Anda di halaman 1dari 26

ASUKAN KEPERAWATAN PADA “AN MAWAR” DENGAN

GANGGUAN ATRESIA ANI DI RUANGAN TERATAI RSUD AWET


MUDA NARMADA

KELOMPOK 12
1.IMAM SAHRIR
2. NURHAYATI
3. AYIK SECOND RIDHO

SEKOLAH TINGGI ILMI KESEHATAN (STIKES) MATARAM


TAHUNAJARAN 2020/2021

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 latar belakakang
1.2 tujuan
1.3 rumusan masalah

BAB II TINJAUAN TEORI


2.1 definisi
2.2 etiologi
2.3 klasifikasi
2.4 manifestasi klinis
2.5 komplikasi
2.6 patofisiologi
2.7 penatalaksanaan
2.8 pemeriksaan penunjang
2.9 pathway

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN


3.1 Pengkajian
3.2 data focus
3.3 analisa data
3.4 diagnosa
3.5 perencanaan

BAB IV PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang
badan normal atau organ tubuler secara kongenital disebut juga clausura. Dengan
kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya atau buntutnya saluran
atau rongga tubuh. Hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi
kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia ani yaitu
yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu Anus
imperforata.
Kelainan kongenital anus dan rektum relatif sering terjadi. Malformasi kecil
terdapat pada 1 diantara 500 kelahiran hidup, sedangkan malformasi besar terjadi
pada 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Kasus pada laki-laki lebih sering terjadi
daripada pada perempuan. Pada laki-laki paling sering didapatkan fistula
rektouretra, sedangkan pada perempuan paling sering didapatkan fistula
rektovestibuler.
Dalam asuhan neonatus tidak sedikit dijumpai adanya kelainan cacat
kongenital pada anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan
feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan.
Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan
bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan
perineum.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada anak dengan
gangguang sistem eliminasi yaitu atresia ani.

1.2.2 Tujuan Khusus


a. Mengetahui apa yang dimaksud dengan atresia ani.
b. Mengetahui etiologi dari atresia ani.
c. Mengetahui manifestasi klinis yang timbul pada atresia ani.
d. Mengetahui komplikasi yang timbul dari atresia ani.
e. Memahami patofisiologi dari atresia ani.
f. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada atresia ani.
g. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada atresia ani.

1.3 Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan atresia ani?
b. Apa saja etiologi dari atresia ani?
c. Apa saja manifestasi klinis pada atresia ani?
d. Apa saja komplikasi dari atresia ani?
e. Bagaimana patofisiologi dari atresia ani?
f. Bagaimana penatalaksanaan pada atresia ani?
g. Apa saja pemeriksaan penunjang pada atresia ani?
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Menurut Nurhayati (2009), istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu
‘a’ yang berarti “tidak ada” dan trepsis yang berarti “makanan atau nutrisi”.
Dalam istilah kedokteran, “atresia” berarti suatu keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang badan abnormal. Atresia ani memiliki nama lain yaitu “anus
imperforata”.
Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai
lubang keluar. (Walley, 1996)
Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran
yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus
yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang
berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum. (Purwanto,
2001)
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal
anus atau tertutupnya anus secara abnormal. (Suriadi, 2001)
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rektum, atau keduanya. (Betz, 2002)
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (konginetal), tidak adanya lubang
atau saluran anus. (Donna L. Wong, 2003)
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum.
Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL
(Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009).
Jadi, atresia ani atau anus imperforate merupakan kelainan bawaan
(kongenital) dimana terjadi pembentukan lubang anus yang tidak sempurna
(abnormal) atau anus tampak rata maupun sedikit cekung ke dalam atau kadang
berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum yang terjadi
pada masa kehamilan.
2.2 Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1) Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2) Gangguan organogenesis dalam kandungan. Karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
3) Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang
terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.
Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin
yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan
mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom
genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko
untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
4) Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah
komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi
meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1
dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000
kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani
dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut
menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat
menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat
multigenik (Levitt M, 2007).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi anorektal adalah
1) Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan
yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus
arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2) Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%),
obstruksi duodenum (1%-2%).
3) Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan
lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan
hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah
myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
4) Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan
pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan
urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan
atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri
sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae,
Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL
(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and
Limb abnormality) ( Oldham K, 2005).

