani

Kelompok 2:

Wulandari Dwi Putri 105111104621


Eka Putri Ayu 105111102021
Helma Ramadhani 105111103221
Nadia Putri Ilhamsyah 105111100821
Nadia Khaerunnisa 105111100521
Estepi 105111102121
Siti Nur Atikah 105111102221

PRODI D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat
kesehatan, iman, dan ilmu pengetahuan kepada umat manusia. Atas dasar nikmat
tersebut itulah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Atresia Ani"

Dalam penulisan makalah ini kami banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, kami dalam kesempatan kali ini mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Ratna matmuh S.Kep.Ns.M.Kep. Selaku dosen mata kuliah
Keperawatan Anak yang telah memberikan berbagai arahan dan pelajaran dalam
pengkajian Down syndrom terbentuknya makalah ini.

Kami sadar bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, hal
itu dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif dan bersifat membangun
dari dosen, rekan mahasiswa, dan para pembaca sekalian. Akhir kata, kami
memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan.

Makassar, 30 Mei 2023

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kelainan kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000-10000
kelahiran, sedangkan atresia ani didapatkan 1 % dari seluruh kelainan
kongenital pada neonatus dan dapat muncul sebagai penyakit tertersering.
Jumlah pasien dengan kakasus atratresia ani pada laki-laki banyak
ditemukan dari pada pasien perempuan.
Insiden terjadinya atresia ani berkisar dari 1500-5000 kelahiran
hidup dengan sedikit Insiden terjadi pada laki-laki. 20 % -75 % bayi yang
menderita atratresi ani menderita ananomali lailain. Kejadian tertersering
pada laki-laki dan perempuan adalah imperforata dengan fistula antara usus
distal uretra pada laki-laki dan vestibulum vagina pada perempuan (Alpers,
2006).
Angka kajadian kasus di Indonesia sekitar 90 %. Berdasarkan dari
data yang didapatkan penulis, kasus atresia ani yang terjadi di Jawa Tengah
khususnya Semaran penulis, kasus atresia ani yang terjadi di Jawa Tengah
khususnya Semarang yaitu sekitar 50% dari tahun 2007-2009. Menyikapi
kasus yang demikian serius akibat dari komplikasi penyakit atresia ani,
maka penulis mengangkat kasus atresia ani untuk lebih memahami
perawatan atresia ani, maka penulis mengangkat kasus atresia ani untuk
lebih memahami perawatan pada pasien dengan atresia ani