2.3 Klasifikasi
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:
1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M.
puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu
rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak
upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran
kencing atau saluran genital.
2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak
menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga
jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1
cm.
2.4 Manifestasi Klinis
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering
ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses
keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius.
Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di
kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul:
1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4) Perut kembung. (Ngastiyah, 2005)

2.5 Komplikasi
Menurut Betz dan Sowden (2009), komplikasi pada atresia ani antara lain:
1) Asidosis hiperkloremik
2) Infeksi saluran kemih yang terus-menerus
3) Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)
4) Komplikasi jangka panjang
a) Eversi mukosa anus
b) Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)
c) Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasi sigmoid)
d) Masalah atau keterlambatan yang berhubungan dengan toilet
training
e) Inkontinensia (akibat stinosis anal atau inpaksi)
f) Prolaps mukosa anorektal (penyebab inkontinensia)
g) Fistula kambuhan
2.6 Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara
komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian
belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang
merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena
adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada
kelengkapan dan perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu dalam
perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam
agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan
usus besar yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat
dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya saluran
pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang
anus.
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya
fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah
dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum,
maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya
feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau
perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika
urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada
letak rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).

Patofisiologis post operasi

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Preventif
Menurut Nurhayati (2009), penatalaksanaan preventif yaitu: (a)
diberikan nasihat pada ibu hamil bahwa selama hamil muda untuk berhati-
hati atau menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan dan alkohol
karena dapat menyebabkan atresia ani; (b) pemeriksaan lubang dubur/anus
bayi pada saat lahir sangat penting dilakukan sebagai diagnosis awal adanya
atresia ani. Sebab jika sampai tiga hari diketahui bayi menderita ani atresia
ani, jiwa bayi dapat terancam karena feses yang tertimbun dapat mendesak
paru-paru bayi dan organ yang lain.
2. Pasca Bayi Lahir
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2012), begi penyidap kelainan tipe I
dengan stenosis yang ringan dan tidak mengalami kesulitan mengeluarkan
tinja tidak membutuhkan penanganan apapun. Sementara pada stenosis yang
berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari dengan karakter uretra, dilatasi
Hegar, atau speculum hidung berukuran kecil. Selanjutnya orang tua dapat
melakukan dilatasi sendiri di rumah dengan jari tangan. Dilatasi dikerjakan
beberapa kali seminggu selama kurang lebih 6 bulan sampai daerah stenosis
melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal. Konstipasi dapat
dihindari dengan pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulose.
Bentuk operasi yang diperlukan pada tipe II, baik tanpa atau dengan fistula,
adalah anoplasti pcrincum, kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus
slama 23 bulan. Tindakan ini paling baik dilakukan dengan dilator Hegar
selama bayi di rumah sakit dan kemudian orang tua penderita dapat
memakai jari tangan di rumah sampai tepi anus lunak serta mudah
dilebarkan. Pada tipe III, apabila jarak antara ujung rektum uang buntu ke
lekukan anus kurang dari 1,5 cm, pembedahan rekonstruktif dapat dilakukan
melalui anoproktoplasti pada masa neonatus. Akan tetapi, pada tipe III
biasanya perlu dilakukan pembedahan definitif pada usia 12-15 bulan.
Kolostomi bermanfaat untuk:
a. Mengatasi obstruksi usus, memungkinkan pembedahan rekonstruktif
dapat dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih.
b. Memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan
lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta
menemukan kelainan bawaan yang lain, kolostomi dapat dilakukan pada
kolon transversum atau kolon sigmoideum. Beberapa metode
pembedahan rekonstruktif yang dapat dilakukan adalah operasi
abdominoperineum terpadu pada usia 1 tahun, anorektoplasti sagital
posterior pada usia 8-12 bulan, dan pendekatan sakrum menurut metode
Stephen setelah bayi berumur 6-9 bulan. Dilatasi anus baru bisa
dilakukan 10 hari setelah operasi dan selanjutnya dapat dilakukan oleh
orang tua di rumah, mula-mula dengan jari kelingking kemudian dengan
jari telunjuk selama 23 bulan setelah pembedahan definitif. Sedangkan
pada penanganan tipe IV dilakukan dengan kolostomi, untuk kemudian
dilanjutkan dengan operasi abdominal pull-through seperti kasus pada
megakolon congenital.
Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin untuk mencegah
infeksi pada pasca operasi. Pemberian vitamin C untuk daya tahan tubuh.