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Medis
1. Pengertian Atresia ani
Malformasi anorektal dalam dunia kedokteran disebut juga sebagai
anus imperforata, atresia ani atau kelainan ektopik anal. Malformasi
anorektal adalah kelainan kongenital yang meliputi anus, rektum, atau
batas di antara keduanya. Malformasi anorektal termasuk kelainan-
kelainan kongenital yang terjadi karena gangguan pemisahan kloaka
menjadi rektum dan sinus urogenital. Pada kelainan bawaan anus
umumnya tidak terdapat kelainan rektum, sfingter dan otot dasar
panggul. Malformasi anorektal termasuk ke dalam sindroma VACTERL
(defek Vertebra, malformasi anorektal, defek Cardiac, fistula Tracheo-
Esofageal, anomaly Renal, abnormal Limb). Enam puluh sampai
Sembilan puluh persen penderita dengan sindrom VACTERL
mempunyai penyempitan atau blokade pada anus (malformasi
anorektal). Malformasi anorektal bisa disertai dengan kelainan pada
genital dan traktus urinaria.
Malformasi anorektal atau atresia ani merupakan satu dari berbagai
kelainan kongenital yang terjadi pada anak. Atresia ani (anus
Imperforate) merupakan suatu keadaan lubang anus tidak memiliki
lubang. Kata Atresia berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti tidak
ada, dan trepsis yang artinya nutrisi atau makanan. Menurut istilah
kedokteran, atresia ani adalah merupakan keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang badan yang normal.
Atresia ani adalah kelainan kongenital atau bawaan yang
menunjukan keadaan seseorang tanpa anus atau anus yang tidak
sempurna. Perkembangan terkini untuk mengatasi malformsi anorectal
diantaranya yaitu terapi pembeahan yang sudah pernah dijumpai cut
back sederhana hingga yang sering dikerjakan saat ini, yang disebut
posterior saggital anorectoplasty (PSARP)
2. Etiologi
Kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam proses embriogenesis
dapat menyebabkan terjadinya malaformasi pada jaringan atau organ.
Perkembangan awal dari suatu jaringan atau organ tersebut berhenti,
melambat atau menyimpang sehingga menyebabkan terjadinya suatu
kelainan struktur yang menetap. Kelainan ini mungkin terbatas hanya
pada satu daerah anatomi, mengenai seluruh organ, atau mengenai
berbagai system tubuh yang berbeda (Effendi SH, Indrasanto E, 2019).
Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis
menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan
anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan
proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator
ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus
dan internus dapat tidak ada atau rudimeter.
Etiologi malformasi anorektal belum diketahui penyebabnya, namun
terdapat beberapa teori menyatakan bahwa malformasi anorektal dapat
disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah :
1. Kelainan genetic
2. Ibu terpapar bahan toxic pada saat kehamilan
3. Infeksi
4. Malnutrisi
5. Terputusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur,
sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
6. Gangguan organogenesis dalam kandungan
7. Berkaitan dengan sindrom down
8. Dapat disebabkan oleh beberapa zat seperti ethinylthiorea, turunan
asam retinoik dan adriamisin.
Menurut (Betz & Gowden, 2018) dalam buku saku keperawatan
pediatrik edisi7 menyebutkan beberapa etiologi atresia ani seperti :
1. Adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara sempurna
dikarenakan adanya gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan
anus dari tonjolan embrionik.
2. Terputusnya saluran cerna bagian atas dengan dubur sehingga
menyebabkan bayi lahir tanpa lubang anus
3. A danya gangguan organogenesis saat masa kehamilan penyebab
atresia ani, biasanya kegagalan pertumbuhan bayi dalam kandungan
saat berumur 12 minggu atau 3 bulan.
4. Kongenital, dimana sfingter internal yang mungkin tidak memadai

3. Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum
urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau
pembentukan anus dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum
berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian
belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal
genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya
penyempitan pada kanal anorektal.
Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan perkembangan
struktur kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan fetal.
Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral
dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus
besar yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat
dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya saluran
pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir
tanpa lubang anus. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat
tiga letak:
1. Tinggi (supralevator) rektum berakhir di atas M. levator ani (M.
puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit
perineum lebih dari 1 cm. Letak upralevator biasanya disertai
dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
2. Intermediate rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak
menembusnya.
3. Rendah rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak
antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm.

4. Manifestasi klinis
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih
tinggiPada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita
sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air
besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah
rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula
rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang
rektoperineal. Gejala yang akan timbul:
1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya
salah.
4. Perut kembung.
5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam

5. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis
malformasi anorektal, seperti:
1. Prone cross-table lateral view
2. USG (Ultrasonography)
Pemeriksaan malformasi anorektal dengan menggunakan USG
merupakan pemeriksaan yang cukup sederhana di rumah sakit.
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan antara anal dan rektum
yang buntu (Tanto C, Budianto IR, 2010).
3. Invertogram (knee chest position)
Pemeriksaan invertogram digunakan untuk menentukan hubungan
antara ujung distal rektum dengan perineum. Pasien dibiarkan dalam
posisi knee-chest selama 5-10 menit, kemudian dilakukan foto
lateral. Apabila jarak rectum dan kulit 1cm disebut lesi letak tinggi
(Tanto C, Budianto IR, 2018). Sewaktu foto diambil, bayi diletakan
terbalik (kepala dibawah) atau tidur telungkup, dengan sinar
horizontal diarahkan ke trokanter mayor. Selanjutnya diukur jarak
dari ujung udara yang ada diujung distal rektum ke tanda logam di
perineum
4. MRI atau CT-scan
Pemeriksaan dengan menggunakan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) atau CT-scan (Computed Tomography) untuk
mengevaluasi kompleks otot pelvis dan panggul (Tanto C, Budianto
IR, 2018).
5. Urinalis
Pemeriksaan urinalisis dilakukan pada anak laki-laki untuk
mengetahui fistel urin (mekoneum keluar melalui saluran kemih).
Pada anak perempuan untuk tipe kloaka (saluran kemih, vagina dan
rektum bermuara pada satu lubang di daerah kemaluan).
6. Pemeriksaan Lain
Dilakukan pemeriksaan lain karena anak dengan malformasi
anorektal memiliki asosiasi dengan kelainan lainnya. Asosiasi
VACTERL (vertebral, anal, cardiac, tracheal-esophageal, renal,
limb) harus diselidiki pada setiap pasien dengan malformasi
anorectal (Tanto C, Budianto IR, 2018). Sedangkan menurut (Betz
& Gowden, 2018) menjelaskan beberapa pemeriksaan penunjang
lainnya adalah :
a. Pemeriksaan radiologi, ini dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya obstuksi intestinal
b. sinar X abdomen, akan berguna untuk menentukan kejelasan
gambar keseluruhan bowel serta mengetahui jarak pemanjangan
kantung rectum dari sfingternya
c. Pvelografi intra vena, menilai pelviokalises dan ureter
d. Pemeriksaan fisik rectum, biasanya akan dilakukan colok dubur
atau lebih mudahnya dilakukan pengecekan suhu melalui anus.