Penatalaksanaan post oprasi


Motivasi ibu dalam perawatan luka post operasi sangat di perlukan dalam
membantu mencegah komplikasi pos operasi yaitu infeksi dan retraksi ,prolapas
mukosa,rectum,cedera traktus urinarius dan konstipasi (Adjie, 2011)
Hasil penelitian terkait yang pernah di lakukan oleh palupi dewi (2015)
yaitu ada hubungan signifikan antara pengetahuan orang tua dengan penyembuhan
luka post operasi, sedangakan
Menurut samiatin (2014) menyatakan bahwa ada hubungan signifikan
antara orang tua terhadap pengetahuan perawatan businasi post operasi. Selain itu,
perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan anak,juga m,empunyai peran dan
fungsi sebagai educator atau pemberi Pendidikan dan motivator sebagai pemberi
motivasi saat perawatan luka post operasi
GAMBARAN KLINIS :

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Nurhayati (2009), untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologis, yang bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya obstruksi intestinal atau menentukan letak ujung rektum
yang buntu setelah bayi berumur 24 jam. Pada saat pemeriksaan,
bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama 3 menit,
sendi panggul bayi dalam keadaan sedikit ekstensi, kemudian dibuat
foto pandangan anteroposterior dan lateral setelah petanda
diletakkan pada daerah lekukan anus.
2. Sinar-X terhadap abdomen yang bertujuan untuk menentukan
kejelasan keseluruhan bowel/usus dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
3. Ultrasonografi (USG) abdomen, yang bertujuan untuk melihat fungsi
organ intenal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya
faktor reversibel seperti obstruksi massa tumor.
4. CT Scan, yang bertujuan untuk menentukan lesi.
5. Rontgenogram pada abdomen dan pelvis, yang bertujuan untuk
mengonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan saluran
urinaria.
2.9 Pathways

Kelainan kogenital

 Gangguan Pertumbuhan
 Fusi
 Pembentukan anus dari
tonjolan embrionik

ATRESIA ANI

Feses Tidak Keluar Vistel Rektovaginal

Feses Menumpuk Feses Masuk Ke Uretra

Mikroorganisme masuk
Reabsorbsi sisa Peningkatan Tekanan ke saluran kemih
metabolisme Intraabdominal

Dysuria
Keracunan Operasi Anoplasti

Gang. Rasa nyaman


Mual, muntah
Ansietas Perubahan Defekasi:
Pengeluaran Tak Gang. Eliminasi Urine
Ketidakseimbangan Nyeri
Terkontrol
Nutrisi < Kebutuhan
Iritasi Mukosa
Tubuh Perawatan tidak adekuat
Nyeri
Resiko
Gang. kerusakan kulit
Rasa Nyaman Inkontinensia
Abnormalitas Defekasi
spingter Trauma
Resiko jaringan
Infeksi
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA ATRESIA
ANI

3.1 PENGKAJIAN

3.2 IDENTITAS PASIEN

Nama, Tempat tgl lahir, umur , Jenis Kelamin, Alamat, Agama, Suku
Bangsa

Pendidikan, Pekerjaan , No. CM, Tanggal Masuk RS, Diagnosa Medis

3.3 RIWAYAT KESEHATAN

a. Keluhan Utama : Distensi abdomen


b. Riwayat Kesehatan Sekarang :Muntah, perut kembung dan membuncit,
tidak bisa buang air besar, meconium keluar dari vagina atau
meconium terdapat dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu : Klien mengalami muntah-muntah setelah
24-48 jam pertama kelahiran
d.Riwayat Kesehatan Keluarga : Merupakan kelainan kongenital bukan
kelainan/ penyakit menurun sehingga belum tentu dialami oleh angota
keluarga yang lain
e.Riwayat Kesehatan Lingkungan : Kebersihan lingkungan tidak
mempengaruhi kejadian atresia ani
3.4 POLA FUNGSI KESEHATAN

a. Pola persepsi terhadap kesehatan


Klien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang
apa yang dirasakan dan apa yang diinginkan
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena
masih bayi.

AKTIFITAS 0 1 2 3 4
Mandi 
Berpakaian 
Eliminasi 
Mobilitas ditempat tidur 
Pindah 
Ambulansi 
Makan . 

Keterang
an : 0 :
Mandiri
1 : Dengan menggunakan alat bantu
2 : Dengan menggunakan bantuan dari orang lain
3 : Dengan bantuan orang lain dan alat bantu
4 : Tergantung total, tidak berpartisipasi dalam beraktifitas
c. Pola istirahat/tidur
Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga yang lain

d. Pola nutrisi metabolik


Klien hanya minum ASI atau susu kaleng

e.Pola eliminasi

Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium

f. Pola kognitif perseptual


Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientas i dengan baik
pada

orang lain

g. Pola konsep diri


1) Identitas diri : belum bisa dikaji
2) Ideal diri : belum bisa dikaji
3) Gambaran diri : belum bisa dikaji
4) Peran diri : belum bisa dikaji
5) Harga diri : belum bisa dikaji
h. Pola seksual Reproduksi
Klien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti tentang kepercayaan

j. Pola peran hubungan


Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi dengan orang
lain secara mandiri
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu berespon
terhadap adanya suatu masalah

3.5 PEMERIKSAAN FISIK

Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani


adalah anus tampak merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus
obstruksi, termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh
jaringan, pada auskultasi terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium
dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina (FKUI, Ilmu
Kesehatan Anak:1985).

 Pemeriksaan Fisik Head to toe


1. Tanda-tanda vital

• Nadi : 110 X/menit.


• Respirasi : 32 X/menit.
• Suhu axila :37º Celsius.
2. Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak ada
benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada chepal
hematom.
3. Mata
Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan subkonjungtiva,
tidak ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus, conjungtiva tampak
agak pucat.
4. Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada
pernafasan cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.
5. Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak macroglosus,
tidak cheilochisis.
6. Telinga
Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago
berbentuk sempurna
7. Leher
Tidak ada webbed neck.

8. Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel
shest, pernafasan normal
9. Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur

10. Abdomen
Simetris, teraba lien, teraba hepar, teraba ginjal, tidak
termasa/tumor, tidak terdapat perdarahan pada umbilicus
11. Getalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak ada
hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
12. Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar, kadang-
kadang tampak ileus obstruksi. Thermometer yang dimasukan
kedalam anus tertahan oleh jaringan. Pada auskultasi terdengar
peristaltic.
13. Ektrimitas atas dan bawah
Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan
maupun kaki dan kukunya tampak agak pucat
14. Punggung
Tidak ada penonjolan spina gifid

15. Pemeriksaan Reflek


a. Suching +
b. Rooting +
c. Moro +
d. Grip +
e. Plantar +

3.6 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Dx pre operasi

a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.


b. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya
intake, muntah.
c. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
penyakit dan prosedur perawatan.
2. Dx Post Operasi

a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf


jaringan.
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi.
c. Resiko infeksi Berhubungan dengan prosedur pembedahan.
d. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.