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan malformasi anorektal bergantung pada
klasifikasinya.
1. Tata laksana umum
Tata laksana umum untuk anak dengan malformasi anorektal adalah
sebagai berikut:
a. Pasien dipuasakan.
b. Cairan intravena, dpat diberikan kristaloid.
c. Tata laksana kondisi yang mengancam hidup seperti infeksi,
hipotermi, dan lain-lain. Antibiotik spectrum luas dapat
diberikan.
d. Edukasi kepada keluarga pasien mengenai prosedur operasi
beberapa tahap dan lama, adanya kemungkinan infeksi dan
operasi berulang, terjadi neurogenic bladder, dan inkontinensia
alvi pasca-operasi (Behrman RE, Kliegman RM, 2020)
2. Tata laksana operatif
Pasien dengan kasus malformasi anorektal dirujuk ke spesialis
bedah anak untuk mendapatkan tata laksana defenitif. Tata laksana
operatif pada bayi laki-laki dan perempuan berbeda bergantung
kepada jenis dan atau letak lesi.
a. Bayi laki-laki
1) Apabila pada pemeriksaan fisis didapatkan lesi letak rendah
(fistula perineum, bucket handle, stenosis anal, anal
membran, dan fistula midline raphe), kolostomi tidak
diperlukan. Anak hanya memerlukan tindakan PSARP
(Posterior Sagittal Anorectoplasty) minimal. Pada tindakan
ini dilaukan pemisahan rectum dan hanya otot sfingter
eksternus yang di belah.
2) Apabila didapatkan pasien dengan flat bottom atau ada
mekonium di dalam urin atau udara pada kandung kemih,
koostomi diperlukan sebelum operasi defenitif. Empat
sampai delapan minggu setelahnya, PSARP dapat
dikerjakan.
3) Apabila dari pemeriksaan klinis masih meragukan,
invertogram dikerjakan. Apabila jarak kulit dan usus >1 cm,
kolostomi perlu dilaukan sebelum PSARP (Tanto C,
Budianto IR, 2018).
b. Bayi perempuan
1) Adanya kloaka pada bayi perempuan merupakan kondisi
yang sangat serius dan diperlukan tindakan segera.
Kolostomi, vesikostomi, dan vaginostomi mungkin
dikerjakan. Apabila bayi tumbuh dengan keadaan baik,
PSARVUP (Posterior Anorectoplasty & Vaginal-
urethroplasty) akan dikerjakan enam bulan kemudian
2) Pasien dengan fistula agina/vestibular akan menjalani
kolostomi diikuti dengan PSARP 4-8 minggu kemudian.
3) Pasien dengan fistula kutaneus/perineum menjalani minimal
PSARP tanpa kolostomi pada masa nenonatus sebagai terapi.
4) Pasien tanpa fistula yang tidak terhubung dengan genital atau
perineum memerlukan invertogram (Sadler TW,2012)
c. Manajemen penanganan
Pada kasus lesi letak rendah (laki-laki dan perempuan),
dilakukan prosedur perbaikan tunggal tanpa kolostomi. Terdapat
tiga jenis pendekatan yang digunakan:
1) Fistula terletak di lokasi normal. Dilatasi (businasi) saja
biasanya bersifat kuratif
2) Fistula terletak di anterior sfingter eksternus dengan jarak
lubang ke pertengahan sfingter dekat. Pada kasus ini
dilakukan PSARP minimal.
3) Fistula terletak di anterior sfingter eksternus dengan jarak
lubang ke pertengahan sfingter jauh. Pada kasus ini
dapatdilakukan limited PSARP dimana otot sfingter
eksternus, serabut otot, dan kompleks otot dibedah, tetapi