3.7 INTERVENSI
KEPERAWATAN
1. Diagnosa Pre Operasi
No. Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1. Konstipasi Setelah dilakukan 1. Lakukan 1. Evaluasi bowel
b/d ganglion tindakan enema atau irigasi meningkatkan
keperawatan rectal sesuai order kenyaman pada anak
selama 1x 24 jam 2. Kaji bising 2. Meyakinkan
Klien mampu usus dan abdomen berfungsinya usus
mempertahankan setiap
pola eliminasi 4 jam 3. Pengukuran
BAB dengan 3. Ukur lingkar lingkar abdomen
teratur abdomen membantu
KH : Penurunan mndeteksi trjadinya
distensi distensi
abdomen,
meningkatnya
kenyamanan

2. Resiko Setelah dilakukan 1. Monitor 1. Dapat


kekurangan tindakan intake – output mengidentifikasi
volume keperawatan cairan status cairan klien
cairan b/d selama 1x 24 jam 2. Mencegah
menurunnya Klien dapat 2. Lakukan dehidrasi
intake, mempertahankan pemasangan infus
muntah keseimbangan dan berikan cairan
cairan IV 3. Mengetahui
KH: Output urin 3. Observasi kehilangan cairan
1-2 ml/kg/jam, TTV
melalui suhu tubuh
capill ary refill
yang tinggi
3-5 detik, trgor
kulit baik, 4. Mengetahui
tandatanda dehidrasi
membrane 4.Monitor status
mukosa lembab hidrasi (kelembaban
membran mukosa,
nadi adekuat,
takanan darah
ortostatik)
3. Cemas Setelah dilakukan 1. Jelaskan dg 1. Agar orang tua
orang tua tindakan istilah yg mengerti kondisi
b/d kurang keperawatan dimengerti tentang klien
pengetahuan selama 1x 24 jam
Kecemasan orang anatomi dan
tentang
penyakit tua dapat fisiologi saluran
dan berkurang KH:
pencernaan
prosedur Klien tidak lemas
normal. 2. Pengetahuan
perawatan
2. Gunakan alat, tersebut diharapkan
media dan gambar dapat membantu
Beri jadwal menurunkan
studi diagnosa kecemasan
pada orang tua 3. Membantu
3. Beri informasi mengurangi
pada orang tua kecemasan klien
tentang operasi
kolostomi

2. Diagnosa post oprasi


No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1. Gangguan Setelah dilakukan 1. Hindari 1. Mencegah
integritas tindakan kerutan pada perlukaan pada
kulit b/d keperawatan selama tempat tidur kulit
kolostomi. 1 x 24 jam 2. Menjaga
diharapkan ketahanan kulit
2. Jaga
integritas kulit
dapat dikontrol. KH kebersihan kulit
: - temperatur agar tetap bersih 3. Mengetahui
jaringan dalam dan kering adanya tanda
batas normal,
3. Monitor kulit kerusakan
sensasi dalam batas
normal, elastisitas akan adanya jaringan kulit
dalam batas kemerahan 4. Menjaga
normal,
kelembaban
kulit
4. Oleskan
lotion/baby oil
pada daerah yang
hidrasi dalam bats tertekan
normal, pigmentasi 5. Monitor status 5. Menjaga
dalam batas normal, nutrisi klien keadekuatan
perfusi jaringan baik. nutrisi guna
penyembuhan
luka

2. Resiko Setelah dilakukan 1. Monitor tanda 1. mengetahui


infeksi b/d tindakan dan gejala infeksi tanda infeksi
prosedur keperawatan selama sistemik dan lokal lebih dini
pembedaha 1 x 24 jam 2. Batasi 2. menghindari
pengunjung
n diharapkan klien kontaminasi dari
bebas dari pengunjung
tandatanda 3. mencegah
infeksi KH : 3. Pertahankan penyebab infeks
bebas dari tanda teknik cairan