tidak membelah os. koksigeus.
Pada kasus letak sedang dan tinggi, diperlukan rekonstruksi yag
terdiri dari tiga tahap:
1) Tahap 1: kolostomi. Pada tahap ini, kolon sigmoid dibagi
utuh menjadi 2 bagian distal untuk mukosa fistula.
2) Tahap 2: prosedur pull through. Prosedur ini dilakukan 3-6
bulan setelah kolostomi. Dilakukan penarikan kantung rektal
yang paling ujung ke posisi normal. PSARP (posteriosagital
rektoanoplasti) merupakan prosedur yang paling sering
digunakan. PSARP membelah otot sfingter eksternus,
kompleks otot, dan os. koksigeus.
3) Tahap 3: penutupan kolostomi dan businasi. Dilatasi anus
(businasi) dimulai 2 minggu setelah tahap 2 sampai ukuran
businasi sudah tercapai sesuai usia baru dilakukan penutupan
kolostomi (Tanto C, Budianto IR, 2010).
Menurut (Suriadi & Yuliani, 2020) penatalaksanaan pada
penderita atreia ani adalah sebagai berikut :
1) Penatalaksanaan Medis
2) Prosedur pembedahan, prosedur ini dapat dilakukan saat
klien baru lahir sesuai dengan tingkat keparahan defek. Pada
umunya atresia ani dengan anomaly letak tinggi akan
dilakukan pembuatan kolostomi beberapa hari setelah lahir,
bedah definitifnya yaitu anoplasty perienal atau prosedur
penarikan perineum abdominal. Sedangkan untuk atresia ani
letak rendah dapat dilakukan penarikan kantong rektal
(Posterior Sagittal Anorectoplasty/ PSARP) melalui sfingter
sampai ke lubang pada kulit analdan apabila terdapat fistula
maka fistula akan ditutup.Dan dilatasi anal, ini dapat
dilakukan secara digital ataupun manual. Dilatasi anal
dilakukan dua kali sehari selama 30 detik dalam jangka
waktu 1-2 minggu menggunakan hegar dilator, ukuran
dilator akan terus diganti ke ukuran yang lebih besar setiap
minggunya.
3) Pemberian cairan parenteral (KAEN 3B)
4) Pemberian antibiotic guna mencegah infeksi pasca operasi
seperti cefotaxime dan gramicin.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1. IDENTITAS PASIEN
Nama, Tempat tanggal lahir, Umur, Jenis Kelamin, Alamat, Agama,
Suku, Bangsa, Pendidikan, Pekerjaan , No. CM, Tanggal Masuk RS,
Diagnosa Medis
2. RIWAYAT KESEHATAN
a. Keluhan Utama : Distensi abdomen
b. Riwayat Kesehatan Sekarang : Muntah, perut kembung dan
membuncit, tidak bisa buang air besar, meconium keluar dari vagina
atau meconium terdapat dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu : Klien mengalami muntah-muntah
setelah 24-48 jam pertama kelahiran
d. Riwayat Kesehatan Keluarga : Merupakan kelainan kongenital
bukan kelainan/ penyakit menurun sehingga belum tentu dialami
oleh angota keluarga yang lain
e. Riwayat Kesehatan Lingkungan : Kebersihan lingkungan tidak
mempengaruhi kejadian atresia ani
3. POLA FUNGSI KESEHATAN
a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Klien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa
yang dirasakan dan apa yang diinginkan
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena
masih bayi.
AKTIFITAS 0 1 2 3 4
Mandi -
Berpakaian -
Eliminasi -
Mobilitas ditempat -
tidur
Pindah -
Ambulansi -

Keterangan :
0 : Mandiri
1 : Dengan menggunakan alat bantu
2 : Dengan menggunakan bantuan dari orang lain
3 : Dengan bantuan orang lain dan alat bantu
4 : Tergantung total, tidak berpartisipasi dalam beraktifitas
c. Pola istirahat/tidur
Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga yang lain
d. Pola nutrisi metabolik
Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
e. Pola eliminasi
Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
f. Pola kognitif perseptual
Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi
dengan baik pada orang lain
g. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa dikaji
2) Ideal diri : belum bisa dikaji
3) Gambaran diri : belum bisa dikaji
4) Peran diri : belum bisa dikaji
5) Harga diri : belum bisa dikaji
h. Pola seksual Reproduksi
Klien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti tentang kepercayaan
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi dengan
orang lain secara mandiri
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu
berespon terhadap adanya suatu masalah
4. PEMERIKSAAN FISIK
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani
adalah anus tampak merah, usus melebar, kadang-kadang tampak ileus
obstruksi, termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh
jaringan, pada auskultasi terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium
dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina (FKUI, Ilmu
Kesehatan Anak:1985).
a. Pemeriksaan Fisik Head to toe
1) Tanda-tanda vital
• Nadi : 110 X/menit.
• Respirasi : 32 X/menit.
• Suhu axila :37º Celsius.
2) Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak
ada benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada
chepal hematom.
3) Mata
Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan
subkonjungtiva, tidak ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus,
conjungtiva tampak agak pucat.
4) Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada
pernafasan cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.
5) Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak
macroglosus, tidak cheilochisis.
6) Telinga
Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago
berbentuk sempurna
7) Leher
Tidak ada webbed neck.
8) Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak
funnel shest, pernafasan normal
9) Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
10) Abdomen
Simetris, teraba lien, teraba hepar, teraba ginjal, tidak
termasa/tumor, tidak terdapat perdarahan pada umbilicus
11) Getalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak
ada hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
12) Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar,
kadang-kadang tampak ileus obstruksi. Thermometer yang
dimasukan kedalam anus tertahan oleh jaringan. Pada auskultasi
terdengar peristaltic.
13) Ektrimitas atas dan bawah
Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan
maupun kaki dan kukunya tampak agak pucat
14) Punggung
Tidak ada penonjolan spina gifid
15) Pemeriksaan Reflek
a) Suching +
b) Rooting +
c) Moro +
d) Grip +
e) Plantar +
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Dx pre operasi
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
b. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya
intake, muntah.
2. Dx Post Operasi
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf
jaringan.
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Dx pre operasi
No. Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1. Konstipasi Setelah 1. Lakukan 1. Evaluasi bowel
b/d dilakukan enema atau meningkatkan
ganglion tindakan irigasi rectal kenyaman pada
keperawata sesuai order anak
n selama 1x 2. Kaji 2. Meyakinkan
24 jamKlien bising usus berfungsinya
mampu dan abdomen usus
mempertaha setiap4 jam
Pengukuran lingkar
nkan pola 3. Ukur
abdomen membantu
eliminasi lingkarabdomen
mndeteksi trjadinya
BAB
distensi
dengan
teratur
KH :
Penurunan
distensi
abdomen,
meningkat
nya
kenyaman
an
2. Resiko Setelah 1. Monitor 1. Dapat
kekuranga dilakukan intake –output mengidentifikas
n volume tindakan cairan i status cairan
cairan b/d keperawata klien
2. Lakukan
menurunn n selama 1x 2. Menceg
pemasangan
ya intake, 24 jamKlien ahdehidrasi
infusdan
muntah dapat
berikan
mempertaha
cairanIV 3. Mengetahui
nkan
3. Observasi kehilangan cairan
keseimbang
TTV
an cairan melalui suhu
KH: tubuhyang tinggi
Output Monitor status Mengetahui tanda-
urin1-2 hidrasi tanda dehidrasi
ml/kg/jam, (kelembaban
capillary membran
refill 3-5 mukosa, nadi
detik, trgor adekuat,tekanan
kulit baik, darah ortostatik)
membrane
mukosa
lembab
2. Dx post operasi
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1. Gangguan Setelah 1. Hindari 1. Mencegah
integritas dilakukan kerutan perlukaan pada
kulit b/d tindakan pada tempat kulit
kolostomi. keperawatan tidur 2. Menjaga
selama1 x ketahanan kulit
2. Jaga
24 jam
kebersihan 3. Mengetahui
diharapkan
kulit agar adanya tanda
integritas
tetap bersih kerusakan
kulit dapat
dan kering jaringan kulit
dikontrol.
3. Monitor kulit 4. Menjaga
KH : -
akanadanya kelembaban
temperatur
kemerahan kulit
jaringan
5. Menjaga
dalam
4. Oleskan keadekuatan
batas
lotion/baby oil nutrisi guna
normal, pada daerah
yang tertekan penyembuhan
sensasi
5. Monitor status luka
dalam batas nutrisi klien
normal,
elastisitas
dalam batas
normal,
hidrasi dalam
bats normal,
pigmentasi
dalam batas
normal,perfusi
jaringan baik.
2. Resiko Setelah 1. Monitor 1. mengetahui
infeksi b/d dilakukan tanda dan tanda infeksi
prosedur tindakan gejala infeksi lebih dini
pembedaha keperawatan sistemik dan 2. menghindari
n selama1 x lokal kontaminasi dari
24 jam 2. Batasi pengunjung
pengunjung
diharapkan 3. mencegah
klien bebas penyebab infeks
dari tanda-
3. Pertahankan
tanda
teknik cairan
infeksi 4. mengetahui
asepsis pada
KH : bebas kebersihan luka
klienyang
dari tanda dan dan tanda infeksi
beresiko
gejalainfeksi 5. Gejala infeksi
4. Inspeksi
dapat di deteksi
kondisi
lebih dini
luka/insisi
6. Gejala infeksidapat
bedah
segera teratasi