dan gejala infeksi asepsis pada klien


yang beresiko
4. mengetahui
4. Inspeksi
kebersihan luka
kondisi luka/insisi
dan tanda infeksi
bedah
5. Gejala infeksi
dapat di deteksi
lebih dini
5. Ajarkan 6. Gejala infeksi
keluarga klien dapat segera
tentang tanda dan teratasi
gejala infeksi
6. Laporkan
kecurigaan infeksi
4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN  Diagnosa Pre oprasi
Tanggal Jam Diagnosa Implementasi TTD
Konstipasi b/d 1.Enema atau irigasi rectal sesuai
ganglion order
2.Mengauskultasi bising usus dan
abdomen
3. Mengukur lingkar abdomen
Resiko 1. Memonitor intake – output
kekurangan cairan
volume cairan 2. Memasang infus
b/d 3. Mengobservasi TTV
menurunnya
4. Memonitor status hidrasi
intake, muntah
(kelembaban membran mukosa, nadi
adekuat, takanan darah ortostatik)
Cemas orang1. Menjelaskan dengan istilah
tua b/d kurang yg dimengerti tentang anatomi dan
pengetahuan
fisiologi saluran pencernaan normal.
tentang
penyakit dan 2. Menggunakan alat, media dan
prosedur gambar
perawatan
2. Memberi jadwal studi
diagnosa pada orang tua
3. Memberi informasi pada
orang tua tentang operasi kolostomi

• Diagnosa
Post Oprasi
Tanggal Jam Diagnosa Implementasi TTD
Gangguan 1. Menghindarkan kerutan pada
integritas kulit tempat tidur
b/d kolostomi. 2. Menjaga kebersihan kulit agar
tetap bersih dan kering
3. Memonitor kulit akan adanya
kemerahan
4. Mengoleskan lotion/baby oil
pada daerah yang tertekan

5. Memonitor status nutrisi klien


Resiko infeksi 1. Memonitor tanda dan gejala
b/d prosedur infeksi sistemik dan lokal
pembedahan
2. Membatasi pengunjung
3. Mempertahankan teknik cairan
asepsis pada klien yang beresiko
4. Menginspeksi kondisi luka/insisi
bedah
5. Mengajarkan keluarga klien
tentang tanda dan gejala infeksi
6. Melaporkan kecurigaan infeksi

5.IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

• Diagnosa
Pre oprasi
Tanggal Jam Diagnosa Evaluasi TTD
Konstipasi b/d S : Klien mampu mempertahankan
ganglion pola eliminasi BAB dengan teratur O
: distensi abdomen menurun
A : Diagnosa keperawatan konstipasi
teratasi
P : Intervensi dihentikan
Resiko S : Klien dapat mempertahankan
kekurangan keseimbangan cairan O : Output
volume cairan
urin 1-2 ml/kg/jam, capillary
b/d
menurunnya refill 3-5 detik, turgor kulit baik,
intake, muntah membrane mukosa lembab
A : Diagnosa keperawatan Resiko
kekurangan volume cairan teratasi
P : Intervensi dihentikan

Cemas orang S : orang tua mengatakan sudah


tua b/d kurang tidak cemas
pengetahuan O : klien tidak lemas
tentang
penyakit dan A : Diagnosa Keperawatan Cemas
prosedur orang tua Teratasi P : Intervensi
perawatan dihentikan

• Diagnosa
Post Oprasi
Tanggal Jam Diagnosa Implementasi TTD
Gangguan S : integritas kulit klien dapat
integritas kulit terkontrol
b/d kolostomi. O : Temperatur jaringan dalam batas
normal, sensasi dalam batas normal,
elastisitas dalam batas normal,
hidrasi dalam batas normal,
pigmentasi dalam batas normal,
perfusi jaringan baik.
A : Diagnosa Keperawatan
Gangguan integritas kulit teratasi
P : Intervensi dihentikan
Resiko infeksi S : Klien sudah tidak mengalami
b/d prosedur infeksi
pembedahan
O : tanda gejala infeksi tidak ada
A : Diagnosa Keperawatan Resiko
infeksi teratasi
P : Intervensi dihentikan
DAFTAR PUSTAKA

Daengaoes, Maryllin E.1999. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta : EGC

Ngastiyah.1995. perawatan anak sakit . Jakarta :EGC

Syamsuhidajat, R. 2004.Buku ajar Ilmu bedah. Jakatra:EGC

Wong, Dona L. 2004. pedoman klinis keperawatan pediatric. Jakatra


: EGC www. Bedah Anak . Atresia Ani dengan Fistula
Rektovestibularis.co.id http://bedahugm.net/Bedah-Anak/Atresia-
Ani.html

Anda mungkin juga menyukai