5. Ajarkan
keluarga
klien
tentang
tanda dan
gejala
infeksi
6. Laporkan
kecurigaan
infekis
4. IMPLEMENTASI
1. Dx pre operasi
Tanggal Jam Diagnose Implementasi TTD
Konstipasi b/d 1. Enema atau
ganglion irigasi rectal
sesuaiorder
2. Mengauskultasi
bising usus dan
abdomen
Mengukur lingkar
abdomen
Resiko 1. Memonitor intake –
output cairan
kekurangan
2. Memasang infus
volume cairan
3. Mengobservasi
b/d
TTV
menurunnya
4. Memonitor status
intake, muntah
hidrasi (kelembaban
membran mukosa,
nadi
adekuat, takanan darah
ortostatik)

2. Dx post operasi
Tanggal Jam Diagnose Implementasi TTD
Gangguan 1. Menghindarkan
integritas kerutan pada
tempat tidur
kulit b/d 2. Menjaga
kolostomi. kebersihan kulit
agartetap bersih
dan kering
3. Memonitor
kulit akan
adanya
kemerahan
4. Mengoleskan
lotion/baby oil pada
daerah yang tertekan
5. Memonitor status
nutrisi klien
Resiko 1. Memonitor
infeksi b/d tanda dan
prosedur gejalainfeksi
pembedahan sistemik dan
lokal
2. Membatasi
pengunjung
3. Mempertahankan
teknik cairan
asepsis pada klien
yang beresiko
4. Menginspeksi
kondisi luka/insisi
bedah
5. Mengajarkan
keluarga klien
tentang tanda dan
gejala infeksi
Melaporkan kecurigaan
infeksi

5. EVALUASI
1. Dx pre operasi
Tanggal Jam Diagnose Evaluasi TTD
Konstipasi S : Klien mampu
b/dganglion mempertahankan
pola eliminasi
BAB dengan
teratur
O : distensi
abdomen menurun
A : Diagnosa
keperawatan
konstipasiteratasi
P : Intervensi
dihentikan
Resiko S : Klien dapat
kekurangan mempertahankan
volume keseimbangan
cairan b/d cairan
menurunnya O : Output
intake, urin 1-2
muntah ml/kg/jam,
capillary refill
3-5
detik, turgor kulit
baik, membrane
mukosa lembab
A : Diagnosa
keperawatan
Resikokekurangan
volume cairan
teratasi
P : Intervensi
dihentikan

2. Dx post operasi
Tanggal Jam Diagnose Implementasi TTD
Gangguan S:
integritas integritas
kulit b/d kulit
kolostomi klien
dapat
terkontrol
O : Temperatur
jaringan dalam
batasnormal,
sensasi dalam
batas normal,
elastisitas dalam
batas normal,
hidrasi dalam
batas normal,
pigmentasi
dalam batas
normal, perfusi
jaringan baik.
A : Diagnosa
Keperawatan
Gangguan
integritas kulit
teratasi P :
Intervensi
dihentikan
Resiko S : Klien sudah
infeksi b/d tidak mengalami
prosedur infeksi
pembedahan O : tanda
gejala infeksi
tidak ada
A : Diagnosa
Keperawatan
Resikoinfeksi
teratasi
P:Intervensi
dihentikan
DAFTAR PUSTAKA

Arifputera A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk. Edisi


4. Jakarta: Media Aesculapius. 2018; jilid 2; 975-981.
Betz, c. L. (2015). Buku Saku Keperawatan Pediatrik: Edisi Ke 3. Jakarta:
EGC
Effendi SH, Indrasanto E. (2019). Buku Ajar Neonatologi. 1st ed. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI.
Ngastiyah. (2021). Perawatan Anak Sakit edisi 2. Jakarta: EGC.
Sadler TW. Embriologi Kedokteran Langman Edisi 12. Jakarta: EGC; 2019
Suriadi & Yuliani. (2020). Asuahan keperawatan pada anak. Jakarta:
Sagung Seto.
Wong, Dona L. 2004. pedoman klinis keperawatan pediatric. Jakatra : EGC
www.
Bedah Anak . Atresia Ani dengan Fistula Rektovestibularis.co.id
http://bedahugm.net/Bedah-Anak/Atresia-Ani.html
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2018), Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